Kisah Sejarah Nabi Muhammad SAW
Berikut
ini adalah cerita Nabi Muhammad SAW dari lahir hingga wafatnya beliau.
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam adalah nabi pembawa risalah
Islam, rasul terakhir penutup rangkaian nabi-nabi dan rasul-rasul Allah
Subhanahu Wa Ta’ala di muka bumi. Ia adalah salah seorang dari yang tertinggi
di antara 5 rasul yang termasuk dalam golongan Ulul Azmi atau mereka yang
mempunyai keteguhan hati (QS. 46: 35). Keempat rasul lainnya dalam Ulul Azmi
tsb ialah Ibrahim Alaihissalam, Musa Alaihissalam, Isa Alaihissalam, dan Nuh
Alaihissalam.
Kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam
Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam adalah anggota Bani Hasyim, sebuah kabilah
yang paling mulia dalam suku Quraisy yang mendominasi masyarakat Arab. Ayahnya
bernama Abdullah Muttalib, seorang kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya.
Ibunya bernama Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah. Baik dari garis ayah maupun
garis ibu, silsilah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sampai kepada Nabi Ibrahim Alaihissalam dan
Nabi Ismail Alaihissalam.
Tahun
kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dikenal dengan nama Tahun
Gajah, karena pada tahun itu terjadi peristiwa besar, yaitu datangnya pasukan
gajah menyerbu Mekah dengan tujuan menghancurkan Ka’bah. Pasukan itu dipimpin
oleh Abrahah, gubernur Kerajaan Habsyi di Yaman. Abrahah ingin mengambil alih kota
Mekah dan Ka’bahnya sebagai pusat perekonomian dan peribadatan bangsa Arab. Ini
sejalan dengan keingin Kaisar Negus dari Ethiopia untuk menguasai seluruh tanah
Arab, yang bersama-sama dengan Kaisar Byzantium menghadapi musuh dari timur,
yaitu Persia (Irak).
Dalam
penyerangan Ka’bah itu, tentara Abrahah hancur karena terserang penyakit yang
mematikan yang dibawa oleh burung Ababil yang melempari tentara gajah. Abrahah
sendiri lari kembali ke Yaman dan tak lama kemudian meninggal dunia.
Peristiwa
ini dikisahkan dalam Al-Qur’an surat Al-Fîl: 1-5.
Beberapa
bulan setelah penyerbuan tentara gajah, Aminah melahirkan seorang bayi
laki-laki, yang diberi nama Muhammad. Ia lahir pada malam menjelang dini hari
Senin, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah, bertepatan dengan 20 April 570 M. Saat itu
ayah Muhammad, Abdullah, telah meninggal dunia.
Nama
Muhammad diberikan oleh kakeknya, Abdul Muttalib. Nama itu sedikit ganjil di
kalangan orang-orang Quraisy, karenanya mereka berkata kepada Abdul Muttalib, “Sungguh di luar kebiasaan, keluarga Tuan
begitu besar, tetapi tak satu pun yang bernama demikian.” Abdul Muttalib
menjawab, “Saya mengerti. Dia memang
berbeda dari yang lain. Dengam nama ini saya ingin agar seluruh dunia
memujinya.”
Masa pengasuhan Haliman binti Abi Du’aib
as-Sa’diyah
Adalah
suatu kebiasaan di Mekah, anak yang baru lahir diasuh dan disusui oleh wanita
desa dengan maksud supaya ia bisa tumbuh dalam pergaulan masyarakat yang baik
dan udara yang lebih bersih. Saat Muhammad lahir, ibu-ibu dari desa Sa’ad
datang ke Mekah menghubungi keluarga-keluarga yang ingin menyusui anaknya. Desa
Sa’ad terletak kira-kira 60 km dari Mekah, dekat kota Ta’if, suatu wilayah
pegunungan yang sangat baik udaranya.
di
antara ibu-ibu tsb terdapat seorang wanita bernama Halimah binti Abu Du’aib as
Sa’diyah. Keluarga Halimah tergolong miskin, karenanya ia sempat ragu untuk
mengasuh Muhammad karena keluarga Aminah sendiri juga tidak terlalu kaya. Akan
tetapi entah mengapa bayi Muhammad sangat menawan hatinya, sehingga akhirnya
Halimah pun mengambil Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sebagai anak
asuhnya.
Ternyata
kehadiran Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sangat membawa berkah pada
keluarga Halimah. Dikisahkan bahwa kambing peliharaan Haris, suami Halimah,
menjadi gemuk-gemuk dan menghasilkan susu lebih banyak dari biasanya. Rumput
tempat menggembala kambing itu juga tumbuh subur. Kehidupan keluarga Halimah
yang semula suram berubah menjadi bahagia dan penuh kedamaian. Mereka yakin
sekali bahwa bayi dari Mekah yang mereka asuh itulah yang membawa berkah bagi
kehidupan mereka.
Tanda-tanda kenabian
Sejak
kecil Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam telah memperlihatkan keistimewaan
yang sangat luar biasa.
Usia
5 bulan ia sudah pandai berjalan, usia 9 bulan ia sudah mampu berbicara. Pada usia
2 tahun ia sudah bisa dilepas bersama anak-anak Halimah yang lain untuk
menggembala kambing. Saat itulah ia berhenti menyusu dan karenanya harus
dikembalikan lagi pada ibunya. Dengan berat hati Halimah terpaksa mengembalikan
anak asuhnya yang telah membawa berkah itu, sementara Aminah sangat senang
melihat anaknya kembali dalam keadaan sehat dan segar.
Namun
tak lama setelah itu Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam kembali diasuh oleh
Halimah karena terjadi wabah penyakit di kota Mekah. Dalam masa asuhannya kali
ini, baik Halimah maupun anak-anaknya sering menemukan keajaiban di sekitar
diri Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Anak-anak Halimah sering mendengar
suara yang memberi salam kepada Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, “Assalamu ‘Alaika ya Muhammad,” padahal
mereka tidak melihat ada orang di situ.
Dalam
kesempatan lain, Dimrah, anak Halimah, berlari-lari sambil menangis dan
mengadukan bahwa ada dua orang bertubuh besar-besar dan berpakaian putih
menangkap Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Halimah bergegas menyusul
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Saat ditanyai, Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam menjawab, “Ada 2 malaikat
turun dari langit. Mereka memberikan salam kepadaku, membaringkanku, membuka
bajuku, membelah dadaku, membasuhnya dengan air yang mereka bawa, lalu menutup
kembali dadaku tanpa aku merasa sakit.”
Halimah
sangat gembira melihat keajaiban-keajaiban pada diri Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam, namun karena kondisi ekonomi keluarganya yang semakin melemah,
ia terpaksa mengembalikan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, yang saat itu
berusia 4 tahun, kepada ibu kandungnya di Mekah.
Dalam
usia 6 tahun, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam telah menjadi
yatim-piatu. Aminah meninggal karena sakit sepulangnya ia mengajak Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam berziarah ke makam ayahnya. Setelah kematian
Aminah, Abdul Muttalib mengambil alih tanggung jawab merawat Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam. Namun kemudian Abdul Muttalib pun meninggal, dan
tanggung jawab pemeliharaan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam beralih pada
pamannya, Abi Thalib.
Ketika
berusia 12 tahun, Abi Thalib mengabulkan permintaan Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam untuk ikut serta dalam kafilahnya ketika ia memimpin rombongan ke Syam
(Suriah). Usia 12 tahun sebenarnya masih terlalu muda untuk ikut dalam
perjalanan seperti itu, namun dalam perjalanan ini kembali terjadi keajaiban
yang merupakan tanda-tanda kenabian Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam.
Segumpal
awan terus menaungi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sehingga panas terik
yang membakar kulit tidak dirasakan olehnya. Awan itu seolah mengikuti gerak
kafilah rombongan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Bila mereka berhenti,
awan itu pun ikut berhenti. Kejadian ini menarik perhatian seorang pendeta
Kristen bernama Buhairah yang memperhatikan dari atas biaranya di Busra. Ia
menguasai betul isi kitab Taurat dan Injil. Hatinya bergetar melihat dalam
kafilah itu terdapat seorang anak yang terang benderang sedang mengendarai
unta. Anak itulah yang terlindung dari sorotan sinar matahari oleh segumpal
awan di atas kepalanya. “Inilah Roh
Kebenaran yang dijanjikan itu,” pikirnya.
Pendeta
itu pun berjalan menyongsong iring-iringan kafilah itu dan mengundang mereka
dalam suatu perjamuan makan. Setelah berbincang-bincang dengan Abi Thalib dan
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sendiri, ia semakin yakin bahwa anak yang
bernama Muhammad adalah calon nabi yang ditunjuk oleh Allah Subhanahu Wa
Ta’ala. Keyakinan ini dipertegas lagi oleh kenyataan bahwa di belakang bahu
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam terdapat sebuah tanda kenabian.
Saat
akan berpisah dengan para tamunya, pendeta Buhairah berpesan pada Abi Thalib, “Saya berharap Tuan berhati-hati menjaganya.
Saya yakin dialah nabi akhir zaman yang telah ditunggu-tunggu oleh seluruh umat
manusia. Usahakan agar hal ini jangan diketahui oleh orang-orang Yahudi. Mereka
telah membunuh nabi-nabi sebelumnya. Saya tidak mengada-ada, apa yang saya
terangkan itu berdasarkan apa yang saya ketahui dari kitab Taurat dan Injil.
Semoga tuan-tuan selamat dalam perjalanan.”
Apa
yang dikatakan oleh pendeta Kristen itu membuat Abi Thalib segera mempercepat
urusannya di Suriah dan segera pulang ke Mekah.
Gelar al-Amin
Pada
usia 20 tahun, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mendirikan Hilful-Fudûl,
suatu lembaga yang bertujuan membantu orang-orang miskin dan teraniaya. Saat
itu di Mekah memang sedang kacau akibat perselisihan yang terjadi antara suku
Quraisy dengan suku Hawazin. Melalui Hilful-Fudûl inilah sifat-sifat
kepemimpinan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mulai tampak. Karena aktivitasnya
dalam lembaga ini, disamping ikut membantu pamannya berdagang, namanya semakin
terkenal sebagai orang yang terpercaya. Relasi dagangnya semakin meluas karena
berita kejujurannya segera tersiar dari mulut ke mulut, sehingga ia mendapat
gelar Al-Amîn, yang artinya orang yang terpercaya.
Selain
itu ia juga terkenal sebagai orang yang adil dan memiliki rasa kemanusiaan yang
tinggi. Suatu ketika bangunan Ka’bah rusak karena banjir. Penduduk Mekah
kemudian bergotong-royong memperbaiki Ka’bah. Saat pekerjaan sampai pada
pengangkatan dan peletakan Hajar Aswad ke tempatnya semula, terjadi
perselisihan. Masing-masing suku ingin mendapat kehormatan untuk melakukan
pekerjaan itu. Akhirnya salah satu dari mereka kemudian berkata, “Serahkan putusan ini pada orang yang
pertama memasuki pintu Shafa ini.”
Mereka
semua menunggu, kemudian tampaklah Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam muncul
dari sana. Semua hadirin berseru, “Itu
dia al-Amin, orang yang terpercaya. Kami rela menerima semua keputusannya.”
Setelah
mengerti duduk perkaranya, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam lalu
membentangkan sorbannya di atas tanah, dan meletakkan Hajar Aswad di
tengah-tengah, lalu meminta semua kepala suku memegang tepi sorban itu dan
mengangkatnya secara bersama-sama. Setelah sampai pada ketinggian yang
diharapkan, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam meletakkan batu itu pada
tempatnya semula. Dengan demikian selesailah perselisihan di antara suku-suku
tsb dan mereka pun puas dengan cara penyelesaian yang sangat bijak itu.
Pernikahan dengan Khadijah
Pada
usia 25 tahun, atas permintaan Khadijah binti Khuwailid, seorang saudagar kaya
raya, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam berangkat ke Suriah membawa barang
dagangan saudagar wanita yang telah lama menjanda itu. Ia dibantu oleh
Maisaroh, seorang pembantu lelaki yang telah lama bekerja pada Khadijah. Sejak
pertemuan pertama dengan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, Khadijah telah
menaruh simpati melihat penampilan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam yang
sopan itu. Kekagumannya semakin bertambah mengetahui hasil penjualan yang
dicapai Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam di Suriah melebihi perkiraannya.
Akhirnya
Khadijah mengutus Maisaroh dan teman karibnya, Nufasah untuk menyampaikan isi
hatinya kepada Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Khadijah yang berusia 40
tahun, melamar Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam untuk menjadi suaminya.
Setelah
bermusyawarah dengan keluarganya, lamaran itu akhirnya diterima dan dalam waktu
dekat segera diadakan upacara pernikahan dengan sederhana. yang hadir dalam
acara itu antara lain Abi Thalib, Waraqah bin Nawfal dan Abu Bakar as-Siddiq.
Pernikahan
bahagia itu dikaruniai 6 orang anak, terdiri dari 2 anak lelaki bernama
Al-Qasim dan Abdullah, dan 4 anak perempuan bernama Zainab, Ruqayyah, Ummu
Kalsum, dan Fatimah. Kedua anak lelakinya meninggal selagi masih kecil. Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam tidak menikah lagi sampai Khadijah
meninggal, saat Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam berusia 50 tahun.
Dalam
kehidupan rumah-tangganya dengan Khadijah, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
tidak pernah menyakiti hati istrinya. Sebaliknya istrinya pun ikhlas
menyerahkan segalanya pada suaminya. Kekayaan istrinya digunakan oleh Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam untuk membantu orang-orang miskin dan tertindas.
Budak-budak yang telah dimiliki Khadijah sebelum pernikahan mereka, semuanya ia
bebaskan, salah satunya adalah Zaid bin Haritsah yang kemudian menjadi anak
angkatnya.
Wahyu pertama
Menjelang
usianya yang ke-40, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sering berkhalwat
(menyendiri) ke Gua Hira, sekitar 6 km sebelah timur kota Mekah. Ia bisa
berhari-hari bertafakur dan beribadah disana. Suatu ketika, pada tanggal 17
Ramadhan/6 Agustus 611, ia melihat cahaya terang benderang memenuhi ruangan gua
itu. Tiba-tiba Malaikat Jibril muncul di hadapannya sambil berkata, “Iqra’ (bacalah).” Lalu Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam menjawab, “Mâ
anâ bi qâri’ (saya tidak dapat membaca).” Mendengar jawaban Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam, Jibril lalu memeluk tubuh Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam dengan sangat erat, lalu melepaskannya dan kembali menyuruh
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam membaca. Namun setelah dilakukan sampai 3
kali dan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam tetap memberikan jawaban yang
sama, Malaikat Jibril kemudian menyampaikan wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala
pertama, yang artinya:
Bacalah
dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Menciptakan. Ia menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah yang Paling Pemurah. yang mengajar
(manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.” (QS. 96: 1-5)
Saat
itu Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam berusia 40 tahun 6 bulan 8 hari
menurut perhitungan tahun kamariah (penanggalan berdasarkan bulan), atau 39
tahun 3 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun syamsiah (penanggalan
berdasarkan matahari). Dengan turunnya 5 ayat pertama ini, berarti Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam telah dipilih oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai
rasul.
Setelah
pengalaman luar biasa di Gua Hira tsb, dengan rasa ketakutan dan cemas Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam pulang ke rumah dan berseru pada Khadijah,
“Selimuti aku, selimuti aku.” Sekujur
tubuhnya terasa panas dan dingin berganti-ganti. Setelah lebih tenang, barulah
ia bercerita kepada istrinya. Untuk lebih menenangkan hati suaminya, Khadijah
mengajak Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam datang pada saudara
sepupunya, Waraqah bin Naufal, yang banyak mengetahui kitab-kitab suci Kristen
dan Yahudi. Mendengar cerita yang dialami Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam, Waraqah pun berkata, “Aku telah
bersumpah dengan nama Tuhan, yang dalam tangan-Nya terletak hidup Waraqah,
Tuhan telah memilihmu menjadi nabi kaum ini. An-Nâmûs al-Akbar (Malaikat
Jibril) telah datang kepadamu. Kaummu akan mengatakan bahwa engkau penipu,
mereka akan memusuhimu, dan mereka akan melawanmu. Sungguh, sekiranya aku dapat
hidup pada hari itu, aku akan berjuang membelamu.”
Dakwah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam
Wahyu
berikutnya adalah surat Al-Muddatsir: 1-7, yang artinya:
Hai
orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan
Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah
berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh
(balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah.
(QS. 74: 1-7)
Dengan
turunnya surat Al-Muddatsir ini, mulailah Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam berdakwah. Mula-mula ia melakukannya secara sembunyi-sembunyi di
lingkungan keluarga dan rekan-rekannya. Orang pertama yang menyambut dakwahnya
adalah Khadijah, istrinya. Dialah yang pertama kali masuk Islam. Menyusul
setelah itu adalah Ali bin Abi Thalib, saudara sepupunya yang kala itu baru
berumur 10 tahun, sehingga Ali menjadi lelaki pertama yang masuk Islam.
Kemudian Abu Bakar, sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak. Baru kemudian
diikuti oleh Zaid bin Haritsah, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya,
dan Ummu Aiman, pengasuh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sejak ibunya masih
hidup.
Abu
Bakar sendiri kemudian berhasil mengislamkan beberapa orang teman dekatnya,
seperti, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’d bin Abi
Waqqas, dan Talhah bin Ubaidillah. Dari dakwah yang masih rahasia ini, belasan
orang telah masuk Islam.
Setelah
beberapa lama Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menjalankan dakwah secara
diam-diam, turunlah perintah agar Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menjalankan
dakwah secara terang-terangan. Mula-mula ia mengundang kerabat karibnya dalam
sebuah jamuan. Pada kesempatan itu ia menyampaikan ajarannya. Namun ternyata
hanya sedikit yang menerimanya. Sebagian menolak dengan halus, sebagian menolak
dengan kasar, salah satunya adalah Abu Lahab.
Langkah
dakwah seterusnya diambil Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dalam
pertemuan yang lebih besar. Ia pergi ke Bukit Shafa, sambil berdiri di sana ia
berteriak memanggil orang banyak. Karena Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
adalah orang yang terpercaya, penduduk yakin bahwa pastilah terjadi sesuatu
yang sangat penting, sehingga mereka pun berkumpul di sekitar Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam.
Untuk
menarik perhatian, mula-mula Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam berkata, “Saudara-saudaraku, jika aku berkata, di
belakang bukit ini ada pasukan musuh yang siap menyerang kalian, percayakah
kalian?”
Dengan
serentak mereka menjawab, “Percaya, kami
tahu saudara belum pernah berbohong. Kejujuran saudara tidak ada duanya.
Saudara yang mendapat gelar al-Amin.”
Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
meneruskan, “Kalau demikian,
dengarkanlah. Aku ini adalah seorang nazir (pemberi peringatan). Allah telah
memerintahkanku agar aku memperingatkan saudara-saudara. Hendaknya kamu hanya
menyembah Allah saja. Tidak ada Tuhan selain Allah. Bila saudara ingkar,
saudara akan terkena azabnya dan saudara nanti akan menyesal. Penyesalan
kemudian tidak ada gunanya.”
Tapi
khotbah ini ternyata membuat orang-orang yang berkumpul itu marah, bahkan
sebagian dari mereka ada yang mengejeknya gila. Pada saat itu, Abu Lahab
berteriak, “Celakalah engkau hai
Muhammad. Untuk inikah engkau mengumpulkan kami?”
Sebagai
balasan terhadap ucapan Abu Lahab tsb turunlah ayat Al-Qur’an yang artinya:
Binasalah
kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah
kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke
dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar.
yang di lehernya ada tali dari sabut. (QS. 111: 1-5)
Aksi-aksi menentang Dakwah Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam
Reaksi-reaksi
keras menentang dakwah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam bermunculan, namun
tanpa kenal lelah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam terus melanjutkan
dakwahnya, sehingga hasilnya mulai nyata. Hampir setiap hari ada yang
menggabungkan diri dalam barisan pemeluk agama Islam. Mereka terutama terdiri
dari kaum wanita, budak, pekerja, dan orang-orang miskin serta lemah. Meskipun
sebagian dari mereka adalah orang-orang yang lemah, namun semangat yang
mendorong mereka beriman sangat membaja.
Tantangan
dakwah terberat datang dari para penguasa Mekah, kaum feodal, dan para pemilik
budak. Mereka ingin mempertahankan tradisi lama disamping juga khawatir jika
struktur masyarakat dan kepentingan-kepentingan dagang mereka akan tergoyahkan
oleh ajaran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam yang menekankan pada
keadilan sosial dan persamaan derajat. Mereka menyusun siasat untuk melepaskan
hubungan keluarga antara Abi Thalib dan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam dengen cara meminta pada Abu Thalib memilih satu di antara dua:
memerintahkan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam agar berhenti berdakwah,
atau menyerahkannya kepada mereka. Abi Thalib terpengaruh oleh ancaman itu, ia
meminta agar Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menghentikan dakwahnya.
Tetapi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menolak permintaannya dan berkata, “Demi Allah saya tidak akan berhenti
memperjuangkan amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak
saudara mengucilkan saya.”
Mendengar
jawaban ini, Abi Thalib pun berkata, “Teruskanlah,
demi Allah aku akan terus membelamu”.
Gagal
dengan cara pertama, kaum Quraisy lalu mengutus Walid bin Mugirah menemui Abi
Thalib dengan membawa seorang pemuda untuk dipertukarkan dengan Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam. Pemuda itu bernama Umarah bin Walid, seorang
pemuda yang gagah dan tampan. Walid bin Mugirah berkata, “Ambillah dia menjadi anak saudara, tetapi serahkan kepada kami
Muhammad untuk kami bunuh, karena dia telah menentang kami dan memecah belah
kita”.
Usul Quraisy itu ditolak mentah-mentah oleh
Abi Thalib dengan berkata, “Sungguh jahat
pikiran kalian. Kalian serahkan anak kalian untuk saya asuh dan beri makan, dan
saya serahkan kemenakan saya untuk kalian bunuh. Sungguh suatu penawaran yang
tak mungkin saya terima.”
Kembali
mengalami kegagalan, berikutnya mereka menghadapi Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam secara langsung. Mereka mengutus Utbah bin Rabi’ah, seorang
ahli retorika, untuk membujuk Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Mereka
menawarkan takhta, wanita, dan harta yang mereka kira diinginkan oleh Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam, asal Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam bersedia
menghentikan dakwahannya. Namun semua tawaran itu ditolak oleh Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam dengan mengatakan, “Demi Allah, biarpun mereka meletakkan matahari di tangan kananku, dan
bulan di tangan kiriku, aku tidak akan menghentikan dakwah agama Allah ini,
hingga agama ini memang atau aku binasa karenanya.”
Setelah
gagal dengan cara-cara diplomatik dan bujuk rayu, kaum Quraisy mulai melakukan
tindak kekerasan. Budak-budak mereka yang telah masuk Islam mereka siksa dengan
sangat kejam. Mereka dipukul, dicambuk, dan tidak diberi makan dan minum. Salah
seorang budak bernama Bilal, mendapat siksaan ditelentangkan di atas pasir yang
panas dan di atas dadanya diletakkan batu yang besar dan berat.
Setiap
suku diminta menghukum anggota keluarganya yang masuk Islam sampai ia murtad
kembali. Usman bin Affan misalnya, dikurung dalam kamar gelap dan dipukul
hingga babak belur oleh anggota keluarganya sendiri. Secara keseluruhan, sejak
saat itu umat Islam mendapat siksaan yang pedih dari kaum Quraisy Mekah. Mereka
dilempari kotoran, dihalangi untuk melakukan ibadah di Ka’bah, dan lain
sebagainya.
Kekejaman
terhadap kaum Muslimin mendorong Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
untuk mengungsikan sahabat-sahabatnya keluar dari Mekah. Dengan pertimbangan
yang mendalam, pada tahun ke-5 kerasulannya, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
menetapkan Abessinia atau Habasyah (Ethiopia sekarang) sebagai negeri tempat
pengungsian, karena raja negeri itu adalah seorang yang adil, lapang hati, dan
suka menerima tamu. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam merasa pasti rombongannya
akan diterima dengan tangan terbuka.
Rombongan
pertama terdiri dari 10 orang pria dan 5 orang wanita. di antara rombongan tsb
adalah Usman bin Affan beserta istrinya Ruqayah (putri Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam), Zubair bin Awwam, dan Abdur Rahman bin Auf. Kemudian menyusul
rombongan kedua yang dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib. Beberapa sumber
menyatakan jumlah rombongan ini lebih dari 80 orang.
Berbagai
usaha dilakukan oleh kaum Quraisy untuk menghalangi hijrah ke Habasyah ini,
termasuk membujuk raja negeri tsb agar menolak kehadiran umat Islam disana.
Namun berbagai usaha itu pun gagal. Semakin kejam mereka memperlakukan umat
Islam, justru semakin bertambah jumlah yang memeluk Islam. Bahkan di tengah
meningkatnya kekejaman tsb, dua orang kuat Quraisy masuk Islam, yaitu Hamzah
bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab. Dengan masuk Islamnya dua orang yang
dijuluki “Singa Arab” itu, semakin kuatlah posisi umat Islam dan dakwah Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam pada waktu itu.
Hal
ini membuat reaksi kaum Quraisy semakin keras. Mereka berpendapat bahwa
kekuatan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam terletak pada perlindungan
Bani Hasyim, maka mereka pun berusaha melumpuhkan Bani Hasyim dengan
melaksanakan blokade. Mereka memutuskan segala macam hubungan dengan suku ini.
Tidak seorang pun penduduk Mekah boleh melakukan hubungan dengan Bani Hasyim,
termasuk hubungan jual-beli dan pernikahan. Persetujuan yang mereka buat dalam
bentuk piagam itu mereka tanda-tangani bersama dan mereka gantungkan di dalam
Ka’bah. Akibatnya, Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan, dan
kesengsaraan. Untuk meringankan penderitaan itu, Bani Hasyim akhirnya mengungsi
ke suatu lembah di luar kota Mekah.
Tindakan
pemboikotan yang dimulai pada tahun ke-7 kenabian Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam dan berlangsung selama 3 tahun itu merupakan tindakan yang paling
menyiksa. Pemboikotan itu berhenti karena terdapat beberapa pemimpin Quraisy
yang menyadari bahwa tindakan pemboikotan itu sungguh keterlaluan. Kesadaran
itulah yang mendorong mereka melanggar perjanjian yang mereka buat sendiri.
Dengan demikian Bani Hasyim akhirnya dapat kembali pulang ke rumah
masing-masing.
Setelah
Bani Hasyim kembali ke rumah mereka, Abi Thalib, paman Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam yang merupakan pelindung utamanya, meninggal dunia dalam usia 87
tahun. Tiga hari kemudian, Khadijah, istrinya, juga meninggal dunia. Tahun
ke-10 kenabian ini benar-benar merupakan Tahun Kesedihan (‘Âm al-Huzn) bagi
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Telebih sepeninggal dua pendukungnya
itu, kaum Quraisy tidak segan-segan melampiaskan kebencian kepada Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam. Hingga kemudian Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
berusaha menyebarkan dakwah ke luar kota, yaitu ke Ta’if. Namun reaksi yang
diterima Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dari Bani Saqif (penduduk Ta’if),
tidak jauh berbeda dengan penduduk Mekah. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
diejek, disoraki, dilempari batu sampai ia luka-luka di bagian kepala dan
badannya.
Peristiwa Isra Mi’raj
Pada
tahun ke-10 kenabian, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mengalami
peristiwa Isra Mi’raj.
Isra,
yaitu perjalanan malam hari dari Masjidilharam di Mekah ke Masjidilaksa di Yerusalem.
Mi’raj,
yaitu kenaikan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dari Masjidilaksa ke
langit melalui beberapa tingkatan, terus menuju Baitulmakmur, sidratulmuntaha,
arsy (takhta Tuhan), dan kursi (singgasana Tuhan), hingga menerima wahyu di
hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dalam
kesempatannnya berhadapan langsung dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala inilah Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menerima perintah untuk mendirikan sholat
5 waktu sehari semalam.
Peristiwa
Isra Mi’raj ini terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Isrâ’ ayat 1.
Hijrah
Harapan
baru bagi perkembangan Islam muncul dengan datangnya jemaah haji ke Mekah yang
berasal dari Yatsrib (Madinah). Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
memanfaatkan kesempatan itu untuk menyebarkan agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala
dengan mendatangi kemah-kemah mereka. Namun usaha ini selalu diikuti oleh Abu
Lahab dan kawan-kawannya dengan mendustakan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Suatu
ketika Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam bertemu dengan 6 orang dari suku Aus
dan Khazraj yang berasal dari Yatsrib. Setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
menyampaikan pokok-pokok ajaran Islam, mereka menyatakan diri masuk Islam di
hadapan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Mereka berkata, “Bangsa kami sudah lama terlibat dalam permusuhan, yaitu antara suku
Khazraj dan Aus. Mereka benar-benar merindukan perdamaian. Kiranya kini Tuhan
mempersatukan mereka kembali dengan perantaramu dan ajaran-ajaran yang kamu
bawa. Oleh karena itu kami akan berdakwah agar mereka mengetahui agama yang
kami terima dari kamu ini.”
Pada
musim haji tahun berikutnya, datanglah delegasi Yatsrib yang terdiri dari 12
orang suku Khazraj dan Aus. Mereka menemui Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam di
suatu tempat bernama Aqabah. Di hadapan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam,
mereka menyatakan ikrar kesetiaan. Karena ikrar ini dilakukan di Aqabah, maka
dinamakan Bai’at Aqabah. Rombongan 12 orang tsb kemudian kembali ke Yatsrib
sebagai juru dakwah dengan ditemani oleh Mus’ab bin Umair yang sengaja diutus
oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam atas permintaan mereka.
Pada
musim haji berikutnya, jemaah haji yang datang dari Yatsrib berjumlah 75 orang,
termasuk 12 orang yang sebelumnya telah menemui Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam di Aqabah. Mereka meminta agar Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
bersedia pindah ke Yatsrib. Mereka berjanji akan membela Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam dari segala ancaman. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
menyetujui usul yang mereka ajukan.
Mengetahui
adanya perjanjian antara Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dengan
orang-orang Yatsrib, kaum Quraisy menjadi semakin kejam terhadap kaum muslimin.
Hal ini membuat Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam memerintahkan para sahabatnya
untuk hijrah ke Yatsrib. Secara diam-diam, berangkatlah rombongan-rombongan
muslimin, sedikit demi sedikit, ke Yatsrib. Dalam waktu 2 bulan, kurang lebih
150 kaum muslimin telah berada di Yatsrib. Sementara itu Ali bin Abi Thalib dan
Abu Bakar as-Sidiq tetap tinggal di Mekah bersama Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam, membelanya sampai Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mendapat wahyu
untuk hijrah ke Yatsrib.
Kaum
Quraisy merencanakan untuk membunuh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
sebelum ia sempat menyusul umatnya ke Yatsrib. Pembunuhan itu direncanakan
melibatkan semua suku. Setiap suku diwakili oleh seorang pemudanya yang
terkuat. Rencana pembunuhan itu terdengar oleh Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam, sehingga ia merencanakan hijrah bersama sahabatnya, Abu Bakar. Abu
Bakar diminta mempersiapkan segala hal yang diperlukan dalam perjalanan,
termasuk 2 ekor unta. Sementara Ali bin Abi Thalib diminta untuk menggantikan
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menempati tempat tidurnya agar kaum Quraisy
mengira bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam masih tidur.
Pada
malam hari yang direncanakan, di tengah malam buta Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam keluar dari rumahnya tanpa diketahui oleh para pengepung dari kalangan
kaum Quraisy. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menemui Abu Bakar yang telah
siap menunggu. Mereka berdua keluar dari Mekah menuju sebuah Gua Tsur,
kira-kira 3 mil sebelah selatan Kota Mekah. Mereka bersembunyi di gua itu
selama 3 hari 3 malam menunggu keadaan aman. Pada malam ke-4, setelah usaha
orang Quraisy mulai menurun karena mengira Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
sudah sampai di Yatsrib, keluarlah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan Abu
Bakar dari persembunyiannya. Pada waktu itu Abdullah bin Uraiqit yang
diperintahkan oleh Abu Bakar pun tiba dengan membawa 2 ekor unta yang memang
telah dipersiapkan sebelumnya. Berangkatlah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
bersama Abu Bakar menuju Yatsrib menyusuri pantai Laut Merah, suatu jalan yang
tidak pernah ditempuh orang.
Setelah
7 hari perjalanan, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan Abu Bakar tiba di Quba,
sebuah desa yang jaraknya 5 km dari Yatsrib. Di desa ini mereka beristirahat
selama beberapa hari. Mereka menginap di rumah Kalsum bin Hindun. Di halaman rumah
ini Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam membangun sebuah masjid yang kemudian
terkenal sebagai Masjid Quba.
Inilah masjid pertama yang dibangun Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sebagai
pusat peribadatan.
Tak
lama kemudian, Ali menggabungkan diri dengan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Sementara itu penduduk Yatsrib menunggu-nunggu kedatangannya. Menurut
perhitungan mereka, berdasarkan perhitungan yang lazim ditempuh orang,
seharusnya Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sudah tiba di Yatsrib. Oleh sebab
itu mereka pergi ke tempat-tempat yang tinggi, memandang ke arah Quba,
menantikan dan menyongsong kedatangan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan
rombongan. Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Dengan perasaan
bahagia, mereka mengelu-elukan kedatangan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Mereka berbaris di sepanjang jalan dan menyanyikan lagu Thala’ al-Badru, yang
isinya:
Telah
tiba bulan purnama, dari Saniyyah al-Wadâ’i (celah-celah bukit).
Kami
wajib bersyukur, selama ada orang yang menyeru kepada Ilahi,
Wahai
orang yang diutus kepada kami,
engkau
telah membawa sesuatu yang harus kami taati.
Setiap
orang ingin agar Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam singgah dan menginap di
rumahnya. Tetapi Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam hanya berkata, “Aku akan menginap dimana untaku berhenti.
Biarkanlah dia berjalan sekehendak hatinya.”
Ternyata
unta itu berhenti di tanah milik dua anak yatim, yaitu Sahal dan Suhail, di
depan rumah milik Abu Ayyub al-Anshari. Dengan demikian Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam memilih rumah Abu Ayyub sebagai tempat menginap sementara. Tujuh bulan
lamanya Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam tinggal di rumah Abu Ayyub, sementara
kaum Muslimin bergotong-royong membangun rumah untuknya.
Sejak
itu nama kota Yatsrib diubah menjadi Madînah an-Nabî (kota nabi). Orang sering
pula menyebutnya Madînah al-Munawwarah (kota yang bercahaya), karena dari
sanalah sinar Islam memancar ke seluruh dunia.
Terbentuknya Negara Madinah
Setelah
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam tiba di Madinah dan diterima penduduk Madinah,
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menjadi pemimpin penduduk kota itu. Ia segera
meletakkan dasar-dasar kehidupan yang kokoh bagi pembentukan suatu masyarakat
baru.
Dasar
pertama yang ditegakkannya adalah Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan di dalam
Islam), yaitu antara kaum Muhajirin (orang-orang yang hijrah dari Mekah ke
Madinah) dan Anshar (penduduk Madinah yang masuk Islam dan ikut membantu kaum
Muhajirin). Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mempersaudarakan individu-individu
dari golongan Muhajirin dengan individu-individu dari golongan Anshar.
Misalnya, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mempersaudarakan Abu Bakar dengan
Kharijah bin Zaid, Ja’far bin Abi Thalib dengan Mu’az bin Jabal. Dengan
demikian diharapkan masing-masing orang akan terikat dalam suatu persaudaraan
dan kekeluargaan. Dengan persaudaraan yang semacam ini pula, Rasulullah telah
menciptakan suatu persaudaraan baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama,
menggantikan persaudaraan berdasarkan keturunan.
Dasar
kedua adalah sarana terpenting untuk mewujudkan rasa persaudaraan tsb, yaitu
tempat pertemuan. Sarana yang dimaksud adalah masjid, tempat untuk melakukan
ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala secara berjamaah, yang juga dapat
digunakan sebagai pusat kegiatan untuk berbagai hal, seperti belajar-mengajar,
mengadili perkara-perkara yang muncul dalam masyarakat, musyawarah, dan
transaksi dagang.
Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam merencanakan pembangunan masjid itu dan langsung
ikut membangun bersama-sama kaum muslimin. Masjid yang dibangun ini kemudian
dikenal sebagai Masjid Nabawi. Ukurannya cukup besar, dibangun di atas sebidang
tanah dekat rumah Abu Ayyub al-Anshari. Dindingnya terbuat dari tanah liat,
sedangkan atapnya dari daun-daun dan pelepah kurma. Di dekat masjid itu
dibangun pula tempat tinggal Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan keluarganya.
Dasar
ketiga adalah hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama
Islam. Di Madinah, disamping orang-orang Arab Islam juga masih terdapat
golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek
moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka.
Perjanjian tsb diwujudkan melalui sebuah piagam yang disebut dengan Mîsâq
Madînah atau Piagam Madinah. Isi piagam itu antara lain mengenai kebebasan
beragama, hak dan kewajiban masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban
negerinya, kehidupan sosial, persamaan derajat, dan disebutkan bahwa Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam menjadi kepala pemerintahan di Madinah.
Masyarakat
yang dibentuk oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam di Madinah setelah
hijrah itu sudah dapat dikatakan sebagai sebuah negara, dengan Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam sebagai kepala negaranya. Dengan terbentuknya
Negara Madinah, Islam makin bertambah kuat. Perkembangan Islam yang pesat itu
membuat orang-orang Mekah menjadi resah. Mereka takut kalau-kalau umat Islam
memukul mereka dan membalas kekejaman yang pernah mereka lakukan. Mereka juga
khawatir kafilah dagang mereka ke Suriah akan diganggu atau dikuasai oleh kaum
muslimin.
Untuk
memperkokoh dan mempertahankan keberadaan negara yang baru didirikan itu, Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam mengadakan beberapa ekspedisi ke luar kota, baik
langsung di bawah pimpinannya maupun tidak. Hamzah bin Abdul Muttalib membawa
30 orang berpatroli ke pesisir L. Merah. Ubaidah bin Haris membawa 60 orang
menuju Wadi Rabiah. Sa’ad bin Abi Waqqas ke Hedzjaz dengan 8 orang Muhajirin.
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sendiri membawa pasukan ke Abwa dan disana berhasil
mengikat perjanjian dengan Bani Damra, kemudian ke Buwat dengan membawa 200
orang Muhajirin dan Anshar, dan ke Usyairiah. Di sini Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam mengadakan perjanjian dengan Bani Mudij.
Ekspedisi-ekspedisi
tsb sengaja digerakkan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sebagai aksi-aksi siaga
dan melatih kemampuan calon pasukan yang memang mutlak diperlukan untuk
melindungi dan mempertahankan negara yang baru dibentuk. Perjanjian perdamaian
dengan kabilah dimaksudkan sebagai usaha memperkuat kedudukan Madinah.
Perang Badr
Perang
Badr yang merupakan perang antara kaum muslimin Madinah dan kaun musyrikin
Quraisy Mekah terjadi pada tahun 2 H. Perang ini merupakan puncak dari
serangkaian pertikaian yang terjadi antara pihak kaum muslimin Madinah dan kaum
musyrikin Quraisy. Perang ini berkobar setelah berbagai upaya perdamaian yang
dilaksanakan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam gagal.
Tentara
muslimin Madinah terdiri dari 313 orang dengan perlengkapan senjata sederhana
yang terdiri dari pedang, tombak, dan panah. Berkat kepemimpinan Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam dan semangat pasukan yang membaja, kaum muslimin
keluar sebagai pemenang. Abu Jahal, panglima perang pihak pasukan Quraisy dan
musuh utama Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sejak awal, tewas dalam
perang itu. Sebanyak 70 tewas dari pihak Quraisy, dan 70 orang lainnya menjadi
tawanan. Di pihak kaum muslimin, hanya 14 yang gugur sebagai syuhada.
Kemenangan itu sungguh merupakan pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala (QS. 3:
123).
Orang-orang
Yahudi Madinah tidak senang dengan kemenangan kaum muslimin. Mereka memang
tidak pernah sepenuh hati menerima perjanjian yang dibuat antara mereka dan
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dalam Piagam Madinah.
Sementara
itu, dalam menangani persoalan tawanan perang, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam memutuskan untuk membebaskan para tawanan dengan tebusan sesuai
kemampuan masing-masing. Tawanan yang pandai membaca dan menulis dibebaskan
bila bersedia mengajari orang-orang Islam yang masih buta aksara. Namun tawanan
yang tidak memiliki kekayaan dan kepandaian apa-apa pun tetap dibebaskan juga.
Tidak
lama setelah perang Badr, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mengadakan
perjanjian dengan suku Badui yang kuat. Mereka ingin menjalin hubungan dengan
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam karenan melihat kekuatan Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam. Tetapi ternyata suku-suku itu hanya memuja kekuatan semata.
Sesudah
perang Badr, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam juga menyerang Bani Qainuqa, suku
Yahudi Madinah yang berkomplot dengan orang-orang Mekah. Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam lalu mengusir kaum Yahudi itu ke Suriah.
Perang Uhud
Perang
yang terjadi di Bukit Uhud ini berlangsung pada tahun 3 H. Perang ini
disebabkan karena keinginan balas dendam orang-orang Quraisy Mekah yang kalah
dalam perang Badr.
Pasukan Quraisy, dengan dibantu oleh kabilah
Tihama dan Kinanah, membawa 3.000 ekor unta dan 200 pasukan berkuda di bawah
pimpinan Khalid bin Walid.
Tujuh ratus orang di antara mereka memakai baju besi.
Adapun
jumlah pasukan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam hanya berjumlah 700
orang.
Perang
pun berkobar. Prajurit-prajurit Islam dapat memukul mundur pasukan musuh yang
jauh lebih besar itu. Tentara Quraisy mulai mundur dan kocar-kacir meninggalkan
harta mereka.
Melihat kemenangan yang sudah di ambang pintu,
pasukan pemanah yang ditempatkan oleh Rasulullah di puncak bukit meninggalkan
pos mereka dan turun untuk mengambil harta peninggalan musuh. Mereka lupa akan
pesan Rasulullah untuk tidak meninggalkan pos mereka dalam keadaan bagaimana
pun sebelum diperintahkan. Mereka tidak lagi menghiraukan gerakan musuh.
Situasi ini dimanfaatkan musuh untuk segera melancarkan serangan balik. Tanpa
konsentrasi penuh, pasukan Islam tak mampu menangkis serangan. Mereka terjepit,
dan satu per satu pahlawan Islam berguguran.
Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam sendiri terkena serangan musuh. Sisa-sisa pasukan
Islam diselamatkan oleh berita tidak benar yang diterima musuh bahwa Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam sudah meninggal. Berita ini membuat mereka
mengendurkan serangan untuk kemudian mengakhiri pertempuran itu.
Perang
Uhuh ini menyebabkan 70 orang pejuang Islam gugur sebagai syuhada.
Perang Khandaq
Perang
yang terjadi pada tahun 5 H ini merupakan perang antara kaum muslimin Madinah
melawan masyarakat Yahudi Madinah yang mengungsi ke Khaibar yang bersekutu
dengan masyarakat Mekah. Karena itu perang ini juga disebut sebagai Perang
Ahzab (sekutu beberapa suku).
Pasukan gabungan ini terdiri dari 10.000 orang
tentara. Salman al-Farisi, sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam,
mengusulkan agar kaum muslimin membuat parit pertahanan di bagian-bagian kota
yang terbuka. Karena itulah perang ini disebut sebagai Perang Khandaq yang
berarti parit.
Tentara
sekutu yang tertahan oleh parit tsb mengepung Madinah dengan mendirikan
perkemahan di luar parit hampir sebulan lamanya. Pengepungan ini cukup membuat
masyarakat Madinah menderita karena hubungan mereka dengan dunia luar menjadi
terputus. Suasana kritis itu diperparah pula oleh pengkhianatan orang-orang
Yahudi Madinah, yaitu Bani Quraizah, dibawah pimpinan Ka’ab bin Asad.
Namun
akhirnya pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyelamatkan kaum muslimin.
Setelah sebulan mengadakan pengepungan, persediaan makanan pihak sekutu
berkurang. Sementara itu pada malam hari angin dan badai turun dengan amat
kencang, menghantam dan menerbangkan kemah-kemah dan seluruh perlengkapan
tentara sekutu. Sehingga mereka terpaksa menghentikan pengepungan dan kembali
ke negeri masing-masing tanpa suatu hasil.
Para
pengkhianat Yahudi dari Bani Quraizah dijatuhi hukuman mati.
Hal
ini dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzâb: 25-26.
Perjanjian Hudaibiyah
Pada
tahun 6 H, ketika ibadah haji sudah disyariatkan, hasrat kaum muslimin untuk
mengunjungi Mekah sangat bergelora. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam memimpin
langsung sekitar 1.400 orang kaum muslimin berangkat umrah pada bulan suci
Ramadhan, bulan yang dilarang adanya perang. Untuk itu mereka mengenakan
pakaian ihram dan membawa senjata ala kadarnya untuk menjaga diri, bukan untuk
berperang.
Sebelum
tiba di Mekah, mereka berkemah di Hudaibiyah yang terletak beberapa kilometer
dari Mekah.
Orang-orang kafir Quraisy melarang kaum
muslimin masuk ke Mekah dengan menempatkan sejumlah besar tentara untuk
berjaga-jaga.
Akhirnya
diadakanlah Perjanjian Hudaibiyah antara Madinah dan Mekah, yang isinya antara
lain:
Kedua
belah pihak setuju untuk melakukan gencatan senjata selama 10 tahun.
Bila
ada pihak Quraisy yang menyeberang ke pihak Muhammad, ia harus dikembalikan.
Tetapi bila ada pengikut Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam yang menyeberang
ke pihak Quraisy, pihak Quraisy tidak harus mengembalikannya ke pihak Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam.
Tiap
kabilah bebas melakukan perjanjian baik dengan pihak Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam maupun dengan pihak Quraisy.
Kaum
muslimin belum boleh mengunjungi Ka’bah pada tahun tsb, tetapi ditangguhkan
sampai tahun berikutnya.
Jika
tahun depan kaum muslimin memasuki kota Mekah, orang Quraisy harus keluar lebih
dulu.
Kaum
muslimin memasuki kota Mekah dengan tidak diizinkan membawa senjata, kecuali
pedang di dalam sarungnya, dan tidak boleh tinggal di Mekah lebih dari 3 hari 3
malam.
Tujuan
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam membuat perjanjian tsb sebenarnya adalah
berusaha merebut dan menguasai Mekah, untuk kemudian dari sana menyiarkan Islam
ke daerah-daerah lain.
Ada 2 faktor utama yang mendorong
kebijaksanaan ini:
Mekah
adalah pusat keagamaan bangsa Arab, sehingga dengan melalui konsolidasi bangsa
Arab dalam Islam, diharapkan Islam dapat tersebar ke luar.
Apabila
suku Quraisy dapat diislamkan, maka Islam akan memperoleh dukungan yang besar,
karena orang-orang Quraisy mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar di
kalangan bangsa Arab.
Setahun
kemudian ibadah haji ditunaikan sesuai perjanjian. Banyak orang Quraisy yang
masuk Islam setelah menyaksikan ibadah haji yang dilakukan kaum muslimin,
disamping juga melihat kemajuan yang dicapai oleh masyarakat Islam Madinah.
Penyebaran Islam ke negeri-negeri lain
Gencatan
senjata dengan penduduk Mekah memberi kesempatan kepada Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam untuk mengalihkan perhatian ke berbagai negeri-negeri lain sambil
memikirkan bagaimana cara mengislamkan mereka. Salah satu cara yang ditempuh
oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam kemudian adalah dengan mengirim utusan
dan surat ke berbagai kepala negara dan pemerintahan.
di
antara raja-raja yang dikirimi surat oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
adalah raja Gassan dari Iran, raja Mesir, Abessinia, Persia, dan Romawi. Memang
dengan cara itu tidak ada raja-raja yang masuk Islam, namun setidaknya risalah
Islam sudah sampai kepada mereka. Reaksi para raja itu pun ada yang menolak
dengan baik dan simpatik sambil memberikan hadiah, ada pula yang menolak dengan
kasar.
Raja
Gassan termasuk yang menolak dengan kasar. Utusan yang dikirim Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam dibunuhnya dengan kejam. Sebagai jawaban, Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam kemudian mengirim pasukan perang sebanyak 3.000 orang dibawah
pimpinan Zaid bin Haritsah. Peperangan terjadi di Mu’tah, sebelah utara
Semenanjung Arab.
Pasukan
Islam mendapat kesulitan menghadapi tentara Gassan yang mendapat bantuan
langsung dari Romawi. Beberapa syuhada gugur dalam pertempuran melawan pasukan
berkekuatan ratusan ribu orang itu. di antara mereka yang gugur adalah Zaid bin
Haritsah sendiri, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Abi Rawahah.
Melihat
kekuatan yang tidak seimbang itu, Khalid bin Walid,
bekas panglima Quraisy yang sudah masuk Islam, mengambil alih komando dan
memerintahkan pasukan Islam menarik diri dan kembali ke Madinah.
Perang
melawan tentara Gassan dan pasukan Romawi ini disebut dengan Perang Mu’tah.
Kembali ke Mekah
Selama
2 tahun Perjanjian Hudaibiyah, dakwah Islam sudah menjangkau Semenanjung Arab
dan mendapat tanggapan yang positif. Hampir seluruh Semenanjung Arab, termasuk
suku-suku yang paling selatan, telah menggabungkan diri ke dalam Islam. Hal ini
membuat orang-orang Mekah merasa terpojok. Perjanjian Hudaibiyah ternyata telah
menjadi senjata bagi umat Islam untuk memperkuat dirinya. Oleh karena itu
secara sepihak orang-orang Quraisy membatalkan perjanjian tsb. Mereka menyerang
Bani Khuza’ah yang berada di bawah perlindungan Islam hanya karena kabilah ini
berselisih dengan Bani Bakar yang menjadi sekutu Quraisy. Sejumlah orang
Kuza’ah mereka bunuh dan sebagian lainnya dicerai-beraikan. Bani Khuza’ah
segera mengadu pada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dan meminta
keadilan.
Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam segera bertolak dengan 10.000 orang tentara untuk
melawan kaum musyrik Mekah itu. Kecuali perlawanan kecil dari kaum Ikrimah dan
Safwan, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam tidak mengalami kesukaran
memasuki kota Mekah. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam memasuki kota itu sebagai
pemenang. Pasukan Islam memasuki kota Mekah tanpa kekerasan. Mereka kemudian
menghancurkan patung-patung berhala di seluruh negeri. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman:
“…Kebenaran
sudah datang dan yang bathil telah lenyap. Sesungguhnya yang bathil itu adalah
sesuatu yang pasti lenyap.”(QS. 17: 81)
Setelah
melenyapkan berhala-berhala itu, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam berkhotbah
menjanjikan ampunan bagi orang-orang Quraisy. Setelah khotbah tsb,
berbondong-bondong mereka datang dan masuk Islam. Ka’bah bersih dari berhala
dan tradisi-tradisi serta kebiasaan-kebiasaan musyrik.
Sejak
itu, Mekah kembali berada di bawah kekuasaan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Setelah
Mekah dapat dikalahkan, masih terdapat suku-suku Arab yang menentang, yaitu
Bani Saqif, Bani Hawazin, Bani Nasr, dan Bani Jusyam. Suku-suku ini berkomplot
membentuk satu pasukan untuk memerangi Islam karena ingin menuntut bela atas berhala-berhala
mereka yang diruntuhkan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan umat Islam di
Ka’bah. Pasukan mereka dipimpin oleh Malik bin Auf (dari Bani Nasr).
Dalam
perjalanan mereka ke Mekah, mereka berkemah di Lembah Hunain yang sangat
strategis.
Kurang
lebih 2 minggu kemudian, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam memimpin sekitar
12.000 tentara menuju Hunain. Saat melihat banyak pasukan Islam yang gugur,
sebagian pasukan yang masih hidup menjadi goyah dan kacau balau, sehingga Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam kemudian memberi semangat dan memimpin langsung
peperangan tsb. Akhirnya umat Islam berhasil menang. Pasukan musuh yang
melarikan diri ke Ta’if terus diburu selama beberap minggu sampai akhirnya
mereka menyerah. Pemimpin mereka, Malik bin Auf, menyatakan diri masuk Islam.
Dengan
ditaklukannya Bani Saqif dan Bani Hawazin, kini seluruh Semenanjung Arab berada
di bawah satu kepemimpinan, yaitu kepemimpinan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam. Melihat kenyataan itu, Heraclius, pemimpin Romawi, menyusun pasukan
besar di Suriah, kawasan utara Semenanjung Arab yang merupakan daerah
pendudukan Romawi. Dalam pasukan besar itu bergabung Bani Gassan dan Bani
Lachmides.
Dalam
masa panen dan pada musim yang sangat panas, banyak pahlawan Islam yang
menyediakan diri untuk berperang bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Pasukan Romawi kemudian menarik diri setelah melihat betapa besarnya pasukan
yang dipimpin Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam sendiri tidak melakukan pengejaran, melainkan ia berkemah di Tabuk.
Disini Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam membuat beberapa perjanjian dengan
penduduk setempat. Dengan demikian daerah perbatasan itu dapat dirangkul ke
dalam barisan Islam.
Perang
yang terjadi di Tabuk ini merupakan perang terakhir yang diikuti Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam.
Pada
tahun 9 dan 10 H banyak suku dari seluruh pelosok Arab yang mengutus
delegasinya kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam untuk menyatakan
tunduk kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Masuknya orang Mekah ke dalam
agama Islam mempunyai pengaruh yang amat besar pada penduduk Arab. Oleh karena
itu, tahun ini disebut dengan Tahun Perutusan atau ‘Âm al-Bi’sah. Mereka yang
datang ke Mekah, rombongan demi rombongan, mempelajari ajaran-ajaran Islam dan
setelah itu kembali ke negeri masing-masing untuk mengajarkan kepada kaumnya.
Dengan cara ini, persatuan Arab terbentuk. Peperangan antar suku yang
berlangsung selama ini berubah menjadi persaudaraan agama. Pada saat itu
turunlah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Apabila
telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk
agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu
dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.
(QS. 110: 1-3)
Kini
apa yang ditugaskan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sudah
tercapai.
Di tengah-tengah suatu bangsa yang tenggelam
dalam kebiadaban, telah lahir seorang nabi.
Ia telah berhasil membacakan ayat-ayat Allah
Subhanahu Wa Ta’ala kepada mereka dan mensucikannya serta mengajarkan kitab dan
hikmah kepada mereka, padahal sebelumnya mereka berada dalam kegelapan yang
pekat.
Pada
awalnya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mendapati mereka bergelimang
dalam ketakhyulan yang merendahkan derajat manusia, lalu ia mengilhami mereka
dengan kepercayaan kepada satu-satunya Tuhan yang Maha Besar dan Maha Kasih
Sayang.
Saat mereka bercerai-berai dan terlibat dalam
peperangan yang seolah tak ada habisnya, dipersatukannya mereka dalam ikatan
persaudaraan.
Kalau
sebelumnya Semenanjung Arab berada dalam kegelapan rohani, maka ia datang
membawa cahaya terang-benderang untuk menyinari rohani mereka.
Pekerjaannya
selesai sudah, dan seluruhnya dikerjakan dengan baik semasa hidupnya.
Disinilah letak keunggulan Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam dibanding dengan nabi-nabi yang lain.
Ibadah haji terakhir
Pada
tahun 10 H, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mengerjakan ibadah haji yang
terakhir, yang disebut juga dengan haji wada’.
Pada
tanggal 25 Zulkaidah 10/23 Februari 632 Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam
meninggalkan Madinah. Sekitar seratus ribu jemaah turut menunaikan ibadah haji
bersamanya.
Pada
waktu wukuf di Arafah, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menyampaikan
khotbahnya yang sangat bersejarah. Isi khotbah itu antara lain:
larangan
menumpahkan darah kecuali dengan haq (benar) dan mengambil harta orang lain
dengan bathil (salah), karena nyawa dan harta benda adalah suci.
larangan
riba dan larangan menganiaya
perintah
untuk memperlakukan para istri dengan baik serta lemah lembut
perintah
menjauhi dosa
semua
pertengkaran di antara mereka di zaman Jahiliah harus dimaafkan
pembalasan
dengan tebusan darah sebagaimana yang berlaku di zaman Jahiliyah tidak lagi
dibenarkan
persaudaraan
dan persamaan di antara manusia harus ditegakkan
hamba
sahaya harus diperlakukan dengan baik, yaitu mereka memakan apa yang dimakan
majikannya dan memakai apa yang dipakai majikannya
dan
yang terpenting, bahwa umat Islam harus selalu berpegang teguh pada dua sumber
yang tak akan pernah usang, yaitu Al-Qur’an dan Sunah Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam.
Setelah
itu Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam bertanya kepada seluruh jemaah, “Sudahkan aku menyampaikan amanat Allah,
kewajibanku, kepada kamu sekalian?”
Jemaah yang ada di hadapannya segera menjawab,
“Ya, memang demikian adanya.”
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
kemudian menengadah ke langit sambil mengucapkan, “Ya Allah, Engkaulah menjadi saksiku.”
Dengan kata-kata seperti itu Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam mengakhiri khotbahnya.
Kembali ke Madinah
Setelah
upacara haji yang lain disempurnakan, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
kembali ke Madinah. Disinilah ia menghabiskan sisa hidupnya. Ia mengatur
organisasi masyarakat di kabilah-kabilah yang telah memeluk Islam dan menjadi
bagian dari persekutuan Islam. Petugas keamanan dan para da’i dikirimnya ke
berbagai daerah untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam, mengatur peradilan
Islam, dan memungut zakat. Salah seorang di antara petugas itu adalah Mu’az bin
Jabal yang dikirim oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam ke Yaman. Ketika
itulah hadist Mu’az yang terkenal muncul, yaitu perintah Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam agar Mu’az menggunakan pertimbangan akalnya dalam mengatur
persoalan-persoalan agama apabila ia tidak menemukan petunjuk dalam Al-Qur’an
dan hadist Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Pada
saat-saat itu pula wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang terakhir turun:
“…
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nimat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu …” (QS. 5: 3)
Mendengar
ayat ini, banyak orang yang bergembira karena telah sempurna agama mereka,
tetapi ada pula yang menangis, seperti Abu Bakar, karena mengetahui bahwa ayat
itu jelas merupakan pertanda berakhirnya tugas Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam.
Wafatnya Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam
Dua
bulan setelah menunaikan ibadah haji wada’ di Madinah, Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam sakit demam. Meskipun badannya mulai lemah, ia tetap memimpin shalat
berjamaah. Baru setelah kondisinya tidak memungkinkan lagi, yaitu 3 hari
menjelang wafatnya, ia tidak mengimami shalat berjamaah. Sebagai gantinya ia
menunjuk Abu Bakar sebagai imam shalat. Tenaganya dengan cepat semakin
berkurang.
Pada
tanggal 13 Rabiulawal 11/8 Juni 632, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar,
dengan wasiat terakhir, “Ingatlah shalat,
dan taubatlah…”.
Ummul Mukminin
Setelah
Khadijah meninggal, Nabi Muhammad menikah lagi sebanyak 10 kali, sehingga
jumlah wanita yang menjadi istrinya ada 11 orang. Kesebelas wanita ini disebut
sebagai Ummul Mukminin (ibu dari orang-orang yang beriman). Sebutan tsb
menunjukkan bahwa para istri Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam adalah
wanita-wanita yang terpilih dan dimuliakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam menikahi para wanita itu karena beberapa alasan,
antara lain untuk melindungi mereka dari tekanan kaum musyrikin, membebaskannya
dari status tawanan perang, dan mengangkat derajatnya. Tidak jarang pernihakan
yang dilakukan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menciptakan hubungan perdamaian
antara dua suku yang sebelumnya saling bermusuhan.
Para
Ummul Mukminin itu adalah:
Khadijah
binti Khuwailid
Sa’udah
binti Zam’ah
Aisyah
binti Abu Bakar as-Sidiq
Zainab
binti Huzaimah bin Abdullah bin Umar
Juwairiyah
binti Haris
Sofiyah
binti Hay bin Akhtab
Hindun
binti Abi Umaiyah bin Mugirah bin Abdullah bin Amr bin Mahzum
Ramlah
binti Abu Sufyan
Hafsah
binti Umar bin Khattab
Zainab
binti Jahsy bin Ri’ah bin Ja’mur bin Sabrah bin Murrah
Maimunah
binti Haris
Tidak ada komentar :
Posting Komentar