SEJARAH IMAM BESAR SYAFI’I
1. Riwayat Ringkas Imam Syafi’i Rahimahullah
1. Tahun dan Tempat Lahir
Nama asli dari Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Gelar beliau
Abu Abdillah. Orang Arab kalau menuliskan nama biasanya mendahulukan
gelar dari nama sehingga berbunyi : Abu Abdillah Muhammad bin Idris.
Beliau lahir di Gazza, bagian selatan dari Palestina, pada tahun 150 H.
pertengahan abad kedua Hijriyah.
Ada ahli sejarah mengatakan bahwa beliau lahir di Asqalan, tetapi
kedua perkataan ini tidak berbeda karena Gazza dahulunya adalah daerah
Asqalan. Kampung halaman Imam Syafi’i rahimahullah bukan di
Gazza Palestina, tetapi di Mekkah (Hijaz). Dahulunya ibu-bapak beliau
datang ke Gazza untuk suatu keperluan, dan tidak lama setelah itu beliau
lahir.
Ketika beliau masih kecil bapaknya meninggal di Gazza, dan beliau
menjadi anak yatim yang hanya dibela oleh ibunya saja. Sejarah telah
mencatat bahwa ada dua kejadian penting sekitar kelahiran Imam Syafi’i rahimahullah yaitu:
1). Sewaktu Imam Syafi’i dalam kandungan, ibunya bermimpi bahwa
sebuah bintang telah keluar dari perutnya dan terus naik membubung
tinggi, kemudian bintang itu pecah bercerai dan berserak menerangi
daerah-daerah sekelilingnya. Ahli mimpi menta’birkan bahwa ia akan
melahirkan seorang putera yang ilmunya akan meliputi seluruh jagad.
Sekarang menjadi kenyataan bahwa ilmu Imam Syafi’i rahimahullah memang
memenuhi dunia, bukan saja di tanah Arab, di Timur Tengah dan Afrika,
tetapi juga sampai ke Timur Jauh, ke Indonesia, Malaysia, Thailand,
Philipina dan lain-lain.
2). Sepanjang sejarah pada hari Imam Syafi’i rahimahullah
dilahirkan itu, meninggal dunia dua orang Ulama Besar, seorang di Bagdad
(Iraq) yaitu lmam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (pembangun Madzhab
Hanafi) dan yang seorang lagi di Mekkah, yaitu lmam lbnu Jurej al Makky,
Mufti Hijaz ketika itu.
Kata orang dalam ilmu firasat hal ini adalah satu pertanda bahwa
anak yang lahir ini akan menggantikan yang meninggal dalam ilmu dan
kepintarannya. Memang firasat ini akhirnya terbukti dalam kenyataan.
2. Nenek Moyang Imam Syafi’i rahimahullah
Nenek moyang Imam Syafi’i rahimahullah adalah : Muhammad,
bin Idris, bn Abbas, bin Utsman, bin Syafi’, bin Saib, bin Abu Yazid,
bin Hasyim, bin Abdul Muththalib, bin Abdul Manaf, bin Qushai. Abdul
Manafbin Qushai yang menjadi kakek ke 9 dari Imam Syafi’i rahimahullah, adalah Abdul Manaf bin Qushai kakek yang ke 4 dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Nenek moyang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
sebagai dimaklumi, adalah : Muhammad bin Abdullah, bin Abdul Muththalib,
bin Hasyim, bin Abdul Manaf, bin Qushai, bin Kilab, bin Marah, bin
Ka’ab, bin Luai, bin Ghalib, bin Fihir, bin Malik, bin Nadlar, bin
Kinanah, bin Khuzaimah, bin Mudrikah, bin llyas, bin Ma’ad, bin Adnan
sampai kepada Nabi lsma’il dan Nabi Ibrahim alaimashshalatu wassalam. Teranglah dalam silsilah ini bahwa Imam Syafi’i rahimahullah senenekmoyang dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun dari fihak lbu: Fathimah, binti Abdullah, bin Hasan, bin Hussein, bin AIi, bin Abi Thalib. Ibu Imam Syafi’i rahimahullah
adalah cucu dari cucu Saidina ‘Ali bin Abi Thalib, menantu, sahabat
Nabi dan Khalifah ke IV yang terkenal. Sepanjang sejarah diketemukan,
bahwa Saib bin Abu Yazid, kakek Imam Syafi’i yang ke 5 adalah sahabat
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Jadi, baik dipandang dari segi keturunan darah, maupun dipandang dari keturunan ilmu maka Imam Syafi’i rahimahullah yang kita bicarakan ini adalah karib kerabat dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Gelaran “SYAFI’I” dari Imam Syafi’i rahimahullahdiambil dari kakeknya yang 4, yaitu Syafi’i bin Saib.
Silsilah Imam Syafi’i dan Hubungannya dengan Rasulullah
3. Kembali ke Mekkah Al Mukarramah
Setelah usia Imam Syafi’i rahimahullah 2 tahun, ia dibawa
ibunya kembali ke Mekkah al Mukarramah, yaitu kampung halaman beliau,
dan tinggal di Mekkah sampai usia 20 tahun, yakni sampai tahun 170 H.
Dalam angka 20 ini terdapat perbedaan-perbedaan dalam catatan sejarah,
ada yang mengatakan sampai usia 13 tahun, ada yang mengatakan sampai
usia 14 tahun, ada yang mengatakan sampai usia 20 tahun dan ada yang
mengatakan sampai usia 22 tahun. Tetapi penulis buku ini sesudah
memperhatikan dari bermacam-macam segi, agak condong berpendapat bahwa
Imam Syafi’i rahimahullah tinggal di Mekkah sampai usia 20
tahun dan sesudah itu pindah ke Madinah al Munawwarah. Perbedaan angka
ini tidak prinsipil, yang terang beliau tinggal di Mekkah di waktu kecil
dan setelah muda remaia pindah ke Madinah.
Selama beliau di Mekkah, Imam Syafi’i rahimahullah
berkecimpung dalam menuntut ilmu pengetahuan, khusus yang bertalian
dengan Agama Islam sesuai dengan kebiasaan anak-anak kaum Muslimin.
Sebagai dimaklumi bahwa dalam seiarah pada abad I dan II tahun Hijrah,
ummat Islam boleh dikatakan dalam masa, keemasan, sedang memuncak
membubung tinggi. Agama Islam sudah tersiar luas, ke Barat sampai ke
Marokko dan Spanyol, ke Timur sudah sampai ke Iran, ke Afganistan, ke
India Selatan, ke Indonesia dan ke Tiongkok dan di Afrika sudah hampir
pada seluruh daerah. Pada abad-abad itu yang berkuasa adalah
Khalifah-khalifah Ar Rasyidin, Khalifah-khalifah Bani Ummayyah dan
Khalifah-khalifah Bani ‘Abbas, yang terkenal bukan saja dalam
keberanian, tetapi juga dalam memperkembangkan ilmu pengetahuan.
Dalam masa Khalifah-khalifah Harun ar Rasyid (170 – 193 H) dan al
Makmun (L98 – 218 H) rerkenal sebagai masa yang memuncak tinggi
kedudukan ilmu pengetahuan. Dalam Agama Islam yang sangat dipatuhi orang
ketika itu, baik dalam Hadits-hadits Nabi maupun dalam al Quran, banyak
sekali terdapat petunjuk-petunjuk yang menganjurkan dan mengerahkan
rakyat supaya belajar segala macam ilmu pengetahuan, khususnya yang
bertalian dengan Agama. Sesuai dengan ini maka Imam Syafi’i rahimahullah
pada masa mudanya menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu
pengetahuan. Markas-markas ilmu pengetahuan ketika itu adalah di Mekkah,
di Madinah, di Kufah (Iraq), di Syam (Damsyik) dan di Mesir. Oleh
karena itu seluruh pemuda mengidam-idamkan dapat tinggal di salah satu
kota itu untuk berstudi, untuk mencari ilmu pengetahuan dari yang rendah
sampai yang tinggi.
Imam Syafi’i rahimahullah belajar membaca al Quran kepada
lsma’il bin Qusthanthein. Dalam usia 9 tahun Imam Syafi’i telah
menghafal ketiga puluh juznya al Quran di luar kepala. Catatlah ini,
yaitu : Dalam usia 9 tahun. Imam Syafi’i pada mulanya tertarik dengan
prosa dan puisi, sya’ir-sya’ir dan sajak-sajak bahasa Arab klasik,
sehingga beliau sewaktu-waktu datang ke Qabilah-qabilah Badui di Padang
Pasir, Qabilah Hudzel dan lain-lain. Kadang-kadang beliau tinggal lama
di Qabilah-qabilah itu untuk mempelajari sastra Arab sehingga akhirnya
Imam Syafi’i rahimahullah mahir dalam kesusasteraan Arab kuno
dan beliau menghafal di luar kepala sya’ir dari lmrun-ul Qois, Sya’ir
Zuheir, Sya’ir Jarir dan lain-lain. Hal ini kemudian ternyata ada
baiknya karena dapat menolong beliau memahamkan al-Qur’an yang
diturunkan dalam bahasa Arab yang fasih, y ang asli dan yang murni.
Tersebutlah dalam sejarah yang diceritakan oleh Mush’ab bin
Abdillah az Zabiri, sebagaimana termaktub dalam kitab “al Majmu’” bahwa
Imam Syafi’i rahimahullah pada waktu mudanya hanya tertarik
kepada puisi, sya’ir-sya’ir dan sajak bahasa Arab klasik, tetapi
kemudian beliau terjun mempelajari hadits dan fiqih. Sebabnya ialah
bahwa pada suatu hari ia mengendarai onta. Dibelakangnya ada seorang
lain, yaitu jurutulis bapak saya, kata Mush’ab. Muhammad bin Idris
ketika itu berdendang dan bernyanyi mendengungkan sebuah sya’ir.
Jurutulis bapak saya mengetok dengan tongkatnya dari belakang dan
menegurnya : ‘Akh, pemuda seperti kamu menghabiskan kepemudaannya dengan
berdendang dan bernyanyi; alangkah baiknya kalau waktu kepemudaanmu ini
dipakai untuk mempelajari hadits dan fiqih!” Berkata Mush’ab, bahwa
teguran inilah sebab yang menggerakkan hati Imam Syafi’i rahimahullah
untuk mempelajari ilmu hadits dan fiqih dan kemudian beliau datang
belajar kepada Mufti Mekkah, Muslim bin Khalid al Zanji dan Ulama hadits
Sofyan bin ‘Uwaniah. (wafat 198 H).
Inilah di antara guru Imam Syafi’i rahimahullah dalam ilmu hadits dan Fiqih. Selain daipada itu Imam Syafi’i rahimahullah menceritakan tentang diri beliau, begini :
“Saya pada mulanya mempelajari ilmu Nahwu (gramatika) dan Adab
(kesusasteraan), kemudian setelah saya datang kepada Muslim bin Khalid
beliau bertanya, Hai Muhammad; kamu darimana?” Jawabku ; “Saya orang
sini, orang Mekkah”. “Dari kampung mana?” “Dari kampung Khaif “. “Dari
kabilah apa?” “Dari kabilah Abdu Manaf”. “Bakhin, bakhin (senang, senang
sekali), Tuhan telah memuliakan kamu dunia akhirat. Alangkah baiknya
kalau kecerdasan kamu itu ditumpahkan pada ilmu fiqih, inilah yang baik
bagimu”. Kemudian ucapan Imam Muslim bin Khalid inilah sebab yang
menggerakkan hati saya untuk mempelajari ilmu fiqih ssedalam-dalamnya,
kata Imam Syafi’i rahimahullah.
Apakah ilmu fiqih itu?
Fiqih dalam bahasa Arab berarti pengertian, kefahaman dan dalam
Islam berarti ilmu pengetahuan tentang hukum syari’at Islam sesuai
dengan dalilnya satu persatu, umpama, shalat hari raya hukumnya sunnat,
sesuai dengaan hadits itu. Riba hukumnya haram, sesuai dengan firman
Tuhan, perkawinan tanpa wali tidak sah, sesuai dengan hadits Nabi, minum
arak haram sesuai dengan al Quran dalam surat itu dan lain sebagainya.
Orang yang ahli dalam ilmu fiqih disebut “Faqih”, jama’nya
“Fuqaha”. Kalau ada seorang Muslim yang sampai derajatnya kepada “Faqih”
maka itu satu bukti bahwa Tuhan telah menetapkan dia menjadi orang
baik-baik sesuai dengan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًايُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ
Artiny a : ” Barangsiapa yang dikehendaki oleh AIIah untuk menjadi
orang baik-baik maka ia difaqihkan dalam agama” (hadits riwayat Bukhari
dan Muslim, lihat Fathul Bari juz l, hal 173 dan Syarah Muslim juz Vll,
halaman 128).
Arti “di-faqihkan” ialah dipintarkan. Di samping ilnu fiqih ada
lagi ilmu Ushul-fiqih. Ilmu ushul fiqih ialah ilmu untuk mengetahui
qaedah-qaedah (pokok-pokok, norma-norma) yang mana dengan qaedah- qaedah
itu dapat diistinbathkan (dikeluarkan) hukum-hukum syari’at dari
dalil-dalilnya. Imam Syafi’i rahimahullah orang yang mula-mula menciptakan ilmu ushul fiqih ini.
Imam Syafi’i ketika usia mudanya di Mekkah, mempelajari selain ilmu
fiqih juga ilmu tafsir, ilmu hadits dan ilmu Mustalah Hadits. Apakah
yang dikatakan ilmu tafsir itu ? Ilmu tafsir ialah pengetahuan untuk hal
ihwaI yang bertalian dengan Kitab Suci AI-Quran, umpama sebab-sebab
turunnya ayat, arti dan ma’na ayat dalam bahasa Arab, maksud dan tujuan
ayat itu yang sesuai dengan kehendak Tuhan yang menurunkan ayat,
mentak’wilkan apa yang patut dita’wilkan, hubungan antara satu ayat
dengan yang lain, penafsiran ayat yang satu pada yang lain, mana yang
nasekh dan mana yang mansukh, mana ayat yang diturunkan di Mekkah dan
mana yang diturunkan di Madinah dan lain-lain sebagainya. Imam Syafi’i rahimahullah di waktu remajanya mempelajari ilmu tafsir ini.
Apakah itu ilmu Mustalah Hadits ?
Ilmu Mustalah Hadits ialah ilmu tentang keadaan Hadits, keadaan
matan hadits, sanad hadits, orang yang membawa hadits itu dan lain-lain
sebagainya yang bertalian dengan hadits. Orang-orang yang mengetahui
ilmu Mustalah Hadits akan mengetahui dengan mudah bahwa hadits itu
sahih, hadits ini hasan (baik), hadits ini dha’if (lemah), hadits itu
muqathi’(putus sirawinya) dan lain-lain sebagainya. Pendeknya Imam
Syafi’i rahimahullah ketika di Mekkah itu mempelajari ilmu
fiqih, ilmu hadits, ilmu ushul fqih, ilmu mustalah hadits, ilmu tafsir
dan ilmu tajwid (pembacaan Al-Quran). Adalah kenyataan bahwa Imam
Syafi’i dalam usia 9 tahun telah hafal Al-Quran di luar kepala dan dalam
usia 10 tahun sudah pula hafal di luar kepala kitab fiqih karangan Imam
Malik yang bernama Al Muwatha’.
Sepanjang sejarah dinyatakan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah membagi
malam menjadi tiga bagian, yaitu sepertiga untuk belajar dan mengajar,
sepertiga untuk beribadat dan munajat kepada Tuhan dan sepertiga lagi
untuk tidur. Kalau siang hari dari pagi sampai waktu dzuhur Imam Syafi’i
rahimahullah bekerja dalam soal-soal ilmu pengetahuan. Bekerja
dari jam 8 pagi sampai dzuhur sebagai yang dipraktekkan orang sekarang
adalah atas perunjuk Imam Syafi’i rahimahullah pada mula-mulanya.
Dalam usia 18 tahun (dalam satu riwayat 15 tahun) Imam Syafi’i rahimahullah
telah diberi izin oleh gurunya Muslim bin KhaIid Az Zanji untuk
mengajar di Masjidil Haram (Masjid Mekkah) sehingga mengagumkan
orang-orang haji yang naik haji ke Mekkah pada tahun-tahun itu.
4. Ketekunan Imam Syafi’i Rahimahullah dalam Belajar
Muhammad bin Idris adalah seorang pemuda yang sangat rajin dalam
belajar. Ia belajar dengan sungguh-sungguh dan tekun. Sebagai dimaklumi,
beliau adalah seorang pelajar yang miskin, tidak mempunyai harta yang
banyak untuk biaya belajar. Beliau seorang anak yatim di mana belanjanya
hanya diberi oleh ibunya yang dalam serba kekurangan pula. Tetapi Imam
Syafi’i rahimahullah mempunyai keyakinan bahwa menuntut ilmu
itu tidak tergantung kepada kekayaan, tetapi hanya kepada kemauan yang
keras. Anak-anak miskin yang keras hati lebih banyak yang maju dibanding
dengan anak-anak yang kaya, yang biasanya suka malas. Beliau
mengumpulkan tulang-tulang kambing atau tulang-tulang onta, yang
biasanya banyak berserakan terutama sesudah orang-orang mengerjakan haji
di Mina. Beliau mengumpulkan pelepah-pelepah tamar yang kering, beliau
mengumpulkan tembikar dan batu-batu yang dapat ditulis dan beliau
mengumpulkan kertas-kertas yang dibuang orang-orang kantor yang dapat
ditulis Iagi. Beliau mendengar ucapan guru, dikte-dikte guru lalu
menuliskan di atas bahan-bahan tadi sambil memperhatikan dan
menghafalnya mana yang patut dihafal.
Pada suatu ketika penuh sesaklah kamar beliau dengan benda-benda
tulang yang betulisan itu sehingga tidak dapat lagi beliau meluruskan
kakinya ketika melepaskan lelah atau ketika tidur. Akhirnya beliau
memutuskan agar semua tulisan itu dihafal saja di luar kepala dan
tulang-tulang itu dikeluarkan dari kamar supaya kamar tidurnya meniadi
agak lapang. Semua yang tertulis dihafalnya di luar kepala dan sesudah
itu tulang-tulang dikeluarkan dari kamarnya. Jadi Imam Syafi’i rahimahullah
sejak kecil sudah terlatih dan terdidik dengan menghafal di luar
kepala. “Ilmu itu yang ada dalam dada, bukan yang ada dalam kertas”,
kata peribahasa. Inilah nampaknya yang diamalkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah.
Maka dengan cara begini tidaklah heran kalau Imam Syafi’i rahimahullah dalam
usia 9 tahun sudah menghafal Al-Quran di luar kepala, dan dalam usia 10
tahun sudah menghafal di luar kepala kitab Al Muwatha’, katangan Imam
Malik. Beginilah kecerdasan dan ketajaman otak Imam Syafi’i rahimahullah. Dan begitulah Imam Syafi’i rahimahullah belajar
seiak kecil sampai remaja, sampai dewasa berusia 20 tahun, di mana
beliau sesudah itu pindah dari Mekkah al Mukarramah ke Madinah al
Munawwarah.
5. Mencari Ilmu ke Madinah.
Pada seperempat terakhir dari abad ke ll Hijriyah kotaMadinah
sedang gilang-gemilang dalam ilmu pengetahuan, karena di sana banyak
menetap Ulama-ulama Tabi’in (orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi)
dan ulama-ulama Tabi’-tabi’in (orang yang berjumpa dengan orang yang
berjumpa dengan sahabat Nabi). Ditengah-tengah ulama-ulama yang banyak
itu ada seorang yang menonjol yang menjadi bintangnya, yaitu : seorang
ulama yang terkenal dengan gelar julukan “Imam Darul Hijrah” (Imam
negeri tempat Nabi berpindah), yaitu Imam Malik bin Anas, pembangun
Madzhab Maliki). Imam Malik bin Anas lahir tahun 93 H., yaitu 57 tahun
lebih tua dari Syafi’i rahimahullah dan wafat pada tahun 179 H., 25 tahun terdahulu dari Syafi’i rahimahullah. Sepanjang
riwayat, Imam Malik bin Anas ini adalah seorang Ulama’ yang
bersungguh-sungguh mengumpulkan hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau kumpulkan dan beliau hafal sebanyak 100.000 hadits dalam masa 40 tahun.
Ibnu Qudamah mengatakan bahwa Imam Malik bin Anas adalah seorang
“Huffazh” (penghafal) hadits nomor satu pada zamannya dan tidak ada
seorang pun yang menandingi beliau dalam soal penghafalan hadits itu.
Hadits-hadits yang 100.000 banyaknyaitu beliau teliti satu per-satu,
beliau lihat si rawi yang membawa hadits-hadits, beliau cocokkan dengan
kitab suci Al-Quran tentang arti tujuannya. Pada akhirnya hadits yang
100.000 itu beliau pilih sehingga yang tinggal hanya 5.000 buah yang
beliau anggap sangat sahihnya. Hadits yang 5.000 in’ah yang beliau
kumpulkan dalam satu kitab yang berbentuk kitab fiqih sekarang, yang
diberi nama “Al Muwatha’”. “Al Muwatha’ artinya : “yang disepakati”.
Imam Malik bin Anas menamakan kitabnya dengan Al Muwatha’ (yang
disepakati) karena beliau telah memperlihatkan kitab itu kepada 70 orang
ulama-ulama fiqih di Madinah yang mana kesemua Ulama itu menyetujuinya.
Imam Syafi’i rahimahullah seorang yang mengagumi Imam
Malik bin Anas dan pula seorang yang mengasihi kitab Al Muwatha’
sehingga kitab itu dihafal di luar kepala pada ketika beliau masih
berumur 10 tahun. Sesungguhpun kitab Al Muwatha’ sudah hafal di luar
kepala, tetapi keinginan Imam Syafi’i rahimahullah untuk datang
belajar kepada pengarangnya makin berkobar. Beliau ingin mengambil ilmu
Imam Malik dari mulut ke mulut, yakni berhadap-hadapan. Maka beliau
minta izin kepada gurunya Muslim bin Khalid az Zanji untuk pergi ke
Madinah menjumpai Imam Malik dan belajar pada beliau. Imam Syafi’i rahimahullah
berangkat ke Madinah pada tahun 170 H. dengan membawa sepucuk surat
dari gurunya Muslim bin Khalid yang ditujukan kepada Imam Malik bin
Anas. Selain itu Imam Syafi’i rahimahullah membawa surat pula
dari Wali Mekkah (semacam Gubernur) kepada Wali Madinah, dimana Wali
Mekkah minta agar kiranya Wali Madinah memperkenankan Imam Syafi’i rahimahullah belajar kepada Imam Malik bin Anas.
Selama 8 hari 8 malam perjalanan antara Mekkah dan Madinah dengan mengendarai onta. Imam Syafi’i rahimahullah
membaca Al Quran sebanyak 16 kali khatam/tammat, dengan mengkhatamkan 1
kali siang dan 1 kali malam. Sesampainya di Madinah beliau langsung
menjumpai Imam Malik bersam dengan Wali Madinah. Imam Malik setelah
menerima surat dari Wali Mekkah yang dialamatkan kepadanya, menyindir
dengan mengatakan : “Subhanallah, menuntut ilmu Rasulullah kok pakai
perantara.” Wali Madinah mempersilahkan Imam Syafi’i rahimahullah berbincang-bincang.
“Mudah-mudahan tuan dikaruniai oleh Allah”, kata Imam Syafi’i rahimahullah kepada Imam Malik. “Saya
ini dari kaum Muththalib, datang dari Mekkah untuk menuntut ilmu dari
tuan guru karena saya sudah lama mendengar nama tuan guru dan ingin
belajar langsung dari tuan guru.” Sesudah itu Imam Malik memperhatikan
Imam Syafi’i seketika dan beliau berkata, “Siapa namamu?” Imam Syafi’i
menjawab, “Muhammad bin Idris.” Imam Malik menyambung, “Hai Muhammad,
bertaqwalah kepada Allah, dan jauhilah segala kedurhakaan. Saya melihat
kepadamu ada sesuatu yang akan terjadi. Baiklah, besok datanglah lagi
dan akan saya suruh orang membacakan Al Muwatha’ kepadamu.”
Jawab Imam Syafi’i, “Tak perlu dicarikan orang lain karena saya
sudah menghafal di luar kepala Kitab Al Muwatha’ itu. Imam Malik
menjawab, “Kalau begitu keadaannya, cobalah baca .” Imam Syafi’i rahimahullah
lantas membaca kitab Al Muwatha’ yang langsung didengar oleh Imam Malik
dengan seksama dan di sana-sini membetulkan pembacaan-pembacaan Imam
Syafi’i yang lancar itu. Imam Malik sangat kagum melihat Imam Syafi’i
muda ini, karena masih dalam usia muda remaja sudah mendalam ilmunya,
sudah mahir dalam arti ayat-ayat suci Al Quran, hadits-hadits Nabi dan
kaedah-kaedah bahasa Arab. Kemudian Imam Syafi’i rahimahullah
tetap setiap hari mendatangi halakah tempat Imam Malik mengajar di
mesjid Madinah di mana beliau bersama-sama pelajarpelajar lain yang
terdiri dad Ulama-ulama Besar dari seluruh penjuru mendengar dan
mencatat pengajian-pengajian yang diberikan oleh Imam Malik, seorang
Ulama Besar dan lmam Mujtahid yang jarang tandingannya.
Akhirnya Imam Syafi’i rahimahullah mendapat kepercayaan
besar dari Imam Malik dan lantas diundang menginap di rumahnya dan
setiap hari datang ke mesjid bersama-sama sebagai pembantunya dalam
mengajarkan kitab Al Muwatha’ dan lain-lain. Imam Malik membacakan
kitabnya kepada murid-murid dan sesudah itu Imam Syafi’i rahimahullah
(yang ketika itu belum berpangkat Imam Mujtahid) membantu Imam Malik
mendiktekan (mengimlakkan) kitab karangan Imam Malik itu kepada sekalian
mahasiswanya.
Ada kira-kira setahun Imam Syafi’i rahimahullah tidak berpisah dengan Imam Malik, selalu dengan beliau sebagai murid dan sebagai pembantu. Dengan cara begitu Imam Syafi’i rahimahullah mendapat kenalan
banyak dari Ulama-ulama yang datang ke Madinah sesudah menunaikan
ibadah haji dan datang belajar kepada Imam Malik. Di antara orang-orang
yang berkenalan dengan Imam Syafi’i rahimahullah ketika itu adalah Abdullah bin al Hakam dari Mesir (Kairo), yang kemudian di waktu Imam Syafi’i rahimahullah datang ke Mesir, beliau berkunjung ke rumah Abdullah bin al Hakam ini. Juga Imam Syafi’i rahimahullah
berkenalan dengan Asyhab lbnul Qasim dan aI Laits bin Sa’ad, yaitu
ulama-ulama Mesir yang berkunjung ke Madinah yang telah mendengar Imam
Syafi’i mendiktekan kitab al Muwatha’. Dan juga Imam Syafi’i rahimahullah
berkenalan dengan Ulama-ulama Iraq yang berkunjung ke Madinah sesudah
menunaikan ibadah haji. Banyak sekali diantara mereka yang datang
menguniungi halakah Imam Malik dan mendengar imlak dari Imam Syafi’i rahimahullah yang bijak itu.
Pada ketika itulah Muhammad bin Idris mendengar bahwa di Bagdad dan
Kufah banyak sekali terdapat ulama-ulama murid dari Imam Abu Hanifah
(pembangun dari Madzhab Hanafi), sehingga tertarik hati beliau hendak
mengunjungi lraq dan Mesir.
6. Berkunjung ke Bagdad dan lain-lain.
Setelah 2 tahun di Madinah yakni dalam usia 22 tahun Imam Syafi’i rahimahullah berangkat
ke Iraq (Kufah dan Bagdad), di mana beliau bermaksud selain menambah
ilmu dalam soal-soal kehidupan bangsa-bangsa juga untuk menemui
ulama-ulama ahli hadits atau ahli fiqih yang bertebarang pada ketika itu
di Iraq dan Persia (Iran). Sebagai dimaklumi kota Kufah ketika itu
adalah ibu kota tempat kedudukan Khalifah-khalifah Abu Ja’far al Mansyur
dan penggantinya Khalifah Harun Ar Rasyid yang terkenal, dan Bagdad
adalah pusat ilmu pengetahuan, baik pengetahuan yang datang dari Barat
atau yang datang dari Timur. Memang Iraq pada zaman Harun ar Rasyid
dianggap sebagai negeri tempat ilmu Pengetahuan yang memancar ke seluruh
penjuru dunia sebagai yang diterangkan di atas.
Perjalanan antara Madinah dan Iraq dilakukan dengan mengendarai onta selama 24 hari. Jauh juga. Tapi Imam Syafi’i rahimahullah mendapat bekal dari gurunya lmam Malik rahimahullah sebanyak
50 dinar emas, cukup untuk belanja dan untuk menginap di situ beberapa
waktu lamanya karena ongkos kendaraan-dari Madinah ke Iraq hanya 4 dinar
(emas).
Sesampainya di Kufah beliau menemui ulama-ulama sahabat almarhum
Imam Abu Hanifah, yaitu guru besar Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan di
mana Imam Syafi’i rahimahullah seringkali bertukar fikiran dan
beri-memberi dengan beliau-beliau ini dalam soal-soal ilmu pengetahuan
agama. Dalam kesempatan ini Imam Syafi’i rahimahullah dapat
mengetahui aliran-aliran atau cara-cara fiqih dalam Madzhab Hanafi yang
agak jauh berbeda dari cara-cara dan aliran fiqih dalam Madzhab Maliki.
Imam Hanafi dan Imam Maliki hampir bersamaan zamannya karena Imam
Hanafi dilahirkan tahun 81 H. meninggal 150 H. Sedangkan Imam Maliki
dilahirkan tahun 93 H. dan meninggal 179 H. Tetapi walaupun bersamaan
zaman, namun aliran madzhab masing-masing berbeda. Madzhab Imam Maliki
di Madinah berpendapat bahwa kalau dalam Al Quran tidak terdapat hukum
agama ,maka hadits Nabilah yang menjadi sandaran hukum, sekali pun
hadits Nabi itu Mutawatir (banyak yang merawikan). Ahad (satu jalan saja
yang merawikan), Sahih atau Hasan. Tetapi Madzhab Hanafi di Iraq
berpendapat bahwa kalau dalam AI Quran tidak terdapat hukum sesuatu yang
terjadi maka yang boleh dijadikan sandaran hukum lagi hanya hadits yang
mutawatir saja. Kalau tidak ada hadits yang mutawatir, langsung pindah
pada “ijtihad” yakni pendapat Imam Mujtahid. Oleh karena itu golongan
Imam Maliki dinamakan golongan Ahli Hadits dan golongan Imam Hanafi
dinamakan “AhIi Ra’yi” (Ahli Pendapat).
Imam Syafi’i rahimahullah ketika itu dapat mendalami dan
menganalisa cara-cara yang dipakai oleh kedua Imam itu. Ketika itu
beliau tidak lama di Iraq dan terus mengembara ke Persi, sampai ke
Anadholi (Turki), terus ke Ramlah (Palestina) dimana beliau dalam
perjalanan mencari dan menjumpai ulama-ulama baik Tabi’in atau
Tabi-Tabi’in. Pada kesempatan mengembara ini beliau mengetahui adat
istiadat bangsa-bangsa selain bangsa Arab, karena Persia dan Anadholi
bukan bangsa Arab lagi. Hal ini nantinya menolong beliau dalam membangun
fat’wanya dalam Madzhab Syafi’i.
7. Kembali ke Madinah
Sesudah 2 tahun mengembara meninjau antara Bagdad, Persia, Turki dan Palestina, Imam Syafi’i rahimahullah kembali
ke Madinah dan kembali kepada guru besarnya yaitu Imam Maliki, Malik
bin Anas. Imam Maliki bertambah kagum dengan ilmu Imam Syafi’i rahimahullah dan bahkan sudah ada pertanda dari Imam Maliki bahwa ilmu Imam Syafi’i sudah melebihi ilmunya.
Imam Maliki memberi izin kepada Imam Syafi’i rahimahullah untuk
memberi fatwa sendiri dalam ilmu Frqih, artinya tidak berfatwa atas
dasar aliran lmam Maliki dan juga tidak atas dasar aliran Imam Hanafi,
tetapi berfatwa atas dasar madzhab sendiri. Imam Syafi’i rahimahullah tinggal bersama Imam Maliki sampai tahun 179 H. yaitu sampai Imam Maliki meninggal dunia. Imam Syafi’i rahimahullah belaiar dengan Imam Maliki selama 7 tahun, yaitu pada tahun 170 H. – 172 H. dan dari tahun 174 H. – 179 H.
8. Menjadi Mufti di Yaman.
Setelah gurunya (Imam Malik) berpulang ke rahmatullah, maka Imam Syafi’i rahimahullah pergi
ke Yaman. Perjalanan ke Yaman ini sepanjang riwayat ialah bahwa Wali
(semacam gubernur) Yaman datang ke kota Madinah untuk berziarah ke makam
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia mendengar dari orang Madinah tentang kecakapan dan kepintarann Imam Syafi’i rahimahullah. Wali negeri Yaman ini tertarik kepada Imam Syafi’i rahimahullah sehingga diusahakannya berjumpa dengan beliau.
Kemudian terdapat kata sepakat antara keduanya, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah akan
dibawa ke Yaman, diangkat sebagai Sekretaris Negara, sambil mengajar
dan menjadi Mufti. “Mufti” artinya berfatwa tentang hukum-hukum agama.
Nama Muhammad bin Idris as Syafi’i menjadi masyhur di negeri Yaman dan
sekitarnya, banyaklah orang memujinya karena kecakapan dan kepintaran
beliau. Tetapi, sungguhpun beliau sudah alim besar, sudah disegani oleh
segala pihak, namun beliau tidak segan-segan untuk belajar apabila
melihat ada guru agama yang lebih pintar daripadanya, yang dikiranya
dapat menambah ilmunya.
Di Yaman beliau belajar kepada Syeikh Yahya bin Husein, seorang
ulama besar di kota Shan’a ketika itu. Ketika beliau di Yaman beliau
diangkat pula menjadi Wali daerah Najran, sebagai Kepala Daerah beliau
disayangi oleh rakyat karena adil dan pemurahnya. Pekerjaan ini tidak
lama dijabat oleh beliau, karena tidak sesuai dengan bakatnya. Beliau
lebih condong kepada ilmu daripada siasah.
Imam Syafi’i rahimahullah menikah di Yaman dengan seorang
puteri bernama Hamidah binti Nafi’i, seorang puteri keturunan Saidina
Utsman bin Affan, Sahabat dan Khalifah Nabi yang ke III. Usia beliau
sewaktu nikah lebih-kurang 30 tahun. Dari pernikahan ini beliau mendapat
3 (tiga) orang anak, seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Anak
beliau yang laki-laki ini bernama Muhammad bin Syafi’I kemudian menjadi
ulama besar pula dan menjadi qadhi di Jazirah (wafat 240H.).
9. Imam Syafi’i rahimahullah Ditangkap.
Imam Syafi’i rahimahullah ketika di Yaman ini sudah
menjadi orang besar. Beliau disayangi oleh Wali Negeri dan diangkat
menjadi “Katib-Daulah” (Sekretaris Negara) di samping beliau menjadi
Mufti dan guru agama di mesjid-mesjid, bertabligh di mana-mana sehingga
masyhur namanya. Telah menjadi kebiasaan di dunia yang fana ini bahwa
setiap orang yang mendapat nikmat, ada saja orang yang dengki dan yang
berniat jahat untuk menjatuhkannya. Beliau difitnah kepada Khalifah
Harun ar Rasyid, yang ketika itu berkedudukan di Bagdad (Iraq),
dikatakan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengembangkan faham
syi’ah di Yaman dan masuk golongan partai Syi’ah yang sangat membenci
Khalifah Harun ar Rasyid, khalifah Abbasiyah itu.
Memang dalam sejarah Islam tercatat bagaimana permusuhan yang
mendalam antara orang-orang Syi’ah yang katanya pengikut Saidina ‘Ali radhiyallahu anhu dengan
orang-orang Bani Umaiyah dan Bani Abbas. Ya, pada mulanya pembangunan
Dinasti Abbassiyah ditolong oleh orang-orang Syi’ah untuk melawan Bani
Umaiyah, akan tetapi kemudian ternyata bahwa orang-orang Syi’ah tidak
senang hati pula pada orang-orang Bani Abbas itu. Khalifah Harun ar
Rasyid selalu dirongrong oleh partai Syi’ah, yang kebetulan banyak
bertebaran di Yaman ketika itu. Oleh karena itu Khalifah Harun ar Rasyid
selalu curiga kepada Ulama-ulama di Yaman yang dianggapnya
mengembangkan faham Syi’ah yang ditantangnya.
Disebabkan fitnah dari orang-orang yang dengki terhadap Imam
Syafi’i maka beliau ditangkap bersama-sama kaum Syi’ah dan digolongkan
kepada orang-orang Syi’ah lalu dibawa ke Bagdad untuk diadili oleh
Khalifah Harun ar Rasyid, dengan rantai-besi pada kaki dan tangannya.
Inilah imtihan (ujian iman) bagi Imam Syafi’i rahimahullah. Memang
orang-orang yang beriman itu banyak mendapat cobaan iman. Banyak di
antara rombongan Syi’ah itu yang dijatuhi hukuman mati oleh Khalifah,
tetapi ketika sampai pertanyaan kepada Imam Syafi’i rahimahullah, maka terjadilah dialog (percakapan) antara Khalifah dengan Imam Syafi’i rahimahullah.
Dengan merangkak karena kedua kakinya dibelenggu. Imam Syafi’i
masuk ke majlis Harun ar Rasyid dan berkata, Assalamu’alaikum
wabarakatuh” (selamat atasmu dan berkat-Nya). Imam Syafi’i tidak
mengucapkan warahmatullahi (dan rahmat Tuhan). Khalifah Harun ar Rasyid
menjawab, “Alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh” (Selamat atasmu,
rahmat Tuhan dan berkat-Nya). Harun ar Rasyid agak heran melihat
ketenangan Imam Syafi’i rahimahullah karena tidak gelisah
sedikit pun, padahal kawan-kawannya yang sama-sama ditangkap sudah
dijatuhi hukuman mati. Khalifah Harun ar Rasyid bertanya, “Kenapa kamu
berbicara dalam sidang ini tanpa izin saya, sehingga saya terpaksa
menjawabnya?” (Pedu diketahui bahwa mengucapkan salam hukumnya sunnat,
sedang menjawab hukumnya wailb). Imam Syafi’i rahimahullah membacakan firman Tuhan :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن
قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ
وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا
يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَـٰئِكَ
هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya : “ Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh
Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk
mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah
mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap
menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik. (QS An-Nur : 55).
Lalu Imam Syafi’i rahimahullah meneruskan ucapannya :
“Tuhan apabila berjanji, menepati janji-Nya dan kini ia telah mengangkat
Tuanku menjadi Khalifah di bumi-Nya yang luas ini. Tuanku telah
memberikan keamanan kepada saya sesudah saya dalam ketakutan, karena
Tuanku menjawab salam saya dengan ucapan Warahmatullahi, (dan rahmat
Tuhan untuk saya). Dengan begitu Tuanku telah memberikan arhmat Tuhan
kepada saya dengan kemurahan hati Tuanku.” Khalifah Harun ar Rasyid
tergerak hatinya mendengar ucapan yang lantang dan fasih dari Imam
Syafi’i yang kelihatannya tak sedikit juga takut dan gentar.
Lantas Khalifah Harun ar Rasyid berkata, ..Bukankah engkau yang
mengepalai komplotan pemberontak untuk menentangku, bukankah engkau
telah bersekongkol dengan Abdullah bin Hasan untuk menentang aku,
bukankah engkau orang yang sudah terang salahnya, bagaimana ..bagaimana
engkau dapat membelanya? Imam Syafi’i menjawab, “Saya akan menerangkan
pula isi dada saya sebaik-baiknya untuk mencari keadilan dan kebenaran.
Tetapi dapatkah orang melahirkan perasaannya dengan seksama kalau kaki
dan tangannya dirantai dengan besi berat ini? Saya minta agar rantai
kaki dan tangan saya dibuka dan memperkenankan duduk sewajarnya. Dan
puji-pujian kepada Allah yang Maha Kaya.”
Khalifah Harun ar Rasyid terbuka hatinya dan memerintahkan ketika
itu juga kepada petugasnya untuk membuka rantai-rantai yang melingkari
kaki dan tangan Imam Syafi’i rahimahullah. Imam Syafi’i lantas berkata, “Tuhan berfirman begini :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ
فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا
فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. ”. (Al-Hujarat : 6).
“Saya berselindung kepada Allah, bahwa saya adalah laki-laki yang
disampaikan kepada Tuanku, bohong sekali orang yang menyampaikan kepada
Tuanku. Saya mempunyai dua pertalian dengan Tuan Khalifah, yaitu
sama-sama beragama Islam dan sama-sama satu keturunan. Tuanku adalah
seorang yang harus berpegang kepada Kitabullah. Tuanku anak paman
Rasulullah yang harus melindungi agamanya.”
Mendengar ucapan-ucapan Imam Syafi’i yang diucapkan dengan lancar
ini, Khalifah Harun ar Rasyid tiba-ti[a jadi gembira, lalu berkata.
“Tenanglah, tenangkanlah pikiranmu, saya menghargai ilmumu dan juga
menghargai pertalihan darah kita.” Lalu Khalifah berkata lagi,
“Bagaimana keadaan ilmu kamu dengan Kitabullah ‘azza wajalla, di sanalah
kita mulai bicara.” Imam Syafi’i rahimahullah menjawab, “Kitab
Suci yang mana Tuan Khalifah tanyakan,karena kitab suci yang diturunkan
banyak sekali.” Khalifah menjawab, “Baiklah, saya bertanya tentang
kitab suci yang diturunkan kepada anak paman saya, Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Imam Syafi’i rahimahullah menjawab,
“Ilmu yang terkandung dalam Al Quran itu banyak sekali, yang manakah
yangTuanku tanyakan ? Ada ilmu ayat-ayat mutasyabih dan ayat muhakkamah,
ada ilmu ayat-ayat taqdim dan ta’khir, ada ilmu tentang Nasekh dan
Mansukh, ada ilmu ini dan ada ilmu itu.”
Kemudian Khalifah terpesona dan lantas menukar haluan, bukan lagi
bertanya soal-soal agama tetapi berpindah kepada soal-soal ilmu falak,
ilmu kedokteran, iimu firasat dan lain-lain yang kesemuanya dijawab oleh
Imam Syafi’i rahimahullah dengan sangat memuaskan Khalifah
Harun ar Rasyid. Kemudian Khalifah berkata, “Datanglah engkau
sewaktu-waktu untuk mengajar saya!”
Dengan begitu bebaslah Imam Syafi’i rahimahullah dari tuduhan, dan kecewalah tukang-tukang fitnah yang memfitnah beliau. Inilah kedatangan Imam Syafi’i rahimahullah yang kedua kali ke Iraq (Kufah atau Bagdad) yang terjadi pada tahun 184 H. yakni dalam usia 34 tahun.
10. Kembali ke Mekkah (Hijaz).
Tidak lama sesudah beliau bebas maka Imam Syafi’i rahimahullah kembali
ke kampung asalnya yaitu Mekkah aI Mukarramah, sesudah ditinggalkannya
lebih kurang 11 tahun. Ia disambut oleh Ulama dan rakyat Mekkah karena
kemasyhurannya. Sudah lama beliau di Mekkah masih mendapat sambutan
akibat banyaknya orang haji yang pulang balik antara Madinah dan Mekkah
dan antara Mekkah dengan Kufah (Iraq).
Beliau membuat rumah tempat tinggal di luar kota Mekkah di suatu
tempat yang memungkinkan dapat didatangi oleh pelajar-pelajar yang
menuntut ilmu kepada beliau. Lebih kurang selama 17 tahun beliau di
Mekkah menaburkan ilmu-ilmu agama kepada kaum Muslimin yang setiap tahun
datang ke Mekkah untuk ibadat haji. Karena itu nama Imam Syafi’i rahimahullah
masyhur ke seluruh dunia Islam karena setiap orang haji yang datang ke
Mekkah pulang ke kampungnya membawa kabar tentang ke’aliman Imam
Syafi’i. Tetapi pada ketika itu beliau masih merasa belum sampai kepada
derajatnya Imam Mujtahid Muthlak (Mujtahij Penuh), sehingga fatwa-fatwa
beliau adalah berdasarkan fatwa guru-gurunya yang didapatnya di Mekkah,
Madinah dan Iraq.
11. Pergi ke Iraq yang ke Tiga Kali.
Di Mekkah sudah didengar kabar wafatnya Khalifah Harun ar Rasyid
dan telah digantikan oleh Khalifah aI Amin dan sesudah itu oleh Al
Ma’mun. Begitu juga telah meninggal guru-guru Imam Syafi’i rahimahullah
di Iraq, yaitu Abu Yusuf pada tahun 182 H. dan Muhammad bin Hasan pada
tahun 188 H. Hati Imam Syafi’i tergerak kembali hendak datang ke Bagdad,
Ibu Kota dan Pusat Kerajaan Ummat Islam ketika itu, karena di situ
duduknya Khalifah, Amirur Mu’minin.
Beliau tidak lama di Iraq pada kali itu, tetapi pada kesempatan ini
beliau membuat sejarah, yaitu membentuk madzhab tersendiri yang
kemudian dinamakan “MADZHAB SYAFI’I”.
12. Madzhab Syafi’i yang Pertama.
Abu Abdillah Muhammad bin Idris as Syafi’i ini setelah ilmunya
tinggi dan fahamnya begitu dalam dan tajam, timbullah inspirasinya untuk
berfatwa sendiri mengeluarkan hukum-hukum dari Quran dan Hadits sesuai
dengan “ijtihad”nya sendiri, terlepas dari fatwa-fatwa gurunya Imam
Maliki dan Ulama-ulama Hanafi di Iraq. Hal ini terjadi pada tahun 198 H.
yaitu sesudah usia beliau 48 tahun dan sesudah melalui masa belajar
lebih kurang 40 tahun. Beliau telah menghafal al-Quran dan berpuluh ribu
hadits di
luar kepala dan juga telah mendalami tafsir dari ayat suci dan
makna hadits-hadits serta pendapat Ulama yang terdahulu. Beliau berfatwa
dengan lisan menurut ijtihadnya (pendapat) sendiri dan juga
mengarangkan kitab-kitab yang berisikan pendapat-pendapatnya itu.
Mula-mula di Iraq beliau mengarang kitab “ar-Risalah”, kitab UshuI Fiqih
yang pertama di dunia, yakni suatu ilmu yang dijadikan pedoman dalam
menggali hukum-hukum Fiqih dari kitab suci al-Quran dan dari hadits
Nabi.
Harus dimaklumi bahwa sekalian fatwa dengan lisan dan tulisan pada
ketika Imam syafi’i di Iraq ini dinamakan ‘Al-Qaulul Qadim” (Fatwa lama)
sedang fatwa-fatwa yang dikeluarkan sesudah beliau pindah ke Mesir
dinamakan “Al-Qaulul Jadid” fatwa baru). Barangsiapa yang mempelaiari
kitab-kitab Imam Syafi’i rahimahullah atau kitab-kitab Syafi’iyah dewasa ini, akan berjumpa dengan tulisan-tulisan al-Qaulul Qadim dan al-Qaulul Jadid itu.
13. Pindah ke Mesir.
Pada bulan Syawal tahun 198 H. itu juga, Imam Syafi’i pindah ke
Mesir. Kebetulan saja Khalifah al Ma’mun mengangkat Abbas bin Musa
menjadi Wali (Gubernur) Mesir dan mengirimnya ke Mesir. Imam Syafi’i
menumpang dalam kafilah Wali Mesir itu, karena Imam Syafi’i rahimahullah adalah
salah seorang Ulama yang dihormati, bukan saja oleh rakyat Iraq tetapi
juga oleh Khalifah Ma’mun sendiri. Ketika beliau akan berangkat dari
Iraq ke Mesir, banyaklah datang sahabat-sahabatnya untuk mengucapkan
selamat jalan, diantaranya adalah muridnya yang terkenal dan kemudian
dikenal dengan nama Ahmad bin Hanbal (Pembangun Madzhab Hanbali).
Pada ketika Imam Syafi’i bersalaman dengan Ahmad bin Hanbal, beliau membaca sebuah sya’ir, begini:
لَقَدْ أَصْبَحَتْ نَفْسِى تَتُوْقُ إِلَى مِصْرَ,
وَمِنْ دُوْنِهَاأَرْضُ الْمُهَامَةِ وَالْقَفْرِ
وَوَاللهِ لاَأَدْرِى لِلْعِزِّ وَالْغِنَى,
أُسَاقُ إِلَيْهَاأَمْ أُسَاقُ إِلَى الْقَبْرِ
” Saya rindu pergI Ke Mesir,
untuk melihat sungai dan pasir,
untuk kebesaran atau kekayaan,
ataukah ini makam pekuburan”
Rupanya Imam Syafi’i rahimahullah sudah merasa bahwa ia akan wafat dan bermakam buat selama-lamanya di Mesir.
Abbas bin Musa, Gubernur Mesir meminta agar Imam Syafi’i menginap di rumahnya, tetapi Imam Syafi’i rahimahullah menolak
karena ia ingin tinggal dengan seorang ulama Besar namanya Abdullah bin
aI Hakam seorang ulama yang pernah menjadi muridnya di Madinah pada
ketika Imam syafi’i mendiktekan kitab Al Muwatha’ atas nama Imam Maliki.
Beliau tinggal di rumah Abdullah bin al Hakam sampai tahun 204
Hijriyah.
14. Imam Syafi’i Suka Mengembara dalam Rangka Mencari Ilmu Pengetahuan.
Dalam riwayat, Imam Syafi’i rahimahullah suka mengembara,
pindah dari satu negeri ke negeri yang lain, terutama dalam hal mencari
ilmu pengetahuan. Beliau lahir di Gazza, pergi ke Mekkah, pindah ke
Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq dan Syam, ke Mekkah dan ke Irak
lagi, kemudian pindah ke Mesir, wafat dan bermakam di Mesir.
Imam Syafi’i rahimahullah bukan saja mempraktekkan
pindah-pindah tempat itu untuk dirinya sendiri, tetapi juga beliau
menganjurkan bagi siapa saja agar mengadakan pengembaraan dengan
perasaan gembira dan perjalanan keliling, khususnya dalam belajar untuk
mencari ilmu pengetahuan. Beliau pernah berkata dalam sya’ir begini :
مَافِى الْمَقَامِ لِذِى عَقْلٍ وَذِى أَدَبٍ
مِنْ رَاحَةٍ فَدَعِ الْأَوْطَانَ وَاغْتَرِبِ
سَافِرْ تَجِدْ عِوَضًاعَمًّاتُفَارِقُهُ
وَانْصَبْ فَإِنَّ لَذِيْذَالْعَيْشِ فِى النَّصَبِ
إِنِّى رَأَيْتُ وُقُوْفَ الْمَاءِ يُفْسِدُهُ
إِنْ سَالَ طَابَ وَإِنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبِ
أَلْأُسْدُلَوْلاَفِرَاقُ الْغَابِ مَاافْتَرَسَتْ
وَالسَّهْمُ لَوْلاَفِرَاقُ الْقَوْسِ لَمْ يُصِبِ
وَالشَّمْسُ لَوْوَقَفَتْ فِى الْفُلْكِ دَائِمَةً
لَمَلَّهَاالنَّاسُ مِنْ عُجْمٍ وَمِنْ عَرَبٍ
وَالتِّبْرُ كَالتُّرْبِ مُلْقًى فِى أَمَاكِنِهِ
وَالْعُوْدُفِى أَرْضِهِ نَوْعٌ مِنَ الْحَطَبِ
فَإِنْ تَغَرَّبَ هَذَاعَزَّمَطْلَبُهُ
وَإِنْ تَغَرَّبَ ذَاكَ غَزَّكَالذَّهَبِ
Tidak enak bagi orang cerdik pandai tinggal tetap di suatu tempat
Oleh karena itu tinggalkanlah tanah air dan mengembaralah
Musafirlah! Engkau akan mendapatykan sahabat-sahabat
Pengganti sahabat-sahabat yang ditinggalkan
Bekerja keraslah karena kelezatan hidup dalam bekerja keras
Saya melihat bahwa air yang tetap di suatu tempat akan busuk
Kalau air mengalir akan bersih dan kalau tidak mengalir akan kotor
Singa kalau tidak keluar dari sarangnya, ia tidak dapat makan
Anak panah yang tidak keluar dari busurnya, ia tidak akan mengena
Matahari kalau tetap, maka seluruh manusia akan marah padanya
Tibir/biji emas seperti tanah saat masih tergeletak ditempatnya
Kayu harum saat di rimba, sama saja dengan kayu lainnya
Kalau kayu harum keluar rimba, sukar sekali mendapatkannya
Tibir kalau keluar dari tempatnya sangat berharga seperti emas
Demikianlah sya’ir dari Imam Syafi’i rahimahullah yang menganjurkan kepada semua orang supaya menyukai pengembaraan, terutama untuk mencari ilmu pengetahuan.
15. Meninggal Dunia dalam Usia 54 Tahun
Setelah 6 tahun tinggal di Mesir mengembangkan madzhabnya dengan
lisan dan tulisan dan sesudah mengarang Kita bar Risalah (dalam ushul
fiqih) dan sesudah mengarang Kitab-kitab beliau yang banyak sekali, maka
beliau meninggal dunia pulang ke rahmatullahke dalam syurgaNya, janntun
na’im. Berkata Rabi’ bin Sulaiman (murid Imam Syafi’i), “Imam Syafi’i rahmatullah alaih bedrpulang
ke rahmatullah pada waktu petang sesudah shalat maghrib, pada hari
kamis malam Jum’at, akhir bulan Rajab dan kami makamkan beliau pada hari
Jum’at dan sorenya kami lihat hilal tanggal 1 bulan Sya’ban 204
Hijriyah. Dalam tarikh Masehi bertepatan dengan tanggal 28 juni 819 M.
Raja Mesir pada saat itu juga ikut shalat jenazah beliau.
إِنَّالِلَّهِ وَإِنَّاإِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ
Tidak ada komentar :
Posting Komentar