Sulis-Keagungan tuhan

"> ">

Senin, 08 Juli 2013

SEJARAH IMAM BESAR SYAFI’I

1. Riwayat Ringkas Imam Syafi’i Rahimahullah

1.       Tahun dan Tempat Lahir
Nama asli dari Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Gelar beliau Abu Abdillah. Orang Arab kalau menuliskan nama biasanya mendahulukan gelar dari nama sehingga berbunyi : Abu Abdillah Muhammad bin Idris. Beliau lahir di Gazza, bagian selatan dari Palestina, pada tahun 150 H. pertengahan abad kedua Hijriyah.
Ada ahli sejarah mengatakan bahwa beliau lahir di Asqalan, tetapi kedua perkataan ini tidak berbeda karena Gazza dahulunya adalah daerah Asqalan. Kampung halaman Imam Syafi’i rahimahullah bukan di Gazza Palestina, tetapi di Mekkah (Hijaz). Dahulunya ibu-bapak beliau datang ke Gazza untuk suatu keperluan, dan tidak lama setelah itu beliau lahir.
Ketika beliau masih kecil bapaknya meninggal di Gazza, dan beliau menjadi anak yatim yang hanya dibela oleh ibunya saja. Sejarah telah mencatat bahwa ada dua kejadian penting sekitar kelahiran Imam Syafi’i rahimahullah yaitu:
1). Sewaktu Imam Syafi’i dalam kandungan, ibunya bermimpi bahwa sebuah bintang telah keluar dari perutnya dan terus naik membubung tinggi, kemudian bintang itu pecah bercerai dan berserak menerangi daerah-daerah sekelilingnya. Ahli mimpi menta’birkan bahwa ia akan melahirkan seorang putera yang ilmunya akan meliputi seluruh jagad. Sekarang menjadi kenyataan bahwa ilmu Imam Syafi’i rahimahullah memang memenuhi dunia, bukan saja di tanah Arab, di Timur Tengah dan Afrika, tetapi juga sampai ke Timur Jauh, ke Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina dan lain-lain.
2). Sepanjang sejarah pada hari Imam Syafi’i rahimahullah dilahirkan itu, meninggal dunia dua orang Ulama Besar, seorang di Bagdad (Iraq) yaitu lmam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (pembangun Madzhab Hanafi) dan yang seorang lagi di Mekkah, yaitu lmam lbnu Jurej al Makky, Mufti Hijaz ketika itu.
Kata orang dalam ilmu firasat hal ini adalah satu pertanda bahwa anak yang lahir ini akan menggantikan yang meninggal dalam ilmu dan kepintarannya. Memang firasat ini akhirnya terbukti dalam kenyataan.
2. Nenek Moyang Imam Syafi’i rahimahullah
Nenek moyang Imam Syafi’i rahimahullah adalah : Muhammad, bin Idris, bn Abbas, bin Utsman, bin Syafi’, bin Saib, bin Abu Yazid, bin Hasyim, bin Abdul Muththalib, bin Abdul Manaf, bin Qushai. Abdul Manafbin Qushai yang menjadi kakek ke 9 dari Imam Syafi’i rahimahullah, adalah Abdul Manaf bin Qushai kakek yang ke 4 dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Nenek moyang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai dimaklumi, adalah : Muhammad bin Abdullah, bin Abdul Muththalib, bin Hasyim, bin Abdul Manaf, bin Qushai, bin Kilab, bin Marah, bin Ka’ab, bin Luai, bin Ghalib, bin Fihir, bin Malik, bin Nadlar, bin Kinanah, bin Khuzaimah, bin Mudrikah, bin llyas, bin Ma’ad, bin Adnan sampai kepada Nabi lsma’il dan Nabi Ibrahim alaimashshalatu wassalam. Teranglah dalam silsilah ini bahwa Imam Syafi’i rahimahullah senenekmoyang dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun dari fihak lbu: Fathimah, binti Abdullah, bin Hasan, bin Hussein, bin AIi, bin Abi Thalib. Ibu Imam Syafi’i rahimahullah adalah cucu dari cucu Saidina ‘Ali bin Abi Thalib, menantu, sahabat Nabi dan Khalifah ke IV yang terkenal. Sepanjang sejarah diketemukan, bahwa Saib bin Abu Yazid, kakek Imam Syafi’i yang ke 5 adalah sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Jadi, baik dipandang dari segi keturunan darah, maupun dipandang dari keturunan ilmu maka Imam Syafi’i rahimahullah yang kita bicarakan ini adalah karib kerabat dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Gelaran “SYAFI’I” dari Imam Syafi’i rahimahullahdiambil dari kakeknya yang 4, yaitu Syafi’i bin Saib.
Silsilah Imam Syafi’i dan Hubungannya dengan Rasulullah
3. Kembali ke Mekkah Al Mukarramah
Setelah usia Imam Syafi’i rahimahullah 2 tahun, ia dibawa ibunya kembali ke Mekkah al Mukarramah, yaitu kampung halaman beliau, dan tinggal di Mekkah sampai usia 20 tahun, yakni sampai tahun 170 H. Dalam angka 20 ini terdapat perbedaan-perbedaan dalam catatan sejarah, ada yang mengatakan sampai usia 13 tahun, ada yang mengatakan sampai usia 14 tahun, ada yang mengatakan sampai usia 20 tahun dan ada yang mengatakan sampai usia 22 tahun. Tetapi penulis buku ini sesudah memperhatikan dari bermacam-macam segi, agak condong berpendapat bahwa Imam Syafi’i rahimahullah tinggal di Mekkah sampai usia 20 tahun dan sesudah itu pindah ke Madinah al Munawwarah. Perbedaan angka ini tidak prinsipil, yang terang beliau tinggal di Mekkah di waktu kecil dan setelah muda remaia pindah ke Madinah.
Selama beliau di Mekkah, Imam Syafi’i rahimahullah berkecimpung dalam menuntut ilmu pengetahuan, khusus yang bertalian dengan Agama Islam sesuai dengan kebiasaan anak-anak kaum Muslimin. Sebagai dimaklumi bahwa dalam seiarah pada abad I dan II tahun Hijrah, ummat Islam boleh dikatakan dalam masa, keemasan, sedang memuncak membubung tinggi. Agama Islam sudah tersiar luas, ke Barat sampai ke Marokko dan Spanyol, ke Timur sudah sampai ke Iran, ke Afganistan, ke India Selatan, ke Indonesia dan ke Tiongkok dan di Afrika sudah hampir pada seluruh daerah. Pada abad-abad itu yang berkuasa adalah Khalifah-khalifah Ar Rasyidin, Khalifah-khalifah Bani Ummayyah dan Khalifah-khalifah Bani ‘Abbas, yang terkenal bukan saja dalam keberanian, tetapi juga dalam memperkembangkan ilmu pengetahuan.
Dalam masa Khalifah-khalifah Harun ar Rasyid (170 – 193 H) dan al Makmun (L98 – 218 H) rerkenal sebagai masa yang memuncak tinggi kedudukan ilmu pengetahuan. Dalam Agama Islam yang sangat dipatuhi orang ketika itu, baik dalam Hadits-hadits Nabi maupun dalam al Quran, banyak sekali terdapat petunjuk-petunjuk yang menganjurkan dan mengerahkan rakyat supaya belajar segala macam ilmu pengetahuan, khususnya yang bertalian dengan Agama. Sesuai dengan ini maka Imam Syafi’i rahimahullah pada masa mudanya menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu pengetahuan. Markas-markas ilmu pengetahuan ketika itu adalah di Mekkah, di Madinah, di Kufah (Iraq), di Syam (Damsyik) dan di Mesir. Oleh karena itu seluruh pemuda mengidam-idamkan dapat tinggal di salah satu kota itu untuk berstudi, untuk mencari ilmu pengetahuan dari yang rendah sampai yang tinggi.
Imam Syafi’i rahimahullah belajar membaca al Quran kepada lsma’il bin Qusthanthein. Dalam usia 9 tahun Imam Syafi’i telah menghafal ketiga puluh juznya al Quran di luar kepala. Catatlah ini, yaitu : Dalam usia 9 tahun. Imam Syafi’i pada mulanya tertarik dengan prosa dan puisi, sya’ir-sya’ir dan sajak-sajak bahasa Arab klasik, sehingga beliau sewaktu-waktu datang ke Qabilah-qabilah Badui di Padang Pasir, Qabilah Hudzel dan lain-lain. Kadang-kadang beliau tinggal lama di Qabilah-qabilah itu untuk mempelajari sastra Arab sehingga akhirnya Imam Syafi’i rahimahullah mahir dalam kesusasteraan Arab kuno dan beliau menghafal di luar kepala sya’ir dari lmrun-ul Qois, Sya’ir Zuheir, Sya’ir Jarir dan lain-lain. Hal ini kemudian ternyata ada baiknya karena dapat menolong beliau memahamkan al-Qur’an yang diturunkan dalam bahasa Arab yang fasih, y ang asli dan yang murni.
Tersebutlah dalam sejarah yang diceritakan oleh Mush’ab bin Abdillah az Zabiri, sebagaimana termaktub dalam kitab “al Majmu’” bahwa Imam Syafi’i rahimahullah pada waktu mudanya hanya tertarik kepada puisi, sya’ir-sya’ir dan sajak bahasa Arab klasik, tetapi kemudian beliau terjun mempelajari hadits dan fiqih. Sebabnya ialah bahwa pada suatu hari ia mengendarai onta. Dibelakangnya ada seorang lain, yaitu jurutulis bapak saya, kata Mush’ab. Muhammad bin Idris ketika itu berdendang dan bernyanyi mendengungkan sebuah sya’ir. Jurutulis bapak saya mengetok dengan tongkatnya dari belakang dan menegurnya : ‘Akh, pemuda seperti kamu menghabiskan kepemudaannya dengan berdendang dan bernyanyi; alangkah baiknya kalau waktu kepemudaanmu ini dipakai untuk mempelajari hadits dan fiqih!” Berkata Mush’ab, bahwa teguran inilah sebab yang menggerakkan hati Imam Syafi’i rahimahullah untuk mempelajari ilmu hadits dan fiqih dan kemudian beliau datang belajar kepada Mufti Mekkah, Muslim bin Khalid al Zanji dan Ulama hadits Sofyan bin ‘Uwaniah. (wafat 198 H).
Inilah di antara guru Imam Syafi’i rahimahullah dalam ilmu hadits dan Fiqih. Selain daipada itu Imam Syafi’i rahimahullah menceritakan tentang diri beliau, begini :
“Saya pada mulanya mempelajari ilmu Nahwu (gramatika) dan Adab (kesusasteraan), kemudian setelah saya datang kepada Muslim bin Khalid beliau bertanya, Hai Muhammad; kamu darimana?” Jawabku ; “Saya orang sini, orang Mekkah”. “Dari kampung mana?” “Dari kampung Khaif “. “Dari kabilah apa?” “Dari kabilah Abdu Manaf”. “Bakhin, bakhin (senang, senang sekali), Tuhan telah memuliakan kamu dunia akhirat. Alangkah baiknya kalau kecerdasan kamu itu ditumpahkan pada ilmu fiqih, inilah yang baik bagimu”. Kemudian ucapan Imam Muslim bin Khalid inilah sebab yang menggerakkan hati saya untuk mempelajari ilmu fiqih ssedalam-dalamnya, kata Imam Syafi’i rahimahullah.
Apakah ilmu fiqih itu?
Fiqih dalam bahasa Arab berarti pengertian, kefahaman dan dalam Islam berarti ilmu pengetahuan tentang hukum  syari’at Islam sesuai dengan dalilnya satu persatu, umpama, shalat hari raya hukumnya sunnat, sesuai dengaan hadits itu. Riba hukumnya haram, sesuai dengan firman Tuhan, perkawinan tanpa wali tidak sah, sesuai dengan hadits Nabi, minum arak haram sesuai dengan al Quran dalam surat itu dan lain sebagainya.
Orang yang ahli dalam ilmu fiqih disebut “Faqih”, jama’nya “Fuqaha”. Kalau ada seorang Muslim yang sampai derajatnya kepada “Faqih” maka itu satu bukti bahwa Tuhan telah menetapkan dia menjadi orang baik-baik sesuai dengan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًايُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ
Artiny a : ” Barangsiapa yang dikehendaki oleh AIIah untuk menjadi orang baik-baik maka ia difaqihkan dalam agama” (hadits riwayat Bukhari dan Muslim, lihat Fathul Bari juz l, hal 173 dan Syarah Muslim juz Vll, halaman 128).
Arti “di-faqihkan” ialah dipintarkan. Di samping ilnu fiqih ada lagi ilmu Ushul-fiqih. Ilmu ushul fiqih ialah ilmu untuk mengetahui qaedah-qaedah (pokok-pokok, norma-norma) yang mana dengan qaedah- qaedah itu dapat diistinbathkan (dikeluarkan) hukum-hukum syari’at dari dalil-dalilnya. Imam Syafi’i rahimahullah orang yang mula-mula menciptakan ilmu ushul fiqih ini.
Imam Syafi’i ketika usia mudanya di Mekkah, mempelajari selain ilmu fiqih juga ilmu tafsir, ilmu hadits dan ilmu Mustalah Hadits. Apakah yang dikatakan ilmu tafsir itu ? Ilmu tafsir ialah pengetahuan untuk hal ihwaI yang bertalian dengan Kitab Suci AI-Quran, umpama sebab-sebab turunnya ayat, arti dan ma’na ayat dalam bahasa Arab, maksud dan tujuan ayat itu yang sesuai dengan kehendak Tuhan yang menurunkan ayat, mentak’wilkan apa yang patut dita’wilkan, hubungan antara satu ayat dengan yang lain, penafsiran ayat yang satu pada yang lain, mana yang nasekh dan mana yang mansukh, mana ayat yang diturunkan di Mekkah dan mana yang diturunkan di Madinah dan lain-lain sebagainya. Imam Syafi’i rahimahullah di waktu remajanya mempelajari ilmu tafsir ini.
Apakah itu ilmu Mustalah Hadits ?
Ilmu Mustalah Hadits ialah ilmu tentang keadaan Hadits, keadaan matan hadits, sanad hadits, orang yang membawa hadits itu dan lain-lain sebagainya yang bertalian dengan hadits. Orang-orang yang mengetahui ilmu Mustalah Hadits akan mengetahui dengan mudah bahwa hadits itu sahih, hadits ini hasan (baik), hadits ini dha’if (lemah), hadits itu muqathi’(putus sirawinya) dan lain-lain sebagainya. Pendeknya Imam Syafi’i rahimahullah ketika di Mekkah itu mempelajari ilmu fiqih, ilmu hadits, ilmu ushul fqih, ilmu mustalah hadits, ilmu tafsir dan ilmu tajwid (pembacaan Al-Quran). Adalah kenyataan bahwa Imam Syafi’i dalam usia 9 tahun telah hafal Al-Quran di luar kepala dan dalam usia 10 tahun sudah pula hafal di luar kepala kitab fiqih karangan Imam Malik yang bernama Al Muwatha’.
Sepanjang sejarah dinyatakan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah membagi malam menjadi tiga bagian, yaitu sepertiga untuk belajar dan mengajar, sepertiga untuk beribadat dan munajat kepada Tuhan dan sepertiga lagi untuk tidur. Kalau siang hari dari pagi sampai waktu dzuhur Imam Syafi’i rahimahullah bekerja dalam soal-soal ilmu pengetahuan. Bekerja dari jam 8 pagi sampai dzuhur sebagai yang dipraktekkan orang sekarang adalah atas perunjuk Imam Syafi’i rahimahullah pada mula-mulanya.
Dalam usia 18 tahun (dalam satu riwayat 15 tahun) Imam Syafi’i rahimahullah telah diberi izin oleh gurunya Muslim bin KhaIid Az Zanji untuk mengajar di Masjidil Haram (Masjid Mekkah) sehingga mengagumkan orang-orang haji yang naik haji ke Mekkah pada tahun-tahun itu.
4. Ketekunan Imam Syafi’i Rahimahullah dalam Belajar
Muhammad bin Idris adalah seorang pemuda yang sangat rajin dalam belajar. Ia belajar dengan sungguh-sungguh dan tekun. Sebagai dimaklumi, beliau adalah seorang pelajar yang miskin, tidak mempunyai harta yang banyak untuk biaya belajar. Beliau seorang anak yatim di mana belanjanya hanya diberi oleh ibunya yang dalam serba kekurangan pula. Tetapi Imam Syafi’i rahimahullah mempunyai keyakinan bahwa menuntut ilmu itu tidak tergantung kepada kekayaan, tetapi hanya kepada kemauan yang keras. Anak-anak miskin yang keras hati lebih banyak yang maju dibanding dengan anak-anak yang kaya, yang biasanya suka malas. Beliau mengumpulkan tulang-tulang kambing atau tulang-tulang onta, yang biasanya banyak berserakan terutama sesudah orang-orang mengerjakan haji di Mina. Beliau mengumpulkan pelepah-pelepah tamar yang kering, beliau mengumpulkan tembikar dan batu-batu yang dapat ditulis dan beliau mengumpulkan kertas-kertas yang dibuang orang-orang kantor yang dapat ditulis Iagi. Beliau mendengar ucapan guru, dikte-dikte guru lalu menuliskan di atas bahan-bahan tadi sambil memperhatikan dan menghafalnya mana yang patut dihafal.
Pada suatu ketika penuh sesaklah kamar beliau dengan benda-benda tulang yang betulisan itu sehingga tidak dapat lagi beliau meluruskan kakinya ketika melepaskan lelah atau ketika tidur. Akhirnya beliau memutuskan agar semua tulisan itu dihafal saja di luar kepala dan tulang-tulang itu dikeluarkan dari kamar supaya kamar tidurnya meniadi agak lapang. Semua yang tertulis dihafalnya di luar kepala dan sesudah itu tulang-tulang dikeluarkan dari kamarnya. Jadi Imam Syafi’i rahimahullah sejak kecil sudah terlatih dan terdidik dengan menghafal di luar kepala. “Ilmu itu yang ada dalam dada, bukan yang ada dalam kertas”, kata peribahasa. Inilah nampaknya yang diamalkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah.
Maka dengan cara begini tidaklah heran kalau Imam Syafi’i rahimahullah dalam usia 9 tahun sudah menghafal Al-Quran di luar kepala, dan dalam usia 10 tahun sudah menghafal di luar kepala kitab Al Muwatha’, katangan Imam Malik. Beginilah kecerdasan dan ketajaman otak Imam Syafi’i rahimahullah. Dan begitulah Imam Syafi’i rahimahullah belajar seiak kecil sampai remaja, sampai dewasa berusia 20 tahun, di mana beliau sesudah itu pindah dari Mekkah al Mukarramah ke Madinah al Munawwarah.
5. Mencari Ilmu ke Madinah.
Pada seperempat terakhir dari abad ke ll Hijriyah kotaMadinah sedang gilang-gemilang dalam ilmu pengetahuan, karena di sana banyak menetap Ulama-ulama Tabi’in (orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi) dan ulama-ulama Tabi’-tabi’in (orang yang berjumpa dengan orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi). Ditengah-tengah ulama-ulama yang banyak itu ada seorang yang menonjol yang menjadi bintangnya, yaitu : seorang ulama yang terkenal dengan gelar julukan “Imam Darul Hijrah” (Imam negeri tempat Nabi berpindah), yaitu Imam Malik bin Anas, pembangun Madzhab Maliki). Imam Malik bin Anas lahir tahun 93 H., yaitu 57 tahun lebih tua dari Syafi’i rahimahullah dan wafat pada tahun 179 H., 25 tahun terdahulu dari Syafi’i rahimahullah. Sepanjang riwayat, Imam Malik bin Anas ini adalah seorang Ulama’ yang bersungguh-sungguh mengumpulkan hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau kumpulkan dan beliau hafal sebanyak 100.000 hadits dalam masa 40 tahun.
Ibnu Qudamah mengatakan bahwa Imam Malik bin Anas adalah seorang “Huffazh” (penghafal) hadits nomor satu pada zamannya dan tidak ada seorang pun yang menandingi beliau dalam soal penghafalan hadits itu. Hadits-hadits yang 100.000 banyaknyaitu beliau teliti satu per-satu, beliau lihat si rawi yang membawa hadits-hadits, beliau cocokkan dengan kitab suci Al-Quran tentang arti tujuannya. Pada akhirnya hadits yang 100.000 itu beliau pilih sehingga yang tinggal hanya 5.000 buah yang beliau anggap sangat sahihnya. Hadits yang 5.000 in’ah yang beliau kumpulkan dalam satu kitab yang berbentuk kitab fiqih sekarang, yang diberi nama “Al Muwatha’”. “Al Muwatha’ artinya : “yang disepakati”. Imam Malik bin Anas menamakan kitabnya dengan Al Muwatha’ (yang disepakati) karena beliau telah memperlihatkan kitab itu kepada 70 orang ulama-ulama fiqih di Madinah yang mana kesemua Ulama itu menyetujuinya.
Imam Syafi’i rahimahullah seorang yang mengagumi Imam Malik bin Anas dan pula seorang yang mengasihi kitab Al Muwatha’ sehingga kitab itu dihafal di luar kepala pada ketika beliau masih berumur 10 tahun. Sesungguhpun kitab Al Muwatha’ sudah hafal di luar kepala, tetapi keinginan Imam Syafi’i rahimahullah untuk datang belajar kepada pengarangnya makin berkobar. Beliau ingin mengambil ilmu Imam Malik dari mulut ke mulut, yakni berhadap-hadapan. Maka beliau minta izin kepada gurunya Muslim bin Khalid az Zanji untuk pergi ke Madinah menjumpai Imam Malik dan belajar pada beliau. Imam Syafi’i rahimahullah berangkat ke Madinah pada tahun 170 H. dengan membawa sepucuk surat dari gurunya Muslim bin Khalid yang ditujukan kepada Imam Malik bin Anas. Selain itu Imam Syafi’i rahimahullah membawa surat pula dari Wali Mekkah (semacam Gubernur) kepada Wali Madinah, dimana Wali Mekkah minta agar kiranya Wali Madinah memperkenankan Imam Syafi’i rahimahullah belajar kepada Imam Malik bin Anas.
Selama 8 hari 8 malam perjalanan antara Mekkah dan Madinah dengan mengendarai onta. Imam Syafi’i rahimahullah membaca Al Quran sebanyak 16 kali khatam/tammat, dengan mengkhatamkan 1 kali siang dan 1 kali malam. Sesampainya di Madinah beliau langsung menjumpai Imam Malik bersam dengan Wali Madinah. Imam Malik setelah menerima surat dari Wali Mekkah yang dialamatkan kepadanya, menyindir dengan mengatakan : “Subhanallah, menuntut ilmu Rasulullah kok pakai perantara.” Wali Madinah mempersilahkan Imam Syafi’i rahimahullah berbincang-bincang.
“Mudah-mudahan tuan dikaruniai oleh Allah”, kata Imam Syafi’i rahimahullah kepada Imam Malik. “Saya ini dari kaum Muththalib, datang dari Mekkah untuk menuntut ilmu dari tuan guru karena saya sudah lama mendengar nama tuan guru dan ingin belajar langsung dari tuan guru.” Sesudah itu Imam Malik memperhatikan Imam Syafi’i seketika dan beliau berkata, “Siapa namamu?” Imam Syafi’i menjawab, “Muhammad bin Idris.” Imam Malik menyambung, “Hai Muhammad, bertaqwalah kepada Allah, dan jauhilah segala kedurhakaan. Saya melihat kepadamu ada sesuatu yang akan terjadi. Baiklah, besok datanglah lagi dan akan saya suruh orang membacakan Al Muwatha’ kepadamu.”
Jawab Imam Syafi’i, “Tak perlu dicarikan orang lain karena saya sudah menghafal di luar kepala Kitab Al Muwatha’ itu. Imam Malik menjawab, “Kalau begitu keadaannya, cobalah baca .” Imam Syafi’i rahimahullah lantas membaca kitab Al Muwatha’ yang langsung didengar oleh Imam Malik dengan seksama dan di sana-sini membetulkan pembacaan-pembacaan Imam Syafi’i yang lancar itu. Imam Malik sangat kagum melihat Imam Syafi’i muda ini, karena masih dalam usia muda remaja sudah mendalam ilmunya, sudah mahir dalam arti ayat-ayat suci Al Quran, hadits-hadits Nabi dan kaedah-kaedah bahasa Arab. Kemudian Imam Syafi’i rahimahullah tetap setiap hari mendatangi halakah tempat Imam Malik mengajar di mesjid Madinah di mana beliau bersama-sama pelajarpelajar lain yang terdiri dad Ulama-ulama Besar dari seluruh penjuru mendengar dan mencatat pengajian-pengajian yang diberikan oleh Imam Malik, seorang Ulama Besar dan lmam Mujtahid yang jarang tandingannya.
Akhirnya Imam Syafi’i rahimahullah mendapat kepercayaan besar dari Imam Malik dan lantas diundang menginap di rumahnya dan setiap hari datang ke mesjid bersama-sama sebagai pembantunya dalam mengajarkan kitab Al Muwatha’ dan lain-lain. Imam Malik membacakan kitabnya kepada murid-murid dan sesudah itu Imam Syafi’i rahimahullah (yang ketika itu belum berpangkat Imam Mujtahid) membantu Imam Malik mendiktekan (mengimlakkan) kitab karangan Imam Malik itu kepada sekalian mahasiswanya.
Ada kira-kira setahun Imam Syafi’i rahimahullah tidak berpisah dengan Imam Malik, selalu dengan beliau sebagai murid dan sebagai pembantu. Dengan cara begitu Imam Syafi’i rahimahullah mendapat kenalan
banyak dari Ulama-ulama yang datang ke Madinah sesudah menunaikan ibadah haji dan datang belajar kepada Imam Malik. Di antara orang-orang yang berkenalan dengan Imam Syafi’i rahimahullah ketika itu adalah Abdullah bin al Hakam dari Mesir (Kairo), yang kemudian di waktu Imam Syafi’i rahimahullah datang ke Mesir, beliau berkunjung ke rumah Abdullah bin al Hakam ini. Juga Imam Syafi’i rahimahullah berkenalan dengan Asyhab lbnul Qasim dan aI Laits bin Sa’ad, yaitu ulama-ulama Mesir yang berkunjung ke Madinah yang telah mendengar Imam Syafi’i mendiktekan kitab al Muwatha’. Dan juga Imam Syafi’i rahimahullah berkenalan dengan Ulama-ulama Iraq yang berkunjung ke Madinah sesudah menunaikan ibadah haji. Banyak sekali diantara mereka yang datang menguniungi halakah Imam Malik dan mendengar imlak dari Imam Syafi’i rahimahullah yang bijak itu.
Pada ketika itulah Muhammad bin Idris mendengar bahwa di Bagdad dan Kufah banyak sekali terdapat ulama-ulama murid dari Imam Abu Hanifah (pembangun dari Madzhab Hanafi), sehingga tertarik hati beliau hendak mengunjungi lraq dan Mesir.
6. Berkunjung ke Bagdad dan lain-lain.
Setelah 2 tahun di Madinah yakni dalam usia 22 tahun Imam Syafi’i rahimahullah berangkat ke Iraq (Kufah dan Bagdad), di mana beliau bermaksud selain menambah ilmu dalam soal-soal kehidupan bangsa-bangsa juga untuk menemui ulama-ulama ahli hadits atau ahli fiqih yang bertebarang pada ketika itu di Iraq dan Persia (Iran). Sebagai dimaklumi kota Kufah ketika itu adalah ibu kota tempat kedudukan Khalifah-khalifah Abu Ja’far al Mansyur dan penggantinya Khalifah Harun Ar Rasyid yang terkenal, dan Bagdad adalah pusat ilmu pengetahuan, baik pengetahuan yang datang dari Barat atau yang datang dari Timur. Memang Iraq pada zaman Harun ar Rasyid dianggap sebagai negeri tempat ilmu Pengetahuan yang memancar ke seluruh penjuru dunia sebagai yang diterangkan di atas.
Perjalanan antara Madinah dan Iraq dilakukan dengan mengendarai onta selama 24 hari. Jauh juga. Tapi Imam Syafi’i rahimahullah mendapat bekal dari gurunya lmam Malik rahimahullah sebanyak 50 dinar emas, cukup untuk belanja dan untuk menginap di situ beberapa waktu lamanya karena ongkos kendaraan-dari Madinah ke Iraq hanya 4 dinar (emas).
Sesampainya di Kufah beliau menemui ulama-ulama sahabat almarhum Imam Abu Hanifah, yaitu guru besar Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan di mana Imam Syafi’i rahimahullah seringkali bertukar fikiran dan beri-memberi dengan beliau-beliau ini dalam soal-soal ilmu pengetahuan agama. Dalam kesempatan ini Imam Syafi’i rahimahullah dapat mengetahui aliran-aliran atau cara-cara fiqih dalam Madzhab Hanafi yang agak jauh berbeda dari cara-cara dan aliran fiqih dalam Madzhab Maliki.
Imam Hanafi dan Imam Maliki hampir bersamaan zamannya karena Imam Hanafi dilahirkan tahun 81 H. meninggal 150 H. Sedangkan Imam Maliki dilahirkan tahun 93 H. dan meninggal 179 H. Tetapi walaupun bersamaan zaman, namun aliran madzhab masing-masing berbeda. Madzhab Imam Maliki di Madinah berpendapat bahwa kalau dalam Al Quran tidak terdapat hukum agama ,maka hadits Nabilah yang menjadi sandaran hukum, sekali pun hadits Nabi itu Mutawatir (banyak yang merawikan). Ahad (satu jalan saja yang merawikan), Sahih atau Hasan. Tetapi Madzhab Hanafi di Iraq berpendapat bahwa kalau dalam AI Quran tidak terdapat hukum sesuatu yang terjadi maka yang boleh dijadikan sandaran hukum lagi hanya hadits yang mutawatir saja. Kalau tidak ada hadits yang mutawatir, langsung pindah pada “ijtihad” yakni pendapat Imam Mujtahid. Oleh karena itu golongan Imam Maliki dinamakan golongan  Ahli Hadits dan golongan Imam Hanafi dinamakan “AhIi Ra’yi” (Ahli Pendapat).
Imam Syafi’i rahimahullah ketika itu dapat mendalami dan menganalisa cara-cara yang dipakai oleh kedua Imam itu. Ketika itu beliau tidak lama di Iraq dan terus mengembara ke Persi, sampai ke Anadholi (Turki), terus ke Ramlah (Palestina) dimana beliau dalam perjalanan mencari dan menjumpai ulama-ulama baik Tabi’in atau Tabi-Tabi’in. Pada kesempatan mengembara ini beliau mengetahui adat istiadat bangsa-bangsa selain bangsa Arab, karena Persia dan Anadholi bukan bangsa Arab lagi. Hal ini nantinya menolong beliau dalam membangun fat’wanya dalam Madzhab Syafi’i.
7. Kembali ke Madinah
Sesudah 2 tahun mengembara meninjau antara Bagdad, Persia, Turki dan Palestina, Imam Syafi’i rahimahullah kembali ke Madinah dan kembali kepada guru besarnya yaitu Imam Maliki, Malik bin Anas. Imam Maliki bertambah kagum dengan ilmu Imam Syafi’i rahimahullah dan bahkan sudah ada pertanda dari Imam Maliki bahwa ilmu Imam Syafi’i sudah melebihi ilmunya.
Imam Maliki memberi izin kepada Imam Syafi’i rahimahullah untuk memberi fatwa sendiri dalam ilmu Frqih, artinya tidak berfatwa atas dasar aliran lmam Maliki dan juga tidak atas dasar aliran Imam Hanafi, tetapi berfatwa atas dasar madzhab sendiri. Imam Syafi’i rahimahullah tinggal bersama Imam Maliki sampai tahun 179 H. yaitu sampai Imam Maliki meninggal dunia. Imam Syafi’i rahimahullah belaiar dengan Imam Maliki selama 7 tahun, yaitu pada tahun 170 H. – 172 H. dan dari tahun 174 H. – 179 H.
8. Menjadi Mufti di Yaman.
Setelah gurunya (Imam Malik) berpulang ke rahmatullah, maka Imam Syafi’i rahimahullah pergi ke Yaman. Perjalanan ke Yaman ini sepanjang riwayat ialah bahwa Wali (semacam gubernur) Yaman datang ke kota Madinah untuk berziarah ke makam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia mendengar dari orang Madinah tentang kecakapan dan kepintarann Imam Syafi’i rahimahullah. Wali negeri Yaman ini tertarik kepada Imam Syafi’i rahimahullah sehingga diusahakannya berjumpa dengan beliau.
Kemudian terdapat kata sepakat antara keduanya, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah akan dibawa ke Yaman, diangkat sebagai Sekretaris Negara, sambil mengajar dan menjadi Mufti. “Mufti” artinya berfatwa tentang hukum-hukum agama. Nama Muhammad bin Idris as Syafi’i menjadi masyhur di negeri Yaman dan sekitarnya, banyaklah orang memujinya karena kecakapan dan kepintaran beliau. Tetapi, sungguhpun beliau sudah alim besar, sudah disegani oleh segala pihak, namun beliau tidak segan-segan untuk belajar apabila melihat ada guru agama yang lebih pintar daripadanya, yang dikiranya dapat menambah ilmunya.
Di Yaman beliau belajar kepada Syeikh Yahya bin Husein, seorang ulama besar di kota Shan’a ketika itu. Ketika beliau di Yaman beliau diangkat pula menjadi Wali daerah Najran, sebagai Kepala Daerah beliau disayangi oleh rakyat karena adil dan pemurahnya. Pekerjaan ini tidak lama dijabat oleh beliau, karena tidak sesuai dengan bakatnya. Beliau lebih condong kepada ilmu daripada siasah.
Imam Syafi’i rahimahullah menikah di Yaman dengan seorang puteri bernama Hamidah binti Nafi’i, seorang puteri keturunan Saidina Utsman bin Affan, Sahabat dan Khalifah Nabi yang ke III. Usia beliau sewaktu nikah lebih-kurang 30 tahun. Dari pernikahan ini beliau mendapat 3 (tiga) orang anak, seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Anak beliau yang laki-laki ini bernama Muhammad bin Syafi’I kemudian menjadi ulama besar pula dan menjadi qadhi di Jazirah (wafat 240H.).
9. Imam Syafi’i rahimahullah Ditangkap.
Imam Syafi’i rahimahullah ketika di Yaman ini sudah menjadi orang besar. Beliau disayangi oleh Wali Negeri dan diangkat menjadi “Katib-Daulah” (Sekretaris Negara) di samping beliau menjadi Mufti dan guru agama di mesjid-mesjid, bertabligh di mana-mana sehingga masyhur namanya. Telah menjadi kebiasaan di dunia yang fana ini bahwa setiap orang yang mendapat nikmat, ada saja orang yang dengki dan yang berniat jahat untuk menjatuhkannya. Beliau difitnah kepada Khalifah Harun ar Rasyid, yang ketika itu berkedudukan di Bagdad (Iraq), dikatakan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengembangkan faham syi’ah di Yaman dan masuk golongan partai Syi’ah yang sangat membenci Khalifah Harun ar Rasyid, khalifah Abbasiyah itu.
Memang dalam sejarah Islam tercatat bagaimana permusuhan yang mendalam antara orang-orang Syi’ah yang katanya pengikut Saidina ‘Ali radhiyallahu anhu dengan orang-orang Bani Umaiyah dan Bani Abbas. Ya, pada mulanya pembangunan Dinasti Abbassiyah ditolong oleh orang-orang Syi’ah untuk melawan Bani Umaiyah, akan tetapi kemudian ternyata bahwa orang-orang Syi’ah tidak senang hati pula pada orang-orang Bani Abbas itu. Khalifah Harun ar Rasyid selalu dirongrong oleh partai Syi’ah, yang kebetulan banyak bertebaran di Yaman ketika itu. Oleh karena itu Khalifah Harun ar Rasyid selalu curiga kepada Ulama-ulama di Yaman yang dianggapnya mengembangkan faham Syi’ah yang ditantangnya.
Disebabkan fitnah dari orang-orang yang dengki terhadap Imam Syafi’i maka beliau ditangkap bersama-sama kaum Syi’ah dan digolongkan kepada orang-orang Syi’ah lalu dibawa ke Bagdad untuk diadili oleh Khalifah Harun ar Rasyid, dengan rantai-besi pada kaki dan tangannya. Inilah imtihan (ujian iman) bagi Imam Syafi’i rahimahullah. Memang orang-orang yang beriman itu banyak mendapat cobaan iman. Banyak di antara rombongan Syi’ah itu yang dijatuhi hukuman mati oleh Khalifah, tetapi ketika sampai pertanyaan kepada Imam Syafi’i rahimahullah, maka terjadilah dialog (percakapan) antara Khalifah dengan Imam Syafi’i rahimahullah.
Dengan merangkak karena kedua kakinya dibelenggu. Imam Syafi’i masuk ke majlis Harun ar Rasyid dan berkata, Assalamu’alaikum wabarakatuh” (selamat atasmu dan berkat-Nya). Imam Syafi’i tidak mengucapkan warahmatullahi (dan rahmat Tuhan). Khalifah Harun ar Rasyid menjawab, “Alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh” (Selamat atasmu, rahmat Tuhan dan berkat-Nya). Harun ar Rasyid agak heran melihat ketenangan Imam Syafi’i rahimahullah karena tidak gelisah sedikit pun, padahal kawan-kawannya yang sama-sama ditangkap sudah dijatuhi hukuman mati. Khalifah Harun ar Rasyid bertanya, “Kenapa kamu berbicara dalam sidang ini tanpa izin saya, sehingga saya terpaksa menjawabnya?” (Pedu diketahui bahwa mengucapkan salam hukumnya sunnat, sedang menjawab hukumnya wailb). Imam Syafi’i rahimahullah membacakan firman Tuhan :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَ‌ٰلِكَ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya : “ Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS An-Nur : 55).
Lalu Imam Syafi’i rahimahullah meneruskan ucapannya : “Tuhan apabila berjanji, menepati janji-Nya dan kini ia telah mengangkat Tuanku menjadi Khalifah di bumi-Nya yang luas ini. Tuanku telah memberikan keamanan kepada saya sesudah saya dalam ketakutan, karena Tuanku menjawab salam saya dengan ucapan Warahmatullahi, (dan rahmat Tuhan untuk saya). Dengan begitu Tuanku telah memberikan arhmat Tuhan kepada saya dengan kemurahan hati Tuanku.” Khalifah Harun ar Rasyid tergerak hatinya mendengar ucapan yang lantang dan fasih dari Imam Syafi’i yang kelihatannya tak sedikit juga takut dan gentar.
Lantas Khalifah Harun ar Rasyid berkata, ..Bukankah engkau yang mengepalai komplotan pemberontak untuk menentangku, bukankah engkau telah bersekongkol dengan Abdullah bin Hasan untuk menentang aku, bukankah engkau orang yang sudah terang salahnya, bagaimana ..bagaimana engkau dapat membelanya? Imam Syafi’i menjawab, “Saya akan menerangkan pula isi dada saya sebaik-baiknya untuk mencari keadilan dan kebenaran. Tetapi dapatkah orang melahirkan perasaannya dengan seksama kalau kaki dan tangannya dirantai dengan besi berat ini? Saya minta agar rantai kaki dan tangan saya dibuka dan memperkenankan duduk sewajarnya. Dan puji-pujian kepada Allah yang Maha Kaya.”
Khalifah Harun ar Rasyid terbuka hatinya dan memerintahkan ketika itu juga kepada petugasnya untuk membuka rantai-rantai yang melingkari kaki dan tangan Imam Syafi’i rahimahullah. Imam Syafi’i lantas berkata, “Tuhan berfirman begini :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. ”. (Al-Hujarat : 6).
“Saya berselindung kepada Allah, bahwa saya adalah laki-laki yang disampaikan kepada Tuanku, bohong sekali orang yang menyampaikan kepada Tuanku. Saya mempunyai dua pertalian dengan Tuan Khalifah, yaitu sama-sama beragama Islam dan sama-sama satu keturunan. Tuanku adalah seorang yang harus berpegang kepada Kitabullah. Tuanku anak paman Rasulullah yang harus melindungi agamanya.”
Mendengar ucapan-ucapan Imam Syafi’i yang diucapkan dengan lancar ini, Khalifah Harun ar Rasyid tiba-ti[a jadi gembira, lalu berkata. “Tenanglah, tenangkanlah pikiranmu, saya menghargai ilmumu dan juga menghargai pertalihan darah kita.” Lalu Khalifah berkata lagi, “Bagaimana keadaan ilmu kamu dengan Kitabullah ‘azza wajalla, di sanalah kita mulai bicara.” Imam Syafi’i rahimahullah menjawab, “Kitab Suci yang mana Tuan Khalifah tanyakan,karena kitab suci yang diturunkan banyak sekali.” Khalifah menjawab, “Baiklah, saya bertanya tentang kitab suci yang diturunkan kepada anak paman saya, Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Imam Syafi’i rahimahullah menjawab, “Ilmu yang terkandung dalam Al Quran itu banyak sekali, yang manakah yangTuanku tanyakan ? Ada ilmu ayat-ayat mutasyabih dan ayat muhakkamah, ada ilmu ayat-ayat taqdim dan ta’khir, ada ilmu tentang Nasekh dan Mansukh, ada ilmu ini dan ada ilmu itu.”
Kemudian Khalifah terpesona dan lantas menukar haluan, bukan lagi bertanya soal-soal agama tetapi berpindah kepada soal-soal ilmu falak, ilmu kedokteran, iimu firasat dan lain-lain yang kesemuanya dijawab oleh Imam Syafi’i rahimahullah dengan sangat memuaskan Khalifah Harun ar Rasyid. Kemudian Khalifah berkata, “Datanglah engkau sewaktu-waktu untuk mengajar saya!”
Dengan begitu bebaslah Imam Syafi’i rahimahullah dari tuduhan, dan kecewalah tukang-tukang fitnah yang memfitnah beliau. Inilah kedatangan Imam Syafi’i rahimahullah yang kedua kali ke Iraq (Kufah atau Bagdad) yang terjadi pada tahun 184 H. yakni dalam usia 34 tahun.
10. Kembali ke Mekkah (Hijaz).
Tidak lama sesudah beliau bebas maka Imam Syafi’i rahimahullah kembali ke kampung asalnya yaitu Mekkah aI Mukarramah, sesudah ditinggalkannya lebih kurang 11 tahun. Ia disambut oleh Ulama dan rakyat Mekkah karena kemasyhurannya. Sudah lama beliau di Mekkah masih mendapat sambutan akibat banyaknya orang haji yang pulang balik antara Madinah dan Mekkah dan antara Mekkah dengan Kufah (Iraq).
Beliau membuat rumah tempat tinggal di luar kota Mekkah di suatu tempat yang memungkinkan dapat didatangi oleh pelajar-pelajar yang menuntut ilmu kepada beliau. Lebih kurang selama 17 tahun beliau di Mekkah menaburkan ilmu-ilmu agama kepada kaum Muslimin yang setiap tahun datang ke Mekkah untuk ibadat haji. Karena itu nama Imam Syafi’i rahimahullah masyhur ke seluruh dunia Islam karena setiap orang haji yang datang ke Mekkah pulang ke kampungnya membawa kabar tentang ke’aliman Imam Syafi’i. Tetapi pada ketika itu beliau masih merasa belum sampai kepada derajatnya Imam Mujtahid Muthlak (Mujtahij Penuh), sehingga fatwa-fatwa beliau adalah berdasarkan fatwa guru-gurunya yang didapatnya di Mekkah, Madinah dan Iraq.
11. Pergi ke Iraq yang ke Tiga Kali.
Di Mekkah sudah didengar kabar wafatnya Khalifah Harun ar Rasyid dan telah digantikan oleh Khalifah aI Amin dan sesudah itu oleh Al Ma’mun. Begitu juga telah meninggal guru-guru Imam Syafi’i rahimahullah di Iraq, yaitu Abu Yusuf pada tahun 182 H. dan Muhammad bin Hasan pada tahun 188 H. Hati Imam Syafi’i tergerak kembali hendak datang ke Bagdad, Ibu Kota dan Pusat Kerajaan Ummat Islam ketika itu, karena di situ duduknya Khalifah, Amirur Mu’minin.
Beliau tidak lama di Iraq pada kali itu, tetapi pada kesempatan ini beliau membuat sejarah, yaitu membentuk madzhab tersendiri yang kemudian dinamakan “MADZHAB SYAFI’I”.
12. Madzhab Syafi’i yang Pertama.
Abu Abdillah Muhammad bin Idris as Syafi’i ini setelah ilmunya tinggi dan fahamnya begitu dalam dan tajam, timbullah inspirasinya untuk berfatwa sendiri mengeluarkan hukum-hukum dari Quran dan Hadits sesuai dengan “ijtihad”nya sendiri, terlepas dari fatwa-fatwa gurunya Imam Maliki dan Ulama-ulama Hanafi di Iraq. Hal ini terjadi pada tahun 198 H. yaitu sesudah usia beliau 48 tahun dan sesudah melalui masa belajar lebih kurang 40 tahun. Beliau telah menghafal al-Quran dan berpuluh ribu hadits di
luar kepala dan juga telah mendalami tafsir dari ayat suci dan makna hadits-hadits serta pendapat Ulama yang terdahulu. Beliau berfatwa dengan lisan menurut ijtihadnya (pendapat) sendiri dan juga mengarangkan kitab-kitab yang berisikan pendapat-pendapatnya itu. Mula-mula di Iraq beliau mengarang kitab “ar-Risalah”, kitab UshuI Fiqih yang pertama di dunia, yakni suatu ilmu yang dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum Fiqih dari kitab suci al-Quran dan dari hadits Nabi.
Harus dimaklumi bahwa sekalian fatwa dengan lisan dan tulisan pada ketika Imam syafi’i di Iraq ini dinamakan ‘Al-Qaulul Qadim” (Fatwa lama) sedang fatwa-fatwa yang dikeluarkan sesudah beliau pindah ke Mesir dinamakan “Al-Qaulul Jadid” fatwa baru). Barangsiapa yang mempelaiari kitab-kitab Imam Syafi’i rahimahullah atau kitab-kitab Syafi’iyah dewasa ini, akan berjumpa dengan tulisan-tulisan al-Qaulul Qadim dan al-Qaulul Jadid itu.
13. Pindah ke Mesir.
Pada bulan Syawal tahun 198 H. itu juga, Imam Syafi’i pindah ke Mesir. Kebetulan saja Khalifah al Ma’mun mengangkat Abbas bin Musa menjadi Wali (Gubernur) Mesir dan mengirimnya ke Mesir. Imam Syafi’i menumpang dalam kafilah Wali Mesir itu, karena Imam Syafi’i rahimahullah adalah salah seorang Ulama yang dihormati, bukan saja oleh rakyat Iraq tetapi juga oleh Khalifah Ma’mun sendiri. Ketika beliau akan berangkat dari Iraq ke Mesir, banyaklah datang sahabat-sahabatnya untuk mengucapkan selamat jalan, diantaranya adalah muridnya yang terkenal dan kemudian dikenal dengan nama Ahmad bin Hanbal (Pembangun Madzhab Hanbali).
Pada ketika Imam Syafi’i bersalaman dengan Ahmad bin Hanbal, beliau membaca sebuah sya’ir, begini:
  لَقَدْ أَصْبَحَتْ نَفْسِى تَتُوْقُ إِلَى مِصْرَ,
وَمِنْ دُوْنِهَاأَرْضُ الْمُهَامَةِ وَالْقَفْرِ
وَوَاللهِ لاَأَدْرِى لِلْعِزِّ وَالْغِنَى,
أُسَاقُ إِلَيْهَاأَمْ أُسَاقُ إِلَى الْقَبْرِ
” Saya rindu pergI Ke Mesir,
untuk melihat sungai dan pasir,
untuk kebesaran atau kekayaan,
ataukah ini makam pekuburan”
Rupanya Imam Syafi’i rahimahullah sudah merasa bahwa ia akan wafat dan bermakam buat selama-lamanya di Mesir.
Abbas bin Musa, Gubernur Mesir meminta agar Imam Syafi’i menginap di rumahnya, tetapi Imam Syafi’i rahimahullah menolak karena ia ingin tinggal dengan seorang ulama Besar namanya Abdullah bin aI Hakam seorang ulama yang pernah menjadi muridnya di Madinah pada ketika Imam syafi’i mendiktekan kitab Al Muwatha’ atas nama Imam Maliki. Beliau tinggal di rumah Abdullah bin al Hakam sampai tahun 204 Hijriyah.
14. Imam Syafi’i Suka Mengembara dalam Rangka Mencari Ilmu Pengetahuan.
Dalam riwayat, Imam Syafi’i rahimahullah suka mengembara, pindah dari satu negeri ke negeri yang lain, terutama dalam hal mencari ilmu pengetahuan. Beliau lahir di Gazza, pergi ke Mekkah, pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq dan Syam, ke Mekkah dan ke Irak lagi, kemudian pindah ke Mesir, wafat dan bermakam di Mesir.
Imam Syafi’i rahimahullah bukan saja mempraktekkan pindah-pindah tempat itu untuk dirinya sendiri, tetapi juga beliau menganjurkan bagi siapa saja agar mengadakan pengembaraan dengan perasaan gembira dan perjalanan keliling, khususnya dalam belajar untuk mencari ilmu pengetahuan. Beliau pernah berkata dalam sya’ir begini :
مَافِى الْمَقَامِ لِذِى عَقْلٍ وَذِى أَدَبٍ
مِنْ رَاحَةٍ فَدَعِ الْأَوْطَانَ وَاغْتَرِبِ
سَافِرْ تَجِدْ عِوَضًاعَمًّاتُفَارِقُهُ
وَانْصَبْ فَإِنَّ لَذِيْذَالْعَيْشِ فِى النَّصَبِ
إِنِّى رَأَيْتُ وُقُوْفَ الْمَاءِ يُفْسِدُهُ
إِنْ سَالَ طَابَ وَإِنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبِ
أَلْأُسْدُلَوْلاَفِرَاقُ الْغَابِ مَاافْتَرَسَتْ
وَالسَّهْمُ لَوْلاَفِرَاقُ الْقَوْسِ لَمْ يُصِبِ
وَالشَّمْسُ لَوْوَقَفَتْ فِى الْفُلْكِ دَائِمَةً
لَمَلَّهَاالنَّاسُ مِنْ عُجْمٍ وَمِنْ عَرَبٍ
وَالتِّبْرُ كَالتُّرْبِ مُلْقًى فِى أَمَاكِنِهِ
وَالْعُوْدُفِى أَرْضِهِ نَوْعٌ مِنَ الْحَطَبِ
فَإِنْ تَغَرَّبَ هَذَاعَزَّمَطْلَبُهُ
وَإِنْ تَغَرَّبَ ذَاكَ غَزَّكَالذَّهَبِ
Tidak enak bagi orang cerdik pandai tinggal tetap di suatu tempat
Oleh karena itu tinggalkanlah tanah air dan mengembaralah
Musafirlah! Engkau akan mendapatykan sahabat-sahabat
Pengganti sahabat-sahabat yang ditinggalkan
Bekerja keraslah karena kelezatan hidup dalam bekerja keras
Saya melihat bahwa air yang tetap di suatu tempat akan busuk
Kalau air mengalir akan bersih dan kalau tidak mengalir akan kotor
Singa kalau tidak keluar dari sarangnya, ia tidak dapat makan
Anak panah yang tidak keluar dari busurnya, ia tidak akan mengena
Matahari kalau tetap, maka seluruh manusia akan marah padanya
Tibir/biji emas seperti tanah saat masih tergeletak ditempatnya
Kayu harum saat di rimba, sama saja dengan kayu lainnya
Kalau kayu harum keluar rimba, sukar sekali mendapatkannya
Tibir kalau keluar dari tempatnya sangat berharga seperti emas
Demikianlah sya’ir dari Imam Syafi’i rahimahullah yang menganjurkan kepada semua orang supaya menyukai pengembaraan, terutama untuk mencari ilmu pengetahuan.
15. Meninggal Dunia dalam Usia 54 Tahun
Setelah 6 tahun tinggal di Mesir mengembangkan madzhabnya dengan lisan dan tulisan dan sesudah mengarang Kita bar Risalah (dalam ushul fiqih) dan sesudah mengarang Kitab-kitab beliau yang banyak sekali, maka beliau meninggal dunia pulang ke rahmatullahke dalam syurgaNya, janntun na’im. Berkata Rabi’ bin Sulaiman (murid Imam Syafi’i), “Imam Syafi’i rahmatullah alaih bedrpulang ke rahmatullah pada waktu petang sesudah shalat maghrib, pada hari kamis malam Jum’at, akhir bulan Rajab dan kami makamkan beliau pada hari Jum’at dan sorenya kami lihat hilal tanggal 1 bulan Sya’ban 204 Hijriyah. Dalam tarikh Masehi bertepatan dengan tanggal 28 juni 819 M. Raja Mesir pada saat itu juga ikut shalat jenazah beliau.
إِنَّالِلَّهِ وَإِنَّاإِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ

Tidak ada komentar :

Posting Komentar