Cerita Nabi Musa a.s.
Nabi Musa Alaihissalam diutus
untuk berdakwah di negeri Mesir, dan mengajak Bani Israil menyembah Allah
Subhanahu Wa Ta’ala. Musa dan Harun adalah keturunan ke-4 dari Nabi Ya’qubAlaihissalam yang tinggal di Mesir sejak Nabi Yusuf berkuasa disana.
Mesir
saat itu dikuasai oleh Fir’aun. Penduduknya terdiri dari 2 bangsa, yaitu
penduduk asli Mesir yang disebut sebagai orang Qubti, dan orang Israil, yaitu
keturunan Nabi Ya’qub Alaihissalam.
Kebanyakan
orang Qubti menduduki jabatan-jabatan tinggi, sedang orang Israil hanya
berkedudukan rendah, seperti buruh, pelayan dan pesuruh.
Firaun
memerintah dengan tangan besi. Ia diktator bengis yang tidak berperi
kemanusiaan. Mabuk dan rakus kekuasaan, sampai-sampai ia berani menyebut
dirinya sebagai Tuhan.
Kekejaman Fir’aun membunuh bayi
laki-laki
Suatu
ketika, Fir’aun bermimpi, yang oleh dukun peramalnya mimpi itu diartikan dengan
akan lahirnya seorang bayi laki-laki dari Bani Israil yang akan merampas
kekuasaan raja. Seketika itu Fir’aun menginstruksikan seluruh pasukannya untuk
membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir.
Ibu
Musa, Yukabad, istri Imron bin Qahat bin Lewi bin Ya’qub Alaihissalam, merasa
sangat gelisah karena begitu ketatnya penyelidikan para petugas. Suatu ketika
ibu Musa mendapat petunjuk melalui mimpinya agar anaknya yang berusia 3 bulan
dimasukkan ke dalam kotak lalu dihanyutkan ke sungai Nil. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala menjamin bahwa bayinya pasti akan selamat, bahkan Yukabad kelak tetap
akan dapat merawatnya.
Isyarat
itu dilaksanakan dengan penuh ketabahan dan tawakal. Kakak Musa diperintahkan
untuk mengikuti kemana peti itu hanyut dan di tangan siapakah Musa nanti
ditemukan. Kotak yang berisi bayi itu tiba-tiba tersangkut di pohon dan
berhenti di belakang rumah Fir’aun. Puteri Fir’aun menemukan peti tsb, dan ia
adalah seorang yang berpenyakit belang. Ketika menyentuh Musa, mendadak
penyakitnya sembuh. Dengan perasaan gembira ia membawa peti itu kepada Asiah,
istri Fir’aun, dan memberitahu apa yang telah terjadi. Asiah mengambil bayi itu
dan berniat untuk memeliharanya.
Asiah
adalah seorang yang beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Namun lantaran
takut oleh kekejaman Fir’aun, ia menyembunyikan keimanannya. Ketika itu Fir’aun
mendengar adanya wanita cantik bernama Asiah, dan ia pun menikahinya. Namun
tatkala ia hendak menggauli istrinya itu, seluruh badannya tiba-tiba menjadi
kaku sehingga ia pun tidak bisa mendekatinya, hanya bisa memandangnya.
Fir’aun
merasa curiga terhadap bayi yang ditemukan istrinya, tetapi Asiah tetap
bersikeras untuk memeliharanya karena ia sudah lama mendambakan anak. Bayi itu
oleh Asiah diberi nama Musa, yang artinya air dan pohon (mu = air, sa = pohon).
di
antara sejumlah inang pengasuh pilihan Asiah, bayi Musa hanya mau menyusu pada
Yukabad, sehingga Asiah akhirnya menerima Yukabad sebagai inang pengasuh Musa.
Dengan demikian janji Allah Subhanahu Wa Ta’ala bahwa Yukabad tetap akan
mendapatkan kembali bayinya terpenuhi.
Kisah
ini dapat ditemui dalam surat Al-Qasas: 4-13.
Musa meninggalkan Mesir
Setelah
selesai masa penyusuan bersama ibunya, Musa dikembalikan lagi ke istana
Fir’aun. Ia dipelihara sebagaimana anak-anak raja yang lain. Berpakaian seperti
Fir’aun, mengendarai kendaraan Fir’aun, sehingga ia dikenal sebagai Pangeran
Musa bin Fir’aun.
Walaupun
dididik dalam tradisi istana, sejak kecil Musa memahami bahwa ia bukan anak
Fir’aun melainkan keturunan Bani Israil yang tertindas. Karena prihatin
terhadap nasib rakyat yang dianiaya oleh keluarga raja dan para pembesar
kerajaan, Musa bertekad untuk membela kaumnya yang lemah.
Suatu
saat tindakan Musa membela seorang anggota kaumnya yang berkelahi melawan
seorang dari golongan Fir’aun menyebabkan yang terakhir ini tewas. Seorang
saksi yang melihat kejadian itu lalu melaporkan pada Fir’aun. Mengetahui bahwa
Musa membela orang Israil, Fir’aun segera memerintahkan orang untuk menangkap
Musa. Akhirnya Musa melarikan diri dan memutuskan untuk meninggalkan Mesir. Ia
bertaubat dan memohon ampun kepada Allah. Saat itu ia berusia 18 tahun.
Kisah
ini terdapat dalam surat Al-Qasas: 14-21.
Musa
pergi ke Madyan, kota tempat tinggal Nabi Syu’aib Alaihissalam. Dari Mesir ke
Madyan harus ditempuh berjalan kaki selama 8 hari. Karena kelelahan dan merasa
lapar, Musa beristirahat di bawah pepohonan. Tak jauh dari tempatnya
beristirahat, ia melihat dua orang gadis berusaha berebut untuk mendapatkan air
di sumur guna memberi minum ternak yang mereka gembalakan. Kedua gadis itu
berebutan dengan sekelompok pria-pria kasar yang tampak tidak mau mengalah.
Melihat
itu, Musa segera bergerak menolong kedua gadis tsb. Laki-laki kasar tadi
mencoba melawan Musa, tapi Musa dapat mengalahkan mereka.
Musa menikah
Kedua
gadis ini tak lain adalah putri-putri Nabi Syu’aib Alaihissalam. Mereka lalu
melaporkan kejadian yang telah dialami bersama Musa kepada ayah mereka. Syu’aib
lalu menyuruh kedua putrinya untuk mengundang Musa datang ke rumah mereka.
Musa
memenuhi undangan itu. Keluarga Syu’aib sangat senang melihat Musa. Sikapnya
sopan dan tampak sekali ia seorang pemuda bermartabat dari kalangan bangsawan.
Kepada Syu’aib, Musa menceritakan peristiwa pembunuhan yang telah dilakukannya,
yang menyebabkan ia terusir dari Mesir. Syu’aib menyarankan agar ia tetap
tinggal di rumahnya agar terhindar dari kejaran orang-orang Fir’aun.
Syu’aib
bermaksud menikahkan Musa dengan salah seorang putrinya. Sebagai syarat mas
kawin, Musa diminta bekerja menggembalakan ternak-ternak milik Nabi Syu’aib
selama 8 tahun. Musa menyanggupi syarat tsb, bahkan ia menggenapkan masa
kerjanya menjadi 10 tahun. Ia menjalani pekerjaannya dengan sabar. Selama itu,
nampaklah oleh keluarga Syu’aib bahwa Musa adalah pemuda yang kuat, perkasa,
jujur dan dapat diandalkan. Tak salah jika Nabi Syu’aib mengambilnya sebagai
menantu.
Musa
sangat bahagia hidup bersama istrinya. Nabi Syu’aib juga lega karena anaknya
mendapat pelindung yang dapat dipercaya.
Kisah
tentang hal ini terdapat dalam surat Al-Qasas: 22-28.
Musa kembali ke Mesir
Sepuluh
tahun setelah meninggalkan Mesir, Musa berniat kembali ke sana bersama
istrinya. Musa sadar, tidak mustahil bahwa orang-orang Mesir masih akan
mencarinya, oleh sebab itu ia dan istrinya tidak berani melalui jalan biasa
melainkan memilih jalan memutar.
Sampai
suatu malam, mereka tersesat tak tahu arah mana yang harus ditempuh untuk
meneruskan perjalanan ke Mesir. Saat itulah Musa melihat ada cahaya api terang
benderang di atas sebuah bukit. Musa berkata kepada istrinya, “Tunggu disini, aku akan mengambil api itu
untuk menerangi jalan kita.”
Tatkala
Musa menghampiri api tsb, tiba-tiba terdengar suara menyeru, “Hai Musa! Aku ini adalah Tuhanmu, maka
tanggalkanlah kedua terompahmu. Sesungguhnya kamu berada di lembah suci Thuwa.
Dan aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan
kepadamu. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah. Tiada Tuhan selain Aku, maka
sembahlah Aku, dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku.”
Inilah
wahyu pertama yang diterima langsung oleh Nabi Musa Alaihissalam. Dengan
diterimanya wahyu ini, maka Musa telah diangkat sebagai Nabi dan Rasul. Sebagai
rasul, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberinya mukjizat berupa tongkat yang bisa
berubah menjadi ular dan tangannya yang dapat bersinar putih cemerlang setelah
dikepitkan di ketiaknya.
Kisah
ini dapat dilihat pada surat Tâhâ: 9-23.
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan Nabi Musa Alaihissalam untuk berdakwah kepada
Fir’aun. Musa masih merasa takut karena dulu ia pernah membunuh orang Mesir,
namun Allah menjanjikan perlindungan untuknya, maka tentramlah hatinya. Untuk
lebih memantapkan dakwahnya, Musa memohon kepada Allah agar ia ditemani oleh
Harun, saudaranya, karena Harun amat cakap dalam berbicara dan berdebat.
Permintaan Musa dikabulkan. Harun yang masih berada di Mesir digerakkan hatinya
oleh Allah sehingga ia berjalan menemui Musa.
Hal
tsb dinyatakan dalam surat Al-Qasas: 32-35 dan surat Tâhâ: 42-47.
Akhirnya
bersama-sama Harun, Musa menghadap Fir’aun. Ia mengadakan dialog dengan Fir’aun
tentang Tuhan. Namun Fir’aun menanggapinya dengan sinis dan mengejek Musa tak
tahu diri. Dulu ia diasuh dan dibesarkan di istana Mesir, tapi kini ia malah
berbalik menentang Fir’aun. Musa menjawab bahwa semua itu terjadi disebabkan
karena ulah Fir’aun sendiri. Seandainya Fir’aun tidak memerintahkan membunuh
bayi laki-laki, tidak mungkin ia dihanyutkan di sungai Nil sampai akhirnya
ditemukan dan diangkat anak oleh istri Fir’aun. Musa tidak merasa berhutang
budi pada Fir’aun.
Musa
mengatakan bahwa sesungguhnya Fir’aun bukanlah Tuhan. Ada Tuhan lain yang
berhak disembah, Tuhan nenek moyang mereka, Tuhan seluruh alam semesta. Fir’aun
sangat murka dan meminta Musa untuk menunjukkan tanda-tanda kebesaran Tuhan.
Keberhasilan Musa melawan ahli-ahli
sihir Fir’aun
Di
depan masyarakat luas, Nabi Musa Alaihissalam dapat menunjukkan mukjizatnya
menghadapi ahli-ahli sihir Fir’aun. Musa mempersilakan ahli-ahli sihir Fir’aun
untuk mempertunjukkan kebolehan mereka lebih dulu. Mereka lalu melemparkan tali
dan tongkat-tongkatnya. Tak lama kemudian tali-tali dan tongkat-tongkat itu
berubah menjadi ular yang ribuan ekor banyaknya. Fir’aun tertawa bangga
menyaksikan kebolehan para ahli sihirnya. Masyarakat yang hadir disana juga
terkagum-kagum.
Dengan
tenang Musa melemparkan tongkatnya, tongkat itu segera berubah menjadi ular
yang sangat besar dan langsung melahap ular-ular para ahli sihir Fir’aun. Dalam
waktu singkat, ular-ular itu habis ditelan oleh ular Nabi Musa.
Para
ahli sihir itu terbelalak heran. Apa yang diperlihatkan Musa bukanlah seperti
sihir yang mereka pelajari dari syaitan. Sadar akan hal itu, para ahli sihir
tsb berlutut kepada Musa, dan menyatakan diri sebagai pengikut ajaran yang
dibawanya. Mereka bertaubat dan hanya akan menyembah Allah saja.
Kisah
ini dijelaskan dalam surat Asy-Syu’arâ’: 18-51
Fir’aun
sangat murka melihat pembelotan para ahli sihir yang telah bertaubat itu. Ia
mengancam akan menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat kejam, namun para
ahli sihir itu tetap memilih menjadi pengikut Musa. Akhirnya Fir’aun
memerintahkan untuk memotong tangan dan kaki mereka, serta menyalib mereka di batang
pohon kurma. Mereka pun menerimanya dengan sabar dan tetap beriman kepada
Allah. Jumlah mereka saat itu 70 orang.
Azab bagi Fir’aun dan pengikutnya
Kejengkelan
Fir’aun memuncak setelah Nabi Musa Alaihissalam memperoleh pengikut yang lebih
banyak. Fir’aun menjadi semakin kejam terhadap Bani Israil. Nabi Musa
Alaihissalam senantiasa menyuruh kaumnya untuk bersabar menghadapi
kesewenang-wenangan Fir’aun. Fir’aun pun tak henti-hentinya mengejek dan
menghina Musa.
Karena
semakin lama tindakan Fir’aun makin merajalela, Nabi Musa Alaihissalam berdoa
kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar Fir’aun dan pengikutnya diberi azab.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengabulkan doa Musa. Kerajaan Fir’aun dilanda krisis
keuangan. Selain itu wilayah Mesir dilanda kemarau panjang. Banyak panen yang
gagal, tanaman dan pepohonan banyak yang mati, disusul badai topan yang
merobohkan rumah-rumah mereka. Jutaan belalang berdatangan menyerbu hewan dan
perkebunan, juga kutu dan katak. Setelah kemarau, muncul banjir besar. Akibat
banjir itu kemudian juga muncul wabah penyakit. Anak laki-laki bangsa Mesir
mendadak mati, tak terkecuali anak-anak Fir’aun sendiri, termasuk putra
mahkota.
Pengikut
Fir’aun mendatangi Nabi Musa Alaihissalam untuk memohon agar azab itu dicabut
dari mereka dengan janji mereka akan beriman. Namun ketika Allah Subhanahu Wa
Ta’ala mengabulkan permintaan itu, mereka ingkar terhadap janjinya.
Riwayat
ini terdapat dalam surat Al-Mu’minûn: 26, Az-Zukhruf: 51-54, Yûnus: 88-89, dan
Al-A’râf: 130-135.
Peristiwa Laut Merah terbelah
Bani
Israil yang makin menderita karena ulah Fir’aun dan pengikutnya meminta Nabi
Musa Alaihissalam untuk membawa mereka keluar dari Mesir. Setelah mendapat
wahyu dari Allah agar mengajak kaumnya pergi meninggalkan Mesir, Musa lalu
membawa kaumnya ke Baitulmakdis. Mereka pergi secara diam-diam di malam hari.
Ketika sampai di tepi Laut Merah, mereka baru menyadari bahwa tentara Fir’aun
mengejar mereka. Para pengikut Musa sangat panik karena tidak bisa lari kemana
pun. Saat itulah turun wahyu agar Musa memukulkan tongkatnya ke laut. Laut pun
membelah hingga terbentang jalan bagi Musa dan pengikutnya untuk menyeberang.
Fir’aun dan tentaranya mengejar rombongan itu, namun ketika Musa dan
pengikutnya telah sampai di tepi sementara Fir’aun dan tentaranya masih di
tengah laut, atas perintah Allah laut pun kembali menutup hingga Fir’aun dan
pasukannya tenggelam.
Di
saat-saat terakhir menjelang kematiannya, Fir’aun sempat bertaubat dan
menyatakan diri beriman kepada Allah. Namun taubat menjelang ajal yang
dilakukan oleh Fir’aun itu sudah terlambat dan tidak lagi diterima oleh Allah,
sehingga matilah ia dalam keadaan tetap kafir.
Kisah
tentang ini terdapat dalam surat Tâhâ: 77-79, Asy-Syu’arâ: 60-68, dan Yûnus:
90-92.
Ternyata,
mayat Fir’aun tetap utuh sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Yûnus:
92, sebagai tanda bagi umat yang kemudian. Ini telah terbukti dengan
diketemukannya mummi Fir’aun (Pharaoh) di Mesir pada abad ke-20 M.
Karunia bagi Bani Israil
Dalam
perjalanan ke Mesir, Bani Israil sangat manja. Saat mereka haus, Musa
memukulkan tongkatnya ke batu. Dari batu tsb, memancarlah 12 mata air, sesuai
dengan jumlah suku (sibith) Bani Israil, sehingga masing-masing suku memiliki
mata air sendiri.
Di Gurun Sinai yang panas terik, tak ada rumah
untuk dihuni, tak ada pohon untuk berteduh, maka Allah menaungi mereka dengan
awan.
Ketika
bekal makanan dan minuman mereka habis, mereka pun meminta Musa memohon pada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar diberikan makanan dan minuman, maka Allah
menurunkan kepada mereka Manna dan Salwa. Manna adalah makanan yang turun dari
udara seperti turunnya embun, turun di atas batu dan daun pohon. Rasanya manis
seperti madu. Sedang Salwa adalah sejenis burung puyuh yang datang
berbondong-bondong silih berganti sampai-sampai hampir menutupi bumi lantaran
banyaknya.
Mendapat
karunia dan rezki yang demikian melimpahnya dari Allah, Bani Israil bukannya
bersyukur, malah mereka meminta makanan dari jenis yang lain lagi. Disinilah
mulai terlihat betapa Bani Israil itu sangat kufur terhadap nikmat Allah.
Berbagai
tuntutan dan permintaan dari Bani Israil ini diceritakan dalam surat Al-A’râf:
160 dan Al-Baqarah: 61.
Turunnya kitab Taurat
Setelah
persoalan dengan Fir’aun selesai, Nabi Musa Alaihissalam memohon untuk
diberikan kitab suci sebagai pedoman. Allah Subhanahu Wa Ta’ala lalu
memerintahkan Nabi Musa Alaihissalam untuk berpuasa selama 30 hari dan pergi
berkhalwat ke Bukit Thur Al-Aiman atau Thursina. Sebelum pergi, Musa meminta
Harun menjadi wakilnya untuk mengurus kaumnya.
Setelah
berpuasa selama 30 hari, Allah memerintahkannya berpuasa 10 hari lagi untuk
menggenapkan ibadahnya menjadi 40 hari. Setelah itu Allah berbicara kepadanya
dengan Kalam-Nya yang Azali, sehingga Musa pun memiliki keistimewaan yang tidak
dimiliki oleh manusia lain.
Dalam
kesempatan bermunajat di Bukit Thursina ini, timbul kerinduan Musa untuk
bertemu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ia pun meminta agar Allah Subhanahu Wa
Ta’ala mengizinkan dirinya untuk melihat Zat-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala
mengatakan bahwa ia telah meminta sesuatu yang diluar kesanggupannya. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala kemudian menyuruh Musa untuk melihat ke sebuah bukit. Allah
akan menampakkan wujudnya kepada bukit itu. Jika bukit itu tetap tegak berdiri,
maka Musa dapat melihat-Nya, namun jika bukit yang lebih besar darinya itu tak
mampu bertahan, maka lebih-lebih lagi dirinya. Ketika Musa mengarahkan
pandangan ke bukit tsb, seketika itu juga bukit itu hancur luluh. Melihat itu
Musa merasa terkejut dan ngeri, ia pun jatuh pingsan.
Setelah
sadar, ia bertasbih dan bertahmid seraya memohon ampun kepada Allah Subhanahu
Wa Ta’ala atas kelancangannya. Selanjutnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala
memberikan kitab Taurat sebagai kitab suci yang berupa kepingan-kepingan batu.
Di dalamnya tertulis pedoman hidup dan penuntun beribadah kepada Allah
Subhanahu Wa Ta’ala.
Kisah
munajat Nabi Musa Alaihissalam di Bukit Thursina ini diceritakan dalam surat
Al-A’râf: 142-145.
Patung anak sapi
Sepeninggal
Nabi Musa Alaihissalam, Bani Israil dihasut oleh seorang munafik bernama
Samiri. Karena keyakinan tauhid mereka yang memang belum terlalu tebal, dengan
mudah mereka termakan hasutan Samiri. Bani Israil membuat patung anak sapi yang
disembah sebagai tuhan mereka.
Sebelum
pergi ke bukit Thursina, Musa berkata kepada kaumnya bahwa ia akan meninggalkan
mereka tidak lebih dari 30 hari. Ketika Allah memerintahkannya untuk menambah
ibadahnya 10 hari lagi sehingga bertambah lama kepergiannya, maka mereka
menganggapnya telah melupakannya. Samiri mengatakan kepada Bani Israil bahwa keterlambatan
Musa ini disebabkan karena mereka telah membuat marah Tuhan dengan mengambil
perhiasan-perhiasan dari kuburan orang-orang Mesir. Maka untuk meminta ampun
kepada Tuhan dan agar Musa mau kembali pada mereka, mereka harus melemparkan
perhiasan-perhiasan tsb ke dalam api.
Mereka
pun percaya dengan hasutan Samiri. Para wanita-wanita Bani Israil lalu
melemparkan perhiasan-perhiasan emas mereka ke dalam api. Dari emas yang
terkumpul itu Samiri lalu membuat patung anak sapi. Dengan teknik khusus, ia
membuat angin bisa masuk dan menimbulkan suara dari mulut patung itu sehingga
seolah-olah patung itu dapat berbicara. Kemudian Samiri menyuruh Bani Israil
untuk menyembahnya.
Nabi
Harun Alaihissalam tidak berdaya menghadapi kaumnya yang kembali murtad itu. Ketika
Nabi Musa Alaihissalam kembali, ia sangat marah dan bersedih hati melihat
perilaku kaumnya. Mula-mula ia pun marah kepada Harun yang dianggapnya tidak
bisa menjaga kaumnya dengan baik, namun setelah mendengar penjelasan dari
Harun, ia pun tenang kembali. Ia mengusir Samiri dan menjelaskan pada kaumnya
tentang perbuatan mereka yang salah. Sebagai hukuman, Samiri diberi kutukan
oleh Allah, jika ia disentuh atau menyentuh manusia, maka badannya akan menjadi
panas demam. Itulah azab Samiri di dunia, seumur hidupnya ia tidak bisa
berhubungan dengan siapa pun.
Setelah
Samiri pergi, Musa membakar patung anak sapi sembahan Bani Israil dan membuang
abunya ke laut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala kemudian memerintahkan Musa
Alaihissalam agar membawa sekelompok kaumnya untuk memohon ampun atas dosa
mereka menyembah patung anak sapi. Musa mengajak 70 orang terpilih dari Bani
Israil ke Bukit Thursina. Setelah mereka berpuasa menyucikan diri, muncullah
awan tebal di bukit itu. Nabi Musa Alaihissalam dan rombongannya memasuki awan
gelap itu dan bersujud. Ketika bersujud, 70 orang itu mendengar percakapan
antara Nabi Musa Alaihissalam dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Timbul
keinginan mereka untuk melihat Zat Allah. Bahkan mereka menyatakan tidak akan
beriman sebelum melihat-Nya. Seketika itu pula tubuh mereka tersambar
halilintar hingga mereka pun tewas.
Nabi
Musa Alaihissalam memohon agar kaumnya diampuni dan dihidupkan kembali. Maka
Allah Subhanahu Wa Ta’ala pun membangkitkan kembali 70 orang pengikut Musa itu.
Musa lalu menyuruh mereka bersumpah untuk berpegang teguh pada kitab Taurat
sebagai pedoman hidup, dan beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Cerita
ini terdapat dalam Al Qur’an surat Al-A’râf: 149-155 dan Al-Baqarah: 55, 56,
63, 64.
Sapi Betina (Al Baqarah)
Suatu
hari terjadi peristiwa pembunuhan di antara kaum Nabi Musa. Untuk mengetahui
siapa pembunuh orang tsb, atas petunjuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Musa
memerintahkan kaumnya untuk mencari seekor sapi betina. Dengan lidah sapi itu
nantinya mayat yang terbunuh akan dipukul dan akan hidup lagi atas kehendak dan
izin dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Kaum
Bani Israil sebenarnya enggan melaksanakan perintah ini, karenanya mereka
sangat cerewet dan banyak bertanya dengan harapan supaya Allah Subhanahu Wa
Ta’ala akhirnya membatalkannya, sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur’an surat
Al-Baqarah: 67-71.
Dan
(ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyembelih seekor sapi betina. Mereka berkata: Apakah kamu hendak
menjadikan kami buah ejekan? Musa menjawab: Aku berlindung kepada Allah agar
tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil. (QS. 2:67)
Mereka
menjawab: Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami, agar dia menerangkan kepada
kami, sapi betina apakah itu? Musa menjawab: Sesungguhnya Allah berfirman bahwa
sapi betina itu adalah sapi yang tidak tua dan tidak muda, pertengahan antara
itu. Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. (QS. 2:68)
Mereka
berkata: Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami
apa warnanya. Musa menjawab: Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu
adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan
orang-orang yang memandangnya. (QS. 2:69)
Mereka
berkata: Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami
bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar
bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk
memperoleh sapi itu). (QS. 2:70)
Musa
berkata: Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina
yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi
tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya. Mereka berkata: Sekarang barulah
kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya. Kemudian mereka
menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. (QS.
2:71)
Nama
surat Al-Baqarah yang berarti sapi betina diambil karena dalam surat ini
terdapat kisah penyembelihan sapi betina.
Dapat
dilihat pada ayat-ayat tsb bahwa sikap Bani Israil yang cerewet justru telah
menyulitkan mereka sendiri. Seandainya ketika diperintahkan pertama kali mereka
langsung melaksanakannya, tentulah mereka tidak akan repot, tetapi mereka malah
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang rumit sehingga hampir saja mereka tidak
dapat menemukan sapi sesuai ciri-ciri yang diterangkan oleh Musa.
Begitu
sapi sudah diperoleh, mereka lalu menyembelihnya dan lidah sapi itu dipukulkan
ke tubuh mayat orang yang terbunuh. Seketika itu ia menjadi hidup kembali dan
menceritakan bahwa ia telah dibunuh oleh sepupunya sendiri.
Allah mengharamkan tanah Palestina bagi
Bani Israil
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan Nabi Musa Alaihissalam membawa kaumnya ke
Palestina, tempat suci yang telah dijanjikan bagi Nabi Ibrahim Alaihissalam
sebagai tempat tinggal anak cucunya. Bani Israil yang telah mendapat berbagai
karunia dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah kaum yang keras kepala dan tidak
bersyukur.
Sebelum
mengajak kaumnya berhijrah, Musa mengutus perintis jalan untuk menyelidiki
tentang penduduk penghuni Palestina. Ketika kembali, para perintis jalan itu
mengabarkan bahwa tanah suci tsb dihuni oleh suku Kana’an yang kuat-kuat, dan
kota-kotanya memiliki benteng yang kokoh. Mengetahui hal itu, merasa gentarlah
Bani Israil dan tidak mau mematuhi perintah Musa untuk menyerang. Mereka hanya
mau kesana jika suku itu telah disingkirkan terlebih dahulu.
Nabi
Musa Alaihissalam sangat marah terhadap sikap kaumnya itu, karena sikap tsb
mencerminkan bahwa mereka belum benar-benar beriman kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala, padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berjanji bahwa dengan
pertolongan-Nya mereka akan mampu mengalahkan suku Kana’an. Di antara Bani
Israil itu, ada 2 orang bertakwa yang menasihati mereka agar masuk dari pintu
kota supaya mereka bisa menang. Akan tetapi Bani Israil menolak nasihat itu dan
melontarkan kepada Musa kalimat yang menunjukkan pembangkangan dan sifat
pengecut, “Pergilah engkau bersama
Tuhanmu dan berperanglah, sementara kami menunggu di sini.”
Habislah
kesabaran Musa. Ia lalu memanjatkan doa agar Allah Subhanahu Wa Ta’ala
memberikan putusan-Nya atas sikap kaumnya. Sebagai hukuman bagi Bani Israil
yang menolak perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Allah Subhanahu Wa Ta’ala
mengharamkan wilayah Palestina selama 40 tahun bagi mereka. Mereka akan
tersesat, padahal tanah yang dijanjikan sudah ada di depan mata. Selama itu
mereka akan berkeliaran di muka bumi tanpa memiliki tempat bermukim yang tetap.
Hal
ini dikisahkan dalam surat Al-Maidah: 20-26.
Pertemuan Musa dengan orang saleh
Pada
suatu kesempatan berkhutbah di hadapan kaumnya, Nabi Musa Alaihissalam
mengatakan bahwa dirinyalah yang paling pandai dan berpengetahuan. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala menegur sikapnya ini dan berfirman, “Sesungguhnya Aku mempunyai seorang hamba di tepi laut yang lebih
pandai darimu.”
Berkatalah
Musa, “Wahai Tuhanku, apa yang harus
kuperbuat untuk bertemu dengannya?”
Allah berfirman, “Ambillah seekor ikan kecil dan letakkan di dalam keranjang. Dimanapun
engkau kehilangan ikan itu, maka disitulah ia berada.”
Musa
melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah kepadanya. Ia mengambil seekor
ikan kecil, kemudian ia pergi dengan ditemani seorang sahayanya. Saat mereka
tiba di pertemuan antara dua buah laut, mereka duduk sejenak untuk
beristirahat. Tertidurlah mereka, sementara saat itu turun hujan sehingga ikan
yang mereka bawa dapat melompat dan meluncur ke laut.
Sahaya
Musa mengetahui hal ini, namun ia lupa memberitahukannya kepada Musa. Mereka
terus melanjutkan perjalanan. Ketika mereka merasa lapar dan hendak makan, saat
itulah sahaya Musa teringat akan ikan yang hilang itu, maka ia pun memberitahu
Musa. Mendengar itu Musa sangat gembira. “Inilah
yang kita cari. Mari kita kembali untuk mengikuti jejak dimana ikan itu
hilang.”
Belum
sampai di tempat yang dituju, Musa telah bertemu dengan orang yang dimaksud.
Hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang saleh itu dikenal dengan nama Nabi KhidirAlaihissalam. Nabi Musa Alaihissalam yang ingin belajar dari hamba-Nya yang
saleh itu meminta agar diizinkan mengikuti Nabi Khidir. Nabi Khidir menjawab
bahwa ia tidak akan dapat sabar atas keikutsertaannya, karena ia akan melihat
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan syariatnya. Namun Musa berkata bahwa
ia akan bersabar dan tidak akan menentang urusan Nabi Khidir. Akhirnya Nabi
Khidir mengizinkan Musa untuk mengikutinya, namun dengan syarat bahwa Musa
tidak boleh mempertanyakan tindakan-tindakan yang akan dilakukannya, karena
pada akhirnya ia akan menceritakan rahasia di balik tindakan-tindakannya itu.
Pergilah
Musa bersama Nabi Khidir menyusuri tepi laut. Tiba-tiba lewat di depan mereka
sebuah kapal, maka keduanya meminta kepada penumpang-penumpangnya untuk
mengangkut mereka. Mereka diizinkan menumpang, lalu keduanya pun naik ke kapal
itu. Saat para penumpang lengah, Nabi Khidir melubangi dinding kapal yang
terbuat dari kayu itu sedemikian rupa sehingga kerusakannya akan mudah untuk
diperbaiki. Musa yang melihat kejadian ini merasa ngeri dan tanpa sadar ia lupa
dengan perjanjiannya untuk tidak mengajukan pertanyaan apa pun, maka ia pun
berkata, “Apakah engkau merusak kapal
orang-orang yang telah menghormati kita? Engkau telah melakukan sesuatu yang
tercela.”
Nabi
Khidir mengingatkan kepada Musa akan perjanjian mereka, maka sadarlah Musa, ia
meminta supaya jangan dihukum atas kelupaannya ini. Keduanya lalu meneruskan
perjalanan dan bertemu dengan seorang anak yang sedang bermain bersama
kawan-kawannya. Nabi Khidir lalu membujuk anak itu ikut dengannya dan
membawanya ke tempat yang agak jauh dari teman-temannya, lalu ia membunuhnya.
Panas hati Musa melihat perbuatan yang keji ini sehingga dengan marah ia
berkata, “Apakah engkau membunuh jiwa
yang suci bersih tanpa dosa? Engkau telah berbuat sesuatu yang mungkar.”
Nabi
Khidir kembali mengingatkan Musa akan syarat yang berlaku antara keduanya. Musa
menyesal atas ketidaksabarannya. Ia pun berkata, “Jika setelah ini aku bertanya lagi kepadamu, maka janganlah menemani
aku, karena sudah cukup alasan bagiku untuk berpisah denganmu.”
Kemudian
keduanya pun meneruskan perjalanan kembali. Saat merasa haus dan lapar,
masuklah mereka ke sebuah desa. Mereka meminta kepada penghuninya supaya
bersedia memberi mereka makan dan menjadikan mereka sebagai tamu, namun
permintaan mereka ini ditolak dengan kasar oleh penghuni desa tsb.
Dalam
perjalanan pulang, mereka mendapati sebuah dinding yang hampir roboh. Nabi
Khidir lalu memperbaiki dinding yang roboh itu dan mendirikan bangunannya.
Melihat ini, Musa tidak tahan lalu bertanya, “Apakah engkau mau membalas orang-orang yang telah mengusir kita dengan
memperbaiki dinding rumah mereka? Andaikata engkau kehendaki, engkau bisa
meminta upah atas pekerjaanmu untuk membeli makanan.”
Dengan
timbulnya pertanyaan Musa ini, maka berpisahlah ia dengan Nabi Khidir. Namun
sebelum berpisah, Nabi Khidir menjelaskan rahasia-rahasia perbuatannya. Ia
berkata, “Mengenai kapal yang aku lubangi
dindingnya, itu adalah kepunyaan beberapa orang miskin yang tidak punya harta
selain itu, dan aku mengetahui bahwa ada seorang raja yang suka merampas setiap
kapal yang baik dari pemiliknya. Sebab itu aku merusaknya sedikit supaya
nantinya mudah diperbaiki lagi, dan bila raja melihatnya ia pun menduga kapal
itu adalah kapal yang buruk sehingga ia akan membiarkannya pada pemiliknya dan
selamatlah kapal itu pada mereka.
Mengenai anak kecil yang aku bunuh, ia
adalah seorang anak yang menampakkan tanda-tanda kerusakan sejak kecil, sedang
kedua orangtuanya adalah orang-orang yang beriman dan saleh. Aku khawatir rasa
kasih sayang orangtua terhadap anaknya akan membuat mereka menyeleweng dari
kesalehan mereka dan menjerumuskannya ke dalam kekafiran dan kesombongan, maka
aku pun membunuhnya untuk menenangkan kedua orangtua yang beriman ini, dan anak
yang jahat itu semoga akan diberi gantinya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala
dengan anak yang lebih baik dan lebih berbakti serta lebih sayang kepada kedua
orangtuanya.
Adapun dinding rumah yang kudirikan, itu
adalah milik dua anak yatim di kota itu yang di bawahnya terdapat harta
terpendam kepunyaan mereka, dan ayah mereka adalah seorang yang saleh. Maka
Tuhanmu yang Maha Pemurah ingin menjaga harta itu bagi mereka sampai mereka
dewasa dan mengeluarkannya.
Semua yang kuperbuat itu bukanlah atas
usahaku, melainkan itu adalah wahyu dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan inilah
penjelasan dari kejadian-kejadian yang mana engkau tidak bisa bersabar.”
Kisah
pertemuan Nabi Musa Alaihissalam dan Nabi Khidir Alaihissalam ini terdapat
dalam surat Al-Kahfi: 60-82.
Kisah Qarun dan hartanya
Tersebutlah
seorang pengikut Nabi Musa Alaihissalam yang sangat kaya, yang bernama Qarun.
Meskipun sangat kaya, namun ia tidak mau menyedekahkan hartanya bagi fakir
miskin. Nasihat-nasihat Nabi Musa Alaihissalam tidak dipedulikannya, bahkan ia
mengejek dan memfitnah Nabi Musa Alaihissalam.
Guna
memberi pelajaran pada Qarun dan memberi contoh pada kaumnya, Musa memanjatkan
doa agar Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan azabnya pada diri hartawan itu.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala lalu memberi azab dengan menguburkan semua harta
kekayaan beserta diri Qarun melalui bencana tanah longsor yang dahsyat.
Kisah
Qarun dan hartanya ini terdapat dalam surat Al-Qasas: 76-82.
Larangan hari sabath
Sesuai
dengan syariat dalam Taurat, Nabi Musa menentukan hari Sabtu sebagai hari untuk
berkumpul dan beribadah. Pada hari itu kaum Bani Israil dilarang untuk
melakukan usaha apa pun, termasuk berniaga dan mencari ikan. Namun pada hari
Sabtu tsb justru ikan-ikan sangat banyak terlihat di laut.
Sesungguhnya
ini merupakan kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji keimanan dan
ketaatan Bani Israil. Ternyata mereka tidak tahan dengan ujian ini dan
melanggar larangan hari Sabath, oleh sebab itu Allah kemudian mengutuk sebagian
mereka menjadi kera.
Hal
ini disebutkan dalam surat Al-Baqarah: 65 dan Al-A’râf: 166.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar