Sejarah imam al-Ghazali
A.
BIOGRAFI IMAM AL-GHAZALI
Nama lengkap imam al-Ghazali adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Beliau lahir
pada tahun 450 H di Tus,suatu kota kecil yang terletak di Khurasan(Irak).
Ayahnya adalah seorang tasawuf yang shaleh dan meninggal sunia ketika beliau
madih kecil. Akan tetapi sebelum ayahnya wafat telah menitipkan kedua anaknya
tersebut kepada seorang tasawuf pula untuk bimbingan dan pemeliharaan dalam
hidupnya[1].
al-Ghazali pertama-tama
belajar agama di kota Tus,kemudian meneruskan di Jurjan,dan akhirnya berguru
kepada imam al-Juwaini di Naisabur. Beliau wafat pada
tahun 478 H/1085 M. Kemudian ia berkunjung kepada kepada Nidham al-Mulk di kota Mu’askar dan
daripadanya ia mendapat suatu penghormatan dan penghargaan yang besar,sehingga
ia tinggal di kota itu 6(enam) tahun lamanya. Pada
tahun 483 H/1090 M,ia diangkat menjadi guru di sekolah Nidhamah Baghdad,dan
pekerjaannya itu dilaksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad,selain
mengajar,beliau juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap golongan-golongan
Bathiniyah,ismailiyah,golongan filsafat,dan lain-lain.[2]
Para ulama nasab berselisih
dalam penyandaran nama Imam al-Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran
nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini
dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini
kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad
bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah
anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah
salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al
Ghazzali)[3].
Sebagian
lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian
keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian
pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali
adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang
pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah
Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al
Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar,
ini pendapat Al Khawarij.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Selama di kota Baghdad beliau
tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya sehingga beliau tertimpa
penyakit yang tidak bisa diobati dengan obat lahiriyah(fisioterapi).
Pekerjaannya itu kemudian di tinggalkannya pada tahun 484 H untuk menuju
Damsyik dan dikota ini ia merenung,membaca dan menulis,selama kurang lebih dua
tahun,dengan tasawuf jalan hidupnya[4]
.
Akibat dari penyakit skeptis
ini menurut M.Subkhan Anshori dalam
bukunya yang berjidul filsafat islam
antara ilmu dan kepentingan,segala bentuk pemikirannya kemudian tidak bisa
dianggap sebagai pencapaian yang objektif. Segala kreatifitas ilmiahnya tidak
demi kebenaran,melainkan hanya demi popularitas semata. Kreasi-kreasinya tak
lebih hanya sebagai pengantar hakikat kebenaran,dan hanya diperuntukan bagi masyarakat
umum bukan para akademisi yang sederajat dengannya[5].
Imam al-Ghazali kemudian pindah
ke Palestina dan disini pula beliau tetap merenung,membaca dan menulis dengan
mengambil tempat di masjid Baitil Maqdis. Sesudah itu tergeraklah hatinya untuk
menjalankan ibadah haji. Setelah itu beliau pulang ke negeri kelahirannya,yaitu
kota Tus,dan disana beliau tetap seperti biasanya,berkhalwat dan beribadah.
Keadaan tersebut berlangsung sepuluh tahun lamanya,sejak kepindahannya ke
Damdyik,dan dimasa ini ia menuliskan buku-bukunya yang terkenal,antara lain Ihya’ Ulumuddin.
B.
KARYA-KARYA IMAM AL-GHAZALI
Untuk urusan tulis menulis
al-Ghazali tidak pernah berhenti dalam menghasilkan karya-karyanya,sampai
beliau meninggal dunia. Bahka bisa dikatakn sangat produktif dalam menghasilkan
berbagai karangannya. Hampir seratus buku yang ditulisnya oleh beliau yang
meliputi berbagai ilmu pengetahuan,seperti ilmu fiqh(hukum islam),kajian ilmu
kalam(theologi islam),tasawuf,filsafat,akhlak dan lain sebagainya[6].
Tulisan itu ditulis melalui bahasa Arab dan
Persia,diantaranya;
Ø Kelompok Filsafat dan Ilmu Kalam, yang meliputi:
a. Maqashid al-Falasifah
b. Tahafut al –Falasifah
c. Al- Iqtishad fi al-I'tiqad
d. Al-Munqid fi al-Dhalal
e. Al-Maqashidul Asnafi Ma'ani Asmillah AJ-Husna
f. Faishatui Tafriqah baina al-Islam wa al-Zindiqah
g. Al Qishasul Mustaqim
h. Al- Mustadhiri
i. Huj[jatul Haq
j. Musfinil Kliilafi Ushuluddin
k. Al-Munthaha fi Ilmi al-Jidad
l. Al-Madnun bin ‘ala Ghairilii Ahlihi
m. Mahkun Nadlar
n. Asrar Ilmiddin
o. Al-Arba'in fi Ushuluddin
p. Ijmalul Awwam 'an Ilmil Kalam
q. Al-Qull Jamil fi raddi' ala Man Ghayarul Injil
r. Mi'yarul Ilmi
s. Al- Istishar
t. Isbatun Nadlar
a. Maqashid al-Falasifah
b. Tahafut al –Falasifah
c. Al- Iqtishad fi al-I'tiqad
d. Al-Munqid fi al-Dhalal
e. Al-Maqashidul Asnafi Ma'ani Asmillah AJ-Husna
f. Faishatui Tafriqah baina al-Islam wa al-Zindiqah
g. Al Qishasul Mustaqim
h. Al- Mustadhiri
i. Huj[jatul Haq
j. Musfinil Kliilafi Ushuluddin
k. Al-Munthaha fi Ilmi al-Jidad
l. Al-Madnun bin ‘ala Ghairilii Ahlihi
m. Mahkun Nadlar
n. Asrar Ilmiddin
o. Al-Arba'in fi Ushuluddin
p. Ijmalul Awwam 'an Ilmil Kalam
q. Al-Qull Jamil fi raddi' ala Man Ghayarul Injil
r. Mi'yarul Ilmi
s. Al- Istishar
t. Isbatun Nadlar
Ø Kelompok Ilmu Fiqh dan Ilmu Ushul Fiqh, yang
meliputi:
a. Al-Basith
b. Al-Wasith
c. Al-Qajiz
d. Khulashatui Mukhtashar
e. Al- Musytasyfa
f. Al-Manqul
g. Syafakluil 'Alii fi Qiyas watta'lil
h. Adz-Dzari'ahilaMakarimisSyari'ah
a. Al-Basith
b. Al-Wasith
c. Al-Qajiz
d. Khulashatui Mukhtashar
e. Al- Musytasyfa
f. Al-Manqul
g. Syafakluil 'Alii fi Qiyas watta'lil
h. Adz-Dzari'ahilaMakarimisSyari'ah
Ø Kelompok Ilmu Akhlak dan Tasawuf, yang meliputi:
a.Ihya'Ulumuddin
b.MizanulAmal
c. Kimiyaus Sa'adah
d. Misykatui Anwar
e. Minliajul Abidin
f. 'Adalah Daranil Fakhirah fi Kasyfi Ulumil Akhirah
g. Al-Ainis fil Wahdah
h. Al-QurbanIlallah'AzzaWajalla
i. Akhlaq Al- Abrar wan Najat inin al-Asrar
j. Bidayatui Hidayah
k. Al-Mabadi wa al-Ghayah
l. Tablis al-Iblis
m. Al-Ulum al- Laduniyah .
n. Al-Ma'khadz
o. Al-Amali
a.Ihya'Ulumuddin
b.MizanulAmal
c. Kimiyaus Sa'adah
d. Misykatui Anwar
e. Minliajul Abidin
f. 'Adalah Daranil Fakhirah fi Kasyfi Ulumil Akhirah
g. Al-Ainis fil Wahdah
h. Al-QurbanIlallah'AzzaWajalla
i. Akhlaq Al- Abrar wan Najat inin al-Asrar
j. Bidayatui Hidayah
k. Al-Mabadi wa al-Ghayah
l. Tablis al-Iblis
m. Al-Ulum al- Laduniyah .
n. Al-Ma'khadz
o. Al-Amali
Ø Kelompok Ilmu Tafsir, yang meliputi:
a. Yaqut Ta'wil fi Tafsirit Tansil
b. JawahirAl-Qur'an
a. Yaqut Ta'wil fi Tafsirit Tansil
b. JawahirAl-Qur'an
C.
PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI
Dalam ilmu kalam,al-Ghazali
ingin mempertegas teori teologi dalam sekte Sunni. Ia
berusaha menjustifikasi eksistensi Tuhan,sifat-sifat-Nya,perbuatan-Nya dan
legalitas seorang rasul. Beliau berusaha menjempati antara pemikiran mu’tazilah
yang menghendaki sepenuhnya kepada akal dan khawarij yang menghendaki
tekstualitas ilmu kalam. Menurutnya mu’tazilah dan filosof terlalu berlebihan
dalam memberikan porsi kepada akal. Mereka berani melakukan pengingkaran dalam
batasan-batasan yang telah disepakati dalam agama. Pada realitasnya pun mereka
sering melakukan kesalahan ataupun kecerobohan,artinya mereka pada akhirnya
tidak mampu memfungsikan akal secara benar[7].
Pada penerapan selanjutnya,al-Ghazali
lebih menyikapi mu’tazilah daripada khawarij. Al-ghazali sangat fokus pada
metodologi pemikiran mu’tazilah dan berusaha mematahkan pemikirannya yang
sangat mendewakan akal daripada naql. Menurut beliau akal sangat lemah dan
tidak pernah netral. Akal bersifat subjektif tergantung siapa yang mau
menginterpretasikannya. Baginya akal membutuhkan wahyu untuk mengetahui
batasan-batasan benar dan salah.[8]
Menurut hemat kami,akal memang
sangat membutuhkan wahyu karena akal tidak akan mampu apa-apa yang ada dibalik
kemampuannya,karena akal sangat terbatas kemampuannya.akal tidak akan mampu
mengetahui keberadaan tuhan dan segala sifat-sifatnya tanpa bantuan wahyu dari
Allah SWT sebagaimana apa yang dikatakan al-Ghazali.
Di samping itu al-Ghazali juga
oposisi dengan teori wajib seperti apa yang dikatakan mu’tazilah dan filosof. Bagi
para filosof dan mu’tazilah Tuhan menciptakan sesuatu merupakan suatu
keniscayaan yang harus ada pada Tuhan. Artinya tuhan wajib menciptakan sesuatu
ataupun apa-apa yang dikehendakinya seperti mengutus seorang rasul,menciptakan
manusia,alam dan segala isinya merupakan wajib bagi tuhan. Bagi al-Ghazali
jelas ini sangat bertentangan dengan kaum sunni yang tidak berani mewajibkan
sesuatu kepada Tuhan. Tuhan bebas melakukan sesuatu apa yang dikehendakinya,baginya
semua hanya bersifat ja’iz tergantung apa yang dikehendakinya karena Tuhan juga
mempunya sifat ja’iz menurut al-Ghazali.
Berkat kemampuannya dan
kepintarannya,imam al-Ghazali menemukan bahwasanya ada 20 kesalahan yang dibangun
oleh para filosof dalam pemikirannya. Pemikiran ini dipandangnya batil atau
tidak benar karena lemahnya alasan yang diberikannya. Dari ke dua puluh yang
dianggap salah oleh imam al-Ghazali ada tiga pemikiran yang dianggap kufur
olehnya karena sudah menyalahi al-Qur’an dan al-Hadits.[9]
Pemikiran tersebut yaitu:
Pertama; dalam masalah qodim-nya alam. Menurut imam al-Ghazali,mustahil jika alam dianggap
qodim(tidak pernah tidak ada).
Menurutnya qodim-nya alam ini akan
membawa pemahaman bahwa alam itu ada dengan sendirinya,tidak diciptakan oleh
Tuhan. Jika demikian halnya,sudah jelas ini sangat bertentangan dengan
Ahlussunah wal Jama’ah dan yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits. al-Qur’an
cukup jelas menerangkan bahwasanya Tuhanlah yang menciptakan segenap alam dan
isinya termasuk manusia.[10]
Sebaliknya para filosof muslim
yang berpaham bahwa alam itu qodim,seperti
al-Farabi dan Ibn Sina,paham bahwa alam ini qodim tidak sedikitpun tidak di
pahami mereka dengan pengertian bahwa alam ada dengan sendirinya. Menurutnya
mustahil Tuhan itu ada sendiri sebelum mencipta pada awalnya,kemudian baru
menciptakan alam. Gambaran bahwa pada awalnya Tuhan tidak mencipta,dan setelah
itu menciptakan alam,bagi mereka hal ini menunjukkan perubahan pada entitas
Tuhan. Tuhan menurut mereka tidak berubah dari awalnya tidak mencipta,kemudian
menciptakan.
Menurut al-Ghazali asumsi para filosof itu
sangat bertentangan dengan agama. Alam adalah hadits(baru).diciptakan dari
ketiadaan. Melalui kehendaknya,Tuhan telah menentukan penciptaan ini pada masa
yang telah ditentukan.entitas Tuhan tidak mengalami perubahan akibat penciptaan
alam ini. Semuanya telah ditentukan sebelum penciptaan ini terealisasikan.
Tuhan juga tidak mengalami perubahan yang dikarenakan adanya entitas baru yang
diciptakannya yaitu alam.[11]
Kedua: Tentang paham bahwa Tuhan tidak
mengetahui juz’iyyat(hal-hal yang juz’i,individual/partikular). Para filosof dikafirkan
karena pengingkaran mereka terhadap kemampuan Tuhan dalam mengetahui hal-hal
yang juz’i. Menurut mereka pengetahuan Tuhan hanyalah bersifat
universal,sebab-sebab partikular selalu mengalami perubahan yang mengakibatkan
perubahan pada pengetahuan. Jika pengetahuan berubah,entitas yang mengetahui
itupun juga akan mengalami perubahan,semisal dari tidak mengetahui menjadi
tahu. Dengan demikian untuk menghindari perubahan pada Tuhan,maka Tuhan harus
mengetahui secara universal.,artinya serentak dalam satu cakupan sekaligus.[12]
al-Ghazali tidak sependapat
dengan hal itu. al-Ghazali mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan pada sebab-sebab
partikular tidak membawa perubahan pada entitasnya. Pengetahuan tersebut
bagaikan pengetahuan kita akan perpindahan sesuatu di kiri kita menuju arah
kanan kita. Kita mengetahui hal itu sebelum terjaidi perpindahan,dan disaat
perpindahan itu terjadi,maka pengetahuan kita pada perpindahan tersebut tidak
mengalami perubahan pada entitas kita. Perubahan hanya terjadi pada entitas
yang melakukan perpindahan,bukan pada entitas yang mengetahuinya. Apabila
contoh ini dapat diterima maka pengetahuan Tuhan terhadap sebab-sebab
partikular itu tidak mengalami perubahan pada entitas-Nya. Perubahan hanya
terjadi pada sebab-sebab partikular saja dan tidak pada entitas yang
mengetahui-Nya yaitu Allah SWT.
Lagipula kalaupun perubahan
ilmu bisa menimbulkan sesuatu perubahan pada dzat yang mengetahui,sebagaimana
yang dipegang oleh para filosof,maka apakah mereka akan mengatakan bahwa
berbilangnya ilmu juga ilmu juga menimbulkan bilangan pada dzat Tuhan? Sebab
objek ilmu itu banyak,seperti manusia,hewan,tumbuh-tumbuhan. Dan juga para
filosof mengatakan bahwa alam ini qodim dan mengakui adanya
perubahan-perubahan,yang berarti mereka mengakui adanya perubahan yang qodim.
Akan tetapi mengapa mereka tidak membolehkan perubahan pada dzat Tuhan,yang
qodim pula?.[13]
Sebenarnya paham bahwa Tuhan
tidak mengetahui hal-hal yang bersifat partikular ini bukanlah paham yang
dianut oleh para filosof muslim. Paham demikian dianut oleh Aristoteles,bukan
oleh para filosof muslim. Inilah yang dikatakan oleh Prof.Dr. Abdul Aziz Dahlan
dalam bukunya yang berjudul pemikiran falsafi dalam islam. Kendati demikian,al-Ghazali tetap
berupaya menampilkan pandangan dari beberapa filosof seperti Ibn Sina dalam
pandangan ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Ketiga: Pengingkaran kebangkitan jasad. Jasad
menurut mereka adalah entitas yang tersusun dari berbagai macam unsur.
Ketersusu mengurai dan hancur,maka ketetapan da keabadian hanya terdapat pada
jiwa manusia,sebab jiwa adalah entitas sederhana yang tidak tersusun dari
berbagai macam unsur. Hanya entitas sederhanalah yang mampu menerima keabadian,bukan
entitas tersusun,artinya hanya jiwalah yang menerima siksa atau pahala di alam
kubur.[14]
Pandangan diatas menurut
al-Ghazali sangat bertentangan dengan dalil agama. Ayat-ayat Allah telah
memaparkan dengan pasti akan adanya kebangkitan jasad di akhirat. Siksa dan
pahala akan dirasakan oleh jiwa dan jasad bersama-sama. Bagi Tuhan
membangkitkan jasad bukan hal yang mustahil. Tuhan adalah maha yang berkehendak
mutlak dan maha kuasa. Hal ini tidaklah sesulit menciptakan jasad dari
ketiadaan.
Menurutnya membantah akal dan
filsafat adalah berarti mengukuhkan wahyu nabi,dan untuk selanjutnya mengarah
pada justifikasi terhadap mu’jizatnya. Akal harus tunduk terhadap
informasi-informasi Nabi,dimana kebenarannya dikukuhkan oleh keberadaannya
wahyu Nabi yang diberkan Tuhan.
Menurut al-Ghazali gambaran
al-Qur’an dan Hadits tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada
kehidupan rohani saja,tapi pada kehidupan rohani dan jasmani. Jasad-jasad dibangkitkan
dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia ini untuk
merasakan nikmat surgawi yang bersifat jasmani-rohani serta untuk merasakan
azab neraka yang juga bersifat rohani dan jasmani. Bagi al-Ghazali kehidupan di
surga dan neraka yang bersifat rohani dan jasmani itu,bukanlah sesuatu yang
mustahil,dan oleh karena itu gambaran dalam al-Qur’an dan Hadits itu harus
dipahami secara harfi/hakiki dan tidak boleh ditakwilkan secara
majazi/metafora. Pemahaman bahwa kehidupan disurga dan neraka itu bersifat
rohani saja,menurutnya itu adalah pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan
jasad pada hari kiamat dan pemahaman demikian bertentangan dengan al-Qur’an dan
Hadits,dan oleh karena itu dikufurkannya.[15]
Menurut para filosof-filosof
dari segi pikiran,alam akhirat adalah alam kerohanian,bukan alam material(alam
kebendaan),karena alam kerohania itu lebih tinggi nilainya. Karena itu menurut
mereka,pikiran tidak mengharuskan adanya kebangkitan jasmani,kelezatan atau
siksaan jasmani,surga atau neraka dan segala isinya. Kesemuanya ini memang
disebutka dalam al-Qur’an tetapi degan maksud untuk memudahkan pemahama
terhadap alam kerohanian bagi orang-orang biasa. Keunggulan alam kerohanian
sebenarnya juga berlaku dalam dunia ini,yang didasarkan pada kekuatan
berfikir,dan kelezatan mendapatkan objel-objek pikiran. Tetapi hal ini tidak
bisa dicapai,disebabkan karena kesibukan-kesibukan benda,dan baru dicapai di
akhirat nanti dimana kesibukan tadi itu tidak lagi menjadi penghalangnya.
D. ANALISIS
Al-Ghazali
adalah tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawwuf. Namanya sudah tidak
asing lagi di dengar karena kemashuran beliau dan kecerdasan beliau dalam
mengkritisi para filosof yang lain. Sebenarnya al-Ghazali tidak sepenuhnya
mengharamkan filsafat,selama filsafat itu tidak bertentangan dengan akidah dan
al-Qur’an serta As-sunnah,maka sah-sah saja menurut beliau. Pemikiran para
filosof sebagian juga tidak bertentangan dengan akidah menurutnya seperti
halnya gerhana bulan dan matahari,tidak ada kekeliruan dari mereka.
Sebenarnya
menurut hemat kami,perbedaan yang terjadi antar filosof terutama al-Ghazali dan
para filosof yang lain ini terletak pada pemposisian akal,bagaimana
sensitifitas dari beberapa filosof dalam mengkaji filsafat dan cara menempatkannya
serta cara pandang yang digunakannya. Bagi al-Ghazali akal hanya sebagai alat
untuk melogikan ayat-ayat yang terdapat al-Qur’an,tidak lebih dari itu. Akal
harus tunduk dan harus dibawah naungan al-Qur’an dan Hadits sehingga tidak
menyeleweng dari ajarannya.
E. KESIMPULAN
1. Nama
lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali,beliau
hidup pada tahun 450 H di sebuah kota yang ada di Irak yaitu kota Tus dan wafat
pada tahun 478 H.
2. Karya-karya
yang dikarangnya kurang lebih seratus buku/kitab yang dikarangnya dari beberapa
cabang ilmu pengetahuan,dan yang paling terkenal kitabnya adalah Ihya’ Ulumuddin.
3. Bermaksud
untuk menunjukkan kekeliruan para filosof,al-Ghazali mengarang kitab Tahafudz al-Falashifah,yang mengindikasikan
ketidak-koherensian para filosof dengan yang sebenarnya dan untuk mematahkan
pemahaman mereka yang terlalu mengidolakan filsafat,namun tidak menyalahkan
secara total.
4. Dari
beberapa pemikiran para filosof yang dianggap salah/bid’ah,tiga diantaranya
mengantarkan mereka pada kekufuran,yaitu pertama masalah qodim-Nya alam,kedua
tentang konsep bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang bersifat
juz’i(individual/partikular),dan yang ketiga adalah konsep kebangkitan jasad di
akhirat.
5. Menurut
al-Ghazali membantah akal sama halnya dengan mengokohkan Hadits Nabi dan
menjustifikasinya. Akal menurutnya harus tunduk dan patuh di bawah garis
al-Qur’an dan Hadits.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar