Sulis-Keagungan tuhan

"> ">

Senin, 08 Juli 2013



SEJARAH JALAN TUBAGUS ANGKE

Nama Angke sebenarnya sudah ada jauh sebelum terjadi pembantaian
Tionghoa di Batavia di tahun 1740 (pertengahan abad ke 18) . Dalam
sejarah kota Jakarta disebutkan pada abad ke 16 dan awal ke abad
17, penguasa Jayakarta (nama Jakarta dahulu) ketika itu bernama
Pangeran Tubagus Angke (1570-1600 ?), sebagai Adipati Jayakarta
kedua dan bawahan (vasal) kesultanan Banten serta penerus
Fatahillah.
Anak dari Pangeran Tubagus Angke ini adalah Pangeran Jayakarta yang
disebutkan oleh orang Inggris dan Belanda sebagai “Regent of
Jakarta” atau “Koning van Jacatra”. (Tempat-tempat bersejarah di
Jakarta, A. Heuken SJ).
Pada jaman Pangeran Jayakarta inilah orang-orang asing Eropah
seperti Inggris dan Belanda
(sebelumnya di abad ke 16 orang Portugis
juga sudah mengunjungi Jakarta) mulai berdatangan yang kemudian
harinya pecah konflik dengannya.
Penduduk Tionghoa sendiri juga sudah ada sebelumnya di kota ini, dan
kemudian harinya bertambah lagi dengan orang-orang Tionghoa yang
berdatangan dari Banten dan terutama sesudah Banten (dibawah
Sultan Ageng Tirtayasa) dikuasai oleh Belanda.
Nama Pangeran Tubagus Angke sendiri didalam buku “Tinjauan Kritis
Tentang Sajarah Banten” (Hoesein Djajadiningrat) disebutkan
sebagai “Ratu Bagus Angke” yang juga adalah menantu dari Sultan
Hasanuddin, penguasa Banten yang dinikahkan dengan putrinya Ratu
Pembajun.
Dia disebut Ratu Bagus Angke, karena ditempatkan didaerah dekat kali
Angke di Jakarta. Ketika itu kali Angke merupakan perbatasan antara
wilayah kekuasaan Banten dan Jayakarta sebelum dipindahkan dikemudian
harinya ke sungai Cisadane. Nama Pangeran Tubagus Angke kini
dijadikan nama jalan di Angke yang dahulunya
bernama “Bacherachtsgracht”.
Menurut Denys Lombard, Angke adalah
berasal dari kata Tionghoa yang
berarti “Riviere qui deborde’, yakni kali yang (suka) banjir (Tempat-
tempat bersejarah di Jakarta, hal 166. A. Heuken SJ). Apakah benar
transliterasi Lombard ini ?
Di pemukiman-pemukiman yang mayoritas penduduknya orang Tionghoa pada
jaman dahulu, terutama di kawasan kota lama seperti di Jakarta Utara,
tak jarang nama lokasi atau jalan berasal dari bahasa atau dialek
Tionghoa.
Angke sebagai bagian kota tua dan bersejarah Jakarta, selain pernah
terjadi peristiwa pembunuhan orang Tionghoa di tahun 1740 juga
mempunyai cerita sejarah lain yang menarik seperti :
Pada abad ke 17 itu juga, Arung Palakka (pahlawan dan bangsawan
Bugis dari Bone) berserta pengikutnya pernah bermukim di
Angke pada
tahun 1663 sebagai tempat penampungan dan pengungsian sementara di
Batavia setelah terdesak oleh kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan
ketika itu.
Kemudian di tahun 1666 Arung Palakka kembali bersama pengikutnya
dan tentara VOC lainnya ke Makassar untuk menaklukan Sultan
Hasanuddin dari kerajaan Gowa di
Makassar.
Pengikut Arung Palakka ini adalah prajurit-prajurit tangguh yang
disegani lawan (warrior) dan dinamakan “Toangke” , yakni “orang
dari Angke” (People of Angke), dinamakan demikian karena tempat
pemukimannya di Jakarta terletak di daerah sekitar kali Angke
ketika itu. (“The Heritage Of Arung Palakka”, Leonard Y.
Andaya).
Disini juga terdapat sebuah mesjid bersejarah yang menarik, baik
dari segi sejarah maupun dari segi arsitektur. Mesjid ini dinamakan
mesjid Angke, kini disebut sebagai Masjid Al- Anwar yang didirikan
pada tahun 1761 untuk orang Bali pemeluk Islam yang bermukim di
kampung Gusti dan dibangun oleh seorang kontraktor Tionghoa. Ketika
itu banyak orang Bali yang tinggal di Batavia yang sebagian dijual
oleh raja mereka sebagai budak.
Walaupun sudah diperbaiki beberapa kali, bangunan mesjid Angke ini
masih menunjukkan campuran harmonis antara unsur-unsur bangunan Bali,
Belanda, Jawa dan Tionghoa. Didepan masjid tua ini terdapat makam
salah satu orang keturunan Sultan Pontianak, Alkadri (abad 19)
bersama makam beberapa kerabat Arab lainnya.
Dibelakang mesjid terdapat sebuah batu nisan kuburan tua yang
terpahat tulisan “Nyonya Chen Men Wang Shi Zhi Mu”.
Nyonya Chen yang
lahir sebagai Wang seorang wanita Tionghoa Muslim (Mesjid-mesjid tua
di Jakarta, A. Heuken SJ).
Adanya kuburan Ny. Chen ini menimbulkan cerita, bahwa ia bersama
suaminya, seorang Banten, mendirikan mesjid Angke ini.
Konon menurut seorang Belanda, Dr de Haan, dalam bukunya “Oud
Batavia” menulis bahwa pada tahun 1621 seorang sekretaris Souw Beng
Kong (Kapitan Tionghoa pertama di Jakarta) yaitu Gouw Tjay alias Jan
Con , seorang tukang kayu Tionghoa Muslim dari Banten yang kaya,
memperoleh tanah di kampung Bebek, yang terletak disebelah utara
Angke. Ia hendak mendirikan masjid diatas tanahnya. Kalau informasi
ini benar, maka inilah mesjid pertama di Batavia, (A. Heuken
SJ, “Mesjid-mesjid tua di Jakarta”, hal. 69)
SUMBER: In budaya_tionghua@yahoogroups.com

SITUS TUBAGUS BUANG

SITUS TUBAGUS BUANG
Beberapa titik situs makam kuno di Jasinga terdapat makam leluhur Banten, salah satunya adalah makam Pagutan yang berada pada pertemuan dua sungai yaitu Cidurian dan Cikeam. Letak makam Pagutan dekat dengan pemukiman warga, namun keberadaannya nampak tak terawat. Sebagian masyarakat Jasinga menunjukkan bahwa makam Tubagus Buang berada di kompleks pemakaman Pagutan. Ada pula yang menunjukkan makamnya terletak di pemakaman Kampung Kandang (kurang lebih 500 meter dari Pagutan).
Masyarakat mengetahui makam Tubagus Buang berdasarkan keterangan dari mulut ke mulut atau sumber dari para sepuh sebelumnya. Menurut salah seorang sesepuh Jasinga, sekitar tahun 60-an makam Tubagus Buang tampak nisannya berbentuk gada dengan kondisi patah pada bagian atasnya dan terdapat ukiran huruf arab pegon. Makam tersebut berada di bawah pohon kemang orok, akan tetapi dengan tumbangnya pohon kemang orok, kini makam tersebut tak lagi terlihat, mungkin karena tertimpa dahan atau batang pohon yang besar. Nisan-nisan makam di sekitarnya pun rusak dengan kondisi patah, miring dan tenggelam karena faktor lingkungan. Masyarakat hanya mengetahui bahwa Tubagus Buang adalah tokoh dari kesultanan Banten, tetapi mereka tidak mengetahui sejarah dan asal-usulnya.
Menurut sejarah Banten, Tubagus Buang adalah kerabat Sultan Banten yang berontak terhadap VOC karena telah melakukan intervensi terhadap kesultanan Banten. Tubagus Buang berjuang bersama Kyai Tapa yang tak lain adalah kerabatnya, pemberontakan Tubagus Buang dan Kyai Tapa berawal dari rakyat Banten yang dikhianati oleh Ratu Syarifah yang bersekutu dengan VOC. Ratu Syarifah adalah istri dari Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin (1733-1750). Sebelumnya Ratu Syarifah adalah seorang janda dari pegawai VOC di Batavia, Ratu Syarifah bersekutu dengan VOC dan membuang putra mahkota yaitu Pangeran Gusti ke Ceylon (Srilangka). Ratu Syarifah menginginkan agar menantunya yaitu Pangeran Syarif Abdullah dijadikan Sultan Banten. Ia pun menyebarkan fitnah bahwa suaminya gila dan kemudian ditangkap Belanda. Diangkatnya Pangeran Syarif Abdullah sebagai Sultan Banten atas persetujuan Belanda, hal ini membuat kemarahan bagi kerabat kesultanan dan rakyat Banten yang tidak setuju dengan pengangkatan sultan baru. Secara kekerabatan Tubagus Buang adalah keponakan dari Sultan Muhammad Syifa Zainul Ariffin (1733-1750). Sedangkan Kyai Tapa adalah saudara seayah dengan Sultan Muhammad Syifa Zainul Ariffin.
Pemberontakan dipimpin oleh Tubagus Buang dan Kyai Tapa dengan menyerang Keraton Surosowan, akan tetapi Benteng Keraton sulit ditembus karena bantuan VOC yang begitu kuat. Selanjutnya Tubagus Buang dan Kyai Tapa menyerang dengan cara gerilya dan mendirikan kanton-kantong perlawanan, salah satunya di Gunung Munara (Rumpin), Pandeglang, Bogor dan Tangerang. Tubagus Buang melakukakan gerilya sekitar Banten selama dua tahun, karena desakan pasukan VOC maka pasukan Tubagus Buang terpukul mundur ke pedalaman. Sementara Kyai Tapa meneruskan hingga ke Pandeglang dan Bogor, Pasukan Tubagus Buang mundur hingga ke Jasinga. rakyat Jasinga ikut serta membantu perlawanan yang dilakukan Tubagus Buang. Perlawanan gerilya membuat VOC semakin terdesak dan hingga akhirnya Gubernur Jenderal Mossel menanggapi tuntutan rakyat Banten, agar Pangeran Gusti (Putra Mahkota) dikembalikan dari Srilanka dan menangkap Ratu Syarifah beserta menantunya Pangeran Syarif Abdullah sebagai biang kerusuhan rakyat Banten.
Begitulah sekilas sejarah Tubagus Buang dalam perlawanan menentang VOC. dari memori kolektif masyarakat yang didapat dan jika diteliti lebih lanjut, maka akan terbukalah beberapa situs sekitar Jasinga dan akan ditemukan kebenarannya. Karena disini sangat dibutuhkan pengkajian oleh para ahli Arkeolog/kepurbakalaan serta Sejarawan agar masyarakat Jasinga tidak memandang Tokoh dan Sejarah sebagai suatu yang memburamkan.
Sumber:
  • · Sejarah Banten, Sultan, Ulama dan Jawara Banten, Hj. Nina Lubis 2002
  • · Catatan masa lalu Banten, Michrob & Chudari
  • · Sesepuh Cisonggom, Jasinga
  • · Masyarakat Jasinga

Tidak ada komentar :

Posting Komentar