Sulis-Keagungan tuhan

"> ">

Rabu, 03 Juli 2013

SEJARAH SYEKH ABDURROHMAN

Sejarah  Ki Ageng Selo( SYEIH ABDURROHMAN)
 

Makam Ki Ageng Selo teletak di Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo 10 km sebelah timur kota Purwodadi, Kabupaten Grobogan sebagai obyek wisata spiritual, makam Ki Ageng Selo ini sangat ramai dikunjungi oleh para peziarah pada malam jum'at, dengan tujuan untuk mencari berkah agar permohonannya dikabulkan oleh Tuhan YME. Ki Ageng Selo sendiri menurut cerita yang berkembang di masyarakat sekitar khususnya atau masyarakat jawa umumnya, diakui memiliki kesaktian yang sangat luar biasa sampai-sampai dengan kesaktiannya ia dapat menangkap petir.

Ki Ageng Selo dipercaya oleh masyarakat jawa sebagai cikal bakal yang menurunkan raja-raja di tanah Jawa. Bahkan pemujaan kepada makam Ki Ageng Selo sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja-raja Surakarta dan Yogyakarta. Sebelum Gerebeg Mulud, utusan dari Surakarta datang ke makam Ki Ageng Selo untuk mengambil api abadi yang selalu menyala di dalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja-raja Yogyakarta. Api dari sela dianggap sebagai api keramat.
Legenda dari Makam Ki Ageng Selo :
Cerita Ki Ageng Sela merupakan cerita legendaris. Tokoh ini dianggap sebagai penurun raja-raja Mataram, Surakarta dan Yogyakarta sampai sekarang. Ki Ageng Sela atau Kyai Ageng Ngabdurahman Sela, dimana sekarang makamnya terdapat di Desa Sela, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, adalah tokoh legendaris yang cukup dikenal oleh masyarakat Daerah Grobogan, namun belum banyak diketahui tentang sejarahnya yang sebenarnya. Dalam cerita tersebut dia lebih dikenal sebagai tokoh sakti yang mampu menangkap halilintar (bledheg).
Menurut cerita dalam babad tanah Jawi (Meinama, 1905; Al - thoff, 1941), Ki Ageng Sela adalah keturunan Majapahit. Raja Majapahit : Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning. Dari putri ini lahir seorang anak laki-laki yang dinamakan Bondan Kejawan. Karena menurut ramalan ahli nujum anak ini akan membunuh ayahnya, maka oleh raja, Bondan Kejawan dititipkan kepada juru sabin raja : Ki Buyut Masharar setelah dewasa oleh raja diberikan kepada Ki Ageng Tarub untuk berguru agama Islam dan ilmu kesaktian.
Oleh Ki Ageng Tarub, namanya diubah menjadi Lembu Peteng. Dia dikawinkan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Ki Ageng Tarub atau Kidang Telangkas tidak lama meninggal dunia, dan Lembu Peteng menggantikan kedudukan mertuanya, dengan nama Ki Ageng Tarub II. Dari perkawinan antara Lembu Peteng dengan Nawangsih melahirkan anak Ki Getas Pendowo dan seorang putri yang kawin dengan Ki Ageng Ngerang. Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh orang yaitu : Ki Ageng Sela, Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purna, Nyai Ageng Kare, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, Nyai Ageng Adibaya.
Kesukaan Ki Ageng Sela adalah bertapa dihutan, gua, dan gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi - bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup berkecukupan. Bahkan akhirnya Ki Ageng Sela mendirikan perguruan Islam. Muridnya banyak, datang dari berbagai penjuru daerah. Salah satu muridnya adalah Mas Karebet calon Sultan Pajang Hadiwijaya. Dalam tapanya itu Ki Ageng selalu memohon kepada Tuhan agar dia dapat menurunkan raja-raja besar yang menguasai seluruh Jawa.
Kala semanten Ki Ageng sampun pitung dinten pitung dalu wonten gubug pagagan saler wetaning Tarub, ing wana Renceh. Ing wanci dalu Ki Ageng sare wonten ing ngriku, Ki Jaka Tingkir (Mas Karebet) tilem wonten ing dagan. Ki Ageng Sela dhateng wana nyangking kudhi, badhe babad. Kathinggal salebeting supeno Ki Jaka Tingkir sampun wonten ing Wana, Sastra sakhatahing kekajengan sampun sami rebah, kaseredan dhateng Ki Jaka Tingkir. (Altholif : 35 - 36).
Impian tersebut mengandung makna bahwa usaha Ki Ageng Sela untuk dapat menurunkan raja-raja besar sudah di dahului oleh Jaka Tingkir atau Mas Karebet, Sultan Pajang pertama. Ki Ageng kecewa, namun akhirnya hatinya berserah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya kemudian kepada Jaka tingkir, Ki Ageng sela berkata : Nanging thole, ing buri turunku kena nyambungi ing wahyumu (Dirdjosubroto, 131; Altholif: 36 ).
Suatu ketika Ki Ageng Sela ingin melamar menjadi prajurit Tamtama di Demak. Syaratnya dia harus mau diuji dahulu dengan diadu dengan banteng liar. Ki Ageng Sela dapat membunuh banteng tersebut, tetapi dia takut kena percikan darahnya. Akibatnya lamarannya ditolak, sebab seorang prajurit tidak boleh takut melihat darah. Karena sakit hati maka Ki Ageng mengamuk, tetapi kalah dan kembali ke desanya, Sela.
Ki Ageng Sela menangkap “ bledheg “ cerita tutur dalam babad :
Ketika Sultan Demak : Trenggana masih hidup pada suatu hari Ki Ageng Sela pergi ke sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar-benar hujan lebat turun. Halilintar menyambar. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak-enak menyangkul, baru sebentar dia mencangkul, datanglah “bledheg“ itu menyambar Ki Ageng, berwujud seorang kakek-kakek. Kakek itu cepat-cepat ditangkapnya, kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan dihaturkan kepada Sultan demak.
Oleh Sultan “bledheg“ itu ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun-alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “bledheg“ itu. Ketika itu datanglah seorang nenek-nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg“ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “bledheg” tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “bledheg” hancur berantakan.
Kemudian suatu ketika Ki Ageng nanggap wayang kulit dengan dhalang Ki Bicak. Istri Ki Bicak sangat cantik. Ki Ageng jatuh cinta pada Nyai Bicak. Maka untuk dapat memperistri Nyai Bicak, Kyai Bicak dibunuhnya. Wayang Bende dan Nyai Bicak diambilnya, “Bende“ tersebut kemudian diberi nama Kyai Bicak, yang kemudian menjadi pusaka Kerajaan Mataram. Bila “Bende“ tersebut dipukul dan suaranya menggema, bertanda perangnya akan menang tetapi kalau dipukul tidak berbunyi pertanda perangnya akan kalah.
Peristiwa lain lagi : Pada suatu hari Ki Ageng Sela sedang menggendong anaknya di tengah tanaman waluh dihalaman rumahnya. Datanglah orang mengamuk kepadanya. Orang itu dapat dibunuhnya, tetapi dia “kesrimpet“ batang waluh dan jatuh telentang, sehingga kainnya lepas dan dia menjadi telanjang. Oleh peristiwa tersebut maka Ki Ageng Sela menjatuhkan umpatan, bahwa anak turunnya dilarang menanam waluh di halaman rumah memakai kain cinde .
… Saha lajeng dhawahaken prapasa, benjeng ing saturun - turunipun sampun nganthos wonten ingkang nyamping cindhe serta nanem waluh serta dhahar wohipun. ( Dirdjosubroto : 1928 : 152 – 153 ).
Dalam hidup berkeluarga Ki Ageng Sela mempunyai putra tujuh orang yaitu : Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba (Wanasaba), Nyai Ageng Basri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, Nyai Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya putra laki - laki bernama Kyai Ageng Enis. Kyai Ageng Enis berputra Kyai Ageng Pamanahan yang kawin dengan putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya, pendiri Kerajaan Mataram. Adik Nyai Ageng Pamanahan bernama Ki Juru Martani. Ki Ageng Enis juga mengambil anak angkat bernama Ki Panjawi. Mereka bertiga dipersaudarakan dan bersama - sama berguru kepada Sunan Kalijaga bersama dengan Sultan Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Atas kehendak Sultan Pajang, Ki Ageng Enis diminta bertempat tinggal didusun lawiyan, maka kemudian terkenal dengan sebutan Ki Ageng Lawiyan. Ketika dia meninggal juga dimakamkan di desa Lawiyan. (M. Atmodarminto, 1955: 1222).
Dari cerita diatas bahwa Ki Ageng Sela adalah nenek moyang raja-raja Mataram Surakarta dan Yogyakarta. Bahkan pemujaan kepada makam Ki Ageng Sela sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja-raja Surakarta dan Yogyakarta tersebut. Sebelum Garabeo Mulud, utusan dari Surakarta datang ke makam Ki Ageng Sela untuk mengambil api abadi yang selalu menyala didalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja-raja Yogyakarta Api dari Sela dianggap sebagai keramat.
Bahkan dikatakan bahwa dahulu pengambilan api dilakukan dengan memakai arak-arakan, agar setiap pangeran juga dapat mengambil api itu dan dinyalakan ditempat pemujaan di rumah masing-masing. Menurut Shrieke (II : 53), api sela itu sesungguhnya mencerminkan “asas kekuasaan bersinar”. Bahkan data-data dari sumber babad mengatakan bahkan kekuasaan sinar itu merupakan lambang kekuasaan raja-raja didunia. Bayi Ken Arok bersinar, pusat Ken Dedes bersinar; perpindahan kekuasaan dari Majapahit ke Demak diwujudkan karena adanya perpindahan sinar; adanya wahyu kraton juga diwujudkan dalam bentuk sinar cemerlang.
Dari pandangan tersebut, api sela mungkin untuk bukti penguat bahwa di desa Sela terdapat pusat Kerajaan Medang Kamulan yang tetap misterius itu. Di Daerah itu Reffles masih menemukan sisa-sisa bekas kraton tua (Reffles, 1817 : 5). Peninggalan itu terdapat di daerah distrik Wirasaba yang berupa bangunan Sitihinggil. Peninggalan lain terdapat di daerah Purwodadi.
Sebutan “ Sela “ mungkin berkaitan dengan adanya “ bukit berapi yang berlumpur, sumber-sumber garam dan api abadi yang keluar dari dalam bumi yang banyak terdapat di daerah Grobogan tersebut.
Ketika daerah kerajaan dalam keadaan perang Diponegoro, Sunan dan Sultan mengadakan perjanjian tanggal 27 September 1830 yang menetapkan bahwa makam-makam keramat di desa Sela daerah Sukawati, akan tetap menjadi milik kedua raja itu. Untuk pemeliharaan makam tersebut akan ditunjuk dua belas jung tanah kepada Sultan Yogyakarta di sekitar makam tersebut untuk pemeliharaannya. (Graaf, 3,1985 : II). Daerah enclave sela dihapuskan pada 14 Januari 1902. Tetapi makam-makam berikut masjid dan rumah juru kunci yang dipelihara atas biaya rata-rata tidak termasuk pembelian oleh Pemerintah.
 
 Ki Ageng Selo, Sang Penakluk Kilat/Petir
KEHEBATAN Ki Ageng Selo tak asing lagi bagi penduduk sekitar. Bahkan tersohor hingga ke berbagai negeri. Banyak ora…ng datang padanya dengan berbagai tujuan. Ada yang ingin berguru, ada pula yang datang sekadar untuk minta doa atau disembuhkan dari penyakit yang dideritanya. Kesaktian Ki Ageng Selo tak hanya sampai di situ. Ia pun dapat menangkap kilat yang menyambar-nyambar saat hujan tengah membasahi bumi. Dialah manusia yang ditakuti kilat.
Suatu hari, Ki Ageng Selo sedang asyik duduk di masjid sambil bermunajad. Tangannya memutar-mutar tasbih dan mulutnya tak henti-henti berdzikir. Sementara itu, di luar hujan mengguyur bumi dengan derasnya. Suasana itu tidak mengganggu kekhusyukan Ki Ageng Selo sama sekali. Bahkan, ia semakin khusyuk. Suara hujan menjadi irama tersendiri dalam hatinya untuk menyenandungkan nama-nama Ilahi.
Namun keadaan menjadi lain ketika kilat datang. Menyambar-nyambar di atas kubah masjid. Penduduk desa takut karenanya. Ki Ageng Selo sejenak membiarkannya. Mungkin hanya sebentar saja mengganggu, batinnya. Semakin dibiarkan, semakin kencang dan sering pula kilat itu menyambar-nyambar. Suaranya menggelegar, memekakkan telinga, membuat anak-anak meringkuk di atas kasurnya, dalam pelukan ibunya. Sementara orang-orang dewasa tak meneruskan pekerjaannya.
Di dalam masjid, Ki Ageng Selo mencoba tetap berkonsentrasi pada dzikirnya. Tetap khusyuk pada wiridnya.
Tiba-tiba di luar masjid penduduk desa berteriak-teriak. Tingkah kilat makin menjadi-jadi. Beberapa pohon tumbang disambarnya. Beberapa rumah roboh ikut terbakar. Mendengar kegaduhan itu, Ki Ageng Selo tak lagi bisa konsentrasi dan khusyuk berdzikir. Maka keluarlah Ki Ageng Selo.
Begitu Ki Ageng Selo sampai di ambang masjid, penduduk desa sudah menyambutnya dengan berbagai keluhan agar Ki Ageng Selo mau menolong mereka.
“Rumah saya, Ki. Sudah terbakar gara-gara kilat itu,” kata salah seorang penduduk.
“Rumah saya juga, hancur karena pohon di depan rumah tumbang gara-gara disambar kilat jahat itu,” kata yang lainnya.
“Lihatlah anak saya, Ki. Kakinya patah terkena reruntuhan rumah,”
Ki Ageng Selo tak banyak bicara. Ia memandangi satu-persatu wajah penduduk yang menyiratkan kesedihan sebab kehilangan harta bendanya.
“Masuklah kalian ke dalam masjid,” suruh Ki Ageng Selo kepada penduduk desa. “Jangan lupa cuci kaki kalian dulu.” Lanjutnya memperingatkan.
Perlahan kaki Ki Ageng Selo melangkah menuruni anak tangga masjid. Sebelum sampai ke tanah, ia berhenti sejenak. Matanya terpejam, bibirnya bergerak-gerak tanda memanjatkan doa.
Setelah selesai dengan ritual kecil tersebut, Ki Ageng Selo lantas melangkahkan kaki dengan mantap.
Aneh! Kata penduduk desa. Hujan yang begitu derasnya, tanpa payung tanpa topi, sama sekali tak membasahi baju Ki Ageng Selo, sedikit pun. Mata penduduk desa terheran-heran menyaksikan kejadian di depan mereka. Mereka tak pernah menyaksikan hal itu sebelumnya.
Langkah kaki terus semakin mantap. Langkah yang aneh. Tak seperti manusia biasa. Tapi ia memang manusia. Manusia yang dikasihi Tuhan. Manusia yang dekat dengan Tuhan.
Langkah aneh itu lama kelaman tidak menyentah tanah. Kaki tetap melangkah tapi tanpa berpijak pada tanah. Hanya angin yang menopang langkahnya menuju lapangan besar di depan masjid, orang-orang menyebutnya alun-alun.
Sampai di tengah alun-alun, Ki Ageng Selo berhenti, tak berbuat apa-apa. Diam. Hanya menyilangkan tangannya di depan dadanya. Sejenak ia menundukkan kepalanya, mungkin berdoa lagi. Lantas mendongakkan kepalanya ke atas langit. Masih diam. Tapi matanya nanar menatap langit.
Ketakutan penduduk desa semakin menjadi-jadi. Kejadian langkah seperti tak pernah mereka saksikan. Yang laki-laki menatap dengan tatapan yang mengherankan pada orang yang mereka kagumi itu di tengah alun-alun, yang perempuan mendekap anaknya yang ketakutan. Semua penduduk merapatkan barisan.
Sang kepala desa berdiri di tengah-tengah penduduk desa.
“Saudara-saudara semua, mari kita panjatkan doa kepada Tuhan sebisa mungkin, agar Ki Ageng Selo selamat dan dapat menghentikan bencana ini.”
“Ya. Mari…” sambut penduduk.
Mulut semua penduduk lantas berkomat-kamit. Tak banyak dari penduduk yang tak hafal doa, bahkan ada yang tidak bisa sama sekali. Tapi mereka berupaya semampu mereka. Mengeja apa yang mereka tahu sebagai doa.
Sementara itu, di atas alun-alun depan masjid, suara guntur dan sambaran kilat makin menjadi-jadi. Langit makin gelap. Mendung berputar-putar melingkar di atas alun-alun.
Seketika mulut penduduk desa menjerit. Sekelebat cahaya penuh amarah menyambar Ki Ageng Selo yang berada di tengah-tengah lapangan. Semuanya menutup mata dan menyembunyikan wajah, seolah takut menerima kenyataan.
“Masyaallah. Astaghfirullah.” seru salah seorang penduduk yang mengagetkan penduduk lainnya.
Bukan kelegaan yang mereka lihat. Tapi justru ketegangan semakin memompa darah. Tak disangka-sangka, kilat yang selama ini ditakuti manusia, sekarang berada di tangan Ki Ageng Selo. Sungguh pemandangan yang mengagumkan. Lantas terjadi dialog di antara keduanya.
“Wahai, Kilat. Berhentilah mengganggu penduduk sekitar.” Kata Ki Ageng Selo kepada kilat yang berada di tangannya.
“Baiklah. Aku tidak akan mengganggu penduduk lagi, juga beserta anak-cucumu.” Jawab Kilat.
Lega juga hati penduduk desa. Selesai juga peristiwa menegangkan itu. Penduduk desa menyambut Ki Ageng Selo penuh rasa haru dan menyalami tangannya dengan mencium tangannya.
Besoknya para penduduk membuat gambar kilat yang pada kayu berbentuk ukiran sebesar pintu masjid. Lantas mereka menyerahkannya kepada Ki Ageng Selo. Dengan senang hati Ki Ageng Selo menerimanya dan dipasang di pintu depan masjid Demak. Dan masih bisa dilihat hingga sekarang.
Sejak saat itu kilat tak lagi membuat kacau dan mengganggu penduduk. Hanya sesekali bersuara di atas desa itu. Penduduk desa semakin rajin menunaikan ibadah di masjid dan menghentikan pekerjaan mereka ketika adzan berkumandang.
Selain itu, ketika hujan dan kilat datang, anak-anak dan penduduk desa tak lagi takut. Jika ada kilat yang menyambar, mereka akan mengatakan dengan tenang, “Aku cucunya Ki Ageng Selo.”

Tidak ada komentar :

Posting Komentar