Sulis-Keagungan tuhan

"> ">

Senin, 01 Juli 2013

Cerita Syekh Nawawi Al- Bantani Tanara Banten Tirtayasa / Asal usul Syekh Nawawi

 Syekh Nawawi

Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar al-Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khaul untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten. Ayahnya bernama Kiai Umar, dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As-Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Ayahnya, ‘Umar Ibnu’ Arabi adalah penghulu kecamatan di Tanara. Beliau mengajar sendiri putera-puteranya (Nawai, Tamim dan ahmad) pengetahuan dasar dalam bahasa Arab, fiqh dan tafsir. Ketiga putera tersebut kemudian melanjutkan pelajarannya kepada Kyai Sahal (masih di daerah Banten). Setelah itu mereka melanjutkan lagi pelajaran di Purwakarta kepada Kyai Yusuf, seorang Kyai terkenal yang menarik santri-santri dari daerah-daerah jauh di seluruh jawa, terutama dari daerah Jawa Barat waktu itu. Kemudian mereka melakukan ibadah haji sewaktu masih muda. Syekh Nawawi waktu itu berumur 15 tahun mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji dan tinggal di Mekkah selama 3 tahun. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. syeck Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hati syeck Nawawi telah menyatu dengan Kota Mekkah hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana. Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syekh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 syekh Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Syekh di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab.Terkadang Beliau menulis Kitab hanya diterangi oleh lampu tempel (lampu yang berbahan bakar minyak tanah). Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarah selain karena permintaan orang lain, syeck Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan dan pengurangan. Rupanya kehidupan intelektual di mekkah sangat menarik hati sang syakh, sebab tidak lama setelah ia tiba di Banten ia kemudian belajar lagi ke Mekkah dan tinggal di sana seterusnya sampai meninggalnya.
Dalam menyusun karyanya syekh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum di cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama syekh Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A ‘yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz. Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai agar proses pembelajaran dengan kiai tidak mengalami kesulitan.
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i, Imam Nawawi. Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-lembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU. Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati. Syekh Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi. Mengungkap jaringan intelektual para ulama Indonesia sebelum organisasi NU berdiri merupakan kajian yang terlupakan dari perhatian para pemerhati NU. Terlebih lagi bila ditarik sampai keterkaitannya dengan keberhasilan ulama-ulama tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian di seputar ini adalah diakibatkan dari persepsi pemahaman sebagian masyarakat yang sederhana terhadap NU. NU dipahami sebagai organisasi keagamaan yang seolah-olah hanya bergerak dalam sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektual keagamaan yang bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama. Sehingga orang merasa heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikan belakangan ini banyak anak muda NU mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan progressif.
Mereka tidak menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar tradisi intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan begitu NU berdiri untuk menyelamatkan tradisi keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan ulama salaf. Figur ulama seperti Syekh Nawawi Banten merupakan sosok ulama berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran demikian. Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para tokoh ulama di Indonesia, syeck Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari. akar tradisi keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di sini diuraikan sosok sang kiai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar yang kelak akan banyak menjadi karakteristik pola pemikiran dan perjuangan para muridnya di pesantren-pesantren.
Antara 1860 – 1870 ia mengajar di Masjid Haram dalam waktunya yang senggang, sebab antara tahun-tahun tersebut Nawawi sudah aktif menulis buku-buku. Tetapi setelah tahun 1870 ia memusatkan aktivitasnya untuk menulis. Nawawi seorang yang produktif dan berbakat; tulisan-tulisannya meliputi karya pendek yang berisi tentang pedoman-pedoman ibadah sampai kepada tafsir Al-Qur’an yang cukup tebal yang terdiri dari 2 jilid, yang diterbitkan di mesir tahun 1887. sarkis menyebutkan 38 karya Syekh Nawawi yang penting. beberapa contoh karya Nawawi yang penting yang terbit di Mesir antara lain:
1. Syarah Al-Jurummiyah, isinya tatabahasa Arab, terbit tahun 1881.
2. Lubab Al-Bayan (1884).
3. Dhariyat Al-Yaqin; isinya tentang doktrin-doktrin Islam, dan merupakan komentar atas karya Syekh Sanusi, terbit 1886.
4. Fathul Mujib. Buku ini merupakan komentar atas karya Adurr Al-Farid, karya Syekh Nawawi (guru Nawawi) yang terbit tahun 1881, dan 3 buah buku lagi yang berisi, selain doktrin-doktrin pokok, uraian tentang lima bagian-bagian penting daripada hukum Islam dan lima rukun Islam.
5. Dua jilid komentar tentang syair mauled karya Al Barzanji. Karya ini sangat penting sebab selalu dibacakan dalam perayaan-perayaan mauled.
6. Syarah Isro’ Miraj juga karangan Al Barzanji
7. Syarah tentang Syair Asmaul Husna
8. Syarah Manasik Haji karangan Syarbani yang tertbit tahun 1880.
9. Syarah Suluk Al-Jiddah (1983)
10. Syarah Sullam Al-Manajah (1884) yang membahas tentang berbagai persoalan ibadah. (Buku asli no. 9 dan 10 dikarang oleh Syekh Hadrami).
11. Tafsir murah Labib.
Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara konprehenshif-utuh. Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy). Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini dianranya Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su’ud.
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya, karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini. Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.
Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks Indonesia sebenamya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah. Sayangnya sebagian sejarawan modem terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenamya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”.Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syekh Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat a/-Naja, Syarh Sullam a/-Taufiq, Nihayat a/-Zain fi Irsyad a/-Mubtadi’in dan Tasyrih a/a Fathul Qarib,sehingga Syekh Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna Dan, atas dedikasi Syekh Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas alAzhar Mesir pemah mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama Syekh Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.
Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf. Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, ia banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin alGazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat. Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya (pamannya sendiri) Syekh Abdul Karim, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, Namun atas pilihan karir dan pengembangan spesialisasi ilmu penegatahuan yg ditekuni serta tuntutan masyarakat beliau tidak mengembangkan metoda tarbiyah tasawuf seperti guru-gurunya. Ketasawufan beliau dapat dilihat dari pandangannya terhadap keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah basil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran Islam, syariat.
Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat dibedakan dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya. Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini. Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’alum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melului proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif. Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin.
Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan tejerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab). Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan “sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati Nawawi menjawab dengan. bahasa yang manis tanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik.
Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang. Misalkan dalam laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Syekh Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis.
Sebenarnya karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Nawawi. Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : K.H Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama), K.H Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri Syekh Nawawi, Nyi Maryam, K.H Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan Syekh Nawawi, Nyi Salmah binti Rukayah binti Nawawi, K.H Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, K.H Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang, Banten, K.H Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, K.H Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta, KH. Jahari Ceger Cibitung Bekasi Jawa Barat. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi. Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang tidak sarna sekali meninggalkan karya ulama Salaf. Meskipun ia senang membaca Kitab tafsir a/-Manar karya seorang reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik ia tidak mall mengajarkannya pada santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh Kholil Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Syekh Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat.
Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sarana lain terkait juga turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain. Peranan Syekh para pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para Syekh didikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi. Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain mejadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-karnya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat alGazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain.
Sebagaimana disebutkan di muka bahwa kitab-kitab karya al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani itu berkenaan dengan bidang-bidang fiqh, tauhid, tasawuf, tafsir, hadis, dan bahasa Arab, pembahasan-pembahasan dalam kitab-kitabnya itu kadangkala dalam satu kitab terdapat banyak bidang. Karena itu bidang bahasan ilmu fiqh dalam karya-karya al-Syeikh Muhammad Nawawi, tidak hanya terdapat dalam kitab yang secara nyata menampilkan judul fiqh. Untuk melihat kualitas pemikiran fiqh al-Syeikh Muhammad Nawawi yang tertuang dalam karya-karya yang hampir seluruhnya berbentuk syarah, perlu dilihat kualitas setiap karyanya itu. Seperti :
1. Kasyifah al-Saja
Kitab Kasyifah al-Saja adalah syarah atas kitab Safinat al-Naja fi Ushul al-Din wa al-Fiqh, sebuah buku kecil karya al-Syeikh Salim ibn Sumair al-Hadrami. Uraian fiqh dalam buku kecil ini dinyatakan oleh penulisnya adalah dalam mazhab Imam al-Syafi'i. Meskpun disebutkan oleh penulisnya, kitab kecil ini berisi uraian tentang ushul al-din dan al-fiqh, namun ternyata dalam isi-nya jauh lebih banyak bidang fiqhnya. Bahasan dalam kitab ini dipilah-pilah pada bentuk-bentuk fasal, yang meliputi 66 fasal; hanya 2 fasal yang pertama yang berisi uraian bidang ushul al-din, yaitu tentang jumlah rukun Islam, rukun Iman, dan makna kalimat tahlil. Selebihnya, yaitu 63 fasal, adalah bidang fiqh, yang dimulai dengan tanda-tanda kedewasaan (baligh), dan diakhiri dengan uraian tentang puasa.
2. Sulam al-Munajat
Kitab Sulam al-Munajat adalah syarah atas kitab (matan) Safinah al-Shalah karya al-Sayid 'Abd Allah bin 'Umar al-Hadrami. Kitab Safinah al-Shalah berisi tuntunan praktis tentang shalat, dari sejak cara-cara bersuci sampai dengan pelaksanaan shalat, menurut mazhab Imam al-Syafi'i. Mengenai sistematika isinya, kitab matan ini terdiri atas tiga bagian yaitu, pendahuluan, isi, dan penutup. Pendahuluan berisi hamdalah dan shalawat; isi, meliputi dua bagian yaitu, akidah (makna kalimat Syahadatain), dan tuntunan shalat; sedang penutup berisi shalawat. Melihat porsi isi kitab tersebut, tepatlah dikatakan, kitab itu kitab fiqh. Karena singkatnya uraian, maka dalam buku itu tidak menunjukkan dalil-dalil, masalah-masalah, dan alternatif-alternatif yang mungkin ada di luar tuntunan shalat itu sekalipun masih dalam lingkungan mazhab Imam al-Syafi'i.
3. al-Simar al-Yani'at fi al-Riyad al-Badi'at
Al-Syeikh Muhammad Hasba Allah ibn Sulaiman menulis kitab kecil yang ia sebut mukhtashar, yang kemudian diberi nama al-Riyad al-Badi'at fi Ushul al-Din wa Ba'ad Furu' al-Syari'at 'ala al-Imam al-Syafi'i. Kitab kecil inilah yang kemudian disyarahi oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menjadi sebuah kitab yang diberi judul al-Simar al-Yani'at fi al-Riyad al-Badi'at. Atas munculnya pensyarahan ini, kitab al-Riyad al-Badi'at berarti kitab matan. Meskipun kitab matan ini diberi sub judul dengan fi ushul al-din wa ba'ad furu' al-syari'ah yang menggambarkan pembahasan bidang ushul al-din (akidah) dan sebagian kecil bidang syari'ah, namun dalam uraiannya ternyata sangat lebih banyak bidang fiqh. Karena itu, ungkapan wa ba'ad furu' al-syari-'ah, dinyatakan oleh al-Syeikh Nawawi, maksudnya ialah sisi tertentu bidang tasawuf. Ungkapan ini didukung oleh struktur dan sistematika kitab matan ini yang sebagian besar membahas bidang fiqh. Dari sistematikanya, kitab matan membagi uraiannya pada tiga bidang kajian, yaitu bidang akidah, bidang fiqh, dan bidang tasawuf. Bidang-bidang tersebut ditempatkan pada bagian-bagian kitab yaitu, bidang akidah ditempatkan pada pendahuluan yang sebetulnya merupakan khuthbah al-kitab (muqaddimah); bidang fiqh ditempatkan pada isi (tubuh) kitab; dan bidang tasawuf ditempatkan pada bagian penutup yang dalam ungkapannya dinyatakan dengan khatimah.
4. 'Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Zawjain
Dalam pengantarnya, al-Syeikh Muhammad Nawawi menyatakan bahwa kitab 'Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Zawjain ini adalah syarah atas sebuah risalah mengenai kehidupan suami isteri yang disusun oleh seseorang di antara para penasehat (al-Nashihin). Al-Syeikh Nawawi tidak menjelaskan siapa nama orang dimaksud yang menyusun risalah itu. Ada kemungkinan, yang dimaksud salah seorang penasehat itu adalah al-Syeikh Muhammad Nawawi sendiri, sebab ketika ia menamai kitab syarah ini, ia menyebutkan dengan kalimat wasammaituha (وسميتها); يamir ha (ها) tidak mungkin kembali kepada kalimat syarah (شرح), tapi yang mungkin ialah kepada kalimat al-risalah (الرساله). Pada kitab-kitab syarah yang lain menggunakan kalimat wasammaituhu (وسميته), dengan menggunakan damir hu (هُ). Dan syarah dimaksud adalah penyempurnaan dari risalah itu, sebab risalah yang disebutkannya, tidak mempunyai nama, hanya disebutkan subyeknya saja, yaitu persoalan suami isteri (umur al-zawjain). Demikian pula dikatakan oleh al-Yasu'i, bahwa Nawawi adalah pengarang.
5. Nihayat al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'in
Kitab Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'in yang disusun oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, adalah syarah atas kitab fiqh beraliran madzhab Imam al-Syafi'i, oleh penulisnya, Zain al-Din 'Abd al-'Aziz al-Mali-bari, diberi nama Qurrah al-'Ain bi Muhimmat al-Din. Karena ada pensyarahan maka berarti ada kitab matan, dan yang dimaksud adalah kitab Qurrah al-'Ain itu. Kitab matan ini, karena pendeknya uraian, yang oleh penulisnya disebut mukhtashar (teks uraiannya singkat), memang dirasa perlu ada pengembangan, atau ada yang menjadikannya sebagai standard penguraian-penguraian yang luas. Kaitan dengan hal ini, ternyata kitab matan tersebut disyarahi oleh dua orang, yaitu oleh penulis matan itu sendiri yakni al-Syeikh Zain al-Din ibn 'Abd al-Aziz al-Malibari (hidup pada abad ke-10 Hijriyah), dan oleh al-Syeikh Muhamamad Nawawi al-Bantani. Syarah yang disusun oleh penulis matannya diberi nama Fath al-Mu'in bi Syarh Qurrat al-'Ain. Adapun kitab syarah atas kitab matan yang disusun oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani diberi nama Nihayat al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'in.
6. Bahjat al-Wasa'il bi Syarh Masa'il
Al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menulis kitab yang kemudian diberi nama Bahjat al-Wasa'il bi Syarh Masa'il. Terlihat dari namanya, kitab ini adalah syarah atas sebuah kitab yang bernama al-Risalat al-Jami'ah bayna Ushul al-Din wa al-Fiqh wa al-Tasawuf, karya al-Sayid Ahmad ibn Zein al-Habsyi. Karena ada kitab syarah, maka berarti ada pula penyebutan kitab matan, yang dalam hal ini adalah kitab al-Risalah tersebut di atas, dan kitab syarah adalah Bahjah al-Wasa'il itu.
7. Qut al-Habib al-Gharib
Pada awal abad ke-13 Hijriyah al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani selesai menyusun kitab yang diberi nama Qut al-Habib al-Gharib. Kitab ini merupakan tawsyih (pengembangan dari kitab syarah) yang, pengarang-pengarang lain semacam ini menyebutnya hasyiyah, terhadap kitab syarah yang bernama Fath al-Gharib al-Mujib karya Muhammad ibn Qasim al-Syafi'i. Kitab standard (matan) yang disyarahinya ialah Ghayat al-Taqrib karya Abu Syuja' Ahmad ibn al-Husain ibn Ahmad al-Asfihani, sebuah kitab fiqh menurut mazhab Imam al-Syafi'i. Memperhatikan hal di atas, terlihat adanya tingkatan penulisan kitab, yakni kitab matan, kitab syarah, dan kitab tawsyih; kitab Qut al-Habib al-Gharib adalah tingkatan yang ketiga.
8. Mirqat Shu'ud al-Tashdiq
Al-Syeikh 'Abd Allah ibn al-Husain ibn Hakim ibn Muhammad ibn Hasyim Ba'alawi (w. 1266 H.), menulis kitab kecil tentang tasawuf, fiqh, dan kalam, yang kemudian diberi nama Sulam al-Tawfiq. Pembahasan dalam kitab ini disusun berbentuk pasal-pasal yang seluruhnya berjumlah 37 pasal. Pasal-pasal tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu: bagian pertama, 3 pasal mengenai ilmu kalam; bagian kedua, 23 pasal mengenai ilmu fiqh; dan bagian ketiga, 11 pasal mengenai ilmu tasawuf. Meskipun sudah ada pembagian-pem-bagian seperti itu, namun ternyata pada bagian-bagian ilmu kalam dan ilmu tasawuf, terdapat pembahasan ilmu fiqh. Misalnya hukum murtad dalam kajian akidah; pidana peminum khamer, penuduh zina, denda zhihar, pidana pencurian, pembunuhan, zina, dan perampokan, ada dalam pembahasan ilmu tasawuf. Isi uraian dalam kitab matan ini sangat singkat, tidak mengemukakan dalil-dalil dan tidak mendefinisikan konsep-konsep.
10. Maraqi al-'Ubudiyat
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali menulis kitab yang diberi nama Bidayat al-Hidayat. Kitab ini berisi petunjuk-petunjuk praktis tentang amalan ibadah, menghindari maksiat, dan hubungan baik. Corak petunjuk-petunjuk itu lebih bersifat tata krama karenanya, kitab ini bisa dimasukkan pada kategori kitab akhlak. Kemudian kitab tersebut disyarahi oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi, dan kitab syarah itulah yang kemudian diberi nama oleh penulisnya dengan Maraqi al-'Ubudiyat. Karena ada syarah, maka kitab Bidayat al-Hidayatdisebut kitab matan.
11. Tanqih al-Qawl al-Hasis
Kitab Tanqih al-Qawl al-Hasis adalah syarah atas kitab Lubab al-Hadis karya al-Hafizh Jalal al-Din 'Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Sayuthi. Karena ada syarah (Tanqih al-Qawl al-Hasis) maka kitab Lubab al-Hadis adalah kitab matan. Kitab Lubab al-Hadis adalah kitab yang berisi kumpulan hadis-hadis tentang bermacam-macam keutamaan (fadilat). Materi pokok yang mempunyai keutamaan-keutamaan itu secara garis besar meliputi bidang-bidang ilmu pengetahuan, lafazh-lafazh tauhid, akidah, ibadah, mu'amalah, jinayah, akhlak, dan tasawuf. Seluruh pembahasannya dikelompokkan pada 40 bab. Hadits-hadits yang dihimpun dalam seluruh bab itu, oleh penulisnya, tidak dicantumkan isnad-nya dengan maksud untuk meringkas. Lalu dikatakan oleh penulisnya bahwa hadis-hadis yang dihimpun itu semuanya adalah hadis shahih.
12. Marah Labid li Kasyfi Ma'na al-Qur'an al-Majid
Al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menulis kitab tafsir al-Qur'an setebal dua jilid yang, menurutnya selesai ditulis pada tanggal 4 Rabi' al-Akhir tahun 1305 Hijriyah. Kitab tafsir ini tergolong pada corak tartibi, sebab menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan urutan ayat dalam mushhaf, tidak berdasar pada tema tertentu. Karena itu dirasakan sulit menghubungkan satu ayat dengan ayat yang lainnya dalam satu tema yang oleh ayat-ayat itu disebut-kan. Meskipun demikian, dalam kitab tafsir itu juga al-Syeikh Muhammad Nawawi menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum (ayat ahkam). Hasil-hasil penafsirannya itu adalah berarti fiqh (hukum-hukum syara'). Karena itu dalam tafsir ini juga berarti ada pembahasan fiqh secara langsung.
13. Qami' al-Thughyan
Salah satu kitab kecil yang corak pembahasannya menggunakan susunan nazham atau dalam bentuk sya'ir, dinamakan oleh penulisnya dengan Syu'ub al-Iman. Penulis dimaksud ialah al-Syeikh Zein al-Din ibn 'Ali ibn Ahmad al-Malibari. Sya'ir yang disusun oleh penulisnya sebanyak 26 bait dengan irama bahar al-Kamil. Sebanyak 7 bait berisi masalah akidah, 10 bait berisi masalah fiqh, dan 9 bait mengenai tasawuf. Meskipun dalam jumlah kelihatannya seimbang antar bidang-bidang pembahasannya, namun sebenarnya bidang fiqh itu lebih besar, karena dalam bidang akidah dan tasawuf ternyata ada pembahasan bidang fiqhnya. Kitab inilah yang kemudian disyarahi oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi dengan tujuan untuk mempermudah dan memperluas pembahasan.
14. Salalim al-Fudala
Ada sebuah kitab kecil yang gaya penulisannya berbentuk nazham (sya'ir), ditulis oleh seorang ulama yang bernama Zain al-Din ibn 'Ali al-Ma'bari al-Malibari. Kitab tersebut diberi nama oleh penulisnya dengan Hidayat al-Azkiya ila Thariq al-Awliya. Nazham atau sya'ir yang disusunnya itu seluruh-nya berjumlah 194 bait yang tersebar pada 23 tema atau pokok bahasan termasuk pendahuluan dan penutup. Kitab ini kemudian disyarahi masing-masing oleh, al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, dan oleh al-Sayid Bakri al-Maki ibn al-Sayid Muhammad Syatha al-Dimyathi.
15. Nasha'ih al-Ibad
Kitab yang bernama Nasha'ih al-Ibad ditulis oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, merupakan syarah atas kitab (matan) al-Munabbihat 'ala al-Isti'dad Liyawmi al-Ma'ad, karya Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-'Asqalani. Kitab matan, menurut penulisnya, berisi maw'izhah (petunjuk-petunjuk kebaikan) sebanyak 214 materi, dengan rincian sebanyak 45 materi berasal dari Hadis-hadis Nabi, dan sebanyak 79 materi berasal dari ucapan shahabat dan ulama-ulama terkemuka. Dilihat dari isi pokoknya, kitab ini menunjukkan kitab akhlak atau tasawuf. Tetapi karena juga ada materi-materi yang menyangkut masalah-masalah fiqh, maka kitab ini berarti juga ada bagian fiqhnya. Dalam sistematika penyusunannya, kitab matan tersebut dibagi pada sembilan bab. Secara berurutan, dari bab satu, isi materinya disusun berdasarkan butir-butir dalam tiap materi. Pada bab pertama, yang disebut bab al-Suna'i, berisi maw'izhah-maw'izhah, yang masing-masing maw'izhah terdapat dua butir. Bab tiga (al-Sulasi), setiap maw'izhah terdiri dari tiga butir. Demikian seterusnya sampai pada bab sembilan yang isi maw'izhahnya terdapat masing-masing sepuluh butir (al-Usyuri).
Di samping kitab-kitab yang berisi ilmu fiqh atau kitab yang di dalamnya ada pembahasan fiqh sebagaimana disebutkan di atas, masih ada lagi kitab yang dikarang oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi yang berisi ilmu kalam (tauhid) dan sirah Nabi Muhammad SAW. Al-Syeikh Muhammad Nawawi menulis kitab yang diberi nama Qathr al-Ghais yang merupakan syarah atas Masa'il Abi al-Lais karya al-Iman Abu al-Lais yang dikenal dengan nama lengkap: Nashir ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ibrahim al-Hanafi al-Samarqandi. Kitab ini membahas 17 masalah akidah. Di dalamnya ada terselip pembahasan bahwa perbuatan-perbuatan ibadah sebagaimana ditetapkan dalam dan oleh fiqh, adalah furu' dari iman, bukan hakekat iman.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar