Ki Dermakanda lalu membakar dupa dan membaca mantra. Suasana menjadi
hening. Beberapa saat kemudia, Ki Dermakanda berhenti membaca mantra dan
berhadap-hadapan dengan Pak Sondong. Keduanya berpandang-pandangan.
Sekejap kemudian Pak Sondong kehilangan kesadaran lalu terjatuh. Tak
lama kemudian di bangun kembali dan duduk tegak. Pada saat yang sama Ki
Dermakanda berpura-pura atau bertingkah seolah-olah dia adalah mas
Ngabei Purbawidjaja yang sedang menyambut kedatangan tamunya sambil
berkata, ”Selamat dating Ki Buta locaya.”
Pak Sondong yang raganya sudah dimasuki jin Buta Locaya menjawab, ”Aada
keperluan apa Mas Ngabei Purbawidjaja memanggil saya ?”
Ki Dermakanda yang berteriak dan bertingkah menjadi Mas Ngabei
Purbawidjaja menjawab, “Iya Kyai Buto Locaya, mengapa saya mengundang
tuan datang ke rumah saya karena ada dua tujuan. Yitu, pertama saya
ingin bersahabat dengan tuan dan kedua karena saya mempunyai persoalan
yang harus saya jawab atau saya selesaikan. Persoalan itu adalah, saya
mendapat tugas dari pembesar untuk memperoleh keterangan tentang babad
Nagari Kadhiri. Bagaimana asal mulanya menjadi kerajaan, kapan
berdirinya dan siapa yang menjadi raja yang pertama? Juga siapa
pengganti-penggantinya sampai pada saat ini? Bagaimana ceritanya semua
itu? Saya sangat kesulitan karena tidak mengetahui cerita atau sejarah
nagari Kadhiri ini.
Selama ini yang saya ketahui hanya cerita Panji Kudarawisrengga atau
Panji Inukarpati serta masa sesudahnya. Cerita sebelum masa Panji saya
tidak tahu sama sekali. Menurut penurutan Ki Dermakanda, saya harus
bertanya kepada tuan, Ki Buto Locaya. Untuk itulah saya mengundang tuan
kerumah saya untuk menceritakan legenda itu sehingga saya menjadi tenang
dan bias menjalankan tugas untuk memperoleh cerita legenda kota
Keddhiri. Tuan pasti maklum tentang hal ini dan tuan pasti bias
menceritakan legenda ini dengan benar dan baik, karena tuanlah yang
menjadi raja atau pemimpin semua makhluk halus yang ada di Kediri.”
Pak Sondong yang sudah kerasukan Buta Locaya langsung tertawa keras
sekali sambil berkata,”Ha…ha…ha…,Mas Ngabei purbawidjaja, kalau hanya
soal yang begitu, itu mudah sekali. Karena sesungguhnya sayalah
cikal-bakal atau orang pertama yang membuka hutan dan yang pertama
bertempat tinggal di Kadhiri. Semula saya ini adalah seorang manusia.
Nama saya Kyai Daha. Saya mempunyai saudara bernama Kyai Daka. Ketika
itu saya dan adik saya bersama-sama menebangi hutan di dekat sungai
Kadhiri (Barntas) dengan maksud untuk dijadikan pemukiman. Waktu itu
tempat tersebut masih merupakan hutan belantara yang lebat bahkan masih
merupakan hutan perawan yang belum tersentuh tangan manusia, karena
memang belum ada seorang manusiapun yang hidup di situ. Singkatnya,
setelah kami selesai menebangi pohon-pohon yang besar-besae dan
tinggi-tinggi, kemudian kami membersihkannya. Tempat itu kemudian kami
jadikan tempat tinggal untuk kami berdua, saya dan adiksaya Kyai Daka.
Ketika itu saya didatangi Syanghyang Wisnu yang bersabda kepada saya
bahwa beliau menghendaki untuk mengejawantahkan atau turun dari
kahyangan, menjadi manusia dan akan menjadi raja di permukiman yang kami
buat. Saya tunduk dan berserah diri atas di kehendak Dewa Wisnu.
Kemudian Batara Wisnu menjadi raja di Kadhiri dan bergelar Prabu Sri Aji
Jayabaya. Saya sendiri lalu diberi nama Buta Locaya yang artinya: Orang
bodoh tetapi lo kok dapat dipercaya.
Sabda sang Prabu aji Jayabaya begini,”Engkau memang orang bodoh tetapi
dapat dipercaya. Mengenai diriku aku hanya menjadi raja. Tetapi engkau
berdua saya berii tugas untuk selalu memelihara anak cucumu kelak,
walaupun engkau berdau sudah muksa (moksa) atau tidak berwujud manusia
hidup.”
Nama adik saya, Kyai Daka juga dipakai untuk memberi nama desa. Desa
tersebut dinamakan Desa Daka. Adik saya juga diberi nama baru, yaitu
Kyai Tunggul Wulung serta dijadikan senapati.”(Catatan: Menurut karangan
atau kitab Aji Pamasa, yang pertama menjadi raja Memang ialah Prabu
Gendrayana lalu berputra Prabu aji jayabaya, penjelmaan Batara Wisnu,
jadi bukan Wisnu Ngajawantah).
Selanjutnya Ki Dermakanda bertanya,”Selama berapa tahun Prabu Jayabaya
menjadi raja di Kediri dan dimanakah letak kerajaanny?”
Pak Sondong pun menjawab, ”Letak kerajaannya disebelah Timur Bengawan
dan disebut Mamenang atau Daha. Memenang adalah nama kerajaan. Sedangkan
Daha adalah nama daerah ( nagarai). Dinamakan Memenang sebab pada waktu
itu kerajaan tersebut merupakan kerajaan yang utama (pemenang) dalam
hal. Nama Prabu jayabaya terkenal di seluruh Jawa dan besar pengaruhnya.
Raja-raja dari negeri asing banyak yang takhluk di bawah duli paduka
Sang Prabu Aji Jayabaya tanpa diperangi terlebih dahulu.
Kerajaan-kerajaan lain di pulau Jawa menghaturkan upeti yang berupa mas,
intan, berlian, hasilbumi, hasil kerajinan tangan dan segala macam
harta benda yang berharga serta puteri-puteri untuk dijadikan
dayang-dayang. Raja-raja di luar kekuasaan kerajaan Kediri bersatu dan
bersujud di bawah raja Kadhiri.
Mereka melakukan ibadahnya dengan baik sungguh-sungguh, mempelajari
segala macam ilmu, seperti ilmu duniawi dan ilmu batin. Pengetahuan itu
mereka kuasai dan mereka amalkan dengan sungguh-sungguh, sehingga mereka
sangat taat dalam hal ambatar atau melakukan ibadahnya. Semua diyu,
danawa sangat ketakutan. Raksasa yang jahat dan jail tak mampu menggoda
ketentraman di Kadiri. Karena itulah, pada waktu itu tanah Jawa sangat
tentram dan taka da yang berani menggangu, merusak atau membuat
keonaran. Semua penghalang yang ada dimusnahkan. Rawe-rawe rantas,
malang-malang putung.”
Melalui Pak Sondong, Kyai Buta Locaya meneruskan penjelasannya,”Karena
itu sang Prabu dan balatentaranya, yang berpangkat tinggi atau rendah
selalu menghibur diri dan saling bertatap muka. Jika malam hari sang
Prabu seringkali pergi ke pesanggrahan Wanacatur bersama putrinya yang
bernama Mas Ratu Pangedhongan. Dan yang mendapat tugas untuk mengiringi
dan mengawal Sang Prabu dan puterinya adalah hamba sendiri dan adik
hamba Ki Tunggulwulung. Biasanya sesudah sampai di pesanggrahan, Sang
Prabu duduk di halaman memandang orang lalu-lalang dan seringkali
membicarakan hal-hal yang penting, antara lain tentang pemerintahan agar
kerajaan tetap tentram damai dan maju serta hal-hal penting lainya.
Karenanya pesanggrahan itu dinamakan Wanacatur yang artinya hutan tempat
merembug atau berunding. Jika ada hal yang perlu dipecahkan, saya dan
Tunggulwulung ditugaskan untuk mengiringi baginda raja pergi ke
Wanacatur, diajak membicarakan dan memecahkan segala persoalan yang
dihadapi Sang Prabu.
Menurut pengamatan saya sang Prabu Aji Jayabaya dan puterinya Mas Ratu
Pagedhongan apabila sedang di Wanacatur tak pernah bersantap(makan
nasi). Beliau hanya menyantap bubur pati kunyit dan temulawak, meskipun
beliau dan puterinya berhari-hari, bahkan sampai tujuh atau sepuluh hari
di Wanacatur. Pengikutnya atau para abdi dalem makan nasi jagung atau
ayam. Sang Prabu sendiri tak pernah makan daging binatang jenis apapun,
tidak juga daging ikan sungai maupun laut. Karena itu pula di sebelah
tenggaranya kota Mamenang ada desa bernama si Kunir dan si Lawak, sebab
desa itu menghasilkan hasil bumi kunyit dan temulawak, yang menjadi
santapan sang Prabu. Hati, pikiran dan jiwa sang Prabu menjadi bersih
dan mampu mengetahui segala sesuatu yang belum terjadi (weruh sadurunge
winarah ataua sidik ing paningal,bahasa Jawa), karena itu beliau bertapa
dan Manahan hawanafsu. Apalagi sang Prabu itu titisan Wisnu.”
Kemudian Ki Dermakanda yang mewakili Mas Ngabei Purbawidjaja bertanya,
“Apakah Prabu Jayabaya yang membuat ramalan jaman yang belum terjadi
lebih terkenal dengan Jangka Jayabaya yang kemudian disebut Serat
Jayabaya?”
Pak Sondong langsung menjawab, “Iya benar. Tetapi Serat Jayabaya itu ada
tiga. Yang pertama karangan atau ciptaan Syeh Sebaki (Syech Subakir),
utusan Sang Prabu Ngerum (Handramaut) yang memberi tumbal tanah Jawa dan
di pasang di gunung Tidar, Magelang. Atau dipasang di tanah Pacitan
yang kelak di kemudian hari melahirkan orang Jawa Baru, yang membuat
angka satu atau membuat angka berkepala satu, sampai sekarang angka
tahunya sudah mencapai tahun 1761(*).
Yang kedua Serat Jayabaya karangan Prabu Jayabaya bernama Serat Jayabaya
atau Jangka Jaybaya (**).
Yang ketiga Pangeran Banjarsari, ratu Jenggala yang kemudian pindah ke
Kerajaan Galuh. Karangan Pangeran Banjarsari disebut juga dengan Surat
Jayabaya, sebab antara Prabu Jayabaya dan Pangeran Banjarsari itu
sebenarnya sama. Jelasnya Pangeran Banjarsari titisan Prabu Jayabaya.
Karena itu pula kesaktian kedua raja itu sama. Kedua-duannya merajai
semua makhluk halus.”
Pak Sondong yang masih kerasukan Buta locaya meneruskan kisahnya, “Pada
jaman pemerintahan Prabu Jayabaya, datanglah seorang raksasa perempuan
di Kadhiri. Seluruh penduduk Kadhiri kacau-balau karena ketakutan.
Mereka mengira raksasa perempuan itu akan mengacau dan melakukan
kejahatan. Karena itu raksasa tersebut dikroyok oleh penduduk. Saya dan
adik saya di Tunggulwulung ikut mengkroyok juga. Akhirnya raksasa
perempuan itu roboh tetapi belum mati. Lalu saya bertanya kepadanya.
‘Apa maksudmu masuk ke daerah kami?’
Raksasa itu menjawab, ‘Aku akan melamar Prabu Jayabaya, untuk aku
jadikan junjunganku atau suamiku.’
Lalu saya bertanya lagi, ‘Dimana tempat tinggalmu?’
Dia menjawab, ‘Rumahku di Lodoyong (lodaya, blitar?), di tepi laut
selatan.’
Semua perkataan raksasa perempuan itu kemudian saya sampaikan kepada
sang Prabu Aji Jayabaya. Selanjutnya Sang Prabu mendatangi tempat
raksasa perempuan itu dan menjumpainya. Sang Prabu bertanya apakah benar
semua berita yang di sampaikan oleh Tunggulwulung dan saya?
Sang raksasa menjawab, ‘Benar.’
Lalu Prabu Aji Jayabaya berkata, ‘Jika memang benar demikian kehendakmu
dewata tak mengijinkan. Tetapi saya akan memberitahu kepadamu, kelak
setelah aku tiada (muksa), kira-kira dua puluh tahun kemudian, di tanah
sebelah barat kerajaan Kadhiri ada seorang yang mengangkat diri menjadi
raja, Kerajaan itu beribukota di Prambanan Nama raja itu Prabu
Prawatasari, raja itulah yang akan menjadi jodohmu.’
Sebelum Prabu Jayabaya menyelesaikan sabdanya, raksasa itu
menghembuskan napasnya penghabisan. Sang Prabu merasa keheranan dalam
hatinya. Beliau kemudian memberi dua perintah kepada saya. Pertama desa
di sebelah selatan Mamenang di berinama GUMURAH ( yang kemudian dikenal
menjadi Girah dan sekarng menjadi wilayah kecamatan Gurah). Diberinama
Gumurah karena ketika kami bersama penduduk desa itu mengeroyok raksasa
perempuan itu, rakyat bersorak-sorak dan berteriak-teriak sehingga
menimbulkan suara hiruk pikuk, (gumurah = gumerah,bahasa Jawa). Ke dua,
raja memerintahakan agar dibuat patung yang berupa dengan raksasa
perempuan yang baru meninggal itu, namun wajahnya hendak di pahat serupa
dengan wajah patung gupala. Patung raksasa itu diberi nama patung
Nyai.Desa tempat patung itu dinamakan Desa Nyaen. Desa itu sampai
sekarang masih ada, terletak di sebelah selatan bekas kota Mamenang.
Tinggi patung itu 14 kaki. Bola matanya sebesar alas cawan (lepek,
bahasa Jawa), bulat besar, posisinya berlutut.
Tidak lama setelah memberi dua perintah itu kemudian Sri Aji Jayabaya
muksa. Saya dan Tunggulwulung ikut muksa mengikuti sang Prabu. Namun
sebelum muksa Sang Prabu Aji Jayabaya memberi perintah lagi. Saya
ditugaskan untuk bertempat tinggal di GOA SELOBALE yang terletak di
sebelah barat Banawi atau kali Brantas. Saya dijadikan pemimipin kaum
makhluk halusyang bermukim di situ. Sedangkan Tunggulwulung ditugaskan
untuk bertempat tinggal di gunung Kelud, menjadi raja makhluk halus yang
ada di situ. Tetapi saya dibawah kekuasan Tunggulwulung juga.
Prabu Jayabaya juga bersabda kepada saya ‘Engkau jangan salah terima.
Mengapa engkau orang yang lebih tua dari pada adikmu saya tempatkan di
sebelah barat sungai Brantas? Sebabnya adalah karena tanah di sebelah
barat sungai bernuansa dingin, maksudnya taka da perkara atau hanya
sedikit persoalan yang harus dihadapai dan dicari penyelesaiannya.
Engkau hanya bertugas menjaga. Tunggulwulung saya beri tugas di sebelah
timur sungai Brantas, sebab tanah disitu bernuansa panas. Banyak sekali
perkara atau kesulitan yang harus diatasi dan diselesaikan. Di tempat
itu sering terjadi lahar yang merusak desa-desa, juga terdapat
hutan-hutan yang hasilnya bisa dipakai menghidupi rakyat di sekitarnya.
Jadi si Tunggulwulung saya tugaskan untuk mengawasi aliran lahar. Aliran
hendaknya tetap melalui aliran yang lama, tidak boleh melalui jalan
baru atau membuat aliran baru. Jika hendaknya menerjang desa-desa,
penduduk desa hendaknya engkau beritahu terlebih dahulu dengan jalan
orang-orang desa diberi wisik atau ilham yang jelas terlebih dahulu,
sehingga mereka bisa mengungsi ke tempat yang aman dan selamat.
Hasil hutan, hasil pertanian pokoknya semua hasil bumi yang menjadi
makanan penduduk hendaknya kau jaga baik-baik jangan sampai terkena
lahar. Apalagi bila ada orang-orang yang berani merusak hutan atau
menebangi pohon-pohon besar yang buahnya dapat dimakan manusia hendaknya
si perusak itu kau hokum, kau ganggu, agar dia tidak jadi melaksanakan
niatnya. Gunanya apabila ada orang asing yang mengungsi atau dating ke
tempat itu dan membutuhkan pertolongan, hasil hutan atau bumi yang dapat
dimakan dapat disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan. Akan tetapi
cegahlah mereka yang ingin membawa barang-barang itu ke negerinya. Dia.
Pokonya orang asing tidak boleh membawa pulang barang-barang dari
Kadhiri ke negerinya.”
Melalui Pak Sondong, Ki Buta Locaya meneruskan ceritanya, “Saya dan
Tunggulwulung melaksanakan sabda sang Prabu dengan sungguh-sungguh.
Setelah bersabda demikian Sang Prabu lalu pergi ke kahyangan. Sedangkan
saya sendiri lalu menjadi siluman, menjaga tanah di sebelah barat sungai
Brantas dan Tunggulwulung menjaga tanah di sebelah timur sungai
Brantas. Sampai sekarang saya dan Tunggulwulung masih tetap setia
menjalankan tugas yang di sabdakan oleh Sang Prabu Aji Jayabaya. Karena,
sampai sekarang apabila ada penduduk yang bertempat tinggal di sekitar
gunung Kelud yang mau menebangi pohon-pohon besar (yang selama ini
sesungguhnya yang memberi nafkah kepada mereka), pastilah yang
bersangkutan akan menderita sakit atau gila karena sebenarnya mereka itu
diganggu oleh si Tunggulwulung.
Orang-orang yang berbuat zina (mesum) di tempat itu pasti dimakan
harimau. Jadi orang-orang yang bertempat tinggal di situ harus jujur,
baik budi pekertinya, tidak boleh berhati jahat.
Sampai sekarang tanah Kadhiri yang di sebelah timur Bengawan (Brantas)
biasa dijadikan tempat mengungsi orang-orang luar Keraton Kadhiri yang
menderita kesengsaraan. Para pengungsi itu akhirnya hidupnya menjadi
bahagia dan mendapat kemuliaan. Semua itu terjadi karena sabda Sang
Prabu Aji Jayabaya.
Tetapi apabila mereka sudah kaya, hidupnya sudah serba cukup, kemudiaan
ke tumpah darahnya, mereka akan jatuh miskin lagi. Sampai sekarang saya
masih tetap menjadi pemimpin atau raja makhluk halus di sebelah barat
bengawan dan bertempat tinggal di goa Selabale. Sedangkan Tunggulwulung
bertempat tinggal di gunung Kelud.
Waktu itu ada seorang abdi raja Prabu Jayabaya bernama Ki Krama Taruna
yang ikut muksa menjadi siluman, lalu diperintahkan bertempat tinggal di
Sendang (mata air) Desa Kalasan. Tempat tersebut terletak di barat daya
kota Mamenang, di sebelah barat gunung Kelud dan menjadi dhanyang atau
datu di situ. Namanya tetap Kyai Krama Taruna. Dia berada di bawah
kekuasaan Tunggulwulung juga. Sampai sekarang para petani yang mempunyai
sawah di situ, apabila sawahnya kekurangan air lalu mengadakan upacara
dengan jalan menyediakan sesaji, air sendhang atau mata air di situ
diaduk. Taklama kemudian air yang keluar dari mata air itu kian nampak
banyak, permukaanya tampak naik lalu airnya mengalir ke sawah lading.
Setelah Sang Prabu Jayabaya muksa, beberapa waktu kemudian di Kadhiri
ada banjir besar. Kraton Mamenang musnah dan pindah ke Purwacarita
asalmulanya menjadi hutan kembali. Sedang kerajaan Mamenang kemudian
pindah ke Medang Kamulan.”
Tidak ada komentar :
Posting Komentar