Syekh Astari Cakung (Seri Sejarah : Kiyai Banten)
SEJARAH WALIYULLAH
SYEKH ASTARI CAKUNG
DIRUMUSKAN OLEH:
KH. MAUJUD
ASTARI
Penulis
H. IMADUDDIN UTSMAN, SA.g. MA.
Hudan linnas press
2011
Diterbitkan Oleh :
PONDOK PESANTREN NAHDLATUL ULUM
Judul: Sejarah
Waliyullah syekh astari cakung
Perumus dan
Penanggung jawab isi: KH. Maujud bin Astari
Penulis: H.
Imaduddin utsman, S.Ag. MA
Penyunting: H.
soleh
M. Doni Andeske
Jaja Palis
Mahfudz junaidi
H. Ali ridlo
Omang paridan
Rasyidi Tapa
Muhyiddin
Khaeruddin Mushahir
Samudin SP
Komisaris: H.
Zuhdi abdurrouf
Penerbit: Hudan
linnas Press
Cetakan:
pertama 2011
HUDAN LINNAS
PRESS
JL RAYA KRESEK,
CEPLAK SUKAMULYA
2011
Kata
Pengantar
Sejak Islam masuk ke daerah Banten, Cakung adalah suatu daerah yang sangat
kental dengan tradisi kesantrian. Bahkan diperkirakan Cakung telah mengenal
Islam sebelum Maulana hasanuddin menyebarkan Islam di Banten.
Di Cakung
terdapat para ulama-ulama yang mumpuni dalam berbagai disiplin keilmuan seperti
Ki Syarif atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Ayip cakung, Ki Maderan, Ki
jahari, Ki Muhammad Ali dll.
Syekh nawawi Tanara Al Bantani, dititipkan ayahnya yaitu Ki Umar bin arobi sebelum
mesantren di Makkah al mukarromah kepada Ki syarif cakung.
Pada awal abad duapuluh hiduplah seorang ulama besar yang masyhur dengan
derajat kewalian yang bernama Syekh astari bin Maulana Ishaq. Beliau pada
mulanya mengasuh sebuah pesantren di Cakung, kemudian setelah kemerdekaan
beliau dipilih tuhan untuk Fana fillah (lebur bersama Tuhan).
Buku ini hanya menyajikan sebagian kecil dari sejarah kehidupannya yang pebuh
hikmah dan keindahan. Mudah-mudahan di suatu saat akan bermunculan lagi
buku-buku sejenis yang akan menyajikan kisah hidupnya secara utuh.
Akhirnya penulis memohon tegur sapa dari para pembaca untuk kesempurnaan
cetakan berikutnya.
Ponpes
Nahdlatul Ulum cempaka Kresek, Dzul qo’dah 1432 H
Penulis
H. Imaduddin
utsman, S. Ag. MA.
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………….
Nama,
silsilah keluarga dan Kelahiran…………………………………………………
Orang tua
Syekh Astari…………………………………………………………………
Pengembaraan
ilmiyah syekh astari………………………………………………….
Santri Sanga
di satu Pesantren………………………………………………………
Bertapa di
Goa umbul………………………………………………………………..
Kisah
Pertaruangan Biawak dan Ular Besar………………………………………
Kisah
Pertapaan Syekh Nawawi Mandaya……………………………………….
Syekh Nawawi
bikin pesantren…………………………………………………….
Syekh astari
dan Syekh Mustaya…………………………………………………
Sembilan
Sahabat berpisah………………………………………………………
Kehausan
ilmu
Semangat
syekh astari untuk kemerdekaan Indonesia……….
Lebur
Bersama Tuhan……………………………………………………………
Keluarga
syekh astari………………………………………………………………….
Riwayat-riwayat
tentang syekh astari………………………………………………….
Ilmu laduni
Syekh astari……………………………………………………………
Uang Baru
syekh astari………………………………………………………………
Wafatnya
syekh Astari………………………………………………………………..
NAMA,
SILSILAH KELUARGA DAN KELAHIRAN
Beliau bernama lengkap Syekh Astari bin Maulana Ishaq bin Muhammad Rafiuddin
bin Nyi Hadisah binti Ki Alim bin Ki Bulus (Abdul Gani) bin Syekh Hasan Bashri
bin Ki Mahmud bin Raden Saleh bin Sulthan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir bin
Sultan Maulana Muhammad Nashruddin (Kanjeng Ratu Banten surosowan) bin Maulana
Yusuf bin Maulana Hasanuddin.
Dalam silsilah di atas ada seorang perempuan yang bernama Nyi Hadisah yang
terselip dalam silisilah para ayah. Hal ini dikarenakan sosok Nyi Hadisah yang
dalam tradisi lisan masyarakat cakung sangat di mulyakan. Ia adalah seorang
perempuan yang diyakini sebagai Waliyatullah yang sampai sekarang tidak
diketahui apakah sudah wafat atau belum. Tapi seseorang yang diberi penglihatan
batin menyebutkan bahwa petilasan Nyi Hadisah berada di depan Masjid Syekh
Hasan Bashri.Di hikayatkan bahwa Nyi Hadisah adalah perempuan wari’ah yang
menghabiskan hari-harinya untuk beribadah dan mengabdi di masjid Syekh Hasan
basri, masjid yang diberi nama dengan nama buyutnya yaitu Syekh Hasan
Basri.
Syekh Astari juga merupakan cucu dari Syekh Ciliwulung melalui ibu dari Syekh
Hasan Bashri yaitu Nyi Fatimah binti syekh ciliwulung.
Syekh Astari dilahirkan di kampung Cakung Kedung, sekarang kampung kedung masuk
wilayah kecamatan Gunung Kaler. Tepatnya Kampung Cakung Kedung Ds. Kandawati
Kecamatan Gunung kaler (Pemekaran Kecamatan kresek) Kabupaten Tangerang-Banten.
Tidak ada yang mengetahui tahun berapa tepatnya Syekh Astari di lahirkan.
Tetapi ketika kita menghitung umur syekh Astari yang ketika wafat pada tahun
1987 berusia 99 tahun, maka kita bisa mengurut angka tahun 1888 sebagai tahun
kelahiran beliau berarti beliau dilahirkan kira-kira lima tahun setelah
meletusnya gunung Krakatau pada tahun 1883. Dan berbarengan dengan terjadinya
perang geger cilegon yang melibatkan para petani dan ulama Banten utara melawan
pemerintahan colonial Belanda. Juga berarti beliau dilahirkan ketika Syekh
Nawawi al-Bantani masih hidup di Makkah Al mukarromah. Syekh Nawawi al bantani
wafat Sembilan tahun setelah angka kelahiran Syekh Astari Cakung,
tepatnya pada tahun 1897.
ORANG TUA
SYEKH ASTARI
Syekh Astari berasal dari keluarga yang sangat kuat memegang tradisi
kesantrian. Ayahnya, Maulana Ishaq, walaupun seorang pedagang adalah seorang
yang taat menjalankan nilai-nilai agama. Di tengah kesibukannya berdagang, ia
juga mengajar ngaji kepada para anak-anak di kampungnya. Kedermawanan adalah
sifatnya yang sangat menonjol. Berdagang, mungkin, hanya dijadikan sebagai
suatu media bagaimana ia dapat berbuat sesuatu untuk orang lain. Dikisahkan
setiap datang dari pasar ia selalu membawa berbagai oleh-oleh. Dan oleh-oleh
yang ia bawa bukan hanya untuk keluarganya di rumah, tapi juga untuk para
tetangga. Iapun rajin mendatangi rumah-rumah tetangga dan menanyakan apakah
para tetangga itu mempunyai beras atau tidak.
Akhlak para sahabat seperti Umar bin Khatab dan Sayyidina Ali Zainal Abidin bin
sayyidina husein ra., seperti di atas yang dimiliki Maulana Ishaq kemudian
diwarisi oleh putranya yaitu Syekh Astari Cakung yang akan dijelaskan kemudian.
Syekh Astari mempunyai ibu bernama Nyi Ratu Nasiah. Sama seperti suaminya ia
juga berdagang pakaian, ragi dan boreh. Boreh adalah sejenis bedak yang terbuat
dari tepung beras dan rempah-rempah yang sangat masyhur dipakai oleh para gadis
dan ibu-ibu di Banten untuk mempercantik diri dan Nampak awet muda. Sifat
suaminya yang dermawan juga dimiliki oleh Nyi Ratu nasiah. Ia juga dikenal
begitu dermawan.
PENGEMBARAAN
ILMIYAH SYEKH ASTARI CAKUNG
Selain kepada ayahnya maulana Ishaq, Syekh Astari kecil mula-mula belajar ngaji
di kampungnya kepada Ki Muhammad Zen, seorang ulama yang juga mempunyai garis
keturunan kepada Syekh ciliwulung. Kalau Syekh astari mempunyai garis keturunan
kepada Syekh Ciliwulung melalui anak perempuannya yang bernama Nyai Ratu
Fatimah,ibu Syekh Hasan Basri, maka Ki Muhammad Zein melalui anak
laki-laki Syekh Ciliwulung yang bernama Ki Cinding. Memang Syekh Ciliwulung
kemudian mempunyai banyak keturunan yang menjadi para kiayi khususnya di
wilayah Kresek, Binuang dan Gunung Kaler dan umumnya di Banten Utara. Di daerah
Tanara, Tirtayasa dan Carenang banyak para ulama yang juga mempunyai garis
keturunan kepada Syekh Ciliwulung melalui putra Syekh Ciliwulung yang bernama
Ki Sauddin.
Kita bisa menyebutkan beberapa contoh para kiayi yang mempunyai garis keturunan
kepada Syekh Ciliwulung. Ki Adung seorang kiayi dari laban Tirtayasa adalah
seorang kiayi yang memiliki garis keturunan kepada syekh Ciliwulung melalui Ki
Sauddin. Begitu juga Kiayi soleh dan kiayi Fathoni Lempuyang. Ki Syafei bin
Makiyya dari Kebon Jeruk memiliki garis keturunan kepada syekh Ciliwulung
melalui Ki Cinding. Ki Amran Bugel juga keturunan Syekh Ciliwulung melalui Nyi
Ratu Fatimah. Sedangkan di Kresek Abuya Amin koper bersambung silsilahnya
melalui Nyai Ratu Fatimah. KH. Mufti bin Asnawi seorang ahli fiqh dari Cakung
srewu memiliki garis keturunan kepada Syekh ciliwulung melalui Ki Syueb.
Syekh Asnawi Caringin melaui ibunya juga keturunan Sekh Ciliwulung dari Ki
Cinding. KH. Makmun, Ki Busyra dan Ki Salim yang kesemuanya anak Ki Muhammad
zen Cakung guru Syekh Astari memiliki garis silsilah kepada Syekh Ciliwulung
melalui Ki Cinding. Dan masih banyak kiayi yang masih hidup yang memiliki garis
keturunan dengan syekh Ciliwulung.
Garis nasab para ulama Banten Utara bisa dikatakan didominasi oleh dua garis
silsilah yaitu garis silsilah Pangeran Sunyararas tajul arsy Tanara dan syekh
Ciliwulung Cakung. Dari garis Pangeran Sunyararas tajul arsy, kita bisa
menyebutkan beberapa ulama seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Umar
Rancalang, SYekh Nawawi Mandaya dan syekh Abdul Karim yang merupakan khalifah
toriqoh Al Qodiriyah wa al Naqsyabandiyah.
Kembali kepada pembahasan masa belajar Syekh Astari.
Dikisahkan Syekh Astari kecil ketika mulai mengaji kepada Ki Muhammad zen
selalu datang sebelum teman-temannya datang dan pulang setelah semuanya pulang.
Walaupun datang pertama kali, syekh astari tidak langsung mengaji tapi dia
menyimak pengajian teman-temannya satu persatu. Ia membuka halaman al Qur’annya
teman. Inilah yang membuat Syekh Astari sekali mengaji dapat berpuluh kali
lipat pelajaran daripada teman-temannya dalam semalam.
Suatu ketika Ki Muhammad zen ketiduran ketika Syekh astari sedang mengaji
karena Syekh Astari mengaji terakhir dan waktu sudah larut. Walaupun mengetahui
gurunya tertidur Syekh Astari tetap terus membaca al Qur’an. Karena murid hanya
boleh berhenti mengaji apabila gurunya memerintahkan berhenti. Rupanya karena
lelah Ki Muhammad zen tidur cukup lama. Walaupun syekh Astari merasa lelah
karena terus membaca al Qur’an ia tetap tak mau berhenti sampai gurunya bangun
dan menyuruhnya berhenti. Ketika Ki Muhammad Zen terbangun alangkah kagumnya ia
kepada Syekh Astari ketika mendapatinya masih terus mengaji di hadapannya. Ki
Muhammad yakin suatu saat nanti Syekh Astari kecil akan menjadi ulama besar
yang akan menjadi tumpuan umat.
Setelah menganjak remaja, syekh Astari diserahkan orang tuanya untuk mesantren
kepada syekh Jaliman di Bunar-Pematang.
SANTRI SANGA
DI SATU PESANTREN
Ketika mesantren di pesantren Bunar asuhan Syekh Jaliman, Syekh Astari satu
qurun bersama delapan orang sahabat yang kemudian kesembilan orang ini menjadi
para ulama besar. Mereka adalah Syekh Nawawi mandaya, Syekh umar rancalang,
Syekh Ardani Dangdeur, Syekh Balqi Paridan, Syekh Hamid Banten Girang, Syekh
Sadeli Bogeg, syekh Jamhari (kemudian dijadikan menantu syekh Jaliman), Syekh
Mustaya Binuang dan Syekh astari sendiri. Selain delapan teman itu syekh Astari
juga sequrun dengan Ki Kharis Cisimut.
Syekh Nawawi Mandaya berusia paling dewasa dibanding dengan delapan sahabat
lainnya. Perbedaan umur antara Sekh Nawawi mandaya dan Syekh astari sekitar
tigabelas tahun. Hal ini dapat disimpulkan karena pada saat ayah Syekh nawawi
Mandaya yang bernama Syekh Muhammad Ali (pengarang kitab Murad Awamil) di buang
ke Digul-Papua Barat atau irian Jaya pada tahun 1888 karena terlibat
pemberontakan pada perang Geger cilegon, syekh Nawawi Mandaya sudah berumur
duabelas tahun.
Perang Geger Cilegon walaupun terjadi di cilegon tetapi lebih banyak melibatkan
para ulama di daerah Banten Utara bagian timur seperti Syekh Abdul Karim
Tanara, Syekh Asnawi Bendung, Ki Marzuki, Syekh Muhammad Ali Mandaya, Ki Arsyad
towil (kemudian wafat di manado) dll. Ketika Syekh Muhammad Ali yang dibuang ke
Digul bersama isteri dan anaknya (Syekh Nawawi mandaya) pulang dari digul
dengan perahu layar. Terjadi sesuatu yang mengharuskan mereka menepi ke timur
Kupang. Akhirnya Syekh Muhammad Ali memutuskan untuk menyebarkan agama di Timur
Kupang dan menetap di sana sampai wafatnya. Sedangkan isteri dan anaknya
kembali pulang ke Banten dan menetap di Mandaya.
BERTAPA DI
GOA UMBUL
Di dekat pesantren yang diasuh syekh Jaliman di Pematang terdapat sebuah goa
yang bernama Goa Umbul. Menurut kepercayaan masyarakat dahulu ketika sedang
berkelana Maulana hasanuddin, sultan Banten yang pertama, pernah bertafakur di
goa tersebut.
Menurut penuturan syekh Jamhari, dulu waktu sama-sama nyantri dengan Syekh
Astari di Pesantren Bunar, ia melihat Syekh Astari memasuki Goa umbul, ia
perhatikan sudah satu hari syekh Astari tidak keluar goa. Kemudian ia membawa
makanan kedalam goa. Ia mendapati syekh astari sedang duduk dengan khusyu. Ia
meninggalkan makanan itu di hadapan syekh Astari. Lalu keesokannya lagi syekh
Jamhari kembali membawa makanan ke dalam goa. Namun ia mendapati makanan yang
kemarin dibawanya masih utuh. Tahulah ia bahwa syekh astari sedang berpuasa
wishal. Lalu ia membawa makanan yang dibawanya kemarin dan meletakan
makanan yang baru di hadapan Syekh astari. Mungkin saja makanan yang baru
ini akan dimakan. Keesokannya lagi, Syekh jamhari mendatangi kembali Syekh
Astari ke dalam goa umbul. Ia mendapatinya tetap duduk penuh khusyu. Kembali ia
melihat makanan yang dibawanya kemarin masih utuh. Namun ia tetap meletakan
makanan yang baru di hadapan Syekh Astari yang masih khusyu duduk tanpa sepatah
kata.
Syekh jamhari tidak bosan membawa makanan untuk syekh astari selama satu
jum’at. Setelah tujuh hari didapatinya Syekh Astari tak memakan makanan
secuilpun, barulah ia tahu bahwa mungkin Syekh Astari sudah berniat bertapa di
goa umbul ini untuk waktu yang lama. Kemudian untuk hari-hari selanjutnya ia
tak membawa makanan untuk Syekh Astari, ia hanya sesekali menengoknya untuk
memastikan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Setelah beberapa lama waktu
berjalan syekh Astari keluar dari Goa Umbul. Syekh jamhari yang selalu
menghitung hari pertapaan Syekh astari mengatakan bahwa Syekh astari
berada dalam Goa Umbul itu selama empatpuluh hari empatpuluh malam. Sama
seperti dulu Sultan Banten yang pertama Maulana hasanuddin bertapa di sana.
Masih menurut penuturan syekh jamhari, bahwa pertapaan Syekh Astari di dalam
goa Umbul bukan hanya sekali saja, tapi beberapa kali yang kesemuanya konsisten
selama empatpuluh hari empatpuluh malam.
KISAH
PERTARUNGAN BIAWAK DAN ULAR DI GOA UMBUL
Goa Umbul selain dikenal sebagai tempat pertapaan Maulana Hasanuddin, juga
sangat mashur dengan kisah pertarungan Sembilan biawak besar penunggu goa Umbul
melawan ular besar yang mnyerang goa. Ukuran besarnya ular itu kira-kira
sepohon kelapa sedangkan panjangnya memanjang cukup panjang. Bahkan beberapa
kepercayaan menyebutkan kepala ular itu berada di depan mulut goa sedangkan
ekornya masih ada di Merak-Cilegon.
Peristiwa pertarungan antara biawak besar penunggu goa dengan ular besar itu
terjadi beberapa hari sebelum peristiwa pemberontakan G30S/PKI. Karena yang
bertarung adalah makhluk-makhluk besar maka menimbulkan suara kegaduhan yang
cukup menarik perhatian warga.
Pertarungan itu berlangsung kira-kira selama limabelas hari mulai dari ba’da
ashar sampai maghrib datang. Anehnya ular itu datang dan pergi dari satu jalan.
Artinya ia pulang dari bekas jalan yang dilaluinya ketika datang sehingga tidak
merusak pohon padi yang lain selain yang ia lalui ketika pertama datang.
Peristiwa itu terjadi secara dzahir dapat disaksikan oleh siapapun yang hadir.
Anak-anak, remaja, orang dewasa, laki-laki dan perempuan dapat menyaksikan
peristiwa itu. Suara menggelegar bagai petir kadangkala terdengar dari benturan
akibat pertarungan. Tiga biawak menjaga pintu goa. Sedangkan enam lainnya
bertarung menghadapi ular. Apabila di antara enam biawak ini ada yang terluka,
maka salah satu dari tiga penjaga pintu goa ini maju ke depan. Sedangkan yang
terluka ini kemudian memasuki goa untuk minum dan menyelam dalam air yang
terdapat dalam goa.
Anehnya setelah meminum dan menyelam dalam air yang terdapat dalam goa
luka-luka biawak ini segera sembuh. Kemudian setelah sembuh ia bergantian
menjaga goa dan apa bila ada yang terluka dari enam biawak yang bertarung maka
salah satu di antara tiga penjaga goa itu maju ke depan dan terus demikian.
Sampai akhirnya ular besar itu kalah dalam pertarungan.
Menurut keyakinan sebagian orang, kekalahan ular itu menjadi isyarat akan
kekalahan PKI yang berusaha memberontak terhadap pemerintah Republik Indonesia.
Walaupun PKI telah berhasil membunuh tujuh jenderal tapi secara umum
pemberontakanya gagal. Jika ular itu sampai bisa masuk dan menduduki goa
niscaya PKI akan menguasai Indonesia.
KH. Maujud Astari yang mendengar cerita itu dari Syekh Jamhari mulanya hanya
menganggap kisah biawak itu hanya sebuah cerita. Tetapi ketika ia berkunjung ke
goa Umbul pada tahun 2007 beserta jamaah majlis Dzikir Al-Hudro perumahan
Korem Serang dengan dua mobil dan diiringi motor pada hari jum’at jam 11 siang,
ternyata memang biawak itu ada di depan mulut goa. Jumlah biawak yang dapat
dilihat H. maujud dan rombongan berjumlah 5 biawak. Di antara 5 biawak itu ada
yang berwarna putih. Kebetulan H. Maujud membawa Handycam dan kamera seraya ia
memotret biawak tersebut namun aneh biawak tersebut tidak kena di foto begitu
pula dengan handycam.
Menurut cerita KH. Maujud, kemudian ia berdo’a: “Ya Allah perkenankanlah Saya
masuk ke dalam goa ini, karena saya ingin berdo’a untuk Negara Indonesia agar
seluruh rakyatnya betul-betul menikmati kemerdekaan dalam kemakmuran.” Akhirnya
ia diberi ilham untuk masuk melalui atas goa. Ia pun menaiki bebatuan di atas
goa untuk menghindari biawak yang menunggu mulut goa. Setelah sampai atas goa
ia melihat sebuah lobang yang menuju ke dalam goa. Aneh, walaupun lobang ini
cukup besar tapi rerontokan daunpun nampaknya tidak bisa masuk ke dalam goa.
Sepertinya goa ini ditunggu makhluk gaib yang senantiasa menjaga kebersihan
goa.
Kemudian KH Maujud datang kembali ke goa Umbul bersama jamaah majlis dzikir
Bunut di antaranya H. bauti, Mahfudz dan H. Mansur. Kembali KH. Maujud dan
jamaah dapat melihat biawak-biawak itu. Pak Adam Malik, salah seorang wakil
presiden pak harto, beliau pernah membawa biawak-biawak ini beserta kotoran
kelalawar sekitar goa dalam karung-karung untuk pupuk. Namun setelah sampai
tujuan yang tersisa hanya karung-karungnya saja, sedangkan biawak dan kotoran kelalawar
itu hilang.
KISAH PERTAPAAN SYEKH NAWAWI MANDAYA
Syekh Astari seperti dikisahkan di atas, ketika mesantren di Syekh Jaliman
berbarengan dengan delapan santri yang kelak mereka menjadi para ulama besar.
Di antara mereka adalah Syekh Nawawi bin Muhammad Ali Mandaya. Usia Syekh
Nawawi bisa dikatakan paling dewasa. Suatu ketika Syekh Jaliman memerintahkan
Syekh Nawawi untuk membantu mengajar ngaji kepada para santri karena memang
Syekh Nawawi sejak kecil telah mendapat bimbingan langsung dari ayahandanya
yaitu Syekh Muhammad Ali. Bahkan dikisahkan ketika mesantren di Syekh Jaliman
Syekh Nawawi telah hafal kitab-kitab nadzam dan matan. Ketika pulang dari Digul
pada usia duabelas tahun bersama ibunya, Syekh Nawawi telah hafal kitab Murad
awamil karangan ayahnya. Maka tak heran kalau banyak orang yang mengira bahwa
kitab tersebut karangan Syekh Nawawi.
Ketika mendapat perintah gurunya untuk mengajar para santri Syekh Nawawi
bingung, bukan tidak mampu tapi apakah ia pantas, itu fikirnya. Maka ia
kemudian memohon kepada teman-teman sekobongnya untuk sementara ia dibiarkan
sendiri di dalam kamar. Kebetulan beliau satu kobong dengan 8 sahabat yang
disebutkan di atas.
Ternyata Syekh Nawawi tidak pernah keluar dari kobong dalam waktu yang cukup
lama. Kemudian hal itu di laporkan kepada Syekh Jaliman, dan menurut syekh
Jaliman para teman-temannya jangan mengganggu Nawawi, biarkan saja ia dalam
kobong sampai keluar dengan sendirinya. Setelah ditunggu-tunggu akhirnya Syekh
Nawawi keluar dari kobong setelah genap empat puluh hari ampatpuluh malam.
Setelah itu Syekh jaliman mempersiapkan kenduri atau selametan untuk Syekh
Nawawi karena bahagia mempunyai murid seperti Syekh nawawi dan sebagai takriman
wa ta’dziman kepada ayahnya seorang ulama pejuang yang rela meninggalkan Nagari
Banten yang di cintainya demi tugas dakwah di negeri yang jauh di ujung Barat
Nusantara.
Setelah tahannus selama empatpuluh hari empatpuluh malam itulah akhirnya Syekh
Nawawi mau membantu mengajar para adik-adik santrinya.
SYEKH NAWAWI
MANDAYA DIPERINTAHKAN BIKIN PESANTREN
Setelah beberapa tahun Syekh Astari mesantren di Syekh Jaliman, tibalah saat
Syekh Astari untuk meninggalkan pesantren Bunar. Yaitu saat Syekh Jaliman memerintahkan
Syekh Nawawi untuk pulang ke Mandaya dan mendirikan pesantren. Selain
memerintahkan Syekh nawawi pulang dan mendirikan pesantren, Syekh Jaliman juga
memerintahkan delapan sahabat untuk mengikuti Syekh Nawawi dan mengaji
kepadanya. Walaupun sebenarnya Syekh astari masih merasa betah tinggal di Bunar
mengaji dengan Syekh jaliman, tetapi karena ini perintah guru, syekh Astari tak
pernah bertanya mengapa ia langsung sam’an watoatan mentaati perintah
gurunya. Dalam dunia pesantren diajarkan ketaatan murid kepada guru adalah
ibarat mayit ditangan gosil (orang yang memandikan mayit).
Ketaatan
murid kepada guru adalah ketaatan dzohir dan batin. Jiwa raga seorang santri
dihadapan kiayinya adalah jiwa raga kepasrahan yang sempurna. Keberkahan dan
futuh dalam dunia pesantren adalah kunci kemanfaatan. Dan kunci kemanfaatan itu
bisa diraih hanyalah dengan kepasrahan yang sempurna kepada guru. Bahkan bila
kiayi memerintahkan muridnya untuk masuk ke dalam kobaran api yang
menyala-nyala maka seorang santri al-shodiq tidak akan bertanya mengapa ia
harus masuk ke dalam api tetapi ia akan langsung memasuki api itu dan tak akan
bertanya mengapa.
Demikianlah
jiwa raga syekh astari telah dipasrahkan seluruhnya tanpa tersisa kepada
Syekh jaliman. Ketika Syekh Jaliman memerintahkan untuk mengikuti Syekh Nawawi
ke mandaya, syekh Astari dan tujuh sahabat lainnya taat.
Akhirnya
pengelanaan syekh astari dalam dunia ilmiyah sampai di Mandaya. Orang yang dulu
adalah teman sekobong, kini menjadi guru. Walaupun ia berguru kepada teman
mesantren, tetapi ketaatan dan hormat Syekh Astari kepada Syekh Nawawi tidak
berkurang. Dulu ia memasrahkan jiwa raganya kepada syekh jaliman, kini ia
memasrahkan jiwa raganya kepada Syekh Nawawi mandaya.
SYEKH ASTARI
DAN SYEKH MUSTAYA BINUANG
Seperti dikisahkan sebelumnya, bahwa Syekh Astari satu qurun dengan delapan
sahabat yang kemudian menjadi ulama besar. Di antara delapan sahabat itu adalah
syekh Mustaya Binuang. Ia adalah teman Syekh Astari sejak di pesantren Bunar
asuhan Syekh jaliman. Kemudian keduanya menjadi murid dari Syekh Nawawi Mandaya
yang juga adalah satu pesantren ketika di pesantren Bunar.
KH. Maujud bin Syekh Astari mengkisahkan pertemuannya dengan Syekh Mustaya
untuk pertama kalinya. Ketika itu KH. Maujud masih mesantren di KH. Suhaimi
Sasak.
KH. Maujud datang ke Binuang bersama seorang temannya untuk bersilaturahmi dan
memohon do’a. ia melihat Syekh mustaya sedang duduk dengan mata ke
langit-langit rumah. KH. Maujud mengucapkan salam. Tapi Syekh Mustaya masih
diam terpaku dengan mata masih menatap kosong ke langit-langit. Terpaksa KH.
Maujud dan temannya duduk tanpa dipersilahkan setelah mencium tangan Sang
syekh. Lama terjadi keheningan di antara mereka.
Setelah beberapa saat terdiam KH maujud kikuk melihat Syekh Mustaya tetap
terdiam, akhirnya ia mengawali pembicaraan: “Yai, saya kesini mau memohon
do’a”. mendengar KH Maujud berkata demikian Syekh Mustaya menggebrak meja
sambil mengatakan: “Kamu juga kan bisa berdo’a, ngapain minta-minta doa.pada
saya, Abahmu Syekh astari itu mesantrennya bareng ama saya”. KH maujud dan
temannya kaget karena gebrakan meja itu, dan heran karena Syekh Mustaya
mengetahui bahwa ia adalah putra Syekh Astari padahal ia belum pernah
silaturahmi kepada Syekh mustaya. Pertemuan itu adalah pertemuan pertama.
Syekh Mustaya adalah kiayi yang kharismatik dan penuh karomah. Selain mengajar
santri ia juga sering berceramah di berbagai tempat. Zaman itu masih banyak
masyarakat yang bila mengadakan hajat menanggap ubrug, jaipong, golek dan
kemaksiatan lain. Tak jarang waktunya berbarengan dengan ceramah Syekh mustaya.
Para jawara telenges sering merasa gerah dengan adanya ceramah syekh
Mustaya yang sering menyinggung orang menanggap jaipongan dan sebagainya.
Akhirnya para jawara mengadakan berbagai macam upaya untuk menggagalkan ceramah
Syekh Mustaya.
Di suatu ceramah tiba-tiba speker yang dipakai Syekh mustaya ceramah mati
karena kabelnya ada yang memotong. Akhirnya Syekh Mustaya mengambil sandalnya
untuk dijadikan sebagai mix, akhirnya suara Syekh mustaya menggema di
loudspeaker seperti menggunakan mix sungguhan.
Dilain acara ceramah yang barungan dengan tanggapan ubrug, syekh Mustaya
menggerakan teko yang berisi kopi kepada para hadirin dari kejauhan. Teko ini
menuangkan kopi kepada para hadirin satu persatu tanpa ada orang yang
memegangnya. Sehingga orang-orang yang semula menonton ubrug jadi penasaran
untuk menghadiri ceramah Syekh Mustaya.
Kembali kepada kisah kunjungan KH. Maujud kepada Syekh mustaya.
Syekh Mustaya menceritakan kepada KH. Maujud kisah tentang waktu ia dipesantren
bersama Syekh Astari. Menurut Syekh Mustaya, Syekh astari adalah sosok yang
sukar dicari tandingnya akan akhlak dan lain sebagainya.
Syekh astari adalah orang yang mempunyai akhlak yang sangat sempurna ketika di
pesantren. Ketawaduannya kepada teman tidak ada bandingnya. Setiap mengaji di
hadapan guru ia selalu datang sebelum guru datang. Dan di dalam pengajian ia
duduk bersama teman ketika berdesakan selalu menaikan paha temannya di atas
pahanya. Ia hanya mau memberi tak mengharap diberi. Ia hanya mau memangku tak
berharap di pangku. Ia hanya mau membahagiakan tak mengharap balasan.
Teman yang sering di sandinginya adalah syekh Mustaya, maka Syekh Mustayalah
yang sering pahanya ditumpangkan di atas paha Syekh astari. Suatu ketika ketika
Syekh Astari tidak ada Syekh Nawawi mengatakan kepada seluruh para santri bahwa
ia melihat cahaya terang dari wajah Astari dan menganjurkan kepada para santri
untuk tidak berbuat yang kurang baik kepada Syekh Astari.
Ketika mendengar penuturan Syekh Nawawi itu, syekh Mustaya tidak mau lagi
menumpangkan pahanya di atas paha Syekh Astari walaupun Syekh Astari memaksa.
Tapi tetap saja sepanjang pengajian keduanya hanya sibuk menumpangkan paha
temannya kepada yang lainnya. Sehingga Syekh Mustaya akhirnya mengalah.
Ketika tiba giliran mengaji berikutnya, Syekh Mustaya sengaja datang terlambat
agar bisa menjauhi syekh astari. Ia tahu pasti syekh Astari akan masuk majlis
sebelum syekh Nawawi datang. Setelah ia memastikan syekh Astari duduk di
majlis, barula ia masuk majlis dan sengaja ia duduk jauh dari tempat Syekh
astari. Ketika Syekh mustaya sedang asik mengaji betapa kagetnya ia karena
Syekh Astari telah berada di sampingnya dan telah menumpangkan paha syekh
Mustaya di atas pahanya sendiri.
Syekh Mustaya menceritakan bahwa Sekh Astari hanya mempunyai satu pakaian untuk
dikenakan. Bukan karena ia tak punya. Keluarganya adalah keluarga yang
berkecukupan. Tapi karena bila ia mempunyai dua baju atau lebih, maka ia akan
segera memberikannya kepada orang lain. Ia hanya mau mempunyai baju satu saja
yaitu yang menempel di badannya. Ketika satu baju ini di cuci ia berendam di
dalam air sampai bajunya kering.
Begitu juga bila ia pulang dari rumah membawa beras, lauk pauk dan sebagainya
maka sesampainya di pesantren semua beras dan yang lainnya ia bagikan kepad
teman-temannya. Sementara ia melalui hari-hari berikutnya dengan kepasrahan
kepada Allah Swt.
SEMBILAN
SAHABAT BERPISAH
Setelah beberapa tahun mendapat bimbingan dari Syekh Nawawi Mandaya, akhirnya
Syekh Nawawi mempersilahkan delapan orang ini untuk pulang ke kampungnya
masing-masing guna mengamalkan ilmu di masyarakat. Sebelum pulang delapan
sahabat ini bersepakat untuk membantu pembangunan rumah Syekh Nawawi yang
kebetulan baru saja bersiap-siap akan membangun rumah. Kebetulan mereka selain
sebagai santri juga cakap dalam pertukangan.
Syekh mustaya menceritakan bahwa Syekh astari yang berbadan kurus sangat
cekatan dalam mengerjakan apapun. Apalagi ketika sampai mengerjakan bagian
kuda-kuda di atas. Tubuh Syekh astari begitu lentur bergelayutan untuk
mengerjakan pekerjaan tertentu. Syekh Mustaya rupanya agak takut ketinggian. Ia
ingin membantu syekh Astari di atas tapi ia takut ketinggian. Rupanya Syekh
Astari mengetahui gerentes hati Syekh mustaya, akhirnya ia mengulurkan tangan
kepada Syekh Mustaya untuk ikut naik. Mulanya Syekh Mustaya ragu-ragu. Tapi
akhirnya Syekh Mustaya menyambut tangan Syekh Astari dan aneh ketika tangan
syekh mustaya menyentuh tangan Syekh astari, seluruh rasa takut itu hilang.
Rumah itupun setelah beberapa hari hamper rampung kecuali ketika hendak
membikin undak paling atas. Delapan sahabat ini berbeda pendapat. Ada yang
mengusulkan begini, ada yang begitu. Akhirnya syekh Nawawi turun tangan sendiri
untuk menentukan model yang ia inginkan.
Kejadian undak itu adalah isyarat bahwa sejadug-jadugnya murid tetap saja ujung
penyelesaiannya adalah sang guru. Setelah rumah selesai dibangun, Syekh nawawi
memerintahkan delapan sahabat ini untuk bertahannus selama empatpuluh hari
empatpuluh malam di payon rumah barunya itu.
Setelah selesai bertahannus, delapan sahabat ini dipersilahkan pulang kembali
ke kampungnya masing-masing untuk mengamalkan ilmu di tengah masyarakat.
Akhirnya setelah sekian tahun bersama mulai dari pesantren Bunar asuhan syekh
jaliman sampai di Mandaya kesembilan sahabat ini berpisah.
KEHAUSAN
ILMU
Setelah pulang dari Mandaya, Syekh Astari pulang ke cakung. Sesuai amanat
gurunya ia mengamalkan ilmu semampunya di tengah masyarakat cakung. Umurnya
waktu itu sekitar tigapuluhan. Tidak ada riwayat yang jelas apakah ketika itu
ia sudah menikah ataukah belum. Pada zaman dahulu sudah lazim santri yang telah
layak menikah mempunyai isteri di sekitar tempat ia mesantren sambil terus
mengaji.
Walaupun telah diam di Cakung, syekh Astari tidak menghentikan kehausannya akan
ilmu agama. Kadangkala ia ke luar cakung untuk mengaji pasaran. Tercatat Syekh
astari kemudian mesantren kepada Syekh Piyan di Laes. Juga kepada Syekh Misbah
dan syekh Toyib di Koper. Termasuk kepada Ki romli di Cideng Kresek. Juga
kepada beberapa kiayi yang lain.
Sekitar tahun 1920 Syekh astari mendirikan pesantren di cakung. Berdatanganlah
para murid dari berbagai daerah.Syekh astari menekuni pesantren sampai
kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945.
SEMANGAT
SYEKH ASTARI UNTUK INDONESIA MERDEKA
Di
masa perang, Syekh Astari gigih memberikan semangat kepada para pejuang untuk
siap berperang merebut kemerdekaan. Ki Busyro mengisahkan bila saatnya tiba
para tentara berperang, maka Syekh Astari mempersiapkan gentong yang berisi air
kemudian para tentara itu satu persatu diberi minum dan di mandikan oleh Syekh
astari agar hatinya bersih dan penuh keikhlasan dalam berperang. Selain itu
untuk menambah keberanian tentara. Karena sebagian dari keistimewaan
putra-putra Banten adalah memiliki bakat keberanian yang turun temurun. Air
yang diberikan syekh astari itu hanya menambah dan mengasah keberanian yang
telah melekat ada di dada putra Banten. Takut, adalah kata yang tak diajarkan
bagi putra Banten sejati. Keberanian adalah jiwa, dan akhlak adalah hiasanya.
Sebelum
kemerdekaan, Sukarno mendatangi Syekh astari untuk bersilaturahmi dan
memusyawarahkan bagaimana supaya Indonesia cepat merdeka. Ketika itu Syekh
Astari sedang bikin sebuah sumur, Sukarno pun ikut bersama syekh astari
memperhatikan para tukang penggali sumur. Sukarno memang sering berziarah ke
Cakung sejak muda. Disela-sela kesibukannya menggalang para pejuang
kemerdekaan, Sukarno menyempatkan waktunya untuk memenuhi hasrat batinnya
berziarah ke para wali termasuk kepada para wali di Cakung.
Ki Hamzah
dari Talaga cisoka mengisahkan bagaimana pertemuannya dengan syekh Astari di
serang. Syekh astari menyatakan Indonesia bisa merebut kemerdekaan dengan
perjuangan dan do’a. Syekh Astari menyarankan kepada orang-orang yang mampu
untuk pergi haji ke Makkah dan berdo’a di hadapan ka’bah untuk kemerdekaan
Indonesia.
Ketika Ki
Hamzah hendak mesantren ke Rangkas Bitung bersama sekitar lima orang temannya
melalui stasiun tenjo, ia bertemu dengan dua orang yang berpakaian rapi. Kedua
orang itu bertanya “mau kemana, dik?”. Ki Hamzah dan teman-temannya menjawab
“Kami mau mesantren di rangkas Bitung dengan kreta, pak”. “O, kebetulan Kami
juga mau ke Rangkas, biarlah adik semua bareng dengan Kami saja!”. Tanpa menolak
Ki hamzah dan teman-teman menuruti ajakan dua orang tersebut. Mereka satu
gerbong dengan keduanya. Semua ongkos Ki Hamzah dan teman-teman di tanggung
keduanya, bahkan seluruh penumpang di gerbong itu biayanya ditanggung mereka
berdua.
Rupanya
tanpa disangka, tujuan Ki Hamzah dan teman-teman sama dengan kedua orang yang
berpakaian rapih itu, yaitu pesantren di daerah rangkas. Setelah tiba di
pesantern itu, rupanya di pesantern itu sedang ada acara pertemuan akbar. kedua
orang ini memang sedang ditunggu. Ki Hamzah dan teman-teman heran, siapakah
kedua orang yang bersama mereka di kreta itu. Mengapa mereka berdua begitu
ditunggu dan dielu-elukan. Ketika memasuki pintu gerbang ada orang berseru
“Selamat datang kepada IR. Sukarno pejuang kemerdekaan Indonesia”!.barulah Ki
Hamzah dan teman-teman tahu bahwa orang yang bersamanya adalah Ir. Sukarno
seorang pemuda yang selama ini menjadi buah bibir anak bangsa akan
kesemangatnya memperjuangkan Indonesia merdeka. Dalam pidatonya Ir. Sukarno
mengatakan Indonesia harus merdeka pada tanggal 17 agustus 1945.
Setelah
beberapa tahun mesantren di Rangkas, ketika Ki Hamzah telah berada di Cisoka.
KH. Ahmad Khatib pidato di cisoka bahwa Indonesia akan merdeka pada tanggal 17
agustus 1945, sama dengan pidato Ir. Sikarno di Rangkas.
Kemudian Ki
Hamzah pergi Ke Makkah Al Mukarromah untuk menunaikan ibadah haji ia bertemu
dengan Syekh Astari cakung di rumah Syekh Nawawi di Syib Ali. Kemudian mereka
berdo’a di depan ka’bah untuk kemerdekaan Indonesia.
Dalam
kisahnya Ki Hamzah meriwayatkan bahwa selain bertemu dengan Syekh Astari ia
juga bertemu dengan Syekh Nawawi Tanara.dan Syekh hasan bashri. Padahal Syekh
Nawawi Tanara dan Syekh Hasan Bashri telah wafat ketika itu. Apalagi syekh
hasan Bashri telah wafat sekitar tigaratus tahun. Pertemua dengan para ulama
yang wafat adalah hal yang lumrah dalam dunia pesantren. Karena orang-orang
mulia itu sebenarnya tidak mati.
Menurut Ki
Hamzah, setelah berdo’a bersama Syekh astari, Syekh Hasan Bashri dan Syekh
Nawawi, Syekh Hasan Bashri Cakung mengatakan “Kalau sudah berdoa semuanya harus
segera pulang ke Jawa untuk mengawal kemerdekaan Indonesia!”. Akhirnya semuanya
sepakat untuk segera pulang, namun kapal yang mengangkut mereka tidak ada.
Kemudian Syekh Hasan bashri bertanya “siapa yang bisa menyiapkan kapal?.
Kemudian Syekh Hasan Bombay mengatakan saya siap menyiapkan lima kapal” kata
Syekh Hasan bahsri “ kalau Cuma lima masih kurang, siapa lagi yang bisa
menyiapkan sisanya?” kemudian ada seorang janda kaya namanya Nyi ratu Juriah
yang sanggup menyiapkan tiga kapal. Akhirnya mereka dan para orang-orang Banten
dan nusantara yang berada di makkah pulang ke Indonesia.
Akhirnya
sampailah rombongan kapal dari makkah ini di Tanjung Priuk. Kemudian Ki Hamzah
pulang ke Cisoka. Di sepanjang jalan dari tangerang sampai Cisoka dia melihat
rombongan bebek yang digiring orang. Panjangnya iringan bebek ini tidak
putus-putus sampai Cengkudu. Menurut Ki Hamzah ini pertanda bahwa belanda pergi
dari Indonesia dengan hina seperti bebek-bebek itu.
LEBUR BERSAMA
TUHAN
Setelah
kemerdekaan Indonesia Syekh Astari di sapa Tuhan dengan cintanya. Ia majdzub
terserat cahaya rabbani. Yaitu keadaan di mana seorang hamba lebur membaur
bersama kasih sayang tuhan atau dalam dunia sufi di sebut fana fillah.
Keadaan di mana dunia beserta segala isinya tiadalah menarik hatinya kecuali
hanya mengharap cinta dan keridoannya. Keadaan di mana hati ini sudah tiada
memperdulikan lagi segala apa pendapat makhluk kepadanya kecuali hanya
pandangan Allah.
Keadaan di
mana asa dan rasa telah terbakar hangus oleh api cinta yang membara kepada
Allah. Hakikat terasa begitu Nampak tak berselimut gerhana basyariyah. Yang ada
hanya Tuhan, tiada yang lain lagi. Hati terasa begitu ringan tanpa beban.
Bersinar sejuk putih mempesona tiada tara. Tiada lagi hiqid terselip. Tiada
lagi luka akibat benci. Tiada noda hasad. Berkemilau bagai berlian. Dan anggun
bagai mutiara tanah Lombok.
Demikianlah
jalan hidup Syekh astari. Allah memilihnya untuk menjadi bagian dari
kekasihNya, wali-Nya yang menjadi oase bagi hamba-hambaNya di tengah gersangnya
kehidupan rohani.
Syekh astari
kemudian mewaqafkan hidupnya hanya untuk kebahagiaan sesame. Ia berkeliling
membangun masjid-masjid dan majlis taklim. Ia buka jalan-jalan baru untuk dapat
dilalui manusia. Ia membuat irigasi untuk pemandian masarakat dan pertanian. Ia
buat danau-danau kecil di depan masjid dan di tengah perkampungan.
KELUARGA
SYEKH ASTARI
Syekh Astari menikah beberapa kali. Di cakung beliau menikah dengan Nyi Aisah
mempunyai anak satu yaitu Ratu Asiroh. Kemudian menikah dengan putri Ki Misbah
Koper mempunyai anak Syekh Bakri. Dengan Nyi Dewi mempunyai anak Muhammad
Gaosul alam. Dengan Nyi Sabnah Koja mempunyai anak 5 yaitu: Muhammad nawawi,
Nyi suaroh, Maulana Yaudin (Badong), KH. Maujud dan Anwar Kamil.
RIWAYAT-RIWAYAT
TENTANG SYEKH ASTARI
Kehidupan yang indah. Itulah kesimpulan bila kita mengenang tokoh syekh Astari
cakung. Ketika masa hidup beliau setiap hari Kampung cakung ramai oleh para
peziarah yang ingin memohon do’a dan keberkahan dalam kehidupan mereka. Mulai
dari petani, pedagang, nelayan, pejabat tinggi sampai rendahan, anak-anak
semuanya ingin bertemu dengan syekh astari dan memohon petunjuk akan masalah
yang merek hadapi.
Setiap orang yang pernah berkunjung kepada beliau mendapatkan kesan yang begitu
dalam. Bahkan tak jarang mereka mendapatkan hal-hal gaib dan aneh yang berada
di luar aqal. Bisa dikatakan Syekh astari adalah Wali yang banyak Allah
dzahirkan keramatnya kepada manusia pada zamanya. Buku kecil ini bukanlah buku
penelitian juga bukan buku pencakup seluruh keramat-keramatnya karena waktu
yang tidak cukup untuk mendatangi para orang-orang yang memiliki kisah-kisah
indah bersama Syekh astari. Buku kecil ini hanyalah setetes embun dari segara
kisah tentang beliau.
Penulis akan memberikan beberapa kisah tentang syekh astari yang penulis
dapatkan dari orang-orang yang berada di lingkungan penulis saja.
Ustad Karman dari talok menyebutkan ada seorang pedagang minyak wangi dari
Balaraja mengaku selalu berdagang sepi dan rugi. Suatu ketika minyak wanginya
ini di ambil tanpa permisi oleh Syekh Astari. Sang pedagang ini membiarkan
saja. Lalu Syekh Astari menyemprotkan minyak wangi itu kepada orang-orang yang
ditemuainya. Setelah kejadian itu, dagangannya menjadi laris dan maju.
Ia juga meriwayatkan, ada dua orang dari bekasi meminta Ki Karsam (mertuanya)
untuk mengantar mereka ke Syekh astari. Setelah sampai rumah beliau, beliau
berkata sambil menghadap kiblat “ada orang yang ditunggu kuburan tigahari
lagi!” singkat cerita, dua orang dari bekasi ini pulang. Kebetulan tujuan ke
rumah mereka melewati kali, dan harus naik perahu bila mau samapai. Ternyata
perahu ini terbalik dan salah seorang di antara mereka meninggal tepat di hari
yang ketiga seperti yang dikatakan Syekh Astari.
Ia juga meriwayatkan pertemuan pertamanya dengan syekh astari. Setelah sampai
di hadapan syekh Astari, beliau berkata: “Alhamdulillah, saya kedatangan tamu
dari Petir, Rembang dan Cianjur”. Ustad Karman kaget, nama-nama daerah yang
disebutkan syekh astari itu adalah nama-nama tempat ia mesantren padahal ia
belum pernah bercerita di mana ia dulu mesantren.
ia juga mengkisahkan tentang rencana kondangan H. Abdul ghani dan rombongan ke
Petir. Karena mobil sudah penuh akhirnya Syekh astari yang berencana ikut di
tinggal karena tempat yang kosong hanya di belakang. Menurut H. Abdul Gani
tidak pantas syekh Astari duduk di belakang sedangkan di depan juga sudah ada
kiayi lain yang sudah duduk. Kebetulan syekh Astari belum datang. Akhirnya
mobil ini berangkat tanpa Syekh astari. Sampai renged tepatnya di ki buyut
Ketul mobil ini mogok. Para mekanik berusaha menservis mobil ini agar jalan,
tetap saja mobil ini mogok. Akhirnya setelah lama barulah H. abdul ghani ingat
bahwa ia telah meninggalkan Syekh astari, akhirnya Syekh astari disusul.
Setelah Syekh Astari duduk, mobil ini langsung menyala setelah di engkol.
Mang Udin dari cakung menyebutkan, dulu ia adalah seorang supir. Ketika ia mau
berangkat ke Jakarta di kandaggede ia diberhentikan oleh syekh Astari dan
memintanya untuk mengantarkan ke Koja-Bolang. Dia mengatakan tidak bisa karena
sedang buru-buru berangkat ke Jakarta. Secara tiba-tiba mobilnya mogok.
Orang-orang yang ada di sekitar jalan membantu mang udin mendorong mobil, tapi
tetap mogok. Akhirnya mang udin mempersilahkan Syekh astari duduk dalam mobil.
Kemudian mobil didorong lagi dan langsung menyala.
Mang Buang mengkisahkan, di Pesantren syekh astari ada sebuah pohon kelapa
tumbang. Para santri berusaha mengangkatnya. Karena kelapa ini besar mereka
tidak kuat. Pada waktu malam kemudian Syekh Astari keluar dari rumah. Mang
buang memperhatikan kemana Syekh astari malam-malam begini mengenakan kaos dan
celana komprang. Ternyata ia mendekati pohon kelapa yang tumbang itu. Kemudian
Syekh astari mendekatkan jempol kakinya ke pohon kelapa itu. Dan kemudian
menjungkitkan jempol kakinya. Subhanallah hanya dengan menjungkitkan jempol
kakinya akhirnya pohon kelapa ini terangkat sampai ketempat pembuangan.
ILMU LADUNI
SYEKH ASTARI
KH. Maujud bin Syekh Astari semasa hidup ayahnya diijahkan ilmu laduni.
Sekarang beliau berkenan mengijajahkan ilmu itu untuk di amalkan oleh kaum
muslimin dan muslimat.
KH. Maujud berkata:
“agar semua orang seneng belajar mengaji, kami senang sekali kalau wiridan ini
diamalkan oleh kaum muslimin dan muslimat agar mendapatkan rido dari Allah swt.
Saya ikhlas dan ridlo mengijajahkan wirid ini kepada muslimin dan muslimat”.
Wiridan itu seperti di bawah ini:
اللهما زدنى
علما نافعا لدنيا وفهما واسعا يا كاشف المشكلات و يا عالم السر والخفية اكشف عنى
وجوه هذه المعانى حتى اطلع الى حقيقة المسائل واحفظنى انت الموفق لأمرى وانت علام
الغيوب يا الله 3×, با فتاح 3× ... يا عليم 3× ... اللهما علمنى من لدنك علما
مخزونا
Lafadz terahir Allahuma allimni ilman makhzuna dibaca
sebanyak-banyaknya.
UANG BARU
SYEKH ASTARI
Semasa hidup Syekh Astari beliau sering membikin coretan dikertas untuk para
tamu yang mendatangi beliau. Beliau menyebut coretan kertas ini dengan uang
baru. Di dalamnya terdapat coretan berupa hurup-hurup dan angka-angka serta
beberapa kalimat.
Setelah wafatnya beliau uang baru ini banyak dicari orang. Beberapa keramat
uang baru ini dirasakan oleh masyarakat karena uang baru ini di tulis oleh
seorang waliyullah.
Ketika penulis berangkat haji banyak para jamaah yang memfoto copy uang baru
Syekh Astari ini untuk diletakan dalam koper haji. Kata penulis kepada mereka
walaupun memang uang baru ini diberikan keramat oleh Allah, tapi kalau hanya
fotocopy mungkin tidak akan manjur.
Setelah sampai bandara Jeddah, semua koper para jamaah yang ada fotocopy uang
baru Syekh astari ini selamat tidak mendapat pemeriksaan dari petugas bandara,
sedangkan koper penulis sampai dua kali dibongkar.
WAFATNYA
SYEKH ASTARI BIN MAULANA ISHAQ
Setelah perjalanan yang cukup panjang dalam kehidupan yang penuh keindahan,
Syekh Astari bin Maulana Ishaq kembali ke hadirat Al Rafiiq Al-a’la pada
hari jum’at jam 05 subuh taggal 28 Dzulqo’dah berbarengan dengan 24 juli
tahun 1987 dalam usia 99 tahun.
Sebelum meninggal KH. Maujud pada jam 04 subuh bertanya kepada Syekh
Astari dalam bahasa jawa: “Bah, isun ayun diwasiati napa?” (Ayah, saya mau
diwasiati apa?). kemudian syekh astari mengatakan:”Siramah kan wis diwasiati
nang abah sing dinginkah!” (Kamu kan sudah Ayah wasiati yang dulu itu). KH
Maujud berusaha mengingat-ingat apa yang pernah Syekh astari wasiatkan.
Akhirnya Syekh Astari mengingatkan bahwa yang ia wasiatkan adalah ayat:
فإن الله
لغني عن العالمين
Dibaca
sebelas kali setiap setelah solat lima waktu.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar