Syekh Abdul Qadir Jaelani
Syekh Abdul Qadir Jaelani
Sulthanul Auliya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Rahimahullah,
(bernama lengkap Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih
Al-Jailani). Lahir di Jailan atau Kailan tahun 470 H/1077 M kota Baghdad
sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata al Jailani atau al
Kailani. Biografi beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail 'Ala Thabaqil
Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab al Hambali. Ia
wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir
di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Bila dirunut ke
atas dari nasabnya, beliau masih keturunan Rasulallah Muhammad SAW dari
Hasan bin Ali ra, yaitu Abu Shalih Sayidi Muhammad Abdul Qadir bin Musa
bin Abdullah bin Yahya Az-zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa Al-Jun
bin Abdullah Al-Mahdi bin Hasan Al-Mutsana bin Al-Hasan bin Ali bin Abi
Thalib ra.
Masa Muda
Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun
488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah
Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan
saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada
beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al
Farra' dan juga Abu Sa'ad al Muharrimi. Belaiu menimba ilmu pada
ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga
perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa'ad
al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj
menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul
Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh.
Bermukim di sana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang di sekitar
sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasehat
beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang
menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung
lagi.
Murid-Murid
Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti al Hafidz
Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam,
Syeikh Qudamah, penyusun kitab fiqh terkenal al Mughni.
Perkataan Ulama tentang Beliau
Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan
sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh
Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A'lamin
Nubala XX/442).
Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab,
"Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia
menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami.
Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan
lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu."
Beliau adalah seorang yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, dan mengikuti
jalan Salaf al Shalih. Belaiau dikenal pula banyak memiliki karamah.
Tetapi, banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama
beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan,
ajaran-ajaran, tariqah (tarekat/jalan) yang berbeda dengan jalan
Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Di antaranya dapat diketahui
dari pendapat Imam Ibnu Rajab.
Tentang Karamahnya
Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada
masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak
memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al
Muqri' Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali
Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan
kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam
tiga jilid kitab. Al Muqri' lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun
713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir
al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar
(kebohongannya).
"Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar",
demikian kata Imam Ibnu Rajab. "Aku telah melihat sebagian kitab ini,
tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku
tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang
telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini
banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat
perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan,
dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah
Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya.
Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani
rahimahullah."
Kemudian didapatkan pula bahwa al Kamal Ja'far al Adfwi (nama lengkapnya
Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal al
Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi'i. Ia dilahirkan pada
pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo.
Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah,
biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri
tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab
ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal.
509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul
Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).
Karya
Imam Ibnu Rajab juga berkata, "Syeikh Abdul Qadir al Jailani
Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid,
sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan
sunnah."
Karya beliau, antara lain :
al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
Futuhul Ghaib.
Murid-muridnya mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan nasehat dari
majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya,
ia berpegang dengan sunnah. Ia membantah dengan keras terhadap
orang-orang yang menyelisihi sunnah.
Beberapa Ajaran Beliau
Sam'ani berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota
Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab
ini pada masa hidup beliau." Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi
Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A'lamin Nubala, dan menukilkan
perkataan Syeikh sebagai berikut,"Lebih dari lima ratus orang masuk
Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah
bertaubat."
Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan
Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan
beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan,
"Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi
terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah
menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun
sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau."( Siyar
XX/451 ). Imam Adz Dzahabi juga berkata, " Tidak ada seorangpun para
kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah
hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara
riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi".
Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul
Fashil,hal.136, " Aku telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul
Qadir Al Jaelani ) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat
kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang
Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah
lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok
Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya
dengan manhaj Salaf." (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal.
509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul
Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.)
Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang 'alim Salafi, Sunni,
tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama
beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu.
Wallahu a'lam bishshawwab.
Awal Kemasyhuran
Al-Jaba'i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata kepadanya,
"Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul
keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa
tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat
menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan
perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada
orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab
Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah
kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam
hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut.
Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla.
Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta
bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir
sekitar 70 orang para wali radhiallahu 'anhum.
Kemudian, Syeikh Abdul Qadir melanjutkan, "Aku melihat Rasulallah SAW
sebelum dzuhur, beliau berkata kepadaku, "anakku, mengapa engkau tidak
berbicara?". Aku menjawab, "Ayahku, bagaimana aku yang non arab ini
berbicara di depan orang-orang fasih dari Baghdad?". Ia berkata, "buka
mulutmu". Lalu, beliau meniup 7 kali ke dalam mulutku kemudian berkata,
"bicaralah dan ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah dan peringatan
yang baik". Setelah itu, aku shalat dzuhur dan duduk serta mendapati
jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga membuatku gemetar.
Kemudian aku melihat Ali r.a. datang dan berkata, "buka mulutmu". Ia
lalu meniup 6 kali ke dalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya
mengapa beliau tidak meniup 7 kali seperti yang dilakukan Rasulallah
SAW, beliau menjawab bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat
beliau kepada Rasulallah SAW. Kemudian, aku berkata, "Pikiran, sang
penyelam yang mencari mutiara ma'rifah dengan menyelami laut hati,
mencampakkannya ke pantai dada , dilelang oleh lidah sang calo, kemudian
dibeli dengan permata ketaatan dalam rumah yang diizinkan Allah untuk
diangkat". Ia kemudian menyitir, "Dan untuk wanita seperti Laila,
seorang pria dapat membunuh dirinya dan menjadikan maut dan siksaan
sebagai sesuatu yang manis."
Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir berkata,
"Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri,
"kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang". Aku pun ke Baghdad dan
menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan
karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka". "Sesungguhnya" kata
suara tersebut, "Mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan
dirimu". "Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku/keyakinanku"
tanyaku. "Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan
agamamu" jawab suara itu.
Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak
ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang
meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke
Baghdad dan mulai berceramah.
Beberapa Kejadian Penting
Suatu ketika, saat aku berceramah aku melihat sebuah cahaya terang
benderang mendatangi aku. "Apa ini dan ada apa?" tanyaku. "Rasulallah
SAW akan datang menemuimu untuk memberikan selamat" jawab sebuah suara.
Sinar tersebut semakin membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi
spiritual yang membuatku setengah sadar. Lalu, aku melihat Rasulallah
SAW di depan mimbar, mengambang di udara dan memanggilku, "Wahai Abdul
Qadir". Begitu gembiranya aku dengan kedatangan Rasalullah SAW, aku
melangkah naik ke udara menghampirinya. Ia meniup ke dalam mulutku 7
kali. Kemudian Ali datang dan meniup ke dalam mulutku 3 kali. "Mengapa
engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan Rasulallah SAW?" tanyaku
kepadanya. "Sebagai rasa hormatku kepada Rasalullah SAW" jawab beliau.
Rasulallah SAW kemudian memakaikan jubah kehormatan kepadaku. "apa ini?"
tanyaku. "Ini" jawab Rasulallah, "adalah jubah kewalianmu dan
dikhususkan kepada orang-orang yang mendapat derajad Qutb dalam jenjang
kewalian". Setelah itu, aku pun tercerahkan dan mulai berceramah.
Saat Nabi Khidir As. Datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan
kepada para wali sebelumku, Allah membukakan rahasianya dan apa yang
akan dikatakannya kepadaku. Aku berkata kepadanya, "Wahai Khidir,
apabila engkau berkata kepadaku, "Engkau tidak akan sabar kepadaku", aku
akan berkata kepadamu, "Engkau tidak akan sabar kepadaku". "Wahai
Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan
Muhammad, inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan
lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini ar Rahman, ini kuda berpelana,
busur terentang dan pedang terhunus."
Al-Khattab pelayan Syeikh Abdul Qadir meriwayatkan bahwa suatu hari
ketika beliau sedang berceramah tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara
dan berkata, "Hai orang Israel, dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum
Muhammad" lalu kembali ke tempatnya. Saat ditanya mengenai hal tersebut
beliau menjawab, "Tadi Abu Abbas Al-Khidir As lewat dan aku pun
berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti".
Hubungan Guru dan Murid
Guru dan teladan kita Syeikh Abdul Qadir
berkata, "Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual
kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam
dirinya.
Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
Dua karakter dari Rasulullah SAW yaitu penyayang dan lembut.
Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
Dua karakter dari Umar yaitu amar ma'ruf nahi munkar.
Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani.
Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepada beliau dikatakan:
Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.
Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu
hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut
kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa
diawasi oleh Allah.
Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan
standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syeikh.
Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia
tidak pantas untuk diikuti.
Menurut saya (penulis buku) yang harus dimiliki seorang syeikh ketika
mendidik seseorang adalah dia menerima si murid untuk Allah, bukan untuk
dirinya atau alasan lainnya. Selalu menasihati muridnya, mengawasi
muridnya dengan pandangan kasih. Lemah lembut kepada muridnya saat sang
murid tidak mampu menyelesaikan riyadhah. Dia juga harus mendidik si
murid bagaikan anak sendiri dan orang tua penuh dengan kasih dan
kelemahlembutan dalam mendidik anaknya. Oleh karena itu, dia selalu
memberikan yang paling mudah kepada si murid dan tidak membebaninya
dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya. Dan setelah sang murid
bersumpah untuk bertobat dan selalu taat kepada Allah baru sang syaikh
memberikan yang lebih berat kepadanya. Sesungguhnya bai'at bersumber
dari hadits Rasulullah SAW ketika beliau mengambil bai'at para
sahabatnya.
Kemudian dia harus mentalqin si murid dengan zikir lengkap dengan
silsilahnya. Sesungguhnya Ali ra. bertanya kepada Rasulallah SAW, "Wahai
Rasulallah, jalan manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah,
paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di sisi-Nya. Rasulallah
berkata, "Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada Allah
dalam khalwat (kontemplasinya)". Kemudian, Ali ra. kembali berkata,
"Hanya demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir".
Rasulullah berkata, "Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan
terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang mengucapkan
'Allah', 'Allah'. "Bagaimana aku berzikir?" tanya Ali. Rasulallah
bersabda, "Dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya
sebanyak tiga kali dan aku akan mendengarkan engkau mengulanginya
sebanyak tiga kali pula". Lalu, Rasulallah berkata, "Laa Ilaaha
Illallah" sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara keras.
Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama seperti yang
Rasulullah lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa Ilaaha Illallah.
Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut.
Syeikh Abdul Qadir berkata, "Kalimat tauhid akan sulit hadir pada
seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada
Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut".
Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang
berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan
engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).
Lain-Lain
Kesimpulannya beliau adalah seorang 'ulama besar. Apabila sekarang ini
banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka itu
adalah suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau
meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah shollallahu'alaihi
wasalam, maka hal ini merupakan kekeliruan yang fatal. Karena Rasulullah
shollallahu 'alaihi wasalam adalah rasul yang paling mulia di antara
para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan di sisi Allah
oleh manusia manapun. Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan
Syeikh Abdul Qadir sebagai wasilah (perantara) dalam do'a mereka,
berkeyakinan bahwa do'a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah,
kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan
orang yang meninggal sebagai perantara, maka tidak ada syari'atnya dan
ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo'a kepada beliau. Ini
adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do'a merupakan salah satu bentuk
ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang
mahluknya berdo'a kepada selain Allah. "Dan sesungguhnya mesjid-mesjid
itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun
di dalamnya di samping (menyembah) Allah. (QS. Al-Jin: 18)"
Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para
'ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah
ditetapkan syari'ah. Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan
petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh
dengan fitnah ini.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab
pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh
Abdul Qadir menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang
Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar
dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang
didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu
tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196
M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak
kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai
hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.
Syeikh Abdul Qadir juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah
satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.
Referensi:
Manakib Syekh Abdul Qodir Al Jailani, Perjalanan Spiritual Sulthanul Auliya, Pustaka Setia, Bandung, 2003
Tidak ada komentar :
Posting Komentar