Syekh
Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar
al-Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad
Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten
pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi
menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di
Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai
tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di
desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan
Syawwal selalu diadakan acara khaul untuk memperingati jejak
peninggalan Syekh Nawawi Banten. Ayahnya bernama Kiai Umar, dari
silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari
Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu
keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama
Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad
melalui Imam Ja’far As-Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal
Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Ayahnya,
‘Umar Ibnu’ Arabi adalah penghulu kecamatan di Tanara. Beliau mengajar
sendiri putera-puteranya (Nawai, Tamim dan ahmad) pengetahuan dasar
dalam bahasa Arab, fiqh dan tafsir. Ketiga putera tersebut kemudian
melanjutkan pelajarannya kepada Kyai Sahal (masih di daerah Banten).
Setelah itu mereka melanjutkan lagi pelajaran di Purwakarta kepada Kyai
Yusuf, seorang Kyai terkenal yang menarik santri-santri dari
daerah-daerah jauh di seluruh jawa, terutama dari daerah Jawa Barat
waktu itu. Kemudian mereka melakukan ibadah haji sewaktu masih muda.
Syekh Nawawi waktu itu berumur 15 tahun mendapat kesempatan untuk pergi
ke Mekkah menunaikan ibadah haji dan tinggal di Mekkah selama 3 tahun.
Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra
Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun
belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah
ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya
mengajar para santri. syeck Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan
kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya
membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri
yang datang dari berbagai pelosok. Namun hati syeck Nawawi telah menyatu
dengan Kota Mekkah hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan
berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap
di sana. Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang
terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syekh Khatib Sambas
(Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul
Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu
belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di
Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali.
Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan
Syam (Syiria). Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan
meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di
Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 syekh Nawawi mulai
mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup
memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat
sebagai Syekh di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia
harus banyak menulis kitab.Terkadang Beliau menulis Kitab hanya
diterangi oleh lampu tempel (lampu yang berbahan bakar minyak tanah).
Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang
meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu
datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk
dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam
setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya.
Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar
(Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap
sulit dipahami. Alasan menulis Syarah selain karena permintaan orang
lain, syeck Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya
pendahulunya yang sering mengalami perubahan dan pengurangan. Rupanya
kehidupan intelektual di mekkah sangat menarik hati sang syakh, sebab
tidak lama setelah ia tiba di Banten ia kemudian belajar lagi ke Mekkah
dan tinggal di sana seterusnya sampai meninggalnya.
Dalam
menyusun karyanya syekh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama
besar lainnya, sebelum di cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh
mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya
mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan
bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke
daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan
menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama syekh
Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke
14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A ‘yan ‘Ulama’
al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa
al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz. Kesibukannya dalam
menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga
tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan
siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai
metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri
pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu
sebelum belajar langsung pada kiai agar proses pembelajaran dengan kiai
tidak mengalami kesulitan.
Nama
Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia.
Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik
madzhab Syafi’i, Imam Nawawi. Melalui karya-karyanya yang tersebar di
pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak
dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai
umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap
majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai
ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya
sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di
lembaga-lembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU. Di kalangan
komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama
penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati. Syekh Nawawi telah
banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis
tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak
membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang
sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama
(NU). Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak
bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah
guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini,
seringkali KH. Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan
Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena
besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi. Mengungkap jaringan
intelektual para ulama Indonesia sebelum organisasi NU berdiri merupakan
kajian yang terlupakan dari perhatian para pemerhati NU. Terlebih lagi
bila ditarik sampai keterkaitannya dengan keberhasilan ulama-ulama
tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu
faktor minimnya kajian di seputar ini adalah diakibatkan dari persepsi
pemahaman sebagian masyarakat yang sederhana terhadap NU. NU dipahami
sebagai organisasi keagamaan yang seolah-olah hanya bergerak dalam
sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik
praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektual keagamaan yang
bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama. Sehingga orang merasa
heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikan belakangan ini banyak anak
muda NU mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan
progressif.
Mereka
tidak menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar tradisi
intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan begitu NU berdiri
untuk menyelamatkan tradisi keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari
akar keilmuan ulama salaf. Figur ulama seperti Syekh Nawawi Banten
merupakan sosok ulama berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran
demikian. Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik,
suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan
secara evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya
pengaruh pola pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para
tokoh ulama di Indonesia, syeck Nawawi dapat dikatakan sebagai poros
dari. akar tradisi keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di
sini diuraikan sosok sang kiai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar
yang kelak akan banyak menjadi karakteristik pola pemikiran dan
perjuangan para muridnya di pesantren-pesantren.
Antara
1860 – 1870 ia mengajar di Masjid Haram dalam waktunya yang senggang,
sebab antara tahun-tahun tersebut Nawawi sudah aktif menulis buku-buku.
Tetapi setelah tahun 1870 ia memusatkan aktivitasnya untuk menulis.
Nawawi seorang yang produktif dan berbakat; tulisan-tulisannya meliputi
karya pendek yang berisi tentang pedoman-pedoman ibadah sampai kepada
tafsir Al-Qur’an yang cukup tebal yang terdiri dari 2 jilid, yang
diterbitkan di mesir tahun 1887. sarkis menyebutkan 38 karya Syekh
Nawawi yang penting. beberapa contoh karya Nawawi yang penting yang
terbit di Mesir antara lain:
1. Syarah Al-Jurummiyah, isinya tatabahasa Arab, terbit tahun 1881.
2. Lubab Al-Bayan (1884).
3. Dhariyat Al-Yaqin; isinya tentang doktrin-doktrin Islam, dan merupakan komentar atas karya Syekh Sanusi, terbit 1886.
4. Fathul Mujib. Buku ini merupakan komentar atas karya Adurr Al-Farid, karya Syekh Nawawi (guru Nawawi) yang terbit tahun
1881, dan 3 buah buku lagi yang berisi, selain doktrin-doktrin pokok,
uraian tentang lima bagian-bagian penting daripada hukum Islam dan lima
rukun Islam.
5. Dua
jilid komentar tentang syair mauled karya Al Barzanji. Karya ini sangat
penting sebab selalu dibacakan dalam perayaan-perayaan mauled.
6. Syarah Isro’ Miraj juga karangan Al Barzanji
7. Syarah tentang Syair Asmaul Husna
8. Syarah Manasik Haji karangan Syarbani yang tertbit tahun 1880.
9. Syarah Suluk Al-Jiddah (1983)
10. Syarah
Sullam Al-Manajah (1884) yang membahas tentang berbagai persoalan
ibadah. (Buku asli no. 9 dan 10 dikarang oleh Syekh Hadrami).
11. Tafsir murah Labib.
Karya-karya
besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari
Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni
bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika.
Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir
yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang ditulisnya
ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang
penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang
keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat
kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara
konprehenshif-utuh. Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku
dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy).
Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini dianranya
Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah,
al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat
al-Su’ud.
Sejalan
dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi
mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur
al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak
memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai
bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya,
karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam
tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang
pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah
sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya,
sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah.
Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah
Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil
memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri
ini. Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus
digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di
antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk
meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan
Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat
di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan
untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.
Tema
yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah
(Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Nawawi
menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah
antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah,
sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Dia mengakui
Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep
jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu
dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia
tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks Indonesia
sebenamya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali
ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir
kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia
dengan konsep tawakkal bi Allah. Sayangnya sebagian sejarawan modem
terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak
dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme
pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu
kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan
Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah
dalam kadar tertentu sebenamya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya
dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep
penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada
kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh
kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi dalam
pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para
muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”.Dalam beberapa
kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial
Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam
ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi
melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara
di bidang fikih tidak berlebihan jika Syekh Nawawi dikatakan sebagai
“obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya
fiqhnya seperti Syarh Safinat a/-Naja, Syarh Sullam a/-Taufiq, Nihayat
a/-Zain fi Irsyad a/-Mubtadi’in dan Tasyrih a/a Fathul Qarib,sehingga
Syekh Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna
Dan, atas dedikasi Syekh Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk
mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan.
Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di
berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada
tahun 1870 para ulama Universitas alAzhar Mesir pemah mengundangnya
untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka
tertarik untuk mengundangnya karena nama Syekh Nawawi sudah dikenal
melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.
Sejauh
itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas intelektualnya
mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam
bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf. Dari
karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, ia banyak
memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan
standar bagi seorang sufi. Brockleman, seorang penulis dari Belanda
mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan
tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al
Fudala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin
alGazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap
tarekat. Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya
(pamannya sendiri) Syekh Abdul Karim, seorang ulama tasawuf asal Jawi
yang memimpin sebuah organisasi tarekat, Namun atas pilihan karir dan
pengembangan spesialisasi ilmu penegatahuan yg ditekuni serta tuntutan
masyarakat beliau tidak mengembangkan metoda tarbiyah tasawuf seperti
guru-gurunya. Ketasawufan beliau dapat dilihat dari pandangannya
terhadap keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat
erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi
mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan
hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal
berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat
merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara
hakikat adalah basil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini
mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat
selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan
dengan ajaran Islam, syariat.
Paparan
konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya
terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan
tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf
inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia
lainnya. la dapat dibedakan dari karakteristik tipologi tasawuf
Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel
dan sebagainya. Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak
porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru
menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam
formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara
fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal
ini. Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai
seorang sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan
dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari
pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah
dapat diperoleh dengan proses ta’alum (berguru) dan tadarrus (belajar)
sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh
melului proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat
‘Arif. Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi alim yang banyak
mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia
spiritual ilmu batin.
Bagi
Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah
semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam
kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata
tanpa dibarengi ilmu lahir akan tejerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya
tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).
Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap
moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh
Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di
Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan
“sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk
mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai
oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888.
Namun secara hati-hati Nawawi menjawab dengan. bahasa yang manis tanpa
menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi
ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia
spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan
politik.
Setelah
karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman yang dikembangkan
di pesantren mulai berkembang. Misalkan dalam laporan penelitian Van
Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum
pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam
catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di
bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan
yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan
tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia
yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa
dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib yang telah berjasa
mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh
al-Waraqat, dan Syekh Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam
bidang Ilmu Hadis.
Sebenarnya
karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh
pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara.
Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di
Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di
sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Dari
100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak
dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya
adalah karya Nawawi. Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran
murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh
nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam
juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : K.H Hasyim Asyari
dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul
Ulama), K.H Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H Asyari dari
Bawean, yang menikah dengan putri Syekh Nawawi, Nyi Maryam, K.H Najihun
dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan Syekh
Nawawi, Nyi Salmah binti Rukayah binti Nawawi, K.H Tubagus Muhammad
Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, K.H Ilyas dari Kampung
Teras, Tanjung Kragilan, Serang, Banten, K.H Abd Gaffar dari Kampung
Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, K.H Tubagus Bakri dari Sempur,
Purwakarta, KH. Jahari Ceger Cibitung Bekasi Jawa Barat. Penyebaran
karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah
nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi. Mereka berjasa dalam
menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Nawawi yang tersebar
di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim
Asya’ari, salah seorang murid Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar
kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di
pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi untuk
kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H.
Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah
Labid karya Nawawi yang tidak sarna sekali meninggalkan karya ulama
Salaf. Meskipun ia senang membaca Kitab tafsir a/-Manar karya seorang
reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya
Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik ia tidak mall mengajarkannya
pada santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid
Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh Kholil Bangkalan dengan
pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam
penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang
berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Syekh
Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki Ageng menjadi
tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat.
Kemudian
ciri geneologi pesantren yang satu sarana lain terkait juga turut
mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan
referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan
sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith
(tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain. Peranan Syekh para
pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar
sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam
transmisi keilmuan tradisional Islam. Para Syekh didikan K.H Hasyim
Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi
sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi. Dalam bidang tasawuf
saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi wacana
penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana
penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain mejadi benteng penyebaran
ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana
sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat
ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan
tasawuf di sisi lain. Karya-karnya di bidang tasawuf cukup mempunyai
konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal
ini Nawawi, ibarat alGazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim
antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang
cenderung rasionalistik di sisi lain.
Sebagaimana
disebutkan di muka bahwa kitab-kitab karya al-Syeikh Muhammad Nawawi
al-Bantani itu berkenaan dengan bidang-bidang fiqh, tauhid, tasawuf,
tafsir, hadis, dan bahasa Arab, pembahasan-pembahasan dalam
kitab-kitabnya itu kadangkala dalam satu kitab terdapat banyak bidang.
Karena itu bidang bahasan ilmu fiqh dalam karya-karya al-Syeikh Muhammad
Nawawi, tidak hanya terdapat dalam kitab yang secara nyata menampilkan
judul fiqh. Untuk melihat kualitas pemikiran fiqh al-Syeikh Muhammad
Nawawi yang tertuang dalam karya-karya yang hampir seluruhnya berbentuk
syarah, perlu dilihat kualitas setiap karyanya itu. Seperti :
1. Kasyifah al-Saja
Kitab Kasyifah al-Saja adalah syarah atas kitab Safinat al-Naja fi Ushul al-Din wa al-Fiqh, sebuah buku kecil karya al-Syeikh Salim ibn Sumair al-Hadrami. Uraian fiqh dalam buku kecil ini dinyatakan oleh penulisnya adalah dalam mazhab Imam al-Syafi'i.
Meskpun disebutkan oleh penulisnya, kitab kecil ini berisi uraian
tentang ushul al-din dan al-fiqh, namun ternyata dalam isi-nya jauh
lebih banyak bidang fiqhnya. Bahasan dalam kitab ini dipilah-pilah pada
bentuk-bentuk fasal, yang meliputi 66 fasal; hanya 2 fasal yang pertama
yang berisi uraian bidang ushul al-din, yaitu tentang jumlah rukun
Islam, rukun Iman, dan makna kalimat tahlil. Selebihnya, yaitu 63
fasal, adalah bidang fiqh, yang dimulai dengan tanda-tanda kedewasaan
(baligh), dan diakhiri dengan uraian tentang puasa.
2. Sulam al-Munajat
Kitab Sulam al-Munajat adalah syarah atas kitab (matan) Safinah al-Shalah karya al-Sayid 'Abd Allah bin 'Umar al-Hadrami.
Kitab Safinah al-Shalah berisi tuntunan praktis tentang shalat, dari
sejak cara-cara bersuci sampai dengan pelaksanaan shalat, menurut mazhab Imam al-Syafi'i.
Mengenai sistematika isinya, kitab matan ini terdiri atas tiga bagian
yaitu, pendahuluan, isi, dan penutup. Pendahuluan berisi hamdalah dan shalawat; isi, meliputi dua bagian yaitu, akidah (makna kalimat Syahadatain), dan tuntunan shalat; sedang penutup berisi shalawat.
Melihat porsi isi kitab tersebut, tepatlah dikatakan, kitab itu kitab
fiqh. Karena singkatnya uraian, maka dalam buku itu tidak menunjukkan
dalil-dalil, masalah-masalah, dan alternatif-alternatif yang mungkin ada
di luar tuntunan shalat itu sekalipun masih dalam lingkungan mazhab Imam al-Syafi'i.
3. al-Simar al-Yani'at fi al-Riyad al-Badi'at
Al-Syeikh Muhammad Hasba Allah ibn Sulaiman menulis kitab kecil yang ia sebut mukhtashar, yang kemudian diberi nama al-Riyad al-Badi'at fi Ushul al-Din wa Ba'ad Furu' al-Syari'at 'ala al-Imam al-Syafi'i. Kitab kecil inilah yang kemudian disyarahi oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menjadi sebuah kitab yang diberi judul al-Simar al-Yani'at fi al-Riyad al-Badi'at. Atas munculnya pensyarahan ini, kitab al-Riyad al-Badi'at berarti kitab matan. Meskipun kitab matan ini diberi sub judul dengan fi ushul al-din wa ba'ad furu' al-syari'ah yang menggambarkan pembahasan bidang ushul al-din (akidah) dan sebagian kecil bidang syari'ah, namun dalam uraiannya ternyata sangat lebih banyak bidang fiqh. Karena itu, ungkapan wa ba'ad furu' al-syari-'ah,
dinyatakan oleh al-Syeikh Nawawi, maksudnya ialah sisi tertentu bidang
tasawuf. Ungkapan ini didukung oleh struktur dan sistematika kitab matan
ini yang sebagian besar membahas bidang fiqh. Dari sistematikanya,
kitab matan membagi uraiannya pada tiga bidang kajian, yaitu bidang
akidah, bidang fiqh, dan bidang tasawuf. Bidang-bidang tersebut
ditempatkan pada bagian-bagian kitab yaitu, bidang akidah ditempatkan
pada pendahuluan yang sebetulnya merupakan khuthbah al-kitab
(muqaddimah); bidang fiqh ditempatkan pada isi (tubuh) kitab; dan bidang
tasawuf ditempatkan pada bagian penutup yang dalam ungkapannya
dinyatakan dengan khatimah.
4. 'Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Zawjain
Dalam pengantarnya, al-Syeikh Muhammad Nawawi menyatakan bahwa kitab 'Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Zawjain ini adalah syarah atas sebuah risalah mengenai kehidupan suami isteri yang disusun oleh seseorang di antara para penasehat (al-Nashihin).
Al-Syeikh Nawawi tidak menjelaskan siapa nama orang dimaksud yang
menyusun risalah itu. Ada kemungkinan, yang dimaksud salah seorang
penasehat itu adalah al-Syeikh Muhammad Nawawi sendiri, sebab ketika ia
menamai kitab syarah ini, ia menyebutkan dengan kalimat wasammaituha (وسميتها); يamir ha (ها) tidak mungkin kembali kepada kalimat syarah (شرح), tapi yang mungkin ialah kepada kalimat al-risalah (الرساله). Pada kitab-kitab syarah yang lain menggunakan kalimat wasammaituhu (وسميته), dengan menggunakan damir hu (هُ).
Dan syarah dimaksud adalah penyempurnaan dari risalah itu, sebab
risalah yang disebutkannya, tidak mempunyai nama, hanya disebutkan
subyeknya saja, yaitu persoalan suami isteri (umur al-zawjain). Demikian pula dikatakan oleh al-Yasu'i, bahwa Nawawi adalah pengarang.
5. Nihayat al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'in
Kitab Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'in yang disusun oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, adalah syarah atas kitab fiqh beraliran madzhab Imam al-Syafi'i, oleh penulisnya, Zain al-Din 'Abd al-'Aziz al-Mali-bari, diberi nama Qurrah al-'Ain bi Muhimmat al-Din. Karena ada pensyarahan maka berarti ada kitab matan, dan yang dimaksud adalah kitab Qurrah al-'Ain itu. Kitab matan ini, karena pendeknya uraian, yang oleh penulisnya disebut mukhtashar (teks
uraiannya singkat), memang dirasa perlu ada pengembangan, atau ada yang
menjadikannya sebagai standard penguraian-penguraian yang luas. Kaitan
dengan hal ini, ternyata kitab matan tersebut disyarahi oleh dua orang,
yaitu oleh penulis matan itu sendiri yakni al-Syeikh Zain al-Din ibn 'Abd
al-Aziz al-Malibari (hidup pada abad ke-10 Hijriyah), dan oleh
al-Syeikh Muhamamad Nawawi al-Bantani. Syarah yang disusun oleh penulis
matannya diberi nama Fath al-Mu'in bi Syarh Qurrat al-'Ain. Adapun kitab syarah atas kitab matan yang disusun oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani diberi nama Nihayat al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'in.
6. Bahjat al-Wasa'il bi Syarh Masa'il
Al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menulis kitab yang kemudian diberi nama Bahjat al-Wasa'il bi Syarh Masa'il. Terlihat dari namanya, kitab ini adalah syarah atas sebuah kitab yang bernama al-Risalat al-Jami'ah bayna Ushul al-Din wa al-Fiqh wa al-Tasawuf,
karya al-Sayid Ahmad ibn Zein al-Habsyi. Karena ada kitab syarah, maka
berarti ada pula penyebutan kitab matan, yang dalam hal ini adalah kitab
al-Risalah tersebut di atas, dan kitab syarah adalah Bahjah al-Wasa'il itu.
7. Qut al-Habib al-Gharib
Pada awal abad ke-13 Hijriyah al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani selesai menyusun kitab yang diberi nama Qut al-Habib al-Gharib. Kitab ini merupakan tawsyih (pengembangan dari kitab syarah) yang, pengarang-pengarang lain semacam ini menyebutnya hasyiyah, terhadap kitab syarah yang bernama Fath al-Gharib al-Mujib karya Muhammad ibn Qasim al-Syafi'i. Kitab standard (matan) yang disyarahinya ialah Ghayat al-Taqrib karya Abu Syuja' Ahmad ibn al-Husain ibn Ahmad al-Asfihani, sebuah kitab fiqh menurut mazhab Imam al-Syafi'i.
Memperhatikan hal di atas, terlihat adanya tingkatan penulisan kitab,
yakni kitab matan, kitab syarah, dan kitab tawsyih; kitab Qut al-Habib
al-Gharib adalah tingkatan yang ketiga.
8. Mirqat Shu'ud al-Tashdiq
Al-Syeikh 'Abd Allah ibn al-Husain ibn Hakim ibn Muhammad ibn Hasyim Ba'alawi (w. 1266 H.), menulis kitab kecil tentang tasawuf, fiqh, dan kalam, yang kemudian diberi nama Sulam al-Tawfiq. Pembahasan dalam kitab ini disusun berbentuk pasal-pasal yang seluruhnya berjumlah 37 pasal. Pasal-pasal
tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu: bagian pertama, 3 pasal
mengenai ilmu kalam; bagian kedua, 23 pasal mengenai ilmu fiqh; dan
bagian ketiga, 11 pasal mengenai ilmu tasawuf. Meskipun sudah ada
pembagian-pem-bagian seperti itu, namun ternyata pada bagian-bagian ilmu
kalam dan ilmu tasawuf, terdapat pembahasan ilmu fiqh. Misalnya hukum
murtad dalam kajian akidah; pidana peminum khamer, penuduh zina, denda
zhihar, pidana pencurian, pembunuhan, zina, dan perampokan, ada dalam
pembahasan ilmu tasawuf. Isi uraian dalam kitab matan ini sangat
singkat, tidak mengemukakan dalil-dalil dan tidak mendefinisikan
konsep-konsep.
10. Maraqi al-'Ubudiyat
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali menulis kitab yang diberi nama Bidayat al-Hidayat.
Kitab ini berisi petunjuk-petunjuk praktis tentang amalan ibadah,
menghindari maksiat, dan hubungan baik. Corak petunjuk-petunjuk itu
lebih bersifat tata krama karenanya, kitab ini bisa dimasukkan
pada kategori kitab akhlak. Kemudian kitab tersebut disyarahi oleh
al-Syeikh Muhammad Nawawi, dan kitab syarah itulah yang kemudian diberi
nama oleh penulisnya dengan Maraqi al-'Ubudiyat. Karena ada syarah, maka kitab Bidayat al-Hidayatdisebut kitab matan.
11. Tanqih al-Qawl al-Hasis
Kitab Tanqih al-Qawl al-Hasis adalah syarah atas kitab Lubab al-Hadis karya al-Hafizh Jalal al-Din 'Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Sayuthi. Karena ada syarah (Tanqih al-Qawl al-Hasis) maka kitab Lubab al-Hadis adalah kitab matan. Kitab Lubab al-Hadis adalah kitab yang berisi kumpulan hadis-hadis tentang bermacam-macam keutamaan (fadilat).
Materi pokok yang mempunyai keutamaan-keutamaan itu secara garis besar
meliputi bidang-bidang ilmu pengetahuan, lafazh-lafazh tauhid, akidah,
ibadah, mu'amalah,
jinayah, akhlak, dan tasawuf. Seluruh pembahasannya dikelompokkan pada
40 bab. Hadits-hadits yang dihimpun dalam seluruh bab itu, oleh
penulisnya, tidak dicantumkan isnad-nya dengan maksud untuk meringkas. Lalu dikatakan oleh penulisnya bahwa hadis-hadis yang dihimpun itu semuanya adalah hadis shahih.
12. Marah Labid li Kasyfi Ma'na al-Qur'an al-Majid
Al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menulis kitab tafsir al-Qur'an setebal dua jilid yang, menurutnya selesai ditulis pada tanggal 4 Rabi' al-Akhir tahun 1305 Hijriyah. Kitab tafsir ini tergolong pada corak tartibi,
sebab menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan urutan ayat dalam
mushhaf, tidak berdasar pada tema tertentu. Karena itu dirasakan sulit
menghubungkan satu ayat dengan ayat yang lainnya dalam satu tema yang
oleh ayat-ayat itu disebut-kan. Meskipun demikian, dalam kitab tafsir
itu juga al-Syeikh Muhammad Nawawi menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan
dengan hukum (ayat ahkam). Hasil-hasil penafsirannya itu adalah berarti
fiqh (hukum-hukum syara'). Karena itu dalam tafsir ini juga berarti ada pembahasan fiqh secara langsung.
13. Qami' al-Thughyan
Salah satu kitab kecil yang corak pembahasannya menggunakan susunan nazham atau dalam bentuk sya'ir, dinamakan oleh penulisnya dengan Syu'ub al-Iman. Penulis dimaksud ialah al-Syeikh Zein al-Din ibn 'Ali ibn Ahmad al-Malibari. Sya'ir yang disusun oleh penulisnya sebanyak 26 bait dengan irama bahar al-Kamil.
Sebanyak 7 bait berisi masalah akidah, 10 bait berisi masalah fiqh, dan
9 bait mengenai tasawuf. Meskipun dalam jumlah kelihatannya seimbang
antar bidang-bidang pembahasannya, namun sebenarnya bidang fiqh itu
lebih besar, karena dalam bidang akidah dan tasawuf ternyata ada
pembahasan bidang fiqhnya. Kitab inilah yang kemudian disyarahi oleh
al-Syeikh Muhammad Nawawi dengan tujuan untuk mempermudah dan memperluas
pembahasan.
14. Salalim al-Fudala
Ada sebuah kitab kecil yang gaya penulisannya berbentuk nazham (sya'ir), ditulis oleh seorang ulama yang bernama Zain al-Din ibn 'Ali al-Ma'bari al-Malibari. Kitab tersebut diberi nama oleh penulisnya dengan Hidayat al-Azkiya ila Thariq al-Awliya. Nazham atau sya'ir
yang disusunnya itu seluruh-nya berjumlah 194 bait yang tersebar pada
23 tema atau pokok bahasan termasuk pendahuluan dan penutup. Kitab ini
kemudian disyarahi masing-masing oleh, al-Syeikh Muhammad Nawawi
al-Bantani, dan oleh al-Sayid Bakri al-Maki ibn al-Sayid Muhammad Syatha
al-Dimyathi.
15. Nasha'ih al-Ibad
Kitab yang bernama Nasha'ih al-Ibad ditulis oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, merupakan syarah atas kitab (matan) al-Munabbihat 'ala al-Isti'dad Liyawmi al-Ma'ad, karya Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-'Asqalani. Kitab matan, menurut penulisnya, berisi maw'izhah (petunjuk-petunjuk kebaikan) sebanyak 214 materi, dengan rincian sebanyak 45 materi berasal dari Hadis-hadis
Nabi, dan sebanyak 79 materi berasal dari ucapan shahabat dan
ulama-ulama terkemuka. Dilihat dari isi pokoknya, kitab ini menunjukkan
kitab akhlak atau tasawuf. Tetapi karena juga ada materi-materi yang
menyangkut masalah-masalah fiqh, maka kitab ini berarti juga ada bagian
fiqhnya. Dalam sistematika penyusunannya, kitab matan tersebut dibagi
pada sembilan bab. Secara berurutan, dari bab satu, isi materinya
disusun berdasarkan butir-butir dalam tiap materi. Pada bab pertama,
yang disebut bab al-Suna'i, berisi maw'izhah-maw'izhah, yang masing-masing maw'izhah terdapat dua butir. Bab tiga (al-Sulasi), setiap maw'izhah terdiri dari tiga butir. Demikian seterusnya sampai pada bab sembilan yang isi maw'izhahnya terdapat masing-masing sepuluh butir (al-Usyuri).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar