Sejarah KERAJAAN CIREBON
SEJARAH KERAJAAN CIREBON
Maaf, sumbernya tidak disebutkan, terhapus
A. Perjalanan Nagari-nagari Pesisir Cirebon
Sebelum melangkah lebih jauh kiranya perlu digarisbawahi, bab ini bukanlah upaya untuk mengupas sejarah Cirebon secara mendalam, apalagi untuk mengabsahkan bahwa pendapat yang ada dalam bab ini adalah yang paling benar dari sekian banyak versi, baik itu sumber lokal maupun sumber yang berasal dari luar Cirebon. Dengan segala kebesaran jiwa kita menyadari betapa kusutnya sejarah Cirebon, betapa sulitnya kita memilah mana yang hanya merupakan mythe mana yang memiliki nilai-nilai sejarah, langka bongkotlangkapucuke (tidak berpangkal juga tak berujung).
Atja38 (1990) memberikan penjelasan bahwa pengertian “sejarah” (atau sajarah) yang berkembang di Nusantara memiliki kekhasan tersendiri sesuai dan terikat dengan “kode budaya” masyarakatnya. Pada masa itu sejarah dikenal dengan stamboom, bukan “geschiedenis” atau “history”. Dalam pemakaiannya pada zaman dulu, istilah “sejarah” sering dipertukarkan secara bebas dengan kata “silsilah”.39 Dengan demikian, istilah “sejarah” (yang berkembang di Nusantara) pada dasarnya merupakan semacam “catatan” tentang garis keturunan yang tertulis. Salah satu fungsi yang utama adalah untuk menelusuri leluhur seseorang, atau keluarga, atau seorang tokoh yang terkenal pada masa lampau, mungkin seorang tokoh politik atau seorang guru agama. Kenyataan ini memberi kesan, bahwa karya “sejarah” demikian tidak dimaksudkan untuk tetap sebagai dokumen sejarah saja. Tapi sebaliknya, catatan garis keturunan itu berfungsi untuk mendukung pengakuan individu-individu dan sesuatu keluarga untuk memperoleh kekuasaan politik atau menikmati hak-hak istimewa tertentu yang bersifat tradisional, atau paling tidak menikmati martabat yang lebih tinggi di antara sesama anggota masyarakatnya.
Bab ini hanya berupaya untuk mengungkapkan berbagai pendapat, catatan, kanda-kanda (cerita-cerita rakyat) yang mewarnai khasanah “kesejarahan” Cirebon berdasarkan sumber lokal. Dalam hal ini sumber lokal yang dimaksud adalah dua karya Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon,40 yakni Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara (untuk selanjutnya ditulis RRBN) dan Nagara Kretabhumi (untuk selanjutnya ditulis NK). Dalam karya Pangeran Wangsakerta banyak sekali mencatat perihal aktivitas kelautan di masa lampau, bahkan jauh sebelum Cirebon atau kerajaan lainnya yang lebih tua usianya. Hasil kerja Pangeran Wangsakerta di atas mengilhami generasi-generasi berikutnya, contohnya Pangeran Arya Carbon atau Pangeran Kararangen. Pada tahun 1720, putra Sultan Sepuh I ini membuat kitab Purwaka Caruban Nagari (selanjutnya ditulis PCN) yang isinya mengacu dari NK. Atja dan Ekadjati (1987: ii) dalam pengantarnya menyebutkan sebagai berikut:
“Sekiranya benar, maka ditinjau dari ruang lingkup isinya, keseluruhan naskah karya Pangeran Wangsakerta itu dapat dipandang sebagai buku Sejarah Nasional Indonesia yang pertama hingga sekarang. Dalam pada itu gotrasawala yang diadakan sejak tahun 1677 dapat dipandang sebagai Seminar Sejarah Nasional Indonesia pertama pula.”
Apa sebabnya mereka berpendapat begitu? Sangat menarik kiranya apabila kita melihat apa yang terjadi seputar pembuatan karya-karyanya tersebut.
Pada tahun 1677 Sultan Sepuh I dan Sultan Anom I memerintahkan kepada Pangeran Wangsakerta untuk menyusun buku sejarah yang dapat dijadikan petunjuk bagi generasi yang akan datang, maka segeralah ia melaksanakannya. Selaku ketua tim penyusun41 ia mengadakan gotrasawala. (seminar) yang dihadiri utusan berbagai kerajaan di Nusantara, bahkan utusan dari India, Cina, dan Timur Tengah. Mereka mengirimkan mahakawi (cendekiawan) dan rohaniwan dari berbagai agama, sembari membawa naskah yang mereka anggap baik dan diperlukan.42
Salah satu cerita menarik dalam peristiwa seminar para mahakawi ini dan terkait dengan kelautan adalah sebagai berikut. Walaupun pintu gerbang Kesultanan Cirebon pada saat itu tidak jauh dari laut (letaknya di pabrik rokok BAT sekarang), namun (mungkin) demi kesuksesan dan kelancaran jalannya acara, maka pihak Kesultanan Cirebon membuat pintu gerbang di sisi Sungai Kesunean atau Kali Kriyan yang mengalir tak jauh dari Keraton Kasepuhan. Sebenarnya, sejak sudah lama bahkan sebelum Kerajaan Cirebon didirikan oleh Sunan Gunung Jati, sungai itu memang sudah menjadi jalur lalu-lintas dari pesisir pantai utara ke pedalaman atau sebaliknya.
Gambar 7 Sungai Kriyan sebagai jalur transportasi Keraton Kasepuhan
Gerbang tersebut memiliki sembilan buah pintu (masyarakat sekarang lebih mengenalnya sebagai Lawang Sanga). Ternyata gerbang itu bukan hanya sebagai jalan pintas menuju ke keraton, diperldrakan pintu itu juga merupakan “sengkalan” bagi tiga peristiwa berbeda. Pertama, berdirinya Kesultanan Kasepuhan dan Kesultanan Kanoman; kedua, pelaksanaan gotrasawala; dan ketiga, gerbang tersebut juga tahun pembuatan Pustaka RRBN yakni berbunyi:
Nawa Gapura Marga Raja = Sembilan Gerbang Jalan Raja.
9 9 5 1 = 9951 dibalik 1599 Saka/ 1677M.
Gambar 8
Lawang Sanga gerbang masuk menuju Keraton Cirebon bag! masyarakat yang menggunakan jalur air melalui Sungai Kriyan
Selain bentuk pintunya yang menarik dan berjumlah sembilan, untuk masuk menuju keraton para utusan terlebih dahulu melintasi lorong-lorong panjang penuh liku (labirin). Kiranya lorong itu merupakan adaptasi dari lorong-lorong yang ada di Kota Terlarang (Forbiden City) tempat para Kaisar Cina bertahta. Fungsi dari labirin ini adalah sebagai alat pertahanan jika sewaktu ada penyusup masuk, maka niscaya mereka menjadi kebingungan. Hal yang sama juga berlaku pada lorong-lorong di Lawang Sanga, pihak penyelenggara kiranya sudah memikirkan hal itu demi keselamatan dan keamanan baik penyelenggara maupun utusan.43
Berikut ini isi dari RRBN Parwa (bagian) 1 Sargah (buku) 1, tentang kedatangan berbagai bangsa pada Purwa Yuga44 atau zaman purba yang dibagi menjadi lima:
Zarnan Purba Pertama
Berlangsung kira-kira sejuta hingga 600.000 tahun yang lampau.45 Pada masa itu muncul manusia separuh hewan atau Satwa Purusa di pelosok Dwipantara.46 Antara 750.000—350.000 tahun yang lalu muncul manusia hewan dan berjalan seperti manusia sekarang berujud tinggi besar, maka dari itu disebut Bhuta Purusa. Bhuta Purusa musnah sekitar 250.000 tahun yang lampau.
Zaman Purba Kedua
Bhuta Purusa musnah terutama karena dibinasakan oleh pendatang, wujudnya tinggi, besar, tegap, berkulit hitam yang disebut Yaksa Purusa. Di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah ada pula makhluk semacam itu, namun postur tubuhnya lebih kecil disebut Manusa Yaksa. Akhirnya mereka pun musnah juga oleh para pendatang baru dari utara.47
Zaman Purba Ketiga
Mereka para penduduk sebelumnya disebut Wamana Purusa.48 Mereka hidup sekitar 50.000-20.000 tahun yang silam. Perkakas mereka di samping dibuat dari bahan-bahan yang lekas rusak, juga terbuat dari batu, namun masih kurang baik.49 Mereka berdiam di Jawa Timur, sebagian dari mereka pergi ke selatan Pulau Jawa.50
Zaman Purba Keempat
Penghuni bumi Nusantara ini disebut manusia purba yang kerdil, tetapi wujudnya agak besar. Mereka berdiam di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada 40.000-20.000 tahun yang lampau. Mereka musnah karena bencana alam, saling bunuh, serta dibinasakan pendatang baru.
Zaman Purba Kelima
Zaman ini bermula sejak 10.000 tahun hingga tahun pertama tarikh Saka. Selama itu bermunculan para pendatang dari benua sebelah utara, masing-masing pada:
1. 10.000-5.000 tahun sebelum tahun Saka.
2. 5.000-3.000 tahun sebelum tahun Saka.
3. 3.000-1.500 tahun sebelum tahun Saka.
4. 1.500-1.000 tahun sebelum tahun Saka.
5. 1.000-600 tahun sebelum tahun Saka.
6. 600-300 tahun sebelum tahun Saka.
7. 300-200 tahun sebelum tahun Saka.
8. 200-100 tahun sebelum tahun Saka.
9. 100 hingga tahun pertama Saka.51
Atas masukan dari para cendekiawan, setelah masa Purwayuga, Pangeran Wangsakerta membagi lagi zaman yakni:
Zaman Raja Kawasa
Bermula sejak awal tahun Saka hingga tahun 1555 Saka/ 1633 M masa kekuasaan Sultan Agung Hanyakra Kusuma raja Mataram Islam.
Zaman Dukhabhara
Atau zaman penderitaan yang berat. Zaman terakhir disebut demikian, karena kepulauan Nusantara, terutama Pulau Jawa, kedatangan orang bule (berkulit putih/ bangsa Eropa), yang berusaha menaklukkan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Pada tarikh awal Saka, diterangkan kedatangan pedagang dari barat dengan menggunakan perahu. Mereka berasal dari negara Syangka, Saliwahana, dan Benggala (Bangladesh) yang ada di bumi Bharatawarsya (India) untuk mengikuti jejak nenek moyang mereka berpuluh ribu tahun yang lalu.
Mula-mula arah perahu mereka menuju ke timur Pulau Jawa, lalu ke arah barat Pulau Jawa.52 Para pedagang ini membawa bermacam barang antara lain, bahan pakaian, logam mulia baik emas maupun perak, aneka batu permata, obat-obatan, aneka bahan makanan, serta perabot kebutuhan rumah tangga. Sebaliknya mereka membeli rempah-rempah serta berbagai macam hasil bumi seperti beras dan sayuran.53 Sebagian dari mereka ada yang menetap menjadi bagian dari penduduk pribumi yang ada di Jawa, Nusa Bali (pulau Bali), Swarnabhumi (Sumatera), Bakulapura (Kalimantan), dan pulau—pulau lainnya di pelosok Nusantara.
Sementara itu, kaum pribumi digambarkan telah menguasai berbagai ilmu. Oleh karena itu, kaum pendatang sangat menghargai penduduk pribumi. Mereka tidak menciptakan permusuhan, bahkan sebaliknya, penduduk pribumi menerima mereka sebagai tamu yang keberadaannya begitu mereka hargai dengan penuh rasa persaudaraan.54 Seperti halnya kepercayaan nenek moyang, pada masa itu penduduk pribumi memuja roh, bulan, matahari, dan sebagainya. Sedikit demi sedikit dan dengan cara halus, para pendatang kemudian mulai menyebarkan kepercayaan mereka. Awalnya mereka mengganti nama-nama pemujaan penduduk, seperti pemujaan terhadap api disamakan dengan pemujaan kepada Dewa Agni (penguasa api), Pemujaan terhadap matahari, dianggap sama dengan pemujaan terhadap Dewa Surya (dewa matahari). Sedangkan pemujaan terhadap roh besar atau Maha Pitrapuja, dianggap sebagai pemujaan terhadap tiga dewa utama, Dewa Brahma, Dewa Wishnu, dan Dewa Syiwa (Trimurtiswara).
Tak lama kemudian banyak kaum pribumi yang memeluk agama yang mereka bawa. Keadaan di Jawa yang sangat bersahabat membuat mereka sangat betah dan tidak ingin kembali ke tanah mereka. Banyak di antara mereka menikahi putri para penghulu atau sesepuh desa. Kelak anak hasil perkawinan mereka itu yang menggantikan kedudukan kakek mereka sebagai pemimpin. Lama kelamaan anak dari pendatang itu mengusai desa-desa di Pulau Jawa, begitu pula kekayaannya. Tanah yang ada diakui sebagai miliknya atau dalam kekuasaannya. Pribumi tidak berdaya, mereka mau tak mau menjunjungnya sebagai penguasa.
Diceritakan kemudian sekitar tahun 80-320 Saka/ 158-398 M datanglah berbondong-bondong pendatang dari negeri Cina, India, dan Benggala (Bangladesh) dengan menggunakan perahu. Mereka membawa anak, istri, serta sanak keluarga ke Nusantara untuk bermukim. Ada pula perahu yang membawa pendeta Hindu beraliran Waisnawa dan Syaiwa. Pendeta beraliran Waisnawa55 berkeliling di desa-desa sekitar bagian barat Pulau Jawa, dan akhirnya menetap di daerah tersebut, sementara pendeta aliran Syaiwa56 menetap di daerah bagian tengah dan timur Pulau Jawa. Di antara sekian banyak pendatang yang paling banyak berasal dari wangsa Calan-kayana dan Palawa di India. Mereka kebanyakan adalah para pengungsi perang setelah negara mereka dikalahkan oleh kerajaan Magadha. Namun, di samping itu banyak di antara mereka yang bertujuan untuk berniaga, di antaranya ialah kelompok pendatang yang dipimpin oleh Dewawarman dari wangsa Palawa. Dewawarman pernah pula menjadi seorang duta besar keliling untuk negara-negara mitra seperti kerajaan—kerajaan di Hujung Medini (Malaysia barat), Bumi Sopala, Yawana, Syangka, Cina, dan Abasid (Mesopotamia). Selain bertujuan untuk memperat persahabatan mereka juga berniaga hasil bumi serta barang-barang lainnya. Begitu pula ketika berhubungan dengan Pulau Jawa sebelah barat, Nusa Api (Krakatau), dan pesisir selatan Pulau Sumatera.
Ketika sebuah dukuh pesisk (kemungkinan di Pandeglang sekarang, namun ada pula yang memperkirakan di sekitar pelabuhan Merak) mendapat serangan perompak yang sangat ganas. Melihat hal itu Dewawarman segera memberi pertolongan, sehingga gangguan para perompak itu dapat ditangkis. Korban di pihak para perompak yang tewas berjumlah 37 orang, 22 orang tawanan yang selanjutnya dihukum gantung. Sedangkan dari pihak pasukan gabungan antara penduduk dan pengikut Dewawarman 7 orang. Perahu perompak yang lengkap dengan barang-barang, persenjataan serta kebutuhan logistik akhirnya rnenjadi hak pemimpin penduduk desa yang bernama Aki Tkem Sang Aki Luhur Mulya.57
Sebagai ungkapan rasa terima kasih, putri penghulu dukuh itu yang bernama Sri Pawahaci Larasati dikawinkan dengannya. Pestanya sendiri diselenggarakan dengan amat meriah. Sejak itulah Dewawarman dan pengikutnya menetap di situ dan mengambil istri gadis-gadis pribumi dan beranak-pinak.
Syahdan, pada suatu ketika Aki Tkem jatuh sakit. la berpesan pada menantunya, Dewawarman, untuk menggantikannya sebagai pemimpin dukuh. Dewawarman tak menolak keinginan Aki Tirem, begitu pula penduduk. Tak berapa lama Aki Tkem pun meninggal. Dewawarman naik sebagai raja dengan gelar Prabhu Dharma Lokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Sagara atau Dewawarman I. Sedangkan istrinya Sri Pawahaci Larasati menjadi permaisuri dan bergelar Dewi Dhwani Rahayu. Mereka dinobatkan sebagai raja dan permaisuri pada tahun 52 S/130 M, dan berkuasa hingga tahun 90 S/168 M. Wilayah kekuasaannya sebelah barat Jawa Barat, termasuk pulau sebelah barat Pulau Jawa (Pulau Samiam, Pulau Kijang, dan lainnya), Selat Sunda, dan sebelah selatan Pulau Sumatera. Kerajaan ini kemudian diberi nama Salakanagara dengan pusat pemerintahan di Rajatapura. Saat ia berkuasa, Dewawarman I mengkimkan duta ke berbagai negara untuk mengikat persahabatan dan dalam rangka memajukan perniagaan.
Berarti ada hal yang menarik, buku “sejarah nasional” ini (RRBN) mengungkapkan satu hal: wacana tentang betul atau tidaknya tentang keberadaan Dewawarman sudah bisa terselesaikan. Dan keberadaan Salakanagara sebagai negara maritim pertama di Nusantara juga sudah terbuktikan. Jika dibandingkan dengan Kerajaan Kutai yang diakui dalam sejarah nasional Indonesia, jelas Salakanagara lebih tua. Sebab Kutai ditengarai baru muncul sekitar tahun 400 M. Kerajaan ini bertahan hingga delapan generasi dengan pasang-surut pemerintahan-nya, ada pula pemberontakan dari kalangan elite kerajaan dan berhasil. Namun ia sepertinya terkena karma, ia tewas tertimpa batu dari atas bukit ketika sedang melintas di bawahnya.
Susunan Raja-raja Salakanagara
1. Dewawarman I Sang Prabhu Dharma Lokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Segara. 52-90 S/ 130-168 M.
2. Dewawarman II Sang Prabhu Digwijayakarsa Dewawarman Putra. 90-117 S/ 168-195 M.
3. Dewawarman III Sang Prabhu Singha Sagara Bhima Yasa Wkya. 117-160 S/ 195-238 M.58
4. Dewawarman IV Sang Prabhu Dharma Satyanagara. 160-174 S/ 238-252 M.59
5. Dewawarman V Sang Amatya Sarwa Jala Dharmasatya Jaya Waruna Dewa. 174-211 S/ 252-289 M.60
6. Dewawarman VI Sang Prabhu Ganayana Dewa linggabhumi. 211-230 S/ 289-308 M.
7. Dewawarman VII Sang Prabhu Bhima Digwijaya Satya Ganapati. 230-262 S/ 308-340 M.61
8. Dewawarman VIII Sang Prabhu Dharmawirya Dewawarman Sakala Bhuwana. 270-285 S/ 348-363 M.62
Dari kerajaan Salakanagara inilah cikal bakal kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa Barat. Menurut NK, setelah era Salakanagara (Sunardjo, 1983:8) berakhir, muncullah berbagai negara, yaitu:
1. Kerajaan Tarumanegara dimulai oleh Sang Jaya Singhawarmanguru Dharmapurusa Sang Maharaja Dewaguru (358-669 M). Beribu-kota di Sundapura atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Bekasi. Kerajaan Sunda dimulai oleh Raja Tarusbawa Dharma Wastika Manungga Manggalajaya Sunda Sembawa tahun (669 M) dengan pusat pemerintahan berada di Pakuan Bogor.
2. Kerajaan Kendan/Kaendran (daerah Nagrek Cicalengka sekarang) dimulai oleh Resi Guru Manikmaya (526 M).
3. Kerajaan Galuh dimulai oleh Prabu Kandihawan, berpusat di Astana Gede Kawali (612-1482 M).
4. Kerajaan Saunggalah di Kuningan Jawa Barat. Raja pertama Prabu Deumunawan/Seuweu Karma (732 M).
5. Kerajaan Pajajaran dimulai oleh Prabu Jayadewata 1482-1579 M.
Itulah urutan kerajaan sesudah Salakanagara yang juga masih anak keturunannya. Salakanagara bisa muncul karena sifat terbuka masyarakat pesisir, yang selalu siap dengan hal-hal yang baru, dalam hal ini diwakili oleh Aid Tirem Sang Luhur Mulya dan Dewawarman. Aid Tirem dengan penuh perhitungan dan kecermatan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Dewawarman, bukan semata karena Dewawarman itu menantunya, tetapi berdasarkan prinsip bahwa yang pantas memimpin adalah yang terbaik. Sebaliknya Dewawarman merupakan sosok yang mewakili sifat manusia pesisir yang berani ambil resiko, suka berpetualang, sekaligus bersifat integratif, kekeluargaan, dan cinta damai.
B. Pendorong Utama Terbentuknya Keraj aan Cirebon
Kerajaan Cirebon berdiri di bekas wilayah kerajaan Galuh Sunda Pakuan yang lebih dikenal dengan nama Pajajaran. PCN (1720) mencatat dengan lengkap nama nagari-nagari atau kerajaan kecil bawahan kerajaan tersebut yang meliputi:
1. Nagari Surantaka.
2. Nagari Singapura.
3. Nagari Japura.
4. Nagari Wanagiri.
5. Nagari Rajagaluh.
6. Nagari Talaga Manggung.
Separuh dari nagari yang telah disebutkan di atas (urutan 1-3) berada di pesisir utara sedangkan lainnya di pedalaman. Kiprah mereka yang ada di pesisir lebih “terekspos”, bukan hanya karena faktor geografis, tetapi juga itu karena pada awal pembentukan Kerajaan Cirebon mereka memiliki sumbangsih yang lebih besar. Dua nagari lainnya, yakni Rajagaluh dan Talaga Manggung baru bergabung setelah adanya kontak fisik dengan mereka (1528-1529 M). Di bawah ini akan diuraikan tiga nagari yang berada di pesisk Cirebon.
1. Nagari Surantaka
Nagari ini terletak sekitar 5 Km sebelah utara dari Giri Amparan Jati (kompeks pemakaman Gunung Jati) dan Muara Jati. Luas wilayah serta batas-batasnya di sebelah barat dan utara63 tidak diketahui, sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan Nagari Singapura, dan sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Sementara itu, mengenai pusat pemerintahan masih menjadi perdebatan para ahli. Ada yang berpendapat di Desa Keraton yang masuk ke dalam Kecamatan Cirebon Utara sekarang, ada juga yang berpendapat bahwa pusat pemerintahannya berada di Desa Kedaton yang masuk ke dalam Kecamatan Kapetakan sekarang.
Hanya satu nama penguasanya yang tercatat dan merupakan penguasa terakhir dari Surantaka, karena dikemudian hari digabungkan dengan nagari tetangganya, Singapura. Penguasa tersebut bernama Kyai atau Ki Gedheng Sedhang Kasih, yang juga merangkap sebagai Syahbandar Pelabuhan Muara Jati I.
Salana (2002:18) dengan cukup rinci menerangkan siapakah Ki Gedheng Sedhang Kasih alias Sindang Kasih. Disebutkan, penguasa Galuh Sunda Sang Prabhu Niskala Wastu Kancana, alias Lingga Wastu, alias Sang Prabhu Resi Guru Bhuwana Tunggal Dewata, alias Prabhu Wangi Suta (394 S/ 1372 M-1397 S/ 1475 M) memiliki dua orang istri. Istri pertama bernama Nyai Retna Sakarti, putri dari Resi Guru Klampung (NK 1.2.: 10) alias Resi Susuk Lampung (Suherman 1995:8) dari Sumatera. Darinya Sang Prabhu memperoleh beberapa orang putra dan putri, salah seorang dari mereka yang paling terkenal adalah Sang Haliwungan atau disebut pula Tohaan Lampung.
Istri kedua, Nyai Retna Mayangsari, putri dari pamannya yakni Sang Mangkubhumi Suradipati atau Sang Bunisora yang bergelar Sang Prabhu Bathara Guru Pangadiparamarta Janadewabrata. Darinya Sang Prabhu memperoleh empat orang putra. Pertama Ningrat Kencana, kedua Ki Gedheng Surawijaya Sakti, ketdga Ki Gedheng Sedhang Kasih, dan keempatKi Gedheng Tapa.
Sebelum wafat Sang Prabhu membagi kerajaannya menjadi dua.64 Dari Citarum hingga ke arah Banten sekarang, menjadi jatah Sang Haliwungan, bernama Sunda Pakuan. Pusat pemerintahannya berada di Pakuan (Bogor)65 nama keratonnya Sri Bhima Punta Narayana Madura Suradipati. Karena bentuknya berjajar maka disebut Keraton Pakuan Pajajaran.66 la ditahbiskan dengan gelar Sang Prabhu Susuk Tunggal. Suherman (1995:5) mengungkapkan, bahwa Sang Susuk Tunggal memimpin Sunda Pakuan jauh sebelum ayahnya wafat. Menurutnya, Susuk Tunggal mendapat titah dari ayahnya mewakili pemerintahannya di wilayah Sunda Pakuan pada tahun 1382 M.
Sedangkan Ningrat Kancana mendapat bagian Citarum ke arah timur yang sekarang masuk dalam Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah. Pusat pemerintahannya di Keraton Surawisesa (situs Astana Cede Kawali Ciamis). Pada tahun 1397 S/1475 M wafadah Sang Prabhu Wastu Kancana. la diperabukan di Nusa Larang, karena itu ia dikenal juga sebagai Sang Mokteng Nusa Larang. Tidak lama setelah ayahnya mangkat, Ningrat Kancana dinobatkan menjadi raja dan bergelar Sang Prabhu Dewa Niskala.67 Selain itu, Prabhu Wastu Kancana juga mengangkat saudara-saudara Ningrat Kancana. Ki Gedheng Surawijaya Sakti diangkat menjadi penguasa di Nagari Singapura, Ki Gedheng Sedhang Kasih menjadi Juru Labuhan di Pelabuhan Sindang Kasih, sedang Ki Gedheng Tapa menjadi Mangkubhumi Singapura.
Salana (2002:18) mengungkapkan bahwa Ki Gedheng Sedhang Kasih menjadi Juru Labuhan di pelabuhan pertama yang letaknya di desa Sindang Kasih (sekarang termasuk kedalam Kecamatan Beber Kabupaten Ckebon), di sana masih dapat dilihat bekasnya, dan dapat dihubungkan dengan Gemulung Lebak, Dawuhan Sela, dan Kanci. Oleh Salana, Kanci sendiri (2002:20) diyakini sebagai menara pelabuhan pertama, atau Pelabuhan Sindang Kasih.
Raharjo68 (2004) memaparkan, bahwa ada kemungkinan pelabuhan Sindang Kasih inilah rombongan Kerajaan Galuh Sunda Pakuan yang dipimpin langsung oleh Sri Baduga, atau Sang Prabhu Wangi, atau Sang Prabhu Maharaja Lingga Bhuwana Wisesa dan permaisurinya Retna Lisning berangkat menuju Wilwatikta (Majapahit), guna menghantarkan putrinya Sang Ratna Citra Resmi atau Dyah Pitaloka yang hendak menikah dengan Raja Majapahit Hayam Wuruk.69 Jika mengacu keterangan dari De Graaf dan Th. Pigeaud maka rombongan tersebut melakukan pelayaran terakhir mereka hingga di Bubat.70
NK 1.2 (1692:3-7) mengisahkan peristiwa yang di kemudian hari lebih dikenal sebagai Perang Bubat atau Palagan Bubat.71
Dikisahkan pada tanggal 13 “paro peteng” Badramasa tahun 1279 S/ 1357 M Sang Prabhu beserta Sang Permaisuri Retna Lisning dan Dyah Pitaloka putrinya beserta pengiringnya tiba di lapangan Bubat. Rombongan dari Kerajaan Sunda itu disambut oleh Maha Patih Gajah Mada dengan diiringi pasukan tempur terbaik bersenjata lengkap yang siap siaga dan membentuk formasi tempur. Sang Prabhu dan seluruh rombongan tak mengira disambut dengan cara demikian. Padahal sepengetahuan Sang Prabhu, Maharaja Majapahit Rajasanagara atau Hayam Wuruk tak mungkin melakukan hal seperti itu. Orang-orang Sunda maklum, ini pastilah ulah dari Maha Patih Gajah Mada yang sejak dulu berambisi untuk menyatukan Sunda dalam Kerajaan Majapahit, karena memang kecuali Sunda seluruh Nusantara sudah berada dalam genggaman Majapahit, Sunda pernah diserang Majapahit dua kali namun gagal.72
Jadi menurut Gajah Mada, inilah saatnya menyatukan “kepingan” Pulau Jawa. la pun menganggap Dyah Pitaloka sebagai persembahan Sunda kepada Majapahit selaku “bawahannya”. Terjadilah dialog antara pihak Sunda dengan Patih Gajah Mada mempertanyakan hal tersebut. Mereka tidak menemukan titik temu karena Gajah Mada tetap dengan pendiriannya. Pihak Sunda merasa bukan saatnya untuk bicara, karena bagaimanapun mereka pasti bakal ditumpas habis, inilah saatnya menunjukkan baktinya dan membela kehormatan negara.
Maka pertempuran pun terjadi tanpa bisa ditahan, karena perang itu tidak seimbang satu dengan lainnya, dengan mudah pasukan Majapahit menumpas habis orang-orang Sunda. Raja Sunda beserta 20 orang pembesar Kerajaan Sunda gugur di lapangan Bubat. Sementara, Permaisuri Ratna Lisning, Dyah Pitaloka beserta seluruh dayang-dayang pengiringnya melakukan bela pati (ikut mati) dengan cara suduk salira (bunuh diri). Dari 20 orang pejabat Kerajaan Sunda, dua orang di antara1: a adalah Ki Nahkoda Braja dan Ki Nahkoda Bule.73
Setelah kejadian itu Sang Rajasanagara atau Hayam Wuruk mengirim surat (beserta jenazah korban) kepada Sang Mangkubhumi Bunisora Suradipati yang dibawa oleh beberapa biksu dan pendeta. Surat itu selain berisi permintaan maaf, juga memuat pernyataan bahwa Majapahit mengakui kedaulatan serta tidak akan mengganggu wilayah Kerajaan Sunda baik di darat maupun di laut. Janji Sang Raja terbukti, tak lama setelah kejadian itu, armada Angkatan Laut Majapahit yang hendak melakukan penyerangan ke Dompo atau ekspedisi Padompo, sebelum mereka memasuki wilayah perairan Sunda, mereka terlebih dahulu meminta izin untuk melintas kepada Sang Mangkubhumi Bunisora selaku pimpinan pemerintahan sementara. Janji itu dipegang teguh oleh pihak Majapahit hingga runtuh pada ±1429-1522 M (Soekmono 1973:78).
Kembali ke Desa Sindang Kasih. Salana (2002:18) berpendapat, setelah beberapa lama ternyata Pelabuhan Sindang Kasih mengalami pendangkalan, maka atas kebijakan Sang Prabhu Niskala Wastu Kancana pelabuhan dipindahkan ke Muara Jati. Sedangkan Kartani (2004) berpendapat, Pelabuhan Muara Jati didirikan untuk memacu laju pertumbuhan perdagangan Galuh. Muara Jati mungkin dipilih karena letaknya yang cukup strategis dan nyaman untuk disandari kapal.
Surantaka sebagai sebuah nagari pesisir kiprahnya memang tidak terlalu banyak tercatat dalam naskah-naskah lama, hanya tercatat dalam PCN (5:10) yakni tentang sayembara74 yang diadakan untuk mendapatkan jodoh bagi Nyai Subang Larang, puteri Mangkubhumi Singapura Ki Gedheng Tapa.
Sayembara ini berupa pertandingan bela diri yang diikuti oleh peserta dari berbagai nagari. Pada partai puncak atau final bertemulah Raden Pamanah Rasa putera dari penguasa Galuh (Ningrat Kancana) dengan penguasa Japura (Prabhu Amuk Marugul), yang akhirnya dimenangkan oleh Raden Pamanah Rasa. Dengan demikian, Putera Tohaan di Galuh itulah yang berhak mempersunting Nyai Subang Larang. Ternyata sebelum mengikuti sayembara itu Raden Pamanah Rasa atau Pangeran Jaya Dewata telah menikahi Nyai Ambet Kasih, puteri dari Ki Gedheng Sedhang Kasih penguasa Surantaka. Untuk perkawinan mereka, Ki Gedheng Sedhang Kasih menghadiahkan daerah Sindang Kasih kepada menantunya.
Masyarakat Sunda mengabadikan peristiwa itu dalam bentuk dongeng (Salana 2002:20). Menurut cerita orang Sunda, dikisahkan Prabhu Anggalarang ayah Prabhu Siliwangi memiliki dua orang istri. Istri yang pertama bernama Retna Huma, darinya ia memperoleh putra yang bernama Sang Parbamenak Rajaputera. Istri yang kedua bernama Retna Nastunalarang, darinya ia memperoleh seorang putra bernama Sang Manah Rasa Rajasunu. Retna Huma mempunyai adik bernama Banyaksumba, ia merupakan Patih Pajajaran. la sangat berharap keponakannyalah yang kelak menggantikan kedudukan ayahnya, Prabhu Anggalarang. Maka dari itu, ia melakukan bermacam tipu muslihat untuk mencelakakan Rajasunu yang ia anggap saingan keponakannya, namun upayanya senantiasa menemui kegagalan.
Pada suatu ketika, ia melumuri sekujur tubuh Rajasunu dengan arang bercampur air ketan hitam. Maka hilanglah wujud Rajasunu yang asli, kulitnya menjadi hitam pekat, namanya pun lantas diganti dengan nama Silihwangi (bukan nama aslinya). Banyaksumba menjual Siliwangi kepada Nakhoda orang Palembang sebagai budak, ternyata oleh Nakhoda itu Silihwangi dijualnya kepada Juru Labuhan Ki Ageng Sindang Kasih. Oleh Ki Ageng Sindang Kasih, budak itu diberikan kepada putrinya Nyai Ambet Kasih atau Nyai Rambut Kasih. Lama kelamaan setelah budak itu dimandikan, diketahuilah rupa aslinya, yakni Sang Manah Rasa Rajasunu. Pada akhirnya mereka menjadi suami istri.
Peristiwa perkawinan mereka diabadikan juga oleh masyarakat Sindang Kasih Kecamatan Beber dalam bentuk dongeng. Dikisahkan bahwa Nyai Ambet Kasih atau Nyai Rambut Kasih, putri Ki Gedheng Sindang Kasih memperoleh seorang budak hitam pekat yang kemudian dipeliharanya. Oleh Nyai Ambet kasih ia pun dimandikan, setelah dimandikan barulah diketahui bahwa ia adalah putra penguasa Galuh. Masyarakat Sindang Kasih meyakini peristiwa dimandikannya Raden Pamanah Rasa terjadi di lereng Gunung Jaganiti, tepatnya di sebuah batu yang tidak diketahui namanya.
Sedangkan Ki Gedheng Sindang Kasih hingga berusia lanjut tak memiliki putera yang dapat meneruskan kepemimpinannya, maka jatuh kepada sang menantu Raden Manah Rasa. Tidak jelas kapan hilangnya Nagari Surantaka dari peta Galuh, namun dipastikan bahwa Surantaka selanjutnya disatukan dengan Singapura. Kemungkinan hal ini dilakukan atas inisiatif dari Raden Pamanah Rasa selaku pewaris Surantaka, menantu Mangkubhumi Singapura Ki Gedheng Tapa, dan sebagai putera mahkota Galuh. Sedangkan posisinya sebagai Juru Labuhan digantikan oleh Ki Gedheng Tapa.
2. Nagari Singapura
Sebelum memaparkan keberadaan Singapura, terlebih dahulu kita mengkaji nama Singapura secara etimologis.
Berdasarkan bahasa Cirebon yang dipakai sekarang ini, ‘sing’ berarti ‘dari’ atau ‘yang’. Umpamanya “sing duwur”, artinya “dari atas”, “sing kuwen”, artinya “yang itu”. Namun dalam bahasa Cirebon abad XVII tidak ditemukan, yang ada ‘ring’ untuk menunjukkan ‘dari’. Sedangkan kata ‘pura’ sudah digunakan sejak dahulu. Dalam bahasa Sanskrit diartikan sebagai ‘depan’, ‘gerbang’, ‘kota’, ‘istana’, atau ‘negara’. Tetapi apabila diberi suku kata di depannya misalnya ‘am’ maka menjadi ‘ampura’, maka dalam bahasa Cirebon sehari-hari sekarang berarti ‘rnaaf’. Apabila dirangkaikan kata ‘sing’ di depannya dan kata ‘ampura’ di belakangnya, terbaca ‘singampura’ yang bermakna ‘yang mendapat maaf’. Kemungkinan nama ini dipakai karena dianggap layak untuk digunakan sebagai nama sebuah nagari. Jadi Nagari Singapura itu adalah nagari yang mendapat curahan ampunan dari Tuhan.
Jika nama Singapura kita pecah menjadi dua suku kata ‘singa’ dan ‘pura’ maka akan timbul beberapa tafsiran lain. Kata ‘singa’ dalam bahasa Cirebon sekarang, ternyata memiliki makna selain hewan singa itu sendiri, juga bermakna, ‘setiap’, ‘sembarang’, ‘seluruh’. Bila kita kita memaknai kata ‘singa’, lantas kita sambungkan dengan kata ‘pura’, maka kita akan mendapat beberapa tafsiran: Kota Singa. Sebuah kota yang mungkin mengambil singa sebagai simbol kotanya. Singapura juga dapat bermakna Gerbang Singa. Sebuah kota yang pada gerbangnya terdapat hiasan berbentuk hewan singa. Singapura bermakna “Di Depan Singa”, atau “Singa Terdepan”.
Ada kemungkinan yang dimaksud ‘singa’ itu adalah Nagari Wanagiri yang merupakan penerus dari Kerajaan Indraprahasta. Dalam NK 1.1, terdapat kisah ketika raja Tarumanagara ke-3, Raja Purnawarman, mengadakan suatu upacara yang dihadiri oleh berbagai negara bawahan, sekutu, serta sahabat, mereka datang berperahu. Di situ tercatat perahu Kerajaan Indraprahasta datang dan menggunakan panji bergambar singa (Singha Dwaja Rupa). Dan kelihatannya simbol singa itu digunakan juga oleh Wanagiri sebagai penerusnya. Bahkan kita juga tahu bahwa bendera Kerajaan Ckebon juga bergambar singa. Disebut sebagai Kad Lalancana Singha Barwang Dwajalullah, atau lebih dikenal dengan nama Macan All.
Singapura dapat bermakna Kota Berbagai Bangsa, jika kita melihat posisi Singapura sebagai nagari yang wilayahnya di tepi pantai dan memilki pelabuhan yang sangat ramai serta disinggahi oleh perahu dari berbagai bangsa. Tome Pires (1513) mencatat per hari sekitar empat sampai lima perahu berlabuh di Pelabuhan Muara Jati yang datang dari berbagai tempat, maka pantas pula ia dinamai begitu.
Apapun penafsiran tentang nama Singapura, tidak akan dapat menghapus peranan serta keberadaannya sebagai nagari bawahan Galuh yang kemajuannya termasuk paling pesat di antara lainnya.
Nagari ini terletak kira-kira 4 km di sebelah utara Giri Amparan Jati. Luas wilayah secara pasti tidak jelas, tetapi indikasi batas-batasnya dapat ditemukan. Di sebelah utara berbatasan dengan Nagari Surantaka, di sebelah barat berbatasan dengan Nagari Wanagiri, di sebelah selatan dan timur dengan Nagari Japura, dan di sebelah timurnya, Laut Jawa (Teluk Cirebon). Pusat pemerintahannya berada di Desa Mertasinga Kecamatan Cirebon Utara Kabupaten Cirebon. Sisa-sisa istananya yang masih ada hingga sekarang adalah gerbang istana, yang oleh masyarakat setempat disebut Lawang Gede.
Pada masa Belanda, bekas istana Singapura yang terletak di sisi Sungai Bondet itu pernah menjadi basis pemberontakan sebanyak dua kali. Pertama, pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Suryajanegara75 (1753-1773). Kedua, pemberontakan yang terjadi pada tahun 1818 M, atau di masa Sultan Sepuh VIII, Sultan Raja Udaka (1815-1845), dipimpin oleh Ki Bagus Rangin dan Ki Bagus Serit. Peristiwa pemberontakan ini lebih dikenal oleh masyarakat Cirebon dengan nama Perang Kedongdong.
Nagari Singapura dipimpin oleh Ki Gedheng Surawijaya Sakti, adik dari Prabhu Dewa Niskala. la memiliki seorang istri bernama Nyai Indang Sakati, putri dari Giri Dewata atau Ki Gedheng Kasmaya penguasa Nagari Wanagiri. Sayang dalam perkawinan itu mereka tidak dikaruniai keturunan.
Selanjutnya kepemimpinan dilanjutkan oleh adiknya, Ki Gedheng Tapa yang telah lama membantunya menjadi Mangkubhumi, juga menjadi Juru Labuhan Pelabuhan Muara Jati kedua sepeninggal Juru Labuhan pertama, Ki Gedheng Sedhang Kasih. Secara persis, pelimpahan kekuasaan atau tahun wafatnya Ki Gedheng Surawijaya Sakti tidak diketahui.
Di bawah kepemimpinan Ki Gedheng Tapa atau Ki Jumajan Jati, Pelabuhan Muara Jati maju pesat dan menjadi pelabuhan yang sangat diperhitungkan. Ternyata dipicu oleh denyut nadi pelabuhan itu, muncullah sebuah pedukuhan yang dipenuhi oleh kegiatan perdagangan yang bernama Pasambangan. Yang kemudian hari menjadi salah satu pusat kegiatan penyebaran Islam di Jawa yang biasa disebut Puser Bumi. Seperti yang tercatat dalam PCN (1720:13).
…Kala samana sinuku eng Giri Sembung lawan Ngamparan Jati huwus mangadeg lawas Pasambangan dukuh wastanya// Paratidina janmapadha ikang dol-tinuku samya atekeng engke/i sedheng parirenan kang prahwa Muhara Jati dumadi akrak/ mapan ri nanawidha kang palwa nityasa mandeg engkene// Pantara ning yata saking Cina negari Ngarab/ Persi/ Indiya/ Tumasik/ Pasefh]/ Jawa Wetan Mandura lawan Palembang/ matang ika Pasambangan dukuh dumadyakna akrak mwang janmapadha// Kahanannya subika/…
… Akan berganti yang diceritakan. Pada masa itu di kaki gunung Amparan Jati telah berdiri sejak lama dukuh yang namanya Pasambangan. Tiap-tiap hari warga masyarakat datang di situ untuk berjual beli, sedangkan persinggahan perahu Muhara Jati menjadi ramai, karena bermacam-macam perahu berhenti disitu. Di antara perahu-perahu itu dari negeri Cina, Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik (Singapore), Pasai, Jawa Timur, Madura, dan Palembang. Karena itu dukuh Pasambangan menjadi ramai dan warga masyarakat kehidupannya sejahtera…
Keberadaan Muara Jati sebagai sebuah pelabuhan tercatat pula dalam “Suma Oriental” karya Tome Pires (1513 diterjemahkan oleh Armando Cortesao pada tahun 1944). Pires menyebutkan, Pelabuhan Cerimon/Cheroboan merupakan pelabuhan yang baik. Di situ setiap waktu ada empat atau lima jung (perahu) berlabuh, terbanyak dari jenis lanchara (sejenis perahu yang jalannya sangat cepat). Jung dapat berlayar hingga 15 km ke hulu sungai. Pelabuhan itu berpenghuni lebih dari 1.000 orang, beras, dan berbagai jenis bahan makanan merupakan komoditas yang diper-dagangkan. Selain dari itu diperdagangkan pula kayu, yang kualitasnya terbaik di seluruh Pulau Jawa.76
Selanjutnya PCN menceritakan kedatangan armada Angkatan Laut Cina pada tahun 1415 M yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho atau Zheng He atau Te Ho yang beragama Islam. Armada itu berkekuatan 63 perahu dengan jumlah pasukan 27.800 orang.
Gambar 9
Jangkar yang diyakini sebagai peninggalan Cheng Ho
Namun dalam NK 1.2 (1692:14) jumlah pasukan dan jumlah perahu dalam muhibah itu agak berbeda. NK 1.2 menyebutkan jumlah pasukan 2.700 orang dengan menggunakan perahu ±100 buah. Sedangkan Sunardjo (1996:19) mengungkapkan, Laksamana Cheng Ho yang merupakan keturunan Mongol melakukan tujuh kali pelayaran dari tahun 1405 M-1425 M77 dengan armada sebanyak 200 jung atau perahu besar dengan masing-masing berbobot mati ±80-100 ton.78 Mereka melaksanakan tugas muhibah keliling itu atas perintah Kaisar Cina Cheng Tu atau Yung Lo, raja dinasti Ming III. Tugas utama misi ini adalah membina persahabatan yang erat dengan kerajaan-kerajaan di seberang lautan (Sudjana 1996:181).
Dalam masa tujuh kali pelayarannya, ia berhasil memindahkan 25.000 orang Cina dari Provinsi Yunan dan Swatow di Cina selatan ke Palembang, Kalimantan, dan Pulau Jawa.79 Di Jawa, imigran dari Cina ditempatkan di Banten, Cirebon,80 Semarang, Juwana, Jepara, Gresik, Ampel (Surabaya), dan Bangil.
Rahardjo (2004),81 menceritakan cerita rakyat yang mengisahkan, bahwa karena banyaknya perahu armada Cina dan bentuknya lebih besar dari perahu yang biasanya berlabuh di Muara Jati, maka sebagian perahu ditambatkan di sebuah sungai. Peristiwa tersebut diabadikan menjadi nama perkampungan yang tak jauh dari sungai tersebut, perkampungan itu diberi nama Celangcang, berasal dari kata ‘nyangcang’ yang artinya menambat. Sungai tempat menambat itu pun diberi nama Bengawan Celangcang.
Sekarang sungai itu menjadi sempit, lebarnya kira-kira hanya 4-5 meter saja. Peristiwa itu menurut NK 1.2 terjadi pada tanggal 14 “paro peteng” Palguna82 Masa tahun 1337 S/ 1415 M. Armada itu dipimpin Laksamana Cheng Ho, Ma Hwan selaku sekretaris merangkap pencatat, Kung Way Ping selaku Panglima Angkatan bersenjata, Wang Kheng Wbng sebagai kapten kapal, dan Pey Shin sebagai pencatat.
Sudjana selanjutnya menyebutkan, dalam perjalanannya menuju Canggu (Majapahit), mereka singgah di Pura Karawang, dalam fombongan itu terdapat pula seorang ulama yang bernama Syekh Hasanudin dari Campa83 (Vietnam Selatan) yang bermaksud menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Lalu sang ulama turun di Kerawang, sedangkan armada Cina melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju Majapahit, dan singgah selama satu minggu.
Dalam persinggahannya yang hanya berlangsung satu minggu, armada Cina itu ternyata sempat pula mendirikan mercusuar di atas Bukit Amparan Jati. Seperti yang dikisahkan PCN (1720:14-15):
… Cinarita hana ta prasadha tunggang prawata Ngamparan Jati/ yawat ta ratrikala ring kadhohan murub katinghalan kadi linthang kang tejamaya// Kunang iking prasadha palinggannya/ pasisk Muhara Jati ikang mangadegna yata baladika Cina Wa Heng Ping ngaranira lawan Sang Laksamana Te Ho sabalanya kang sahanira tan ketung/ irika ta ring// Pasambangan ing lampakhira umareng Majapahit mandeg sawatara ing Muara Jati/ ri huwuska tamolah ing Pasambangan desa/ magawe karya ring Sang Juru Labuhan tan masowe panatara ning akara// Pitung rahina kulem/ ri huwus ika prasadha tinuku dheng sira Ki Juru Labuhan yeka kang dumadi Mangkubumi makanama Jumajan Jati/ tinukar lawan uyah/ trasi/ beras tuton/ grabadan// Lawan kayu jati/ umangkat ring Jawa Wetan tumuli/ sampunya kabeh pepek sjro ning prahwanka/…
.. .Diceritakan ada mercusuar di atas Gunung Amparan Jati. Pada malam hari tampak berbinar-binar dari kejauhan, bagaikan bintang cahayanya berkilauan. Adapun mercusuar itu seakan-akan tanda bagi pantai Muara Jati. Yang mendirikan itu Angkatan Bersenjata Cina yang tidak terhitung banyaknya di bawah Panglima Besar Wa Heng Ping namanya dan Laksamana Te Ho. Mereka berhenti di Pasambangan dalam perjalanan menuju Majapahit, berlabuh untuk sementara di Muara Jati. Tidak berapa lama, kira-kira tujuh hari tujuh malam. Setelah mercusuar itu selesai dibangun, dibayar oleh Juru Labuhan, yang menjadi Mangkubumi, bernama Jumajan Jati. Ditukar dengan garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah dan kayu jati. Kemudian mereka berangkat menuju Jawa Timur, setelah semua perahu sarat muatan di dalamnya…
Menurut Kartani (2004), mercusuar itu materialnya adalah bambu, bahan itu dipilih karena memperhitungkan karakteristik tanah di sekitar Jawa Barat pada masa itu yang rawan longsor. Saat ini mercusuar itu tinggal pondasinya, itu pun sangat sulit untuk dikenali.
Jika kita melihat apa yang tercatat dalam NK dan PCN, maka keberadaaan mercusuar karya bangsa Cina itu, ternyata bukan saja sebagai tengara (pertanda) bagi kapal dan perahu, tetapi mercusuar itu juga merupakan tengara, bahwa akan datang sebuah perubahan 2aman, yakni masuknya agama Islam. Hal ini terbukti dengan setelah kedatangan armada Cheng Ho banyak berdatangan pendatang beragama Islam. Datanglah ulama yang bernama Syekh Hasanudin bin Yusuf Sidik84 yang berkeinginan untuk menyebarkan Islam di tatar Sunda. Berkat usaha Ki Gedheng Tapa yang gigih, ia dapat membujuk ayahnya, Prabhu Niskala Wastu Kancana agar diberi izin membuka pesantren di Karawang. Bahkan putrinya, Subang Larang atau Nyai Mas Larang Tapa85 -yang lahir pada tahun 1404 hasil perkawinannya dengan Nyai Ratna Kranjang (putri dari Ki Ageng Kasmaya atau Giri Dewata pemimpin Nagari Wanagiri)- menjadi murid Syekh Hasanudin. Di pesantren tersebut kemudian Syekh Hasanudin lebih terkenal dengan nama Syekh Quro. Letak bekas pesantrennya berada di Desa Talagasari Kecamatan Talagasari Kabupaten Karawang. Di Karawang ia mendapat seorang istri putri dari Ki Ageng Karawang yang bernama Ratna Sondari. Darinya ia memperoleh putra yang bernama Syekh Ahmad yang nantinya menjadi penghulu Karawang I.
Syekh Hasanudin berasal dari Campa (Vietnam Selatan), ia kemari ditemani oleh putranya Syekh Bantong atau Tan Go Hwat, yang kemudian tinggal di Gresik sebagai saudagar besar dan guru agama. Dari perkawinannya dengan Siu Te Yo ia memperoleh putri yang bernama Siu Ban Ci. Siu Ban Ci inilah yang kelak melahirkan anak bernama Jin Bun atau lebih terkenal dengan nama Raden Patah, Raja Demak pertama.
Jika melihat kegigihannya berusaha untuk mendapatkan izin serta mengizinkan putri semata wayangnya belajar ke Malaka ditemani oleh sepupunya Nyi Acih Putih, putri dari Nyai Rara Rudra dengan Tan Pwa Wang atau Ki Dampu Awang86 seorang saudagar kaya dari Cina (NK 1692:13), dan baru pulang pada tahun 1518, dan selanjutnya ia belajar di pesantren Syekh Quro, maka melihat hal itu, besar kemungkinan Ki Gedheng Tapa adalah seorang muslim. Hal tersebut tidaklah aneh, sebab jauh sebelum Ki Gedheng Tapa, sudah ada kerabat kerajaan Sunda Galuh yang menjadi muslim. Tercatat (Sudjana 1996:179-180) bahwa putra Sang Bunisora yang kedua (lahir 1350 M), Bratalegawa, yang senang berniaga sering bepergian jauh hingga ke luar negeri. la dikenal sebagai pedagang yang sukses memiliki banyak kapal dagang. Bukan hanya emas permata yang ia miliki, ia pun memliki beberapa rumah peristirahatan baik di lereng gunung maupun di tepi sungai.
Dalam perjalanan dagangnya, adakalanya ia berhubungan dengan pedagang dari Timur Tengah yang kebanyakan muslim. Mungkin karena melihat tindak-tanduk dan cara berniaga mereka yang baik, ia pun tertarik untuk mempelajari agama Islam, dan tak berapa lama kemudian ia pun menyatakan diri masuk Islam. la pun berjodoh dengan seorang wanita muslim dari Gujarat yang bernama Farhana bind Muhammad. Bersama-sama dengan isrinya, Bratalegawa menunaikan ibadah haji ke Mekah. la pun beroleh nama Haji Baharudin al-Jawi. Dari Mekah mereka ke Galuh. Kemudian di Galuh mereka menemui Ratu Banawati, adiknya, sambil mengajak saudarinya itu masuk Islam. Tetapi upayanya sia-sia. Mereka lalu tinggal di Caruban Girang dan mencoba mengajak kakaknya, Ki Gedheng Kasmaya atau Giri Dewata untuk memeluk Islam, namun lagi-lagi gagal.
Kegagalan tersebut tidak menyebabkan keretakan hubungan keluarga, semua saling menghormati kepercayaan dan agama masing-masing. Bahkan ia beserta istrinya diberikan izin menetap di Caruban Girang oleh Prabhu Niskala Wastu Kancana yang sekaligus kakak iparnya. Sebagai haji pertama di Galuh, maka ia lebih dikenal dengan Haji Purwa Galuh. Dari perkawinannya dengan Farhana, Haji Purwa beroleh putra bernama Akhmad yang kemudian dikenal dengan sebutan Maulana Safiudin.87
Setelah anaknya beranjak dewasa, Haji Purwa bersama keluarganya pergi ke Gujarat. Di sana Akhmad dijodohkan dengan Rogayah binti Abdullah, putri dari sahabat Haji Purwa. Dari perkawinannya ini Akhmad mempunyai seorang putri bernama Hadijah, yang kelak setelah dewasa menikah dengan saudagar dari Hadramaut. Suami Hadijah sudah sangat tua dan meninggal sebelum mereka dikaruniai keturunan. Hadijah kemudian kembali ke Galuh bersama-sama ke dua orang tuanya, lalu mereka tinggal di Dukuh Pasambangan.
Pada tahun 1420 mendaratiah Syekh Datuk Kahfi alias Syekh Idopi alias Syekh Nurjati bersama pengiringnya berjumlah dua belas orang yang terdiri dari sepuluh orang laki-laki, dua orang perempuan. Kedua belas orang itu adalah utusan Persia (Sudjana 1987:27). Sebagaimana Syekh Quro, Syekh Datuk Kahfi pun mendapatkan izin menetap berkat usaha Ki Gedheng Tapa. Seterusnya ia menetap di Pasambangan, dan mendirikan pesantren Amparan Jati. Ada pula kemungkinan izin raja Galuh Sunda Prabhu Niskala Wastu Kancana ini turun, demi kelancaran perdagangan antara Galuh -dalam hal ini Singapura- dengan para pedagang dari Timur Tengah, atau juga membuktikan bahwa wilayah-wilayah pesisir Galuh adalah kawasan perdagangan bebas.
Dari situ kemudian ia berjodoh dengan Hadijah, buyut (putri cucu) Haji Purwa yang telah lama menetap di Pasambangan. Dengan harta peninggalan suaminya terdahulu, Hadijah membantu pembangunan pesantren Amparan Jati agar lebih baik dalam berbagai hal. Sebelum menikah dengan Hadijah, ia sudah menikah dengan Sjarifah Halimah, kakak dari Syarif Abdullah (ayah dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati). Dari perkawinan tersebut mereka dikaruniai empat orang anak yakni MauIana Abdurachman atau Syarif Abdurachman, Syarifah Baghdad, Maulana Abdurrachim atau Syarif Abdurrachim, dan Maulana Chafid atau Syekh Datul Chafid. Keempat anaknya tersebut diasuh oleh kakak dari Halimah, Sulaiman yang menjadi pembesar di Baghdad.
Setelah beberapa lama, selang keberangkatan Syekh Datuk Kahfi ke Jawa, keempat anaknya itu diusir dari Baghdad, oleh uwak (pak de) mereka, Sulaiman. Pengusiran itu disebabkan kegemaran mereka berjalan mengelilingi kota sembari menabuh rebana dan menggendong-gendong anjing.88 Mereka pun mengikuti jejak orang tuanya pergi menuju tanah Jawa atau tepatnya di Amparan Jati. Selanjutnya keempat kakak beradik itu menetap di sana bersama orang tua mereka. Kelak Syarif Abdurrachman lebih dikenal dengan nama Pangeran Panjunan, sedangkan Syarif Abdurrachim lebih dikenal dengan nama Pangeran Kejaksan.
Sebagaimana diketahui, Ki Gedheng Tapa memiliki seorang putri yang bernama Nyai Subang Larang yang kecantikannnya pada masa itu sangatlah terkenal. Mungkin karena banyaknya pelamar, diadakanlah sebuah sayembara untuk menentukan siapa yang akan menjadi suaminya. Kejadian itu berlangsung pada tahun 1422 M, dan lokasinya di Nagari Surantaka.
Sayembara adu jurit ini tidak diketahui berapa jumlah pesertanya. Namun dalam partai puncak bertemulah dua orang satria pilih tanding, yaitu Pangeran Jayadewata atau Raden Pamanah Rasa putra Ningrat Kancana, dengan Sang Prabhu Amuk Marugul atau Raden Panji Wirajaya Sang Amuk Marugul Sakti Mandraguna penguasa Japura, putra dari Sang Haliwungan atau Susuk Tunggal. Jadi mereka berdua adalah sama-sama cucu dari Raja Kerajaan Sunda Galuh Pakuan yang berkuasa pada masa itu, Sang Prabhu Niskala Wastu Kancana. Pada akhirnya pertarungan sengit itu dimenangkan oleh Pangeran Jayadewata. Sang Amuk Marugul betul-betul takluk padanya. Sebagai tanda atas kekalahan dirinya, ia pun mempersernbahkan adiknya Nyai Kentring Manik Mayang Sunda kepada Jayadewata. Selain pertandingan itu, Syekh Hasanudin selaku guru Subang Larang pun mengajukan syarat, boleh Subang Larang diperistri asal menjadi permaisuri dan nanti setelah menikah, Subang Larang tetap diizinkan melaksanakan syariat ajaran agama Islam yang dianutnya.
Kisah pernikahan Prabhu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang yang hidup di masyarakat Cirebon dalam bentuk dongeng kental dengan napas Islam. Dalam dongeng itu Prabhu Siliwangi dan peserta lainnya mengikuti sayembara untuk mencari lintang Kerti jejer satus (bintang Kerti berderet seratus). Kisah itu juga menyebutkan bahwa Prabhu Siliwangi pergi ke Mekah. la pun berhasil menemukan apa yang dimaksud dengan kalung lintang Kerti jejer satus, berkat bantuan seseorang bernama Ki Guru,89 bahkan Ki Guru tersebut berhasil mengislamkan Prabhu Siliwangi (Rais 1986:7-10).
Dalam masa kepemimpinannya, Ki Gedheng Tapa selaku penerus Ki Gedheng Surawijaya Sakti dan sekaligus penerus Ki Gedheng Sedhang Kasih, berhasil dengan baik membangun sebuah daerah pesisir yang baik dan terbuka sesuai dengan citra manusia pesisir yang terbuka dan integratif. Di tangannya Singapura dan Pelabuhan Muara Jati menjadi sebuah kekuatan yang tidak pernah diperhitungkan oleh Kerajaan Galuh. Kelak dari sinilah cikal bakal sebuah kerajaan baru yang dapat menenggelamkan Galuh secara perlahan-lahan.
3. Nagari Japura
Nagari ini terletak 17 km sebelah tenggara Giri Amparan Jati, luas wilayahnya meliputi Kecamatan Astana Japura, Sindang Laut, dan Ciledug. Saat ini wilayah ini termasuk Kabupaten Cirebon.
Kartani (2003:3) sangat tertarik untuk mencatat berbagai sumber mengenai asal-usul nama Japura. Japura berasal dari kata ‘ja’ dan ‘pura’. Dalam bahasa Kawi, ‘ja’ itu artinya ‘hidup’. Sedangkan ‘pura’ artinya, ‘depan’, ‘gerbang’, ‘kota’, ‘istana’. Jadi, Japura mengandung pengertian ‘Kota Terdepan’. Kemungkinan besar nama ini juga terkait dengan kota pantai, karena pada saat itu laut adalah jalur transportasi utama.
Japura ada pula yang menyebutkan berasal dari kata ‘jep’ (alat penangkap ikan atau udang) dan ‘pura’. Dari keterangan ini dapat pula disimpulkan serta memperkuat eksistensi Japura sebagai daerah pantai penangkapan dan penghasil ikan yang baik. Pengertian lainnya, Japura merupakan singkatan ‘gajah’ dan ‘pura’, artinya sebuah kota yang pada pintu gerbangnya terdapat ornamen gajah.
Ada pula yang berpendapat, bahwa nama Japura diambil dari tokoh legenda yang bernama Gajah Pura atau Sri Gading yang pernah berperang melawan Gajah Paminggir karena berebut seorang putri.
Pusat nagari ini diperkirakan terletak dalam wilayah Desa Astana Japura Kecamatan Astana Japura Kabupaten Cirebon. Di lokasi tersebut terdapat sebuah sumur yang oleh masyarakat setempat diyakini sebagai sumur keraton Nagari Japura. Jika melihat dari bukti tersebut jarak lokasi pusat pemerintahan Japura dari pantai sekitar 5 km. Namun, pada masa itu, jarak pusat pemerintahan tentu lebih dekat lagi, yaitu sekitar 2,5 km. Perkiraan ini didukung oleh keterangan seorang penduduk di Desa Mundu (Tohadi, 53 tahun), 3 km sebelah barat Astana Japura. la menyatakan bahwa ketika ia mendirikan rumah pada tahun 1942, jarak rumahnya dengan pantai sekitar 50 m. Namun sekarang (1983) jarak pantai dengan rumahnya berubah menjadi sekitar 400 m dan sudah menjadi tambak bandeng miliknya. Apabila kita mengacu pada keterangan itu, posisi pusat pemerintahannya tak jauh beda dengan Singapura atau nagari-nagari pesisir lainnya pada masa itu yang dekat dengan pantai, hingga bisa dipastikan senantiasa terdapat muara sungai untuk pelabuhan perahu-perahu dagang atau nelayan setempat (Sunardjo 1983:22). Menurut Tome Pires (1513), kemampuan Pelabuhan Japura sebanding dengan Muara Jati. Digambarkannya Pelabuhan Japura yang terletak antara Cirebon dan Losari tersebut berpenduduk 2.000 orang, yang tersebar di berbagai dusun (Cortesao 1944:173-183).
Japura diduga sebagai pemukiman tua, karena jauh sebelum dikenal sebagai nagari yang kuat. Kartani (2003:6) menyebutkan ada bukti arkeologis yakni sebuah situs yang berbentuk batu karang sebesar dan setinggi anak kecil oleh masyarakat setempat disebut Bumi Segandu.90 Berdasarkan pendapat para arkeolog, bahwa keberadaan Bumi Segandu merupakan tanda kepurbaan dari lokasi itu dan sekitarnya serta keberadaan dan fungsinya diidentikkan dengan menhir.91
Keberadaan Pelabuhan Japura tidak lepas dari pengelolaan yang baik dari pemimpinnya, yakni Raden Panji Wirajaya Sang Amuk Marugul Sakti Mandraguna.92 Nama ini begitu melekat dan jadi bagian tradisi tutur yang beredar luas di masyarakat Cirebon terutama daerah sekitar Astana Japura. Bagi sebagian orang nama dan gelarnya begitu mencerminkan kharisma, terkesan angker penuh wibawa.
Selain memperhatikan perkembangan pelabuhan, ia pun membangun dan mengembangkan pula sistem pengairan untuk rakyatnya yang bekerja sebagai petani, dengan membangun sebuah dam yang disebut Telaga Maharena Wijaya (NK 1.2:21). Telaga ini diperkirakan adalah Situ Patok yang berada di Kecamatan Astana Japura sekarang. Oleh Pemerintah Belanda, dam ini diperbaiki dan dioptimalkan fungsinya. Selain dari itu, Darma Loka yang sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kuningan, juga diduga dibuat atas prakarsanya.
Jika kita melihat situasi politik kerajaan Galuh Sunda Pakuan pada umumnya, sepeninggal Prabhu Niskala Wastu Kancana yang wafat pada tahun 1475 M dan dikebumikan di Nusa Larang,93 maka naiklah ke dua putranya. Pertama, Sang Haliwungan atau Susuk Tunggal menduduki tahta di Sunda Pakuan, sedangkan anaknya yang kedua, Ningrat Kancana berkuasa di Galuh Pakuan.
Ningrat Kancana naik tahta dengan gelar Dewa Niskala. Tiga tahun setelah menduduki singgasana yaitu 1478 M terjadi peristiwa penting di Pulau Jawa, Kerajaan Majapahit kala itu setelah dilanda pemberontakan dan perang saudara dengan pasukan Islam dari Demak di bawah pimpinan Adipati Demak Raden Patah atau Jin Bun, putra Prabhu Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya. Akibatnya banyak petinggi Majapahit yang mengungsi, di antaranya Raden Baribin, saudara seayah Prabhu Kertabhumi.
Beserta keluarganya ia mengungsi hingga sampai ke ibukota kerajaan Galuh Surawisesa (situs Astana Gede Kawali Ciamis).94 Prabhu Dewa Niskala menerima dengan baik Raden Baribin beserta rombongan, bahkan lebih dari itu, putrinya Ratna Ayu Kirana dinikahkan dengan Raden Baribin. Selain itu, salah seorang gadis pengungsi Majapahit ada yang dinikahi oleh Sang Prabhu Dewa Niskala. Padahal menurut hukum yang berlaku pada masa itu, gadis itu berstatus sebagai gadis larangan, karena sudah bertunangan dan belum dibatalkan pertunangannya. Prabhu Susuk Tunggal menjadi murka. Karena dengan tindakan tersebut, jelas-jelas Prabhu Dewa Niskala sudah melanggar adat yang ditabukan oleh keluarga keturunan Prabhu Wangi, yang gugur di Bubat. Mereka bersumpah tidak akan melakukan perjodohan ataupun hubungan kekerabatan dengan Majapahit. Dengan itu, Sang Susuk Tunggal menyatakan putus hubungan kekerabatan, juga hubungan kenegaraan antara Sunda Pakuan dengan Galuh Surawisesa.
Lama-kelamaan ketegangan itu semakin meruncing, sehingga sesepuh kedua pihak yang berseteru berinisiatif untuk mengadakan musyawarah. Musyawarah tersebut menghasilkan sebuah keputusan, yaitu baik Prabhu Susuk Tunggal maupun Prabhu Dewa Niskala harus bersedia turun dari tahta mereka. Sebagai pengganti mereka berdua, maka disepakati Pangeran Jayadewata atau Raden Pamanah Rasa yang naik tahta pada tahun 1482 M.
Dia dinobatkan dua kali pada tahun yang sama. Pertama, ia dinobatkan di Galuh Surawisesa menggantikan ayahnya dengan gelar Prabhu Guru Dewataprana. Kedua, ia menerima tahta dari Prabhu Susuk Tunggal sebagaimana hasil musyawarah para pinisepuh, dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.95 Keputusan tersebut ditengarai menirhbulkan rasa tidak senang Sang Amuk Marugul terhadap Raden Pamanah Rasa yang semakin menjadi-jadi.Yang telah dipersiapkan Sang Prabhu Susuk Tunggal, dengan begitu saja menjadi hak dari Jayadewata.96
Ada kemungkinan terjadi kontak fisik atau peperangan di antara mereka, sebab tercium upaya “pembelotan” dengan memperkuat angkatan bersenjata. Demi pemantapan dan keutuhan kerajaan kiranya pantas hal tersebut dilakukan oleh Pamanah Rasa yang mengemban titah dari para pinisepuh untuk menyelamatkan kerajaan. Sunardjo meyakini peperangan itu terjadi jauh sebelum Pamanah Rasa dinobatkan, yakni pada tahun 1422 M tak lama setelah keduanya bertemu dalam sayembara. Sunardjo meyakini bahwa Japura jatuh dengan gugurnya Amuk Marugul dalam peristiwa tersebut, dan untuk selanjutnya Japura digabungkan dengan Singapura. Jayadewata melakukan aksi tersebut dalam wewenangnya sebagai penguasa Surantaka, Sindang Kasih, sekaligus putra mahkota kerajaan Galuh (Sunardjo 1983:23). Sementara Kartani (2004:3) berpendapat lain, ekses hasil musyawarah tersebut tidak separah itu, tapi adanya ketidakharmonisan keduanya patut diduga menimbulkan percikan api peperangan sangat kuat. Keputusan itu memang berat sebelah, alias kurang adil, namun Amuk Marugul dapat mengarifinya, ia memimpin Japura hingga masa senjanya.
Sebagai pemimpin Nagari Japura, Amuk Marugul meninggalkan banyak jasa yang tak terkira harganya, semisal optimalisasi Pelabuhan Japura, pembangunan Telaga Maharena Wijaya (Waduk Setu Patok), Telaga Darma (Waduk Darma) yang manfaatnya masih dapat dirasakan sampai saat ini.
Kepemimpinan Japura sepeninggal Amuk Marugul digantikan oleh putranya Kyai Ageng atau Ki Gedheng Japura, hasil dari perkawinan Amuk Marugul dengan Nyai Retna Ayu Mayang Sari, putri Ki Ageng Sanggarung Raja Losari. Ki Ageng Japura memiliki putri bernama Nyai Mas Matang Sari, kemudian ia dinikahi oleh Pangeran Panjunan. Dari perkawinan tersebut lahirlah Pangeran Muhamad atau Pangeran Pelakaran.97 Pangeran Muhamad berputra Pangeran Santri yang kemudian menikah dengan Nyai Mas Pucuk Umum dari Sumedang. Inilah cikal bakal kerajaan Sumedang Larang.
4. Nagari Caruban Larang
Sebagaimana diterangkan di atas, atas kemenangannya dalam sayembara adu jurit serta memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Syekh Quro, maka Raden Pamanah Rasa atau Pangeran Jayadewata berhak menikahi Nyai Mas Subang Larang atau Subang Karancang. Dapat dipastikan bahwa untuk selanjutnya Nyai Subang Larang diboyong ke Keraton Galuh Surawisesa, karena pada masa itu Pamanah Rasa belum menjadi Raja Pajajaran, bahkan Ningrat Kancana ayahnya belum lagi dilantik menjadi raja di Galuh. Dari perkawinannya mereka dikarumai tiga orang anak: Raden Walangsungsang yang lahir pada tahun 1423 M, Nyai Lara atau Rara Santang lahir pada tahun 1426 M, dan Raja Sengara lahir pada tahun 1428 M.
Pada tahun 1441 M Nyai Subang Larang jatuh sakit hingga meninggal dunia. Semenjak kematian ibunya, ketiga kakak beradik mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari saudara-saudara lain ibu (Atja 1986:32). Hal tersebut membuat gerah Raden Walangsungsang, hingga setahun kemudian (1442 M) ia keluar dari keraton melintasi hutan belantara.98
Dalam tradisi masyarakat Cirebon, antara lain tercatat dalam Babad Klayan” (Hadisutjipto 1989; Arismunandar dan Pudjiastuti 1996:224), digambarkan perjalanan yang dilaluinya begitu berat, tak berapa lama ia sampai di Gunung Merapi. Di situ berdiam seorang pandita penganut aliran Budhaprawa (Syiwa Buddha)100 yang sangat luhung bernama Sang Hyang Danuwarsih. Sang Hyang Danuwarsih adalah putra dari Sang Danusetra, pendeta agung di pegunungan Dieng.
Setelah berdiam cukup lama, Walangsungsang diberi berbagai benda pusaka101 (Rais 1986:18-19), serta dinikahkan dengan putri Sang Pendeta yang bernama Nyai Indang Geulis atau Nyai Indang Ayu yang diam-diam telah lama menaruh hati pada putra Prabhu Siliwangi tersebut (Rais 1986:15; Atja 1986:32).
Sementara itu, tanpa sepengetahuan orang tua, Nyai Rara Santang menyusul kakandanya. Setelah sekian lama ia berjalan tanpa memperdulikan keselamatan jiwa dan raganya, tibalah ia di Gunung Tangkuban Perahu.’ Di tempat itu ia bertemu dengan Nyai Indang Sukati. Kepada wanita tua itu, ia menceritakan maksud dan tujuan perjalanannya. Nyai Indang Sukati memberi petunjuk agar hal tersebut ditanyakan kepada Ki Ajar Sakti di Argaliwung. Sebelum Nyai Rara Santang melanjutkan perjalanan, Nyai Indang Sukati memberinya sebuah baju azimat bernama Baju Hawa Mulia.102 Tiada berapa lama, ia bertemu dengan Ki Ajar Sakti103 yang memberikan petunjuk jika ingin menemukan Raden Walangsungsang hendaklah ia menuju arah timur-selatan, ia akan menemukan Sang Kakak di Gunung Merapi.
Tanpa terasa tibalah Nyai Rara Santang di tempat yang dituju, tempat kakaknya berada, kedatangannya diterima dengan baik oleh Raden Walangsungsang, Sang Hyang Danuwarsih memberi saran agar untuk sementara tinggal di situ. Selanjutnya Sang Hyang Danuwarsih menyarankan agar ke dua putra-putri Prabhu Siliwangi untuk meminta petunjuk kepada Sang Hyang Nago di Gunung Numbang. Maka berangkatlah kedua kakak-beradik ke Gunung Ciangkui disertai istri Pangeran Walangsungsang, Nyai Indang Geulis.
Setibanya mereka di Gunung Cisangkui, mereka bertemu dengan Sang Hyang Nago. Kepadanya Pangeran Walangsungsang menuturkan seluruh maksud dan tujuan. Sang Hyang Nago mendengar penjelasan tersebut, lalu menerangkan bahwa jika ingin mencari perihal agama Islam hendaknya bertanya kepada Sang Hyang Naga di Gunung Numbang. Sebelum tiga orang tersebut pergi, Sang Hyang Nago memberikan berbagai ilmu, serta mewariskan sebuah senjata pusaka yang bernama Golok Cabang.104
Sesuai petunjuk Sang Hyang Nago, berangkatlah mereka bertiga ke Gunung Numbang. Sesampainya mereka di sana, Raden Walangsungsang menyampaikan apa yang menjadi maksud dan tujuan meraka bertiga kepada Sang Hyang Naga. Namun, seperti yang sudah-sudah, keinginan mereka untuk memperdalam agama Islam tak bisa terlaksana. Sang Hyang Naga hanya memberi pentunjuk agar mereka melanjutkan perjalanan ke Gunung Cangak105 dan menemui Ratu Bangau, ia pun tak lupa membekali Walangsungsang dengan berbagai ilmu dan benda pusaka.106
Ratu Bangau tinggal di satu pohon yang tingginya 500 m yang setiap dahan dan rantingnya dipenuhi oleh ribuan bangau. Terjadi sedikit perlawanan dari Ratu Bangau, namun oleh Walangsungsang akhirnya Ratu Bangau dapat ditaklukan (Rais 1986:11-20). Peristiwa perjumpaan Walangsungsang dengan Ratu Bangau diabadikan dalam lagu Cingcing Duwur, Kajongan, Pari Anom, Rambu Cede, Rambu Cilik, dan Bango Butak atau Rara Butak. 107
Setelah Ratu Bangau mengaku takluk, ia pun memberi petunjuk yang diharapkan Walangsungsang, bahwa apabila ia ingin mencari agama Islam, pergilah menuju ke Gunung Jati. Selain dari itu ia pun membekali dengan benda-benda pusaka (Rais 1986:21-22).108
Setelah sekitar tiga tahun belajar pada Syekh Datul Kafi di daerah Amparan Jati, Raden Walangsungsang bersama isteri dan adiknya, Nyai Lara Santang dianggap telah selesai mempelajari agama Islam. Oleh gurunya Raden Walangsungsang diberi nama Ki Somadullah. Mereka kemudian dianjurkan untuk mendirikan pedukuhan di Kebon Pesisir (sekarang Lemahwungkuk) yang pada waktu itu disebut dengan Tegal Alang-alang. Pedukuhan tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng Danusela yang bergelar Ki Gedeng Alang-alang.
Sekitar lima tahun kemudian, datanglah Ki Somadullah atau Raden Walangsungsang dari puncak Amparan Jati bersama istri, dan adik perempuannya. Setibanya di Kebon Pesisir, ia kemudian diberi gelar Pangeran Cakrabuwana.
Dikisahkan, bila malam dua pasangan suami istri, yakni Ki Gedeng Alang-alang beserta istri dan Ki Somadullah beserta istri, bekerja mencari rebon (udang kecil) dan ikan di sungai yang ada di sebelah timur rumahnya dan di pinggir pantai. Rebon dan ikan itu dipakai sebagai bahan untuk membuat terasi dan petis. Konon, terasi dan petis yang dihasilkan Ki Somadullah dikenal enak, dan semakin hari pembeli yang datang ke Dukuh Lemah Wungkuk untuk membeli barang itu bertambah banyak. Para pendatang bukan hanya dari daerah sekitar seperti Desa Pesambangan dan Muarajati, tetapi juga dari wilayah Sunda, bahkan dari negeri Arab dan Cina. Lama kelamaan mereka tidak sekedar membeli terasi dan petis, tetapi menetap di daerah ini; dan bahkan para pendatang ini ikut membuat terasi dan petis. Pada akhirnya, Dukuh Lemah Wungkuk sejak tanggal 14 paro-peteng bulan cetra 1367 Saka (1445/1446 M), disebut Dukuh Carbon, yang berasal dari kata ‘cai’ dan ‘rebon’.
Dari cerita yang beredar di masyarakat, disebutkan Ki Gedeng Alang-alang terpilih menjadi Kuwu Caruban yang pertama, sedangkan Ki Somadullah menjadi Pangraksabumi (wakil kuwu) dengan gelar Ki Cakrabumi. Pada tahun 1450 M Ki Somadullah mengerahkan orang-orang untuk bersama-sama mendirikan tajug (musholla) di daerah Jelagrahan109 dan membuat gubuk di sekitarnya. Pendirian tajug dan dibukanya perkampungan (sekarang menjadi Keraton Kanoman) tersebut merupakan salah satu tanda perkembangan Islam di Cirebon. Perkampungan ini pada saatnya menjadi cikal-bakal bagi kota Ckebon.
Sejak saat itu Pangeran Walangsungsang giat menyiarkan agama Islam di sekitar daerah Cirebon, sedangkan untuk daerah di luar Cirebon masih belum terjamah. Hal itu, disebabkan pada waktu itu Cirebon masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda, yang hampir sebagian masyarakatnya masih beragama Hindu dan Budha. la mendiami rumah dekat tajug&. Jelagrahan sambil mengajar agama Islam kepada penduduk.
Dengan meningkatnya jumlah penduduk Cirebon serta semakin banyaknya kaum muslimin dari luar Ckebon yang ingin memperdalam agama Islam, kondisi fia/Lg-Jalagrahan tidak dapat lagi menampung umat Islam dalam menjalankan berbagai kegiatan keagamaan di Cirebon, ttiaka perlu didirikan masjid baru dengan ukuran yang lebih besar. Untuk itulah dibangunlah masjid baru yang dinamakan Masjid Agung Ciptarasa. Masjid ini merupakan masjid resmi Kesultanan Cirebon. Menurut keterangan, masjid ini didirikan oleh Wali Sanga dan pembangunannya dipimpin oleh ahli bangunan dari Majapahit yang bernama Raden Sepat. Salah satu tiang masjid ini disebut “Saka Tatal” karena terbuat dari susunan ‘tatal’ (potongan-potongan kayu).
Ketika Ki Gedeng Alang-alang meninggal, atas persetujuan rakyat setempat, Ki Somadullah diangkat menjadi Kuwu Dukuh Lemah Wungkuk menggantikan mertuanya dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Beliau menjalankan industri rumah tangga yaitu membuat terasi dan petis.
Pada saat Ki Somadullah menjabat sebagai Kuwu Caruban II keadaan daerah ini semakin ramai. Selanjutnya oleh Pangeran Cakrabuana, Caruban ditingkatkan menjadi sebuah negeri dengan sebutan Caruban Larang. la juga membentuk laskar yang mengawal keamanan wilayah dengan segala kelengkapannya. Setelah mengambil harta peninggalan Ki Gedeng Tapa dari Kerajaan Singapura (± 4 km, sebelah utara makam Sunan Gunung Jati), Pangeran Cakrabuana mendirikan bangunan baru berupa istana yang diberi nama Keraton Pakungwati pada tahun 1452 M. Dengan dibangunnya Keraton Pakungwati ini, menandakan bahwa Cirebon sudah mulai berfungsi sebagai pusat pemerintahan lokal.
Gambar 10
Gerbang Keraton Pakungwati semasa Pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunung Jati
Menjelang timbulnya kekuasaan politik Islam Cirebon, kedudukan Ckebon masih berada di bawah Tohaan di Galuh (1475—1482). Baru setelah itu, Cirebon dipegang oleh Sunan Gunung Jati dan dapat melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Galuh Sunda Pakuan Pajajaran yang pada waktu itu rajanya adalah Sang Ratu Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja atau lebih dikenal dengan sebutan Prabhu Siliwangi (1482—1521). Mulai saat itu, Ckebon merupakan sebuah Kerajaan Islam yang berdaulat dan tidak lagi di bawah kekuasaan manapun. Pada saat ini, Ckebon sudah melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Sunda.
Eksistensi Cirebon yang semakin kuat dengan berkembangnya agama Islam pada akhknya berbenturan dengan kedaulatan Kerajaan Galuh. Satu demi satu daerah kekuasaan Galuh seperti Palimanan, Cangkuang, Luragung (Kuningan), Rajagaluh dan Talaga (Majalengka), dan Cimanuk (Indramayu) ditaklukkan oleh Kerajaan Islam Ckebon.
5. Periode Kerajaan
Buku Tjarita Tjaruban (lihat cat. 128) menguraikan silsilah dua pria, yang diperkkakan menjadi pendiri kerajaan Islam Ckebon pada paruh pertama abad ke-16. Yang tertua dari kedua pria itu lahir di Mekah dari perkawinan seorang Raja Arab, Maulana Sultan Mahmud dari Mesk dengan Nyai Lara Santang bernama Syarif Hidayat. la hidup bersama dengan kakak laki-lakinya yaitu Raden Walang Sungsang dari Pakuan Padjajaran tempat ayahnya memerintah sebagai raja. Setelah ibu mereka meninggal, mereka pergi berkelana sampai ke Mesk dan Mekah. Syarif Hidayat lalu kembali ke Jawa lewat Gujarat dan Pasai untuk menyebarkan agama Islam. Dengan pemberian gelar sebagai Susuhunan Jati, ia lalu menjadi orang suci di Jawa Barat, serta menjadi moyang bagi dinasti Kerajaan Cirebon, dan di situlah ia dapat memerintah karena ia cucu Prabhu Siliwangi. Tokoh kedua diberi nama Fadhilah Khan, lahir pada tahun 1409 M di Pasai, sebagai anak Maulana Makhdar Ibrahim dari Gujarat.
Ada beberapa pendapat tentang Fadhilah. Atja (1986) menyamakan Fadhilah dengan Falatehan dan Tagaril. Dari Pasai, Fadhillah kemudian bekerja sebagai kepala pasukan yang bertempur melawan orang-orang Portugis di Sunda Kelapa. Sementara Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa moyang dinasti raja-raja Cirebon, orang suci di Jawa Barat itu adalah orang Pasai (De Graaf dan Pigeaud 1974: 278; 1985: 141). Pada tahun 1524 ia menikah dengan adik raja dan pada sekitar tahun 1525 lahirlah seorang anak yang diberi nama Hasanuddin. Bersama orang tuanya, ia dibawa ke Banten dan menjadi raja dalam usia dua tahun.
Selanjutnya daerah kekuasaan Sumedang di sebelah utara seperti Kandanghaur, Lelea dan Haurgeulis (Indramayu), dan Sindangkasih (Majalengka) satu demi satu dikuasai kerajaan Islam Cirebon. Dalam penaklukan daerah Sindangkasih dan Kandanghaur ini banyak berperan dua orang cucu Sunan Gunung Jati: Pangeran Sentana Panjunan dan Pangeran Wira Panjunan. Daerah Galuh dan Sumedang sendiri tetap merdeka sehingga ditundukkan oleh Sultan Agung Mataram yang berhasil menguasai wilayah antara Citanduy dan Cisadane pada tahun 1620-an.
Dengan demikian, Kerajaan Cirebon di bawah pimpinan Sunan Gunung Jati dapat dikatakan mencapai puncak kejayaannya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh R.A. Kern (1973: 21), Ckebon pernah mengalami masa yang sangat bahagia pada abad-abad pertama, dapat mengembangkan dirinya dalam suasana damai, dan bisa tumbuh dari suatu tempat menetap untuk pertama kali menjadi suatu negara yang makmur. Pendapat R.A. Kern diperkuat oleh F. de Haan (1912:33-41) bahwa Cirebon telah berhasil melebarkan wilayah kekuasaannya dan sekaligus dapat mengislamkan daerah-daerah pedalaman Sunda seperti Rajagaluh (1528) dan Talaga (1530).
Keberhasilan Sunan Gunung Jati tidak lepas dari sifat dan sikap serta tindakan seorang pemimpin tradisional yang berlandaskan agama, yang mencakup:
1. percaya pada takdir Tuhan,
2. memiliki tekad suci dan kemauan sendiri,
3. sarat dengan ilmu pengetahuan,
4. mempunyai wewenang dan hak untuk melaksanakan tugas,
5. memiliki tipe laki-laki sempurna dengan tujuan hidup kepada hal-hal yang bersifat agama, teguh dalam pendirian, dan taat kepada Tuhan,
6. memiliki benda atau senjata berkekuatan azimat, baik dari orang tuanya maupun orang lain, seperti shalawat nabi, keris, tongkat, jubah hijau, dan pakaian (kelambu dan ikat pinggang).
Setelah Cirebon dipimpin oleh Sunan Gunung Jati, kemajuannya tidak hanya dalam bidang keagamaan dan pemerintahan, akan tetapi di bidang sosial ekonomi pun maju. Di bidang ekonomi dan perdagangan, Cirebon merupakan negara maritim yang pada waktu itu banyak dikunjungi oleh negara luar. Keadaan itu sangat menguntungkan bagi masyarakat setempat untuk berdagang dan berlayar. Untuk lebih meningkatkan perdagangan, maka atas petunjuk Sunan Gunung Jati dibangun pasar yang letaknya tidak jauh dengan pantai (berhadapan dengan Keraton Kanoman).
Pada kurun waktu antara tahun 1528-1552, Sunan Gunung Jati menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Pasarean, putra Sunan Gunung Jati dengan Nyai Tepasari. Sedangkan Sunan Gunung Jati sendiri lebih mengkhususkan dari dalam masalah syiar Islam ke daerah pedalaman. Sunan Gunung Jati wafat pada tahun 1568 Masehi malam Jumat kliwon dalam usia 120 tahun dan dimakamkan di Pasir Jati, bagian teratas kompleks makam Gunung Sembung, letaknya di bagian utara, jaraknya kira-kira 5 km dari Kota Cirebon sekarang.
6. Periode Panembahan
Pengganti Sunan Gunung Jati adalah Pangeran Mas putra Pangeran Swarga. la menduduki tahta Kesultanan Cirebon dengan gelar Panembahan Ratu I. Pada masa Panembahan I, Cirebon tidak lagi melebarkan sayapnya ke daerah-daerah lain, karena pada waktu itu posisi Cirebon terjepit di antara dua kerajaan besar, yaitu Banten di barat dan Mataram di timur. Sebenarnya Cirebon bisa saja diruntuhkan baik oleh Banten maupun oleh Mataram. Akan tetapi, kedua kerajaan tersebut masih menghormati Ckebon. Banten menghormati Ckebon sebagai tahta leluhurnya, yaitu Sunan Gunung Jati, sedangkan Mataram memandang Ckebon sebagai guru dan keramat. Bukan mustahil Ckebon yang selalu bersahabat dengan Mataram dalam banyak hal menjadi teladan bagi Mataram. Mungkin Sitihinggil yang terdapat di Keraton Cirebon pada tahun 1625 ditiru oleh Susuhunan Mataram untuk keratonnya, begitu juga makam keramat Sunan Gunung Jati dipakai sebagai contoh untuk makamnya di Imogiri.
Pada masa Panembahan Ratu I, Cirebon lebih dekat dengan Mataram. Salah satu penyebabnya adalah Putri Ratu Ayu Sakluh yang merupakan kakak perempuan Panembahan Ratu I menikah dengan Sultan Agung Mataram. Dari pernikahan itu, Sultan Agung berputera Susuhunan Amangkurat I. Kelak salah seorang putri Susuhunan Amangkurat I bersuamikan Panembahan Girilaya dari Cirebon. Selain itu, menurut F. De Haan (1912:38), kedekatan Cirebon dengan Mataram juga ditandai dengan dibangunnya kuta (dinding) yang mengitari Keraton Pakungwati. Kuta yang mengelilingi Keraton Cirebon itu dibangun kurang lebih pada 1590 dan pembangunannya merupakan persembahan Senapati Mataram terhadap Panembahan Ratu I Cirebon.
Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu I, Keraton Pakungwati mengalami pemekaran pada tahun 1529. la membangun bangunan baru, sedangkan bangunan lama dijadikan Dalem Agung, yaitu tempat para sesepuh bermusyawarah.
Sepeninggal Panembahan Ratu I, pada 1649 ia digantikan oleh cucunya yang bernama Pangeran Putra atau disebut juga Pangeran Rasmi atau Panembahan Adiningkusuma. la dinobatkan sebagai kepala pemerintahan sejak tahun 1650, kemudian ia memperoleh gelar Panembahan Ratu dan disebut Panembahan Ratu II atau Panembahan Ratu Akhir. Namun, sesungguhnya yang lebih berhak menduduki jabatan itu adalah Pangeran Sedang Gayam, putra Panembahan Ratu I, namun ia meninggal dunia terlebih dahulu. Selanjutnya Cirebon di bawah pimpinan Panembahan Girilaya (1649-1667).
Gambar 11
Titi mangsa/ Sengkalan pada Gapura Sitihinggil bagian dalam
Gambar 12
Gapura Sitihinggil Keraton Kasepuhan
Setelah diangkat menjadi penguasa Cirebon, menurut berita dari Residen Cirebon (pada tanggal 1 Oktober 1684), Panembahan Girilaya beserta kedua puteranya, yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kertawijaya, dipanggil oleh Susuhunan Amangkurat I untuk berkunjung ke Mataram dalam rangka menghormati pengangkatannya sebagai penguasa Cirebon. Akan tetapi, selepas upacara tersebut Pangeran Girilaya beserta kedua puteranya tidak diperkenankan kembali ke Cirebon oleh Susuhunan Amangkurat I, meski hak sebagai raja Cirebon tetap diakui. Hal itu berlangsung selama 12 tahun, sampai Panembahan Girilaya meninggal dunia.
Tindakan itu merupakan kebijakan politik pemerintahan Susuhunan Amangkurat I terhadap penguasa-penguasa pesisir. Mataram di bawah Susuhunan Amangkurat I berusaha mencurahkan seluruh tenaga untuk dapat mengendalikan penguasa-penguasa di daerah pesisir guna kepentingannya. Cara yang dipergunakan oleh Mataram itu adalah dengan jalan menjadikan penguasa-penguasa pesisir sebagai abdi istana. Hal itu, dimaksudkan agar penguasa daerah pesisir yang cenderung bersikap terbuka terhadap pengaruh luar menjadi kurang membahayakan dan sekaligus kekuasaan mereka bisa diawasi lebih ketat.
Selama Pangeran Girilaya dan puteranya berada Mataram, pemerintahan di Cirebon sehari-hari dipegang oleh putera yang ketiga, yaitu Pangeran Wangsakerta. Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Pangeran Wangsakerta selalu diawasi dengan ketat oleh orang-orang Mataram yang ditugaskan oleh Susuhunan Amangkurat I. Hal itu, menjadikan gerak langkah Pemerintah di Cirebon tidak leluasa.
Pada tahun 1662 M di Mataram sedang terjadi huru-hara mempere-butkan tahta kerajaan, dan Panembahan Girilaya merupakan salah seorang kepala pemerintahan yang menjadi korban pembunuhan. Bahkan kedua orang anaknya yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kertawijaya menjadi tawanan Pangeran Trunojoyo yang melakukan penyerangan ke Mataram. Pada tahun itu juga, Panembahan Girilaya meninggal dunia di Mataram, dan dimakamkan di sebuah bukit yang bernama Girilaya, letaknya di sebelah timur Wonogiri, kurang lebih 6 km sebelah selatan kompleks makam raja-raja Mataram “Imogiri” Yogyakarta.
Sekitar tahun 1677, di Kerajaan Cirebon mulai tampak tanda-tanda kemunduran, Raden Trunojoyo mengadakan serangan terhadap Keraton Mataram. Serangan bukan saja berhasil menduduki ibukota Mataram, melainkan juga dapat membebaskan para pangeran Cirebon yaitu Pangeran Martawijaya dan Kertawijaya dari cengkraman Sunan Amangkurat I. Selanjutnya, para pangeran Cirebon itu dibawa oleh pasukan Raden Trunojoyo ke Kediri, kemudian diambil oleh utusan Sultan Ageng Tirtayasa ke Banten.
Pada kesempatan itu pangeran-pangeran Cirebon mendapat anugrah gelar sultan. Sebelum kembali ke Cirebon, pangeran-pangeran Cirebon tersebut dilantik terlebih dahulu oleh Sultan Ageng Tirtayasa sebagai penguasa di Cirebon, Pangeran Muhammad Samsudin Martawijaya sebagai Sultan Sepuh I Keraton Kasepuhan Cirebon; Pangeran Muhammad Badridin Kartawijaya sebagai Sultan Anom I Keraton Kanoman Cirebon; dan Pangeran Wangsakerta sebagai Panembahan Cirebon.
Menurut Babad Cirebon edisi Brandes (dalam Ekadjati, 1978:74), setelah pelantikan, pangeran-pangeran Cirebon itu tiba kembali di Cirebon pada tahun 1678. Dengan pengakuan Sultan Ageng, maka putra-putra Panembahan Ratu II, Pangeran Kertawijaya dinobatkan menjadi Sultan Anom I bergelar Abil Makarim Muhammad Badriddin dan Pangeran Martawijaya dinobatkan menjadi Sultan Sepuh I dengan gelar Abil Makarim Muhammad Syamsuddin, sedangkan Pangeran Wangsakerta (Raden Godong) menjadi Panembahan Cirebon I dengan gelar Muhammad Nasharuddin. Dengan demikian, daerah Cirebon terbagi menjadi tiga bagian kekuasaan dan dimulailah periode yang baru bagi Ckebon khususnya dalam aspek pemerintahan.
7. Periode Kesultanan
Dengan dibaginya Cirebon menjadi tiga kesultanan berarti adanya perubahan yang drastis dalam struktur pemerintahannya. Namun dalam sumber sejarah lokal tidak begitu dijelaskan daerah mana yang masuk Kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Yang lebih menarik lagi ialah perihal hubungan berdasarkan derajat tertentu dalam kekeluargaan di Kesultanan Cirebon menjadi bahan pertikaian yang berlarut-larut. Pada tanggal 3 November 1685, Francois de Tack berangkat dari Batavia menuju Ckebon. Setibanya di Cirebon, masalah yang pertama kali diatasi ialah meredakan pertikaian di antara penguasa-penguasa Cirebon. Kemudian pada tanggal 4 Desember 1685 ditandatangani suatu perjanjian baru antara Kompeni dengan Cirebon. Pihak Cirebon oleh Sultan Sepuh I, Sultan Anom I, dan Pangeran Tohpati atau Panembahan Cirebon I. Salah satu keputusan penting dari perjanjian itu menyatakan bahwa dalam hubungan-hubungan yang sifatnya keluar, Ckebon hanya diwakili oleh seorang syahbandar yaitu Tumenggung Raksanegara. Hal itu dimaksudkan agar perpecahan yang terjadi di Ckebon tidak diketahui oleh pihak asing.
Pada waktu Francois Tack mengadakan pendekatan-pendekatan terhadap penguasa-penguasa Cirebon yang sedang berselisih paham, ternyata sikapnya lebih condong kepada Sultan Anom I. Hal itu menimbulkan kecurigaan bagi yang lainnya. Kecurigaan-kecurigaan tersebut akhirnya menimbulkan kembali pertikaian di antara para penguasa Ckebon. Untuk mengatasi hal tersebut, Kompeni di Batavia mengirimkan Johanes de Hartog. Pada tanggal 8 September 1688 diadakan kontrak persetujuan antara Johanes de Hartog yang mewakili Kompeni dengan penguasa-penguasa Cirebon. Akan tetapi persetujuan tersebut tidak banyak membawa hasil, terlebih pada tahun 1697 Sultan Sepuh I meninggal dunia. Dengan meninggalnya Sultan Sepuh I maka masalah yang terjadi di Kesultanan Cirebon semakin panjang. Keadaan yang demikian itu merupakan kesempatan yang baik bagi Kompeni untuk semakin dalam menanamkan pengaruhnya di Cirebon.
Pada tahun 1697 Sultan Sepuh I (Martawijaya) wafat. la meninggalkan dua orang putera, yaitu Pangeran Dipati Anom dan Pangeran Aria Cirebon (Van Den Berg 1902:81 :ENI 1917:1:476). Sesudah itu, kekuasaan Kesultanan Kasepuhan dipecah menjadi dua: Keraton Kasepuhan di bawah Pangeran Dipati Anom dan Keraton Kacirebonan di bawah Pangeran Aria Cirebon.
Pada tanggal 5 Oktober 1705, terjadi kesepakatan antara Susuhunan Pakubuwana I dengan Kompeni yang mengakibatkan diputuskannya batas wilayah kekuasaan Kompeni, dari Cilosari di sebelah utara dan Cidonan di sebelah selatan. Oleh sebab itu, tidak hanya seluruh Priangan, melainkan juga wilayah Ckebon menjadi daerah kekuasaan Kompeni. Dalam surat keputusan itu Pangeran Aria Ckebon mendapat perintah :
1. Kepala-kepala daerah Priangan harus menghentikan pengambilan wilayah atau penduduk dan harus tetap berdasarkan alokasi yang telah dimilikinya.
2. Diwajibkan menangkap semua penjahat dan perampok; serta pengambilan wilayah atau penduduk harus tetap berdasarkan alokasi yang telah dimilikinya.
3. Setiap distrik harus memajukan penanaman padi.
4. Para kepala dan penduduk Priangan diwajibkan bertanam kapas, lada dan nila; setiap tahun harus dijual kepada Kompeni dan dibayar tunai dengan harga yang telah ditetapkan.
5. Rakyat Priangan harus diperintah berdasarkan adat kebiasaan dan hukum pribumi Jawa, tetapi para bupati dapat naik banding kepada Pemerintah Tinggi (Kompeni) apabila kepada mereka dijatuhi hukum denda atas kesalahannya.
Adanya peralihan kekuasaan tersebut, wilayah Nusantara benar-benar telah dijajah oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Perubahan yang tampak sekali dalam sistem pemerintahan salah satunya di Jawa Barat. Terlebih-lebih pada saat di bawah pemerintahan Daendels, sikap dan tindakannya yang kejam dan otokratis membawa rakyat ke jurang kemiskinan baik lahir maupun batin. Walaupun hanya berjalan selama tiga tahun, namun dampak masa pemerintahan Daendels sangat memprihatinkan, termasuk nasib para bupati atau sultan setempat. Sepertinya para bupati dan sultan berada di bawah perintah dan bekerja untuk kepentingan pemerintah kolonial semata-mata.
Pada tanggal 2 Februari 1809, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan peraturan khusus yang mengatur pembagian wilayah kekuasaan dan jabatandi Cirebon (Reglementofhetbeheer van Chetibonche Landen), yaitu
1. Bagian utara disebut wilayah Kesultanan Cirebon, yang meliputi daerah Kuningan, Cirebon, Indramayu, dan Gebang.
2. Bagian selatan yang disebut tanah-tanah Priangan, yang meliputi wilayah Kabupaten Limbangan, Sukapura, dan Galuh.
Sistem birokrasi di kerajaan-kerajaan tradisional di Jawa pada umumnya mengenal birokrasi di tingkat pusat dan di tingkat daerah. Di tingkat pusat, biasanya terdapat seorang raja atau sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dibantu oleh para pangeran yang di antaranya terdapat putra mahkota. Selain itu juga terdapat beberapa pejabat yang membawahi bidang kehakiman, keagamaan, dan bidang-bidang lainnya. Bkokrasi di daerah pada umumnya mencontoh bkokrasi yang ada di pusat hanya tingkatannya yang berbeda (Kartodkdjo, dkk, 1975:198). Sistem birokrasi seperti itu juga berlaku di Kesultanan Cirebon. Oleh karena itu, pada dasarnya struktur bkokrasi di Kesultanan Ckebon tidak banyak berbeda dengan di kerajaan-kerajaan tradisional lainnya, khususnya di Pulau Jawa. Adapun program-program kepemerintahan yang terpenting ialah pengembangan syiar Islam ke daerah-daerah pedalaman, baru kemudian masalah ekonomi dengan titik berat pada sektor perdagangan, dan terakhir memperkuat sistem pengendalian pemerintahan di pusat dan daerah dengan jalan menem-patkan para kerabat dan ulama sebagai penguasa wilayah (Sunardjo, 1983 : 61).
Saat ini, kharisma yang dimiliki oleh sultan-sultan Cirebon merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sultan-sultan Ckebon memiliki status sosial tinggi, dan dianggap sebagai pemangku adat. Sementara kekuasaan politik sudah tidak dimilikinya sejak tahun 1813, yaitu sejak Raffles mencabut hak dan kewajiban sultan-sultan Cirebon untuk ikut serta dalam pemerintahan. Akan tetapi meskipun sultan-sultan Cirebon sudah tidak lagi mempunyai kekuasaan politik, narnun mereka tetap berusaha untuk dapat melestarikan kharisma yang telah diturunkan dari leluhurnya. Usaha untuk melestarikan kharisma tersebut antara lain :
1. Tetap mempertahankan pemakaian gelar-gelar seperti pangeran, sultan, dan sebagainya.
2. Membuat silsilah yang dimulai dari Nabi Adam hingga para pembesar Cirebon.
3. Mengembangkan kebudayaan keraton.
4. Mengumpulkan benda-benda pusaka.
Gambarl3
Macan Putih sebagai simbol adanya keterikatan antara Cirebon dengan Pajajaran
Catatan Akhir:
38 Pikiran Rakyat edisi Selasa (Pon) 15 Mei 1990.
39 Di Filipina Selatan disebut “tarsilah” (Majul 1977.1989).
40 Dalam pendahuluannya Salana (2001:11) memberi keterangan tentang sebagian hasil karya Pangeran Wangsakerta di antaranya sebagai berikut:
Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara 25 jilid.
Pustaka Pararatwan 10 jilid.
Pustaka Negara Kretabhumi 12 jilid.
Pustaka Katosana 24 jilid.
Ratu Mandala Jawa Kulwan 75 jilid.
Serat Kidung 18 jilid.
Serat Prasasti 35 jilid.
Widyasastra Pradesa 84 jilid.
Kathapustaka Rajya-rajya Salakanagara 34 jilid.
Kathapustaka Raja-raja Jawa Kulwan Bang Kidul 65 jilid.
Kathapustaka Raja-raja Sanjayawamsa, Syailendrawamsa, Kalinggawamsa 68 jilid.
Salinan naskah-naskah Mpu Prapanca 10 jilid.
Jumlah keseluruhan yang pernah dimiliki ataupun disusun Kerajaan Cirebon semuanya, termasuk naskah—naskah keagamaan, Ramayana, Bharata Yudha serta naskah-naskah rontal/keropak Zaman Panembahan Ratu keseluruhannya berjumlah 1.434 jilid, hal ini termuat dalam RRBN Parwa 5 Sargah 5. Siapakah sesungguhnya tokoh Panembahan Gusti ini? Akan dijelaskan kemudian.
41 Tim ini terdiri dari tujuh atau yang lebih dikenal Adyaksa Sapta atau ‘Jaksa Pepitu’ yang masing-masing memiliki tugas tersendiri, yang terdiri dari:
Ki Raksa Nagara, sebagai penulis naskah dan melayani sekalian peserta, juga memeriksa dan meneliti naskah-naskah yang telah dikumpulkan.
Ki Anggadiraksa, ia bertindak seabagai wakil Ki Raksa Nagara sebagai penulis merangkap sebagai bendahara. Dialah yang mempersatukan hasil pemeriksaan atau penelitian. Kalau tidak mengandung kesalahan, lantas diserahkan kepada Pangeran Wangsakerta selaku penanggung jawab.
Ki Purba Nagara, bertugas untuk mencari dan mengambil bermacam-macam tulisan dari berbagai negara, yang akan dipilih. Dia mendapat tugas demikian, karena memiliki pengetahuan tentang riwayat masa lampau, terutama tentang timbul tenggelamnya suatu kerajaan di Nusantara.
Ki Singha Nagara, sebagai pemimpin yang menjaga keraton, melindungi semua peserta dan utusan yang datang dari berbagai negara. Peserta masing-masing membawa pasukan sebanyak 70 orang.
Ki Anggadiprana, bertugas sebagai duta keliling ke seluruh kerajaan, negara, wilayah, dan desa. Merangkap sebagai juru bahasa di antara para peserta, juru bicara dalam perundingan.
Ki Anggaraksa, tugas pokoknya sebagai pemimpin dapur, yang menyediakan berbagai makanan dan minuman bagi seluruh peserta.
Ki Nayapati, tugas pokoknya menyediakan penginapan dan kendaraan, di samping sebagai pemimpin pengawal. (Atja dan Ekadjati 1987:17).
42 Para utusan tidak hanya membawa kitab-kitab yang berisi tentang sejarah bahkan ada pula yang membawa kitab berisi tata cara bersenggama atau bercinta (RRBN 1677: 6).
43 Diperkirakan seminar diselenggarakan tidak hanya sekali, melihat Pustaka NK baru selesai pada 22 tahun kemudian (1699 M).
44 Referensi Purwayuga diambil dari kitab Purwaka Samasta Bhuwana atau Asal Mula Seluruh Alam Raya, karya Dharmakirti seorang pujangga / mahakawi dari Sriwijaya. Dibuat di Palembang pada tahun 1020 M dan ditulis dalam bahasa Melayu kuno. Pada tahun 1517 M Panembahan Losari menyalinnya. Pada tahun 1676 M Pangeran Wangsakerta mengalihbahasakan ke dalam bahasa Cirebon kuno (bahasa Jawa pertengahan). Isinya sangat menarik, karena, walau masih harus diteliti lebih lanjut, Purwayuga sudah membahas yang orang sebut sebagai teori evolusi Charles Darwin, dan kemiripan dengan data tentang kepurbakalaan yang ada.
45 Dalam ilmu geologi zaman tersebut termasuk dalam Zaman Pleistosen/ Zaman Diluvium. Zaman ini disebut pula Zaman Glasial/ Zaman Es, karena pada masa ini es Kutub Utara mencair sehingga menutupi sebagian Eropa Utara, Asia Utara, dan Amerika Utara. Suhu temperatur masa ini berubah-ubah sangat drastis, pada masa inilah terciptanya Dangkalan Sunda dan Dangkalan Sahul. Sedangkan menurut arkeologi disebut sebagai Zaman Paleolitikum (Zaman Batu Tua). Ditemukan bukti-bukti arkeologis bahwa pada masa itu hidup Meganthropus paleojavanicus, fosilnya ditemukan oleh G.H.R. Von Konigswald di daerah Sangiran pada tahun 1941. Pada saat dan tempat yang sama ia menemukan Pithecanthropus robustus yang usianya lebih muda dibanding Meganthropus. Antara tahun 1936-1941 Konigswald bersama dengan E Weidenrich di daerah lembah Bengawan Solo antara lain Mojokerto berhasil menemukan tengkorak balita Pithecanthropus, mereka menamainya sebagai Pithecanthropus mojokertensis (Badrika, 2000:8).
46 Dwipantara adalah nama lain dari Nusantara. O.W. Wolter meyakini bahwa yang dimaksud Dwipantara adalah kepulauan Indonesia, hal ini ia sandarkan pada sebuah kitab yang berjudul Raghuvamsa karangan Kalidasa yang menurut para ahli hidup sekitar 400 M, disebutkan dalam kitab itu bahwa ‘lavanga’ (cengkeh) berasal dari Dwipantara (M.D. Poesponegoro dan N. Notosutanto 1993:21).
47 Orang Jawa biasa menyebut apapun yang datang atau mengarah ke laut sebagai dari atau ke utara. Ingat kepada gelar Raja Demak yang kedua Dipati Unus? Pangeran Sabrang Lor. Gelar itu muncul setelah ia menyerang Malaka 1512-1513 M PC Graaf dan Th. Pigeaud, 1974:49). Para pendatang yang dimaksud kemungkinan besar adalah para pendatang dari Asia, mereka ke Nusantara dengan betung, rakit-rakit, dan getek yang sangat sederhana. Hanya diberi atap sederhana untuk melindungi dari cuaca yang ganas.
48 Perlu penelitian lebih lanjut, apakah makhluk- makhluk yang disebutkan dalam RRBN 1. 1 sesuai dengan apa yang telah diungkap oleh para arkeolog? Seandainya itu betul, maka hasil kerja Pangeran Wangsakerta tersebut telah mendahului cendekiawan Eropa beberapa abad! Atja dan Ekajati (1987:20) mengatakan bahwa pada masa yang sama (abad 17) bangsa Eropa pun belum pernah menyibukkan diri dalam penelitian prasejarah di Asia Tenggara. Coedes (1968:4:61-262) telah mencatat, bahwa perkembangan prasejarah untuk wilayah Asia Tenggara yang dikerjakan oleh orang Eropa, baru dilakukan pada abad ke-20 M. Mereka antara lain: Henry Mansury (1939), Madeleine Colani (1935-1940), Entienne Patte (1923-1932).
49 Pada tahun 1935 di daerah Pacitan von Konigswald menemukan alat-alat dari batu atau disebut kapak genggam, karena cara penggunaannya dengan digenggam. Kapak ini masih dikerjakan secara kasar dan belum dihaluskan, para ahli menyebutnya chopper (artinya alat penetak). Peralatan itu merupakan bagian dari peradaban kebudayaan Pacitan. Selain di Pacitan, alat sejenis ditemukan pula di daerah Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera selatan) (Badrika 2000:8).
50 Ada kemungkinan yang dimaksudkan tempat bermukim mereka adalah yang kita kenal sebagai dua kebudayaan Zaman Paleolitikum, yakni kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
51 Menurut tradisi awal tarikh Saka dimulai sejak Aji Saka datang ke Jawa, ia merupakan utusan raja Rum (Romawi), tradisi meyakini peristiwa itu terjadi sekitar tahun 78 M.
52 Kitab Ramayana karya Valmilri menyebutkan nama Yawa Dwipa. Kitab yang amat terkenal ini mengisahkan tentara kera yang bertugas mencari Sita di negeri-negeri sebelah timur dengan memeriksa Yawa Dwipa, pulau yang dihiasi oleh tujuh kerajaan. Pulau ini adalah pulau emas dan perak (M.D. Poesponegoro dan N. Notosutanto 1993:5). Orang bisa menerima bahwa kisah Ramayana secara lisan telah ada sejak 800 SM dan mungkin sekitar abad ke-2 SM hingga abad ke-2 M. Ini pun sesungguhnya masih dugaan kasar (P. Lal 1980: XXXIX).
53 Van Leur berpendapat barang-barang yang diperdagangkan dalam per-dagangan internasional adalah barang-barang benilai tinggi. Misalnya logam mulia, berbagai jenis tenunan, barang—barang pecah belah, di samping bahan baku yang diperlukan untuk kerajinan. Lainnya adalah bahan ramuan untuk wewangian dan obat-obatan. Jelas bahwa barang-barang tersebut memerlukan masyarakat dengan taraf perkembangan tertentu sebagai konsumen (M.D. Poeponegoro dan N. Notosutanto 1993:10).
54 N.J. Krom mengatakan, “… orang tidak perlu membayangkan suatu peradaban yang luar biasa yang dapat berdiri berhadapan setaraf dengan peradaban Hindu. Tetapi yang jelas, bahwa mereka (orang Hindu) tidak tiba di tengah-tengah orang-orang biadab.” Van Leur menganggap pernyataan Krom tersebut sangat negatif (M.D. Poesponegoro dan N. Notosutanto 1993: 21).
55 Pemuja Dewa Wishnu, dewa pemelihara, salah satu dari Trimurti.
56 Pemuja Dewa Syiwa, dewa perusak, salah satu dari Trimurti.
57 Aki Tirem (RRBN 1.1:103-104) dirunut garis keturunannya hingga generasi ke-9 namanya Datuk Waling bermukim di Hujung Mendini. Seorang yang mempunyai jabatan datuk (datu), menurut Schrieke (1974:6-7;12-13), adalah pemimpin dari tipe masyarakat yang bersahaja, tersusun atas dasar persekutuan. Tetapi masyarakat di pesisir Jawa Barat itu bukanlah masyarakat agraris, melainkan masyarakat pantai. Biasanya sebagai nelayan dan pedagang, tidak cenderung sebagai suatu masyarakat agraris. Meskipun demikian, ternyata masyarakat yang disebutkan oleh para penyusun RRBN 1.1 ini berpedoman pada pimpinan kepala-kepala keluarga, diantaranya sebagai “primusinterpares” (nomor satu diantara sesamanya), yang mewujudkan satu kesatuan masyarakat (Atja dan Ekadjati, 1987: 30).
58 Pada masa pemerintahannya pernah terjadi penyerangan oleh sekelompok bajak laut Cina namun berhasil diusir oleh angkatan laut Salakanegara. Sang Prabhu bahkan terjun langsung dalam operasi itu.
59 Sang Prabhu sesungguhnya menantu dari Dewawarman II, ia suami dari Dewi Tirtha Lengkhara. la sendiri sebenarnya ratu di Ujung Kulon.
60 Suami dari anak tertua raja sebelumnya yakni Rani Mahisasura Mardani Warmandewi. la gugur di laut dalam suatu peperangan mengadapi perompak. la gugur setelah terkena panah perompak tepat di punggungnya.
61 Setelah Dewawarman VII wafat, terjadi upaya kudeta yang dilakukan oleh panglima Krodha Maruta, putra paman sang raja yang menjadi pembesar di India, dan upaya itu berhasil. Namun Krodha Maruta tidak lama menikmati hasil usahanya karena beberapa bulan setelah ia berhasil merebut kekuasaan ia tewas secara naas tertimpa batu dari atas bukit.
62 la merupakan suami dari anak tertua Dewawarman VII yakni Sang Rani Sphatikarnawa Warmandewi. la sendiri merupakan pengungsi dari India. Tahun 268 S/346 M bersama dengan orang tuanya dan diiringi oleh para abdinya yang setia mereka datang ke Jawa Barat dari India setelah negaranya ditaklukkan oleh Maharaja Samudra Gupta Raja Magadha pemimpin wangsa Maurya.
63 Jauh beberapa abad sebelumnya, yakni pada masa Tarumanegara tercatat sebuah nagari bernama Nagari Manukwara yang merupakan bawahan dari Tarumanegara. Nagari itu terletak di tepian sungai Cimanuk. Raja ketiga Indraprahasta (wilayahnya dikemudian hari menjadi Wanagiri, lantas Caruban Girang) bernama Wiryabanyu pernah menyunting puteri dari Manukwara yang bernama Dewi Nilamsari. Sayang nama penguasa Manukwara sendiri tetap tak diketahui begitu pula kehancurannya. Diperkirakan Manukwara hilang tersapu oleh banjir lumpur yang amat dahsyat yang sering terjadi di sungai Cimanuk dahulu. Terakhir banjir besar pada 23 November 2001, akibat banjir itu empat rumah roboh, ribuan hektar tambak dan sawah tergenang air (sumber: Mitra Dialog edisi Sabtu-Senin 24-26 November 2001/Ramadhan 1442 H. Nomor 026 tahun V).
64 Sunda dan Galuh berkali-kali mengalami pegat balen (bersatu berpisah). Tahun 612 M Wretikandayun memisahkan Galuh dari induknya Tarumanagara yang kemudian menjadi Kerajaan Sunda. Tahun 723 M Sang Sanjaya menyatukan Galuh Sunda. Tahun 732 M di bawah Sang Tamprean Waja putra Sanjaya Galuh pisah lagi dari Sunda. Tahun 852 M Rakeyan Wuwus penguasa Mataram menyatukan kembali Sunda dan Galuh, Dahyang Guru Wisuda bertindak sebagai wakilnya di Galuh. Tahun 966 M Prabhu Jayadrata mengikrarkan Galuh sebagai Kerajaan yang berdiri sendiri. Tahun 1152 M, oleh Prabhu Dharmakusuma kerajaan Galuh dan Sunda dipersatukan kembali. Tahun 1475 M masa kepemimpinan Dewa Niskala Galuh pecah lagi. Tahun 1482 M. Prabhu Siliwangi berhasil menyatukan lagi Galuh Sunda Pakuan Pajajaran.
65 Dalam catatan kakinya H.M. Dasuki (1978:4) menyebutnya dengan nama Sri Bhima Unatarayana Mandura Suradipati.
66 Tentang nama Pakuan, Salana (2002:15) dan Drs. Atja (1970) mencatat berbagai pendapat seputar nama itu. Ten Dam berpendapat, bahwa Pakuan berasal dari kata ‘paku’. Kata ‘paku’ tersebut dapatlah dihubungkan dengan lingga kerajaan, yang letaknya persis di sebelah prasasti Batu Tulis di Bogor. Paku dalam arti lingga, sesuai dengan penafskan 2amannya berarti Poros Dunia, serta bertalian erat dengan kedudukan raja pada masa itu, yakni sebagai pusat jagat pusat kosmos dunia. Lingga itu kemungkinan yang disebut Halu Wesi dalam Carita Parahyangan, yang didirikan semasa pembaharuan Pakuan pada Zaman Susuk Tunggal. Kata Pajajaran oleh Ten Dam dihubungkan dengan kenyataan bahwa baik Pakuan maupun Kadatwan, puri raja terletak di antara dua sungai yang mengalir sejajar, yaitu Ci (ha) liwungdan Cisadane. K.F. Holle (1882) berpendapat, ‘pakuan’ berasal dari ‘paku’ nama sejenis pohon, katanya dinamakan Pakuan Pajajaran berarti tempat dengan (yang ada) pohon paku yang berjajar.
67 Gelar lain dari Prabhu Dewa Niskala adalah Tohaan di Galuh (yang dipertuan di Galuh), menurut Carita Parahyangan serta dikaitkan dengan Prasasti Batu Tulis di Bogor. Gelar lainnya Prabhu Anggalarang, nama itu termuat dalam Babad Galuh, Carita Waruga Guru, dan Babad Pajajaran (Sunardjo 1983:12).
68 Dalam sebuah percakapan kecil di rumahnya, 15 Maret 2004
69 Sebuah dongeng mengatakan bahwa Raja Hayam Wuruk jatuh cinta kepada Dyah Pitaloka hanya karena melihat lukisan sang putri.
70 De Graaf dan Th. Pigeaud memberikan keterangan pada abad ke-14 Kota Bubat di tepi sungai Brantas menjadi pelabuhan sungai bagi ibu kota kerajaan Majapahit (De Graaf dan Th. Pigeaud 1985:197).
71 Lapangan itu berada di depan Weringin Lawang, nama gapura utama Keraton Majapahit yang merupakan satu-satunya bagian dari Keraton Majapahit yang hingga kini masih tegak berdiri (Sunardjo 1996:10).
72 Penyerangan yang gagal itu tertulis dalam prasasti Batu Tulis 1333 M (Soekmono 1973:72).
73 Tidak ada keterangan lebih lanjut tentang Ki Nahkoda bule itu. Hanya saja biasanya orang yang bermukim di Pulau Jawa menyebut bule untuk orang-orang dari Eropa.
74 Sebenarnya arti sayembara adalah ‘pilihan sendiri’. Dalam konteks ini berarti pemilihan suami oleh puteri seorang (berkasta) ksatriya di depan umum (P. Lal 1981:415). Biasanya diadakan suatu acara khusus untuk itu, bisa berupa pertandingan bela diri, pertandingan memanah, dan lain-lain. Malah ada yang lebih mendebarkan hati para pelamar, yakni dengan cara para pelamar duduk dalam suatu ruangan, mereka duduk mengelilingi ruangan dan sang puteri berjalan berkeliling sembari membawa kalung rangkaian bunga sambn tersenyum, dan ia akan berhenti serta mengalungkan rangkaian bunga pada peserta yang menjadi pilihan hatinya.
75 Ada dua versi tentang Suryajanegara. Versi pertama nama itu merupakan gabungan dari nama dua orang pangeran, yaitu Pangeran Suryanegara dan Pangeran Jayanegara, keduanya adalah kerabat dekat Sultan Sepuh. Versi kedua mengatakan nama itu merupakan gabungan nama dua orang pangeran, yaitu pangeran Suryanegara saudara Sultan Sepuh dan Pangeran Arya Jayanegara dari Banten. Memang terjadi sedikit perbedaan, namun yang patut disepakati bahwa Suryajanegara adalah akronim dari dua orang “kepala pemberontakan” terhadap Belanda. Dalam sebuah catatan pribadi milik kerabat Keraton Kasepuhan, menyebutkan nama sebenarnya dari Pangeran Suryajanegara adalah Pangeran Arya Panengah Suryakusumah Abukayat, putra dari Sutan Sepuh III, Sultan Raja Zainudin, yang bertahta antara tahun 1723-1753 M.
76 Dari berita Tome Pires ini dapat disimpulkan, bahwa proses pengambilan kayu (penebangan pohon) telah berlangsung berabad-abad, yaitu semenjak sebelum tahun 1513 yang berakibat hutan menjadi gundul, erosi, dan terjadi sedimentasi serta pendangkalan sungai. Sehingga zaman keemasan ttansportasi air menjadi suram, yang kalau tidak disikapi secara bijak dan arif oleh generasi penerus maka kerusakan akan semakin bertambah parah.
77 Urutan pelayaran tersebut sebagai berikut: 1405-1407,1407-1409,1409-1411, 1413-1415, 1417-1419, 1421-1422, dan 1431-1433.
78 Orang-orang Tiong Hoa yang ada di Pulau Jawa semuanya keturunan Yunnan dan Swatow. She (marga/fam) Ma dan Bong adalah nama keluarga dari Yunnan. Gan merupakan she dari Swatow (De Graff dkk. 2004:46).
79 Abdul Hadi WM. mengungkapkan dalam pelayarannya yang pertama, Cheng Ho membawa 2.700 kapal perang, 400 kapal pengangkut armada, 250 kapal barang. Ukuran kapal yang paling besar 452 kaki panjangnya dengan lebar 183 kaki. Jumlah anak buah 270.800 orang, selain para perwira dan prajurit, ada ahli perbintangan, tabib, para penerjemah, mubaligh Islam, pegawai kesehatan, ahli bahasa, akuntan, ahli mekanik, para pengarang, ahli kerajinan, dan tukang emas serta permata (Pelita edisi Minggu 7 April 1991/21 Ramadhan 1411 H).
80 Orang Tiong Hoa Hokian pertama kali diketahui di Pulau Jawa adalah Haji Tan Eng Hoat di Cirebon. Dialah mata rantai yang hilang antara orang-orang Tiong Hoa Yunnan Islam dengan orang-orang Tiong Hoa Hokian non-muslim di Pulau Jawa (De Graff 2004:46).
81 Dalam sebuah percakapan kecil di rumahnya, 15 Maret 2004.
82 Palguna dalam kalender Lunar (berdasarkan peredaran bulan) Hindu (India) adalah bulan terakhk dari 12 bulan yang ada dalam setahun. Apabila kita cari bulan yang berlaku dalam kalender Gregorius atau Masehi berarti sekitar pertengahan Februari hingga pertengahan Maret (P. Lal 1981:384). Sedangkan di Ckebon menurut Salana (2002:60), Palguna adalah bulan ke-7 dari 12 bulan yang ada. Ada hal yang menarik tentang bulan Palguna ini, menurut cerita pewayangan gagrak (gaya/versi) Solo, Arjuna satria ketiga dari Pandawa Lima lahk pada bulan ini, oleh sebab itu nama Palguna adalah nama lain dari Ariuna. Dinyatakan pula, barangsiapa lahk di bulan Palguna maka dia akan menjadi Ksatria yang tak akan pernah terkalahkan dalam setiap pertempuran. Dalam galur (pakem) Ckebon, Palguna bukanlah Arjuna, melainkan Bambang Ekalaya. Tokoh ini terkenal sebagai murid yang sangat cerdas lagi berbakti. la rela menyerahkan jari kelingkingnya untuk dipersembahkan pada gurunya Resi Drona.
83 Adanya anggota rombongan yang bukan dari Cina itu dapat diterima. Dalam NK.I: 2 (1692:15) duta besar dari berbagai negara menyertai armada itu, antara lain duta besar dari Sumatera (Kerajaan Adityawarman).
84 Ada dua angka tahun kedatangannya, menurut Sudjana 1415 M, sedangkan menurut Sunardjo 1418 M.
85 Dalam tradisi kadang disebut Nyai Mas Subang Kranjang, seperti yang termuat dalam karya H. Mahmud Rais dan Akhmad Sayidil Anam “Perjuangan WaU Sanga Babad Ckebon (Pasundan)” 1957,1986.
86 Dampu Awang merupakan gelar yang terdiri dari kata ‘dampu’ (tuan yang mulia) dan kata ‘awang’. ‘Awang-awang’ dalam bahasa Jawa berarti ‘langit’, sementara kata Melayu ‘pawang’ berarti ahli dalam berbagai hal jenis pengetahuan, dan seorang yang mempunyai keahlian yang berkaitan dengan ilmu gaib, juga menjadi gelar juru mudi kapal pribumi (HJ. de Graff dkk 1998:142).
87 Suherman (1995:9) berpendapat bahwa Syekh Safiudin adalah nama lain dari Bratalegawa, bukan nama anaknya.
88 Mereka adalah pengikut alkan tarikat bkahi, mereka pulalah pencipta seni bkahi atau brai.
89 Ada yang menyebutkan Prabhu Siliwangi dapat pergi ke Mekah atas bantuan seorang Syekh. Syekh tersebut adalah Syekh Ibrahim Ali Akbar, adik dari Sunan Bonang (sumber Drs. Rafan S. Hasyim 2004). Apakah yang dimaksud Syekh Ibrahim Akbar atau Maulana Jatiswara ?
90 Masyarakat setempat sendiri mempercayainya melalui tradisi lisan bahwa bumi segandu tersebut sebagai sekeranjang tanah yang dibawa oleh malaikat Jibril (Kartani 2003).
91 Istilah Megalitikum diambil dari bahasa Yunani “mega” yang berarti “besar”, dan “lithos” yang artinya batu. Pada masa ini masyarakat purba sudah mengenal sistem religi dan aktivitas religi dan terlembaga. Bangunan yang merupakan sisa peradaban megalitikum dibangun dari batu dan berfungsi sebagai sarana pemujaan, berdasarkan kepercayaan mereka tentang adanya hubungan antara alam fana dan alam baka. Selain menhir (tugu batu tempat pemujaan roh nenek moyang), ada lagi lainnya yaitu dolmen (altar batu persembahan), sakorfagus (peti jenazah terbuat dari satu batu besar), kubur batu, punden berundak, waruga, dan area batu (Badrika 2000:19-20).
92 Makna harfiah dari gelarnya adalah panglima perang yang hebat, yang dahsyat, yang perkasa, yang gagah berani, lagi berilmu tinggi (Kartani 2003:2).
93 Letak Nusa Larang tak jauh dari Kawali, tepatnya di tengah Telaga Panjalu, nama lainya Nusa Cede. Di situ terdapat sebuah pekuburan yang disebut Kramat Adipati Hariang Kancana (Sulaemanl995:17).
94 Tercatat dalam sejarah sejak wafatnya Hayam Wuruk Majapahit dilanda perang saudara, putrinya dari permaisuri Kusumawardhani saling berebut kekuasaan dengan putranya dari selk Bhre Wkabhumi. Bhre Wkabhumi yang merasa berhak karena ia anak laki-laki tertua memisahkan dki dan membangun Kerajaan Blambangan atau Majapahit Timur. Sedangkan Kusumawardhani berkuasa di Majapahit Barat dengan pusat pemerintahan di Trowulan. Tahun 1401 M pecah perang saudara antar keduanya, peristiwa itu dikenal dengan perang Paregreg, dan baru berakhk tiga tahun kemudian. Kejadian tersebut diabadikan dalam sebuah dongeng yang sangat terkenal di Jawa Timur yaitu kisah Damarwulan, seorang abdi setia yang menikah dengan Ratu Kencana Wungu Majapahit, setelah ia dapat membunuh Adipati Menak Jinggo dari Blambangan. De Graaf dan Th. Pigeaud memperkirakan cerita tersebut digubah pada abad ke-17 (De Graaf dan Th. Pigeaud 1985:25). Raja terakhk yang berkuasa di Trowulan adalah Bhre Kretabhumi yang berkuasa mulai tahun 1474 M diserang oleh putranya sendiri Adipati Demak Raden Patah yang sejak 1475 M mengangkat dki atas sokongan ulama-ulama besar yang tergabung dalam dewan Wali Sanga sebagai raja Islam pertama Demak dan merdeka dari Majapahit. Kejadian penyerangan dan pembakaran istana tersebut terjadi pada tahun 1478 M (Sunardjo 1996:11). Namun Sang Prabhu tetap dilindungi, lazknnya perlakuan anak kepada orang tuanya. Bhre Kertabhumi diberi kediaman yang kyak di dekat keraton Kerajaan Demak, ia wafat di situ setelah didera sakit karena lanjut usia. Sedangkan sebagian kerabat serta elit petinggi Majapahit lari ke Bali, sampai sekarang keturunan pelarian tersebut dapat diidentifikasi dengan nama yang mereka pakai, yaitu I Gusti.
95 Gelar Sri Baduga pernah pula dipakai oleh Prabhu Linggabhuwana (Prabhu Wangi) buyut Jayadewata. Pantas saja terkadang ada anggapan kalau keduanya orang yang sama, padahal bila kita lihat masa pemerintahan antara keduanya sangat jauh, Linggabhuwana 1350-1357 M, Jayadewata 1482-1521 M (Suherman 1995:18).
96 Susuk Tunggal memugar kompleks istana di Pakuan Pajajaran dan mernbuat Palangka (tahta) Sriman (berseri-seri) Sri Wacana atau batu gilang untuk penobatan raja (Suherman 1995:15). Kiranya patut diduga semula semua itu diperuntukan bagi putra-putra Sang Prabhu Susuk Tunggal, kemungkinan besar untuk Sang Amuk Marugul. Catatan-catatan yang ada tentangnya begitu banyak bisa dijadikan indikator bahwa di antara sekian banyak putra Sang Prabhu Susuk Tunggal, Ratu Japura Sang Amuk Marugul inilah yang paling menonjol.
97 Putri dari Pangeran Panjunan (entah adik atau kakak dari Pangeran Muhamad) yakni Nyai Mas Kencana Sari menikah dengan Pangeran Carbon putra Pangeran Cakrabuwana penguasa Caruban Girang.
98 Sebuah versi dari tradisi lisan Cirebon mengisahkan bahwa Raden Walang Sungsang serta saudarinya Lara Santang keluar dari keraton sebelum ibunda mereka wafat. Tindakan tersebut didasari setelah ia mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW Mengetahui hal tersebut, selang berapa lama Rara Santang pun ikut keluar dari keraton. Tindakan ke dua putra-putrinya jelas membuat ibunda mereka amat sedih. Untuk melipur lara, Prabhu Siliwangi membuadcan sebuah rumah peristirahatan di pedalaman Banten (Rais 1986).
99 Babad Cirebon versi Klayan ini telah diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan Nasional) pada tahun 1989. Babad Cirebon ini disebut versi Klayan karena naskah ini berasal dari Klayan, naskah ash’nya milik Bapak Tarjadi Tjokrodipura. Menurut penyuntingnya (Hadisutjipto), keistimewaan naskah ini adalah karena pemaparan Sunan Kalijaga yang disebut juga Susuhunan Adi. Pemaparan ini tak terdapat dalam babad-babad Cirebon lainnya (Hadisutjiptol979:xi; Arismunandar dan Pudjiastuti 1996:223-224).
too Aijran tersebut merupakan campuran dari agama Hindu dan Buddha serta kepercayaan yang sudah diwariskan turun-temurun. Agama inilah yang mendominasi Nusantara hingga awal abad ke-15.
101 Benda-benda pusaka yang dianugerahkan Sang Hyang Danuwarsih kepada Walangsungsang adalah sebuah cincin yang bernama Ali-ali (cincin) Ampal. Cincin ini berkhasiat dapat melihat barang gaib, dapat menyimpan berbagai macam benda, serta bisa mengabulkan apa saja yang dikehendaki. Baju Kemayan, baju ini memiliki kelebihan, barangsiapa yang memakainya tak terlihat oleh orang lain. Selain itu, baju ini menjauhkan si pemakai dari maksud-maksud jahat. Di atas baju tersebut terdapat gambar kembang daun tulisan Arab berbunyi, “Barang siapa takut kepada Allah, maka Allah akan membuka jalan keluar dari kesulitan-kesulitan dan akan memberikan rezeki kepadanya yang tidak diduga-duga dan dengan tidak berjerih payah lagi”. Baju Pengabaran, memiliki khasiat, jika dipakai akan menimbulkan keberanian yang tiada terkira dalam menghadapi musuh, terlepas kuat atau lemahnya lawan, bahkan bukan hanya bangsa manusia atau hewan, bangsa jin dan setan pun akan tunduk. Pada baju tersebut tertulis, “Berbaktilah kepada Tuhanmu hingga ajalmu datang”. Baju Pengasihan, baju ini berkhasiat, siapa pun yang memakainya akan dikasihi oleh orang banyak. Tertulis di baju tersebut, “Sesungguhnya Allah suka kepada orang-orang yang takwa kepada-Nya”. (M Rais 1986:18-19).
102 Baju Hawa Mulia ini memiliki kekuatan: pemakainya dapat melayang di atas tanah, berjalan di atas air, dan tak terbakar api (Rais 1986:16).
103 Babad Klayan (pupuh 2:15) menyebudtan Nyai Ajar Sakti bukan Kyai Ajar Sakti. Gunung yang ditunjukkan pun berbeda, yakni gunung Cilawung bukan Gunung Merapi, ia pun meramalkan seperti yang tertulis di atas (Arismunandar dan Pudjiastuti 1996:224).
104 Ilmu yang diberikan Sang Hyang Nago kepada Walangsungsang terdiri dari: Ilmu Kadewan,yaitu kemampuan dapat memperteguh keyakinan seseorang dalam beragama. Ilmu Kapik’san, yaitu ilmu yang dapat menimbulkan wibawa yang besar, serta pemiliknya akan dikasihi segenap makhluk. Ilmu Keteguhan, yakni ilmu yang membuat pemiliknya kebal, kuat, dan perkasa. Ilmu Pengikutan, yaitu ilmu yang dapat mempengaruhi seluruh makhluk. Sedangkan senjata pusaka yang bernama Golok Cabang, memiliki kekuatan apabila ia ditebaskan ke arah singa, maka singa itu akan hancur lebur. Begitu juga gunung, laut, dan hutan atau apa pun yang terkena Golok Cabang akan binasa (Rais 1986:20).
105 Menurut Rais, Gunung Cangak lokasinya berada di Desa Mundu. Namun keterangan berbeda menyatakan Gunung Cangak atau nama lainnya Gunung Srandil berada di Cirebon Girang, memang di sana terdapat gunung yang bernama demikian.
106 Ilmu dan benda pusaka yang diwariskan kepada Walangsungsang adalah sebagai berikut: Ilmu Kesakten, Ilmu Aji Tri Murti, Ilmu Limunan, Ilmu Aji Dwipa, Baju Waring, Topong Waring, Umbul-umbul Waring, Badong (ikat pinggang) Batok Bolu. Rais tidak memberi keterangan lebih lanjut tentang fungsi dari ilmu serta benda pusaka tersebut. Sedangkan jika melihat baju waring, topong waring, umbul-umbul waring, bisa dipastikan terbuat dari serat pohon gebang. Serat gebang pada masa lalu adalah bahan tekstil bagi masyarakat pesisir pantai utara Jawa. Sampai saat ini masih ada perajin yang bertahan untuk melakoni kerajinan ini, mereka sekarang tinggal di daerah Junti Kabupaten Indramayu, hanya mereka yang tersisa dari sekian banyak perajin yang ada di sepanjang pantai utara.
107 Lagu-lagu tersebut merupakan bagian dari tujuh lagu yang dimainkan dengan Gamelan Sekaten dan diperdengarkan setiap bulan Maulud pada saat upacara panjang jimat. Menurut Raden Sangkaningrat (bagian seni gamelan Keraton Kanoman), ada 6 (enam) lagu yang dimainkan menjelang upacara Panjang Jimat, dan merupakan lagu-lagu perjuangan yang menggambarkan perjuangan prajurit-prajurit Cirebon menghadapi Rato Bangau yang belum mau masuk Islam dari Gunung Cangak atau Gunung Srandil. Lagu-lagu itu terdiri dari: Lagu Sekaten, lagu ini menempati urutan pertama dalam rangkaian lagu-lagu Sekatenan, karena Sekaten berasal dari kata ‘syahadatain’. Durasi lagu ini mencapai 1 jam. Jumlah pukulan gong besar harus tepat 100 kali, yang bermakna jurnlah dzikir 100 kali. Lagu CingcingDuwur, lagu ini mengingatkan pada para pendengarnya, bahwa peristiwa tersebut berlangsung di atas tanah yang becek, sehingga memaksa para prajurit mengangkat (cingcing) kainnya tinggi-tinggi (duwuf). Lagu Kajongan, Kajongan artinya melompat, diceritakan kondisi tanah yang becek serta banyak terdapat saluran air, mengakibatkan para prajurit berjalan melompat-lompat. Lagu Pari Anom. Pari Anom artinya padi muda, kala peristiwa itu terjadi sebagian sawah di sekitar tempat ito sudah mulai berbuah. Lagu Rambu Cede dan Rambu Cilik. Ke dua lagu ini mengisahkan wakto Ratu Bangau tertangkap, prajurit Cirebon mengerubutinya ramai-ramai. Sebagian dari mereka mencengkramnya, dengan cengkraman besar ataupun kecil. Lagu Bangau Butakatau Kara Butak. Lagu ini diilhami dari kejadian setelah kekalahan Rato Bangau, ia tertangkap dengan rambut terjambak. Jambakan ito mungkin demikian kerasnya hingga ia merasa kesakitan (rara), bahkan akibat Jambakan ito kepala Rato Bangau menjadi Taotak’. Lagu ini mendapat tempat khusus dalam penyajiannya. Ia muncul lima kali dari seminggu, selama penyajian lagu-lagu Sekatenan. Adapun rincian waktunya sebagai berikut: Pertama, pukul 21.00 pada hari pertama. Kedua, pukul 24.00 hari pertama. Ketiga, pada tanggal 11 Maulud malam 12 Maulud, pukul 21.00 tepat di saat keluarnya rombongan panjang jimat dari pinto Si Blawong. Keempat, pukul 24.00 pada malam yang sama. Kelima, pada hari penutupan tanggal 12 Maulud sore hari pukul 16.00. (Sumber: Harian Pelita, edisi 16 Februari 1978.)
108 Pusaka-pusaka yang diberikan oleh Ratu Bangau adalah Azimat Panjang (Panjang Zimat), Pendil Sewu, dan Bareng.
109 Tajugjalagrahan sampai sekarang masih ada, terletak di sebelah timur Keraton Pakungwati dan juga masih berfungsi sebagai mesjid. Pada bangunan tersebut masih didapatkan ciri-ciri bangunan kuno, berupa ubin keramik yang berwarna kemerah-merahan terbuat dari kayu jati dengan ukiran berbentuk daun.
Maaf, sumbernya tidak disebutkan, terhapus
A. Perjalanan Nagari-nagari Pesisir Cirebon
Sebelum melangkah lebih jauh kiranya perlu digarisbawahi, bab ini bukanlah upaya untuk mengupas sejarah Cirebon secara mendalam, apalagi untuk mengabsahkan bahwa pendapat yang ada dalam bab ini adalah yang paling benar dari sekian banyak versi, baik itu sumber lokal maupun sumber yang berasal dari luar Cirebon. Dengan segala kebesaran jiwa kita menyadari betapa kusutnya sejarah Cirebon, betapa sulitnya kita memilah mana yang hanya merupakan mythe mana yang memiliki nilai-nilai sejarah, langka bongkotlangkapucuke (tidak berpangkal juga tak berujung).
Atja38 (1990) memberikan penjelasan bahwa pengertian “sejarah” (atau sajarah) yang berkembang di Nusantara memiliki kekhasan tersendiri sesuai dan terikat dengan “kode budaya” masyarakatnya. Pada masa itu sejarah dikenal dengan stamboom, bukan “geschiedenis” atau “history”. Dalam pemakaiannya pada zaman dulu, istilah “sejarah” sering dipertukarkan secara bebas dengan kata “silsilah”.39 Dengan demikian, istilah “sejarah” (yang berkembang di Nusantara) pada dasarnya merupakan semacam “catatan” tentang garis keturunan yang tertulis. Salah satu fungsi yang utama adalah untuk menelusuri leluhur seseorang, atau keluarga, atau seorang tokoh yang terkenal pada masa lampau, mungkin seorang tokoh politik atau seorang guru agama. Kenyataan ini memberi kesan, bahwa karya “sejarah” demikian tidak dimaksudkan untuk tetap sebagai dokumen sejarah saja. Tapi sebaliknya, catatan garis keturunan itu berfungsi untuk mendukung pengakuan individu-individu dan sesuatu keluarga untuk memperoleh kekuasaan politik atau menikmati hak-hak istimewa tertentu yang bersifat tradisional, atau paling tidak menikmati martabat yang lebih tinggi di antara sesama anggota masyarakatnya.
Bab ini hanya berupaya untuk mengungkapkan berbagai pendapat, catatan, kanda-kanda (cerita-cerita rakyat) yang mewarnai khasanah “kesejarahan” Cirebon berdasarkan sumber lokal. Dalam hal ini sumber lokal yang dimaksud adalah dua karya Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon,40 yakni Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara (untuk selanjutnya ditulis RRBN) dan Nagara Kretabhumi (untuk selanjutnya ditulis NK). Dalam karya Pangeran Wangsakerta banyak sekali mencatat perihal aktivitas kelautan di masa lampau, bahkan jauh sebelum Cirebon atau kerajaan lainnya yang lebih tua usianya. Hasil kerja Pangeran Wangsakerta di atas mengilhami generasi-generasi berikutnya, contohnya Pangeran Arya Carbon atau Pangeran Kararangen. Pada tahun 1720, putra Sultan Sepuh I ini membuat kitab Purwaka Caruban Nagari (selanjutnya ditulis PCN) yang isinya mengacu dari NK. Atja dan Ekadjati (1987: ii) dalam pengantarnya menyebutkan sebagai berikut:
“Sekiranya benar, maka ditinjau dari ruang lingkup isinya, keseluruhan naskah karya Pangeran Wangsakerta itu dapat dipandang sebagai buku Sejarah Nasional Indonesia yang pertama hingga sekarang. Dalam pada itu gotrasawala yang diadakan sejak tahun 1677 dapat dipandang sebagai Seminar Sejarah Nasional Indonesia pertama pula.”
Apa sebabnya mereka berpendapat begitu? Sangat menarik kiranya apabila kita melihat apa yang terjadi seputar pembuatan karya-karyanya tersebut.
Pada tahun 1677 Sultan Sepuh I dan Sultan Anom I memerintahkan kepada Pangeran Wangsakerta untuk menyusun buku sejarah yang dapat dijadikan petunjuk bagi generasi yang akan datang, maka segeralah ia melaksanakannya. Selaku ketua tim penyusun41 ia mengadakan gotrasawala. (seminar) yang dihadiri utusan berbagai kerajaan di Nusantara, bahkan utusan dari India, Cina, dan Timur Tengah. Mereka mengirimkan mahakawi (cendekiawan) dan rohaniwan dari berbagai agama, sembari membawa naskah yang mereka anggap baik dan diperlukan.42
Salah satu cerita menarik dalam peristiwa seminar para mahakawi ini dan terkait dengan kelautan adalah sebagai berikut. Walaupun pintu gerbang Kesultanan Cirebon pada saat itu tidak jauh dari laut (letaknya di pabrik rokok BAT sekarang), namun (mungkin) demi kesuksesan dan kelancaran jalannya acara, maka pihak Kesultanan Cirebon membuat pintu gerbang di sisi Sungai Kesunean atau Kali Kriyan yang mengalir tak jauh dari Keraton Kasepuhan. Sebenarnya, sejak sudah lama bahkan sebelum Kerajaan Cirebon didirikan oleh Sunan Gunung Jati, sungai itu memang sudah menjadi jalur lalu-lintas dari pesisir pantai utara ke pedalaman atau sebaliknya.
Gambar 7 Sungai Kriyan sebagai jalur transportasi Keraton Kasepuhan
Gerbang tersebut memiliki sembilan buah pintu (masyarakat sekarang lebih mengenalnya sebagai Lawang Sanga). Ternyata gerbang itu bukan hanya sebagai jalan pintas menuju ke keraton, diperldrakan pintu itu juga merupakan “sengkalan” bagi tiga peristiwa berbeda. Pertama, berdirinya Kesultanan Kasepuhan dan Kesultanan Kanoman; kedua, pelaksanaan gotrasawala; dan ketiga, gerbang tersebut juga tahun pembuatan Pustaka RRBN yakni berbunyi:
Nawa Gapura Marga Raja = Sembilan Gerbang Jalan Raja.
9 9 5 1 = 9951 dibalik 1599 Saka/ 1677M.
Gambar 8
Lawang Sanga gerbang masuk menuju Keraton Cirebon bag! masyarakat yang menggunakan jalur air melalui Sungai Kriyan
Selain bentuk pintunya yang menarik dan berjumlah sembilan, untuk masuk menuju keraton para utusan terlebih dahulu melintasi lorong-lorong panjang penuh liku (labirin). Kiranya lorong itu merupakan adaptasi dari lorong-lorong yang ada di Kota Terlarang (Forbiden City) tempat para Kaisar Cina bertahta. Fungsi dari labirin ini adalah sebagai alat pertahanan jika sewaktu ada penyusup masuk, maka niscaya mereka menjadi kebingungan. Hal yang sama juga berlaku pada lorong-lorong di Lawang Sanga, pihak penyelenggara kiranya sudah memikirkan hal itu demi keselamatan dan keamanan baik penyelenggara maupun utusan.43
Berikut ini isi dari RRBN Parwa (bagian) 1 Sargah (buku) 1, tentang kedatangan berbagai bangsa pada Purwa Yuga44 atau zaman purba yang dibagi menjadi lima:
Zarnan Purba Pertama
Berlangsung kira-kira sejuta hingga 600.000 tahun yang lampau.45 Pada masa itu muncul manusia separuh hewan atau Satwa Purusa di pelosok Dwipantara.46 Antara 750.000—350.000 tahun yang lalu muncul manusia hewan dan berjalan seperti manusia sekarang berujud tinggi besar, maka dari itu disebut Bhuta Purusa. Bhuta Purusa musnah sekitar 250.000 tahun yang lampau.
Zaman Purba Kedua
Bhuta Purusa musnah terutama karena dibinasakan oleh pendatang, wujudnya tinggi, besar, tegap, berkulit hitam yang disebut Yaksa Purusa. Di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah ada pula makhluk semacam itu, namun postur tubuhnya lebih kecil disebut Manusa Yaksa. Akhirnya mereka pun musnah juga oleh para pendatang baru dari utara.47
Zaman Purba Ketiga
Mereka para penduduk sebelumnya disebut Wamana Purusa.48 Mereka hidup sekitar 50.000-20.000 tahun yang silam. Perkakas mereka di samping dibuat dari bahan-bahan yang lekas rusak, juga terbuat dari batu, namun masih kurang baik.49 Mereka berdiam di Jawa Timur, sebagian dari mereka pergi ke selatan Pulau Jawa.50
Zaman Purba Keempat
Penghuni bumi Nusantara ini disebut manusia purba yang kerdil, tetapi wujudnya agak besar. Mereka berdiam di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada 40.000-20.000 tahun yang lampau. Mereka musnah karena bencana alam, saling bunuh, serta dibinasakan pendatang baru.
Zaman Purba Kelima
Zaman ini bermula sejak 10.000 tahun hingga tahun pertama tarikh Saka. Selama itu bermunculan para pendatang dari benua sebelah utara, masing-masing pada:
1. 10.000-5.000 tahun sebelum tahun Saka.
2. 5.000-3.000 tahun sebelum tahun Saka.
3. 3.000-1.500 tahun sebelum tahun Saka.
4. 1.500-1.000 tahun sebelum tahun Saka.
5. 1.000-600 tahun sebelum tahun Saka.
6. 600-300 tahun sebelum tahun Saka.
7. 300-200 tahun sebelum tahun Saka.
8. 200-100 tahun sebelum tahun Saka.
9. 100 hingga tahun pertama Saka.51
Atas masukan dari para cendekiawan, setelah masa Purwayuga, Pangeran Wangsakerta membagi lagi zaman yakni:
Zaman Raja Kawasa
Bermula sejak awal tahun Saka hingga tahun 1555 Saka/ 1633 M masa kekuasaan Sultan Agung Hanyakra Kusuma raja Mataram Islam.
Zaman Dukhabhara
Atau zaman penderitaan yang berat. Zaman terakhir disebut demikian, karena kepulauan Nusantara, terutama Pulau Jawa, kedatangan orang bule (berkulit putih/ bangsa Eropa), yang berusaha menaklukkan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Pada tarikh awal Saka, diterangkan kedatangan pedagang dari barat dengan menggunakan perahu. Mereka berasal dari negara Syangka, Saliwahana, dan Benggala (Bangladesh) yang ada di bumi Bharatawarsya (India) untuk mengikuti jejak nenek moyang mereka berpuluh ribu tahun yang lalu.
Mula-mula arah perahu mereka menuju ke timur Pulau Jawa, lalu ke arah barat Pulau Jawa.52 Para pedagang ini membawa bermacam barang antara lain, bahan pakaian, logam mulia baik emas maupun perak, aneka batu permata, obat-obatan, aneka bahan makanan, serta perabot kebutuhan rumah tangga. Sebaliknya mereka membeli rempah-rempah serta berbagai macam hasil bumi seperti beras dan sayuran.53 Sebagian dari mereka ada yang menetap menjadi bagian dari penduduk pribumi yang ada di Jawa, Nusa Bali (pulau Bali), Swarnabhumi (Sumatera), Bakulapura (Kalimantan), dan pulau—pulau lainnya di pelosok Nusantara.
Sementara itu, kaum pribumi digambarkan telah menguasai berbagai ilmu. Oleh karena itu, kaum pendatang sangat menghargai penduduk pribumi. Mereka tidak menciptakan permusuhan, bahkan sebaliknya, penduduk pribumi menerima mereka sebagai tamu yang keberadaannya begitu mereka hargai dengan penuh rasa persaudaraan.54 Seperti halnya kepercayaan nenek moyang, pada masa itu penduduk pribumi memuja roh, bulan, matahari, dan sebagainya. Sedikit demi sedikit dan dengan cara halus, para pendatang kemudian mulai menyebarkan kepercayaan mereka. Awalnya mereka mengganti nama-nama pemujaan penduduk, seperti pemujaan terhadap api disamakan dengan pemujaan kepada Dewa Agni (penguasa api), Pemujaan terhadap matahari, dianggap sama dengan pemujaan terhadap Dewa Surya (dewa matahari). Sedangkan pemujaan terhadap roh besar atau Maha Pitrapuja, dianggap sebagai pemujaan terhadap tiga dewa utama, Dewa Brahma, Dewa Wishnu, dan Dewa Syiwa (Trimurtiswara).
Tak lama kemudian banyak kaum pribumi yang memeluk agama yang mereka bawa. Keadaan di Jawa yang sangat bersahabat membuat mereka sangat betah dan tidak ingin kembali ke tanah mereka. Banyak di antara mereka menikahi putri para penghulu atau sesepuh desa. Kelak anak hasil perkawinan mereka itu yang menggantikan kedudukan kakek mereka sebagai pemimpin. Lama kelamaan anak dari pendatang itu mengusai desa-desa di Pulau Jawa, begitu pula kekayaannya. Tanah yang ada diakui sebagai miliknya atau dalam kekuasaannya. Pribumi tidak berdaya, mereka mau tak mau menjunjungnya sebagai penguasa.
Diceritakan kemudian sekitar tahun 80-320 Saka/ 158-398 M datanglah berbondong-bondong pendatang dari negeri Cina, India, dan Benggala (Bangladesh) dengan menggunakan perahu. Mereka membawa anak, istri, serta sanak keluarga ke Nusantara untuk bermukim. Ada pula perahu yang membawa pendeta Hindu beraliran Waisnawa dan Syaiwa. Pendeta beraliran Waisnawa55 berkeliling di desa-desa sekitar bagian barat Pulau Jawa, dan akhirnya menetap di daerah tersebut, sementara pendeta aliran Syaiwa56 menetap di daerah bagian tengah dan timur Pulau Jawa. Di antara sekian banyak pendatang yang paling banyak berasal dari wangsa Calan-kayana dan Palawa di India. Mereka kebanyakan adalah para pengungsi perang setelah negara mereka dikalahkan oleh kerajaan Magadha. Namun, di samping itu banyak di antara mereka yang bertujuan untuk berniaga, di antaranya ialah kelompok pendatang yang dipimpin oleh Dewawarman dari wangsa Palawa. Dewawarman pernah pula menjadi seorang duta besar keliling untuk negara-negara mitra seperti kerajaan—kerajaan di Hujung Medini (Malaysia barat), Bumi Sopala, Yawana, Syangka, Cina, dan Abasid (Mesopotamia). Selain bertujuan untuk memperat persahabatan mereka juga berniaga hasil bumi serta barang-barang lainnya. Begitu pula ketika berhubungan dengan Pulau Jawa sebelah barat, Nusa Api (Krakatau), dan pesisir selatan Pulau Sumatera.
Ketika sebuah dukuh pesisk (kemungkinan di Pandeglang sekarang, namun ada pula yang memperkirakan di sekitar pelabuhan Merak) mendapat serangan perompak yang sangat ganas. Melihat hal itu Dewawarman segera memberi pertolongan, sehingga gangguan para perompak itu dapat ditangkis. Korban di pihak para perompak yang tewas berjumlah 37 orang, 22 orang tawanan yang selanjutnya dihukum gantung. Sedangkan dari pihak pasukan gabungan antara penduduk dan pengikut Dewawarman 7 orang. Perahu perompak yang lengkap dengan barang-barang, persenjataan serta kebutuhan logistik akhirnya rnenjadi hak pemimpin penduduk desa yang bernama Aki Tkem Sang Aki Luhur Mulya.57
Sebagai ungkapan rasa terima kasih, putri penghulu dukuh itu yang bernama Sri Pawahaci Larasati dikawinkan dengannya. Pestanya sendiri diselenggarakan dengan amat meriah. Sejak itulah Dewawarman dan pengikutnya menetap di situ dan mengambil istri gadis-gadis pribumi dan beranak-pinak.
Syahdan, pada suatu ketika Aki Tkem jatuh sakit. la berpesan pada menantunya, Dewawarman, untuk menggantikannya sebagai pemimpin dukuh. Dewawarman tak menolak keinginan Aki Tirem, begitu pula penduduk. Tak berapa lama Aki Tkem pun meninggal. Dewawarman naik sebagai raja dengan gelar Prabhu Dharma Lokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Sagara atau Dewawarman I. Sedangkan istrinya Sri Pawahaci Larasati menjadi permaisuri dan bergelar Dewi Dhwani Rahayu. Mereka dinobatkan sebagai raja dan permaisuri pada tahun 52 S/130 M, dan berkuasa hingga tahun 90 S/168 M. Wilayah kekuasaannya sebelah barat Jawa Barat, termasuk pulau sebelah barat Pulau Jawa (Pulau Samiam, Pulau Kijang, dan lainnya), Selat Sunda, dan sebelah selatan Pulau Sumatera. Kerajaan ini kemudian diberi nama Salakanagara dengan pusat pemerintahan di Rajatapura. Saat ia berkuasa, Dewawarman I mengkimkan duta ke berbagai negara untuk mengikat persahabatan dan dalam rangka memajukan perniagaan.
Berarti ada hal yang menarik, buku “sejarah nasional” ini (RRBN) mengungkapkan satu hal: wacana tentang betul atau tidaknya tentang keberadaan Dewawarman sudah bisa terselesaikan. Dan keberadaan Salakanagara sebagai negara maritim pertama di Nusantara juga sudah terbuktikan. Jika dibandingkan dengan Kerajaan Kutai yang diakui dalam sejarah nasional Indonesia, jelas Salakanagara lebih tua. Sebab Kutai ditengarai baru muncul sekitar tahun 400 M. Kerajaan ini bertahan hingga delapan generasi dengan pasang-surut pemerintahan-nya, ada pula pemberontakan dari kalangan elite kerajaan dan berhasil. Namun ia sepertinya terkena karma, ia tewas tertimpa batu dari atas bukit ketika sedang melintas di bawahnya.
Susunan Raja-raja Salakanagara
1. Dewawarman I Sang Prabhu Dharma Lokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Segara. 52-90 S/ 130-168 M.
2. Dewawarman II Sang Prabhu Digwijayakarsa Dewawarman Putra. 90-117 S/ 168-195 M.
3. Dewawarman III Sang Prabhu Singha Sagara Bhima Yasa Wkya. 117-160 S/ 195-238 M.58
4. Dewawarman IV Sang Prabhu Dharma Satyanagara. 160-174 S/ 238-252 M.59
5. Dewawarman V Sang Amatya Sarwa Jala Dharmasatya Jaya Waruna Dewa. 174-211 S/ 252-289 M.60
6. Dewawarman VI Sang Prabhu Ganayana Dewa linggabhumi. 211-230 S/ 289-308 M.
7. Dewawarman VII Sang Prabhu Bhima Digwijaya Satya Ganapati. 230-262 S/ 308-340 M.61
8. Dewawarman VIII Sang Prabhu Dharmawirya Dewawarman Sakala Bhuwana. 270-285 S/ 348-363 M.62
Dari kerajaan Salakanagara inilah cikal bakal kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa Barat. Menurut NK, setelah era Salakanagara (Sunardjo, 1983:8) berakhir, muncullah berbagai negara, yaitu:
1. Kerajaan Tarumanegara dimulai oleh Sang Jaya Singhawarmanguru Dharmapurusa Sang Maharaja Dewaguru (358-669 M). Beribu-kota di Sundapura atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Bekasi. Kerajaan Sunda dimulai oleh Raja Tarusbawa Dharma Wastika Manungga Manggalajaya Sunda Sembawa tahun (669 M) dengan pusat pemerintahan berada di Pakuan Bogor.
2. Kerajaan Kendan/Kaendran (daerah Nagrek Cicalengka sekarang) dimulai oleh Resi Guru Manikmaya (526 M).
3. Kerajaan Galuh dimulai oleh Prabu Kandihawan, berpusat di Astana Gede Kawali (612-1482 M).
4. Kerajaan Saunggalah di Kuningan Jawa Barat. Raja pertama Prabu Deumunawan/Seuweu Karma (732 M).
5. Kerajaan Pajajaran dimulai oleh Prabu Jayadewata 1482-1579 M.
Itulah urutan kerajaan sesudah Salakanagara yang juga masih anak keturunannya. Salakanagara bisa muncul karena sifat terbuka masyarakat pesisir, yang selalu siap dengan hal-hal yang baru, dalam hal ini diwakili oleh Aid Tirem Sang Luhur Mulya dan Dewawarman. Aid Tirem dengan penuh perhitungan dan kecermatan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Dewawarman, bukan semata karena Dewawarman itu menantunya, tetapi berdasarkan prinsip bahwa yang pantas memimpin adalah yang terbaik. Sebaliknya Dewawarman merupakan sosok yang mewakili sifat manusia pesisir yang berani ambil resiko, suka berpetualang, sekaligus bersifat integratif, kekeluargaan, dan cinta damai.
B. Pendorong Utama Terbentuknya Keraj aan Cirebon
Kerajaan Cirebon berdiri di bekas wilayah kerajaan Galuh Sunda Pakuan yang lebih dikenal dengan nama Pajajaran. PCN (1720) mencatat dengan lengkap nama nagari-nagari atau kerajaan kecil bawahan kerajaan tersebut yang meliputi:
1. Nagari Surantaka.
2. Nagari Singapura.
3. Nagari Japura.
4. Nagari Wanagiri.
5. Nagari Rajagaluh.
6. Nagari Talaga Manggung.
Separuh dari nagari yang telah disebutkan di atas (urutan 1-3) berada di pesisir utara sedangkan lainnya di pedalaman. Kiprah mereka yang ada di pesisir lebih “terekspos”, bukan hanya karena faktor geografis, tetapi juga itu karena pada awal pembentukan Kerajaan Cirebon mereka memiliki sumbangsih yang lebih besar. Dua nagari lainnya, yakni Rajagaluh dan Talaga Manggung baru bergabung setelah adanya kontak fisik dengan mereka (1528-1529 M). Di bawah ini akan diuraikan tiga nagari yang berada di pesisk Cirebon.
1. Nagari Surantaka
Nagari ini terletak sekitar 5 Km sebelah utara dari Giri Amparan Jati (kompeks pemakaman Gunung Jati) dan Muara Jati. Luas wilayah serta batas-batasnya di sebelah barat dan utara63 tidak diketahui, sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan Nagari Singapura, dan sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Sementara itu, mengenai pusat pemerintahan masih menjadi perdebatan para ahli. Ada yang berpendapat di Desa Keraton yang masuk ke dalam Kecamatan Cirebon Utara sekarang, ada juga yang berpendapat bahwa pusat pemerintahannya berada di Desa Kedaton yang masuk ke dalam Kecamatan Kapetakan sekarang.
Hanya satu nama penguasanya yang tercatat dan merupakan penguasa terakhir dari Surantaka, karena dikemudian hari digabungkan dengan nagari tetangganya, Singapura. Penguasa tersebut bernama Kyai atau Ki Gedheng Sedhang Kasih, yang juga merangkap sebagai Syahbandar Pelabuhan Muara Jati I.
Salana (2002:18) dengan cukup rinci menerangkan siapakah Ki Gedheng Sedhang Kasih alias Sindang Kasih. Disebutkan, penguasa Galuh Sunda Sang Prabhu Niskala Wastu Kancana, alias Lingga Wastu, alias Sang Prabhu Resi Guru Bhuwana Tunggal Dewata, alias Prabhu Wangi Suta (394 S/ 1372 M-1397 S/ 1475 M) memiliki dua orang istri. Istri pertama bernama Nyai Retna Sakarti, putri dari Resi Guru Klampung (NK 1.2.: 10) alias Resi Susuk Lampung (Suherman 1995:8) dari Sumatera. Darinya Sang Prabhu memperoleh beberapa orang putra dan putri, salah seorang dari mereka yang paling terkenal adalah Sang Haliwungan atau disebut pula Tohaan Lampung.
Istri kedua, Nyai Retna Mayangsari, putri dari pamannya yakni Sang Mangkubhumi Suradipati atau Sang Bunisora yang bergelar Sang Prabhu Bathara Guru Pangadiparamarta Janadewabrata. Darinya Sang Prabhu memperoleh empat orang putra. Pertama Ningrat Kencana, kedua Ki Gedheng Surawijaya Sakti, ketdga Ki Gedheng Sedhang Kasih, dan keempatKi Gedheng Tapa.
Sebelum wafat Sang Prabhu membagi kerajaannya menjadi dua.64 Dari Citarum hingga ke arah Banten sekarang, menjadi jatah Sang Haliwungan, bernama Sunda Pakuan. Pusat pemerintahannya berada di Pakuan (Bogor)65 nama keratonnya Sri Bhima Punta Narayana Madura Suradipati. Karena bentuknya berjajar maka disebut Keraton Pakuan Pajajaran.66 la ditahbiskan dengan gelar Sang Prabhu Susuk Tunggal. Suherman (1995:5) mengungkapkan, bahwa Sang Susuk Tunggal memimpin Sunda Pakuan jauh sebelum ayahnya wafat. Menurutnya, Susuk Tunggal mendapat titah dari ayahnya mewakili pemerintahannya di wilayah Sunda Pakuan pada tahun 1382 M.
Sedangkan Ningrat Kancana mendapat bagian Citarum ke arah timur yang sekarang masuk dalam Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah. Pusat pemerintahannya di Keraton Surawisesa (situs Astana Cede Kawali Ciamis). Pada tahun 1397 S/1475 M wafadah Sang Prabhu Wastu Kancana. la diperabukan di Nusa Larang, karena itu ia dikenal juga sebagai Sang Mokteng Nusa Larang. Tidak lama setelah ayahnya mangkat, Ningrat Kancana dinobatkan menjadi raja dan bergelar Sang Prabhu Dewa Niskala.67 Selain itu, Prabhu Wastu Kancana juga mengangkat saudara-saudara Ningrat Kancana. Ki Gedheng Surawijaya Sakti diangkat menjadi penguasa di Nagari Singapura, Ki Gedheng Sedhang Kasih menjadi Juru Labuhan di Pelabuhan Sindang Kasih, sedang Ki Gedheng Tapa menjadi Mangkubhumi Singapura.
Salana (2002:18) mengungkapkan bahwa Ki Gedheng Sedhang Kasih menjadi Juru Labuhan di pelabuhan pertama yang letaknya di desa Sindang Kasih (sekarang termasuk kedalam Kecamatan Beber Kabupaten Ckebon), di sana masih dapat dilihat bekasnya, dan dapat dihubungkan dengan Gemulung Lebak, Dawuhan Sela, dan Kanci. Oleh Salana, Kanci sendiri (2002:20) diyakini sebagai menara pelabuhan pertama, atau Pelabuhan Sindang Kasih.
Raharjo68 (2004) memaparkan, bahwa ada kemungkinan pelabuhan Sindang Kasih inilah rombongan Kerajaan Galuh Sunda Pakuan yang dipimpin langsung oleh Sri Baduga, atau Sang Prabhu Wangi, atau Sang Prabhu Maharaja Lingga Bhuwana Wisesa dan permaisurinya Retna Lisning berangkat menuju Wilwatikta (Majapahit), guna menghantarkan putrinya Sang Ratna Citra Resmi atau Dyah Pitaloka yang hendak menikah dengan Raja Majapahit Hayam Wuruk.69 Jika mengacu keterangan dari De Graaf dan Th. Pigeaud maka rombongan tersebut melakukan pelayaran terakhir mereka hingga di Bubat.70
NK 1.2 (1692:3-7) mengisahkan peristiwa yang di kemudian hari lebih dikenal sebagai Perang Bubat atau Palagan Bubat.71
Dikisahkan pada tanggal 13 “paro peteng” Badramasa tahun 1279 S/ 1357 M Sang Prabhu beserta Sang Permaisuri Retna Lisning dan Dyah Pitaloka putrinya beserta pengiringnya tiba di lapangan Bubat. Rombongan dari Kerajaan Sunda itu disambut oleh Maha Patih Gajah Mada dengan diiringi pasukan tempur terbaik bersenjata lengkap yang siap siaga dan membentuk formasi tempur. Sang Prabhu dan seluruh rombongan tak mengira disambut dengan cara demikian. Padahal sepengetahuan Sang Prabhu, Maharaja Majapahit Rajasanagara atau Hayam Wuruk tak mungkin melakukan hal seperti itu. Orang-orang Sunda maklum, ini pastilah ulah dari Maha Patih Gajah Mada yang sejak dulu berambisi untuk menyatukan Sunda dalam Kerajaan Majapahit, karena memang kecuali Sunda seluruh Nusantara sudah berada dalam genggaman Majapahit, Sunda pernah diserang Majapahit dua kali namun gagal.72
Jadi menurut Gajah Mada, inilah saatnya menyatukan “kepingan” Pulau Jawa. la pun menganggap Dyah Pitaloka sebagai persembahan Sunda kepada Majapahit selaku “bawahannya”. Terjadilah dialog antara pihak Sunda dengan Patih Gajah Mada mempertanyakan hal tersebut. Mereka tidak menemukan titik temu karena Gajah Mada tetap dengan pendiriannya. Pihak Sunda merasa bukan saatnya untuk bicara, karena bagaimanapun mereka pasti bakal ditumpas habis, inilah saatnya menunjukkan baktinya dan membela kehormatan negara.
Maka pertempuran pun terjadi tanpa bisa ditahan, karena perang itu tidak seimbang satu dengan lainnya, dengan mudah pasukan Majapahit menumpas habis orang-orang Sunda. Raja Sunda beserta 20 orang pembesar Kerajaan Sunda gugur di lapangan Bubat. Sementara, Permaisuri Ratna Lisning, Dyah Pitaloka beserta seluruh dayang-dayang pengiringnya melakukan bela pati (ikut mati) dengan cara suduk salira (bunuh diri). Dari 20 orang pejabat Kerajaan Sunda, dua orang di antara1: a adalah Ki Nahkoda Braja dan Ki Nahkoda Bule.73
Setelah kejadian itu Sang Rajasanagara atau Hayam Wuruk mengirim surat (beserta jenazah korban) kepada Sang Mangkubhumi Bunisora Suradipati yang dibawa oleh beberapa biksu dan pendeta. Surat itu selain berisi permintaan maaf, juga memuat pernyataan bahwa Majapahit mengakui kedaulatan serta tidak akan mengganggu wilayah Kerajaan Sunda baik di darat maupun di laut. Janji Sang Raja terbukti, tak lama setelah kejadian itu, armada Angkatan Laut Majapahit yang hendak melakukan penyerangan ke Dompo atau ekspedisi Padompo, sebelum mereka memasuki wilayah perairan Sunda, mereka terlebih dahulu meminta izin untuk melintas kepada Sang Mangkubhumi Bunisora selaku pimpinan pemerintahan sementara. Janji itu dipegang teguh oleh pihak Majapahit hingga runtuh pada ±1429-1522 M (Soekmono 1973:78).
Kembali ke Desa Sindang Kasih. Salana (2002:18) berpendapat, setelah beberapa lama ternyata Pelabuhan Sindang Kasih mengalami pendangkalan, maka atas kebijakan Sang Prabhu Niskala Wastu Kancana pelabuhan dipindahkan ke Muara Jati. Sedangkan Kartani (2004) berpendapat, Pelabuhan Muara Jati didirikan untuk memacu laju pertumbuhan perdagangan Galuh. Muara Jati mungkin dipilih karena letaknya yang cukup strategis dan nyaman untuk disandari kapal.
Surantaka sebagai sebuah nagari pesisir kiprahnya memang tidak terlalu banyak tercatat dalam naskah-naskah lama, hanya tercatat dalam PCN (5:10) yakni tentang sayembara74 yang diadakan untuk mendapatkan jodoh bagi Nyai Subang Larang, puteri Mangkubhumi Singapura Ki Gedheng Tapa.
Sayembara ini berupa pertandingan bela diri yang diikuti oleh peserta dari berbagai nagari. Pada partai puncak atau final bertemulah Raden Pamanah Rasa putera dari penguasa Galuh (Ningrat Kancana) dengan penguasa Japura (Prabhu Amuk Marugul), yang akhirnya dimenangkan oleh Raden Pamanah Rasa. Dengan demikian, Putera Tohaan di Galuh itulah yang berhak mempersunting Nyai Subang Larang. Ternyata sebelum mengikuti sayembara itu Raden Pamanah Rasa atau Pangeran Jaya Dewata telah menikahi Nyai Ambet Kasih, puteri dari Ki Gedheng Sedhang Kasih penguasa Surantaka. Untuk perkawinan mereka, Ki Gedheng Sedhang Kasih menghadiahkan daerah Sindang Kasih kepada menantunya.
Masyarakat Sunda mengabadikan peristiwa itu dalam bentuk dongeng (Salana 2002:20). Menurut cerita orang Sunda, dikisahkan Prabhu Anggalarang ayah Prabhu Siliwangi memiliki dua orang istri. Istri yang pertama bernama Retna Huma, darinya ia memperoleh putra yang bernama Sang Parbamenak Rajaputera. Istri yang kedua bernama Retna Nastunalarang, darinya ia memperoleh seorang putra bernama Sang Manah Rasa Rajasunu. Retna Huma mempunyai adik bernama Banyaksumba, ia merupakan Patih Pajajaran. la sangat berharap keponakannyalah yang kelak menggantikan kedudukan ayahnya, Prabhu Anggalarang. Maka dari itu, ia melakukan bermacam tipu muslihat untuk mencelakakan Rajasunu yang ia anggap saingan keponakannya, namun upayanya senantiasa menemui kegagalan.
Pada suatu ketika, ia melumuri sekujur tubuh Rajasunu dengan arang bercampur air ketan hitam. Maka hilanglah wujud Rajasunu yang asli, kulitnya menjadi hitam pekat, namanya pun lantas diganti dengan nama Silihwangi (bukan nama aslinya). Banyaksumba menjual Siliwangi kepada Nakhoda orang Palembang sebagai budak, ternyata oleh Nakhoda itu Silihwangi dijualnya kepada Juru Labuhan Ki Ageng Sindang Kasih. Oleh Ki Ageng Sindang Kasih, budak itu diberikan kepada putrinya Nyai Ambet Kasih atau Nyai Rambut Kasih. Lama kelamaan setelah budak itu dimandikan, diketahuilah rupa aslinya, yakni Sang Manah Rasa Rajasunu. Pada akhirnya mereka menjadi suami istri.
Peristiwa perkawinan mereka diabadikan juga oleh masyarakat Sindang Kasih Kecamatan Beber dalam bentuk dongeng. Dikisahkan bahwa Nyai Ambet Kasih atau Nyai Rambut Kasih, putri Ki Gedheng Sindang Kasih memperoleh seorang budak hitam pekat yang kemudian dipeliharanya. Oleh Nyai Ambet kasih ia pun dimandikan, setelah dimandikan barulah diketahui bahwa ia adalah putra penguasa Galuh. Masyarakat Sindang Kasih meyakini peristiwa dimandikannya Raden Pamanah Rasa terjadi di lereng Gunung Jaganiti, tepatnya di sebuah batu yang tidak diketahui namanya.
Sedangkan Ki Gedheng Sindang Kasih hingga berusia lanjut tak memiliki putera yang dapat meneruskan kepemimpinannya, maka jatuh kepada sang menantu Raden Manah Rasa. Tidak jelas kapan hilangnya Nagari Surantaka dari peta Galuh, namun dipastikan bahwa Surantaka selanjutnya disatukan dengan Singapura. Kemungkinan hal ini dilakukan atas inisiatif dari Raden Pamanah Rasa selaku pewaris Surantaka, menantu Mangkubhumi Singapura Ki Gedheng Tapa, dan sebagai putera mahkota Galuh. Sedangkan posisinya sebagai Juru Labuhan digantikan oleh Ki Gedheng Tapa.
2. Nagari Singapura
Sebelum memaparkan keberadaan Singapura, terlebih dahulu kita mengkaji nama Singapura secara etimologis.
Berdasarkan bahasa Cirebon yang dipakai sekarang ini, ‘sing’ berarti ‘dari’ atau ‘yang’. Umpamanya “sing duwur”, artinya “dari atas”, “sing kuwen”, artinya “yang itu”. Namun dalam bahasa Cirebon abad XVII tidak ditemukan, yang ada ‘ring’ untuk menunjukkan ‘dari’. Sedangkan kata ‘pura’ sudah digunakan sejak dahulu. Dalam bahasa Sanskrit diartikan sebagai ‘depan’, ‘gerbang’, ‘kota’, ‘istana’, atau ‘negara’. Tetapi apabila diberi suku kata di depannya misalnya ‘am’ maka menjadi ‘ampura’, maka dalam bahasa Cirebon sehari-hari sekarang berarti ‘rnaaf’. Apabila dirangkaikan kata ‘sing’ di depannya dan kata ‘ampura’ di belakangnya, terbaca ‘singampura’ yang bermakna ‘yang mendapat maaf’. Kemungkinan nama ini dipakai karena dianggap layak untuk digunakan sebagai nama sebuah nagari. Jadi Nagari Singapura itu adalah nagari yang mendapat curahan ampunan dari Tuhan.
Jika nama Singapura kita pecah menjadi dua suku kata ‘singa’ dan ‘pura’ maka akan timbul beberapa tafsiran lain. Kata ‘singa’ dalam bahasa Cirebon sekarang, ternyata memiliki makna selain hewan singa itu sendiri, juga bermakna, ‘setiap’, ‘sembarang’, ‘seluruh’. Bila kita kita memaknai kata ‘singa’, lantas kita sambungkan dengan kata ‘pura’, maka kita akan mendapat beberapa tafsiran: Kota Singa. Sebuah kota yang mungkin mengambil singa sebagai simbol kotanya. Singapura juga dapat bermakna Gerbang Singa. Sebuah kota yang pada gerbangnya terdapat hiasan berbentuk hewan singa. Singapura bermakna “Di Depan Singa”, atau “Singa Terdepan”.
Ada kemungkinan yang dimaksud ‘singa’ itu adalah Nagari Wanagiri yang merupakan penerus dari Kerajaan Indraprahasta. Dalam NK 1.1, terdapat kisah ketika raja Tarumanagara ke-3, Raja Purnawarman, mengadakan suatu upacara yang dihadiri oleh berbagai negara bawahan, sekutu, serta sahabat, mereka datang berperahu. Di situ tercatat perahu Kerajaan Indraprahasta datang dan menggunakan panji bergambar singa (Singha Dwaja Rupa). Dan kelihatannya simbol singa itu digunakan juga oleh Wanagiri sebagai penerusnya. Bahkan kita juga tahu bahwa bendera Kerajaan Ckebon juga bergambar singa. Disebut sebagai Kad Lalancana Singha Barwang Dwajalullah, atau lebih dikenal dengan nama Macan All.
Singapura dapat bermakna Kota Berbagai Bangsa, jika kita melihat posisi Singapura sebagai nagari yang wilayahnya di tepi pantai dan memilki pelabuhan yang sangat ramai serta disinggahi oleh perahu dari berbagai bangsa. Tome Pires (1513) mencatat per hari sekitar empat sampai lima perahu berlabuh di Pelabuhan Muara Jati yang datang dari berbagai tempat, maka pantas pula ia dinamai begitu.
Apapun penafsiran tentang nama Singapura, tidak akan dapat menghapus peranan serta keberadaannya sebagai nagari bawahan Galuh yang kemajuannya termasuk paling pesat di antara lainnya.
Nagari ini terletak kira-kira 4 km di sebelah utara Giri Amparan Jati. Luas wilayah secara pasti tidak jelas, tetapi indikasi batas-batasnya dapat ditemukan. Di sebelah utara berbatasan dengan Nagari Surantaka, di sebelah barat berbatasan dengan Nagari Wanagiri, di sebelah selatan dan timur dengan Nagari Japura, dan di sebelah timurnya, Laut Jawa (Teluk Cirebon). Pusat pemerintahannya berada di Desa Mertasinga Kecamatan Cirebon Utara Kabupaten Cirebon. Sisa-sisa istananya yang masih ada hingga sekarang adalah gerbang istana, yang oleh masyarakat setempat disebut Lawang Gede.
Pada masa Belanda, bekas istana Singapura yang terletak di sisi Sungai Bondet itu pernah menjadi basis pemberontakan sebanyak dua kali. Pertama, pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Suryajanegara75 (1753-1773). Kedua, pemberontakan yang terjadi pada tahun 1818 M, atau di masa Sultan Sepuh VIII, Sultan Raja Udaka (1815-1845), dipimpin oleh Ki Bagus Rangin dan Ki Bagus Serit. Peristiwa pemberontakan ini lebih dikenal oleh masyarakat Cirebon dengan nama Perang Kedongdong.
Nagari Singapura dipimpin oleh Ki Gedheng Surawijaya Sakti, adik dari Prabhu Dewa Niskala. la memiliki seorang istri bernama Nyai Indang Sakati, putri dari Giri Dewata atau Ki Gedheng Kasmaya penguasa Nagari Wanagiri. Sayang dalam perkawinan itu mereka tidak dikaruniai keturunan.
Selanjutnya kepemimpinan dilanjutkan oleh adiknya, Ki Gedheng Tapa yang telah lama membantunya menjadi Mangkubhumi, juga menjadi Juru Labuhan Pelabuhan Muara Jati kedua sepeninggal Juru Labuhan pertama, Ki Gedheng Sedhang Kasih. Secara persis, pelimpahan kekuasaan atau tahun wafatnya Ki Gedheng Surawijaya Sakti tidak diketahui.
Di bawah kepemimpinan Ki Gedheng Tapa atau Ki Jumajan Jati, Pelabuhan Muara Jati maju pesat dan menjadi pelabuhan yang sangat diperhitungkan. Ternyata dipicu oleh denyut nadi pelabuhan itu, muncullah sebuah pedukuhan yang dipenuhi oleh kegiatan perdagangan yang bernama Pasambangan. Yang kemudian hari menjadi salah satu pusat kegiatan penyebaran Islam di Jawa yang biasa disebut Puser Bumi. Seperti yang tercatat dalam PCN (1720:13).
…Kala samana sinuku eng Giri Sembung lawan Ngamparan Jati huwus mangadeg lawas Pasambangan dukuh wastanya// Paratidina janmapadha ikang dol-tinuku samya atekeng engke/i sedheng parirenan kang prahwa Muhara Jati dumadi akrak/ mapan ri nanawidha kang palwa nityasa mandeg engkene// Pantara ning yata saking Cina negari Ngarab/ Persi/ Indiya/ Tumasik/ Pasefh]/ Jawa Wetan Mandura lawan Palembang/ matang ika Pasambangan dukuh dumadyakna akrak mwang janmapadha// Kahanannya subika/…
… Akan berganti yang diceritakan. Pada masa itu di kaki gunung Amparan Jati telah berdiri sejak lama dukuh yang namanya Pasambangan. Tiap-tiap hari warga masyarakat datang di situ untuk berjual beli, sedangkan persinggahan perahu Muhara Jati menjadi ramai, karena bermacam-macam perahu berhenti disitu. Di antara perahu-perahu itu dari negeri Cina, Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik (Singapore), Pasai, Jawa Timur, Madura, dan Palembang. Karena itu dukuh Pasambangan menjadi ramai dan warga masyarakat kehidupannya sejahtera…
Keberadaan Muara Jati sebagai sebuah pelabuhan tercatat pula dalam “Suma Oriental” karya Tome Pires (1513 diterjemahkan oleh Armando Cortesao pada tahun 1944). Pires menyebutkan, Pelabuhan Cerimon/Cheroboan merupakan pelabuhan yang baik. Di situ setiap waktu ada empat atau lima jung (perahu) berlabuh, terbanyak dari jenis lanchara (sejenis perahu yang jalannya sangat cepat). Jung dapat berlayar hingga 15 km ke hulu sungai. Pelabuhan itu berpenghuni lebih dari 1.000 orang, beras, dan berbagai jenis bahan makanan merupakan komoditas yang diper-dagangkan. Selain dari itu diperdagangkan pula kayu, yang kualitasnya terbaik di seluruh Pulau Jawa.76
Selanjutnya PCN menceritakan kedatangan armada Angkatan Laut Cina pada tahun 1415 M yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho atau Zheng He atau Te Ho yang beragama Islam. Armada itu berkekuatan 63 perahu dengan jumlah pasukan 27.800 orang.
Gambar 9
Jangkar yang diyakini sebagai peninggalan Cheng Ho
Namun dalam NK 1.2 (1692:14) jumlah pasukan dan jumlah perahu dalam muhibah itu agak berbeda. NK 1.2 menyebutkan jumlah pasukan 2.700 orang dengan menggunakan perahu ±100 buah. Sedangkan Sunardjo (1996:19) mengungkapkan, Laksamana Cheng Ho yang merupakan keturunan Mongol melakukan tujuh kali pelayaran dari tahun 1405 M-1425 M77 dengan armada sebanyak 200 jung atau perahu besar dengan masing-masing berbobot mati ±80-100 ton.78 Mereka melaksanakan tugas muhibah keliling itu atas perintah Kaisar Cina Cheng Tu atau Yung Lo, raja dinasti Ming III. Tugas utama misi ini adalah membina persahabatan yang erat dengan kerajaan-kerajaan di seberang lautan (Sudjana 1996:181).
Dalam masa tujuh kali pelayarannya, ia berhasil memindahkan 25.000 orang Cina dari Provinsi Yunan dan Swatow di Cina selatan ke Palembang, Kalimantan, dan Pulau Jawa.79 Di Jawa, imigran dari Cina ditempatkan di Banten, Cirebon,80 Semarang, Juwana, Jepara, Gresik, Ampel (Surabaya), dan Bangil.
Rahardjo (2004),81 menceritakan cerita rakyat yang mengisahkan, bahwa karena banyaknya perahu armada Cina dan bentuknya lebih besar dari perahu yang biasanya berlabuh di Muara Jati, maka sebagian perahu ditambatkan di sebuah sungai. Peristiwa tersebut diabadikan menjadi nama perkampungan yang tak jauh dari sungai tersebut, perkampungan itu diberi nama Celangcang, berasal dari kata ‘nyangcang’ yang artinya menambat. Sungai tempat menambat itu pun diberi nama Bengawan Celangcang.
Sekarang sungai itu menjadi sempit, lebarnya kira-kira hanya 4-5 meter saja. Peristiwa itu menurut NK 1.2 terjadi pada tanggal 14 “paro peteng” Palguna82 Masa tahun 1337 S/ 1415 M. Armada itu dipimpin Laksamana Cheng Ho, Ma Hwan selaku sekretaris merangkap pencatat, Kung Way Ping selaku Panglima Angkatan bersenjata, Wang Kheng Wbng sebagai kapten kapal, dan Pey Shin sebagai pencatat.
Sudjana selanjutnya menyebutkan, dalam perjalanannya menuju Canggu (Majapahit), mereka singgah di Pura Karawang, dalam fombongan itu terdapat pula seorang ulama yang bernama Syekh Hasanudin dari Campa83 (Vietnam Selatan) yang bermaksud menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Lalu sang ulama turun di Kerawang, sedangkan armada Cina melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju Majapahit, dan singgah selama satu minggu.
Dalam persinggahannya yang hanya berlangsung satu minggu, armada Cina itu ternyata sempat pula mendirikan mercusuar di atas Bukit Amparan Jati. Seperti yang dikisahkan PCN (1720:14-15):
… Cinarita hana ta prasadha tunggang prawata Ngamparan Jati/ yawat ta ratrikala ring kadhohan murub katinghalan kadi linthang kang tejamaya// Kunang iking prasadha palinggannya/ pasisk Muhara Jati ikang mangadegna yata baladika Cina Wa Heng Ping ngaranira lawan Sang Laksamana Te Ho sabalanya kang sahanira tan ketung/ irika ta ring// Pasambangan ing lampakhira umareng Majapahit mandeg sawatara ing Muara Jati/ ri huwuska tamolah ing Pasambangan desa/ magawe karya ring Sang Juru Labuhan tan masowe panatara ning akara// Pitung rahina kulem/ ri huwus ika prasadha tinuku dheng sira Ki Juru Labuhan yeka kang dumadi Mangkubumi makanama Jumajan Jati/ tinukar lawan uyah/ trasi/ beras tuton/ grabadan// Lawan kayu jati/ umangkat ring Jawa Wetan tumuli/ sampunya kabeh pepek sjro ning prahwanka/…
.. .Diceritakan ada mercusuar di atas Gunung Amparan Jati. Pada malam hari tampak berbinar-binar dari kejauhan, bagaikan bintang cahayanya berkilauan. Adapun mercusuar itu seakan-akan tanda bagi pantai Muara Jati. Yang mendirikan itu Angkatan Bersenjata Cina yang tidak terhitung banyaknya di bawah Panglima Besar Wa Heng Ping namanya dan Laksamana Te Ho. Mereka berhenti di Pasambangan dalam perjalanan menuju Majapahit, berlabuh untuk sementara di Muara Jati. Tidak berapa lama, kira-kira tujuh hari tujuh malam. Setelah mercusuar itu selesai dibangun, dibayar oleh Juru Labuhan, yang menjadi Mangkubumi, bernama Jumajan Jati. Ditukar dengan garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah dan kayu jati. Kemudian mereka berangkat menuju Jawa Timur, setelah semua perahu sarat muatan di dalamnya…
Menurut Kartani (2004), mercusuar itu materialnya adalah bambu, bahan itu dipilih karena memperhitungkan karakteristik tanah di sekitar Jawa Barat pada masa itu yang rawan longsor. Saat ini mercusuar itu tinggal pondasinya, itu pun sangat sulit untuk dikenali.
Jika kita melihat apa yang tercatat dalam NK dan PCN, maka keberadaaan mercusuar karya bangsa Cina itu, ternyata bukan saja sebagai tengara (pertanda) bagi kapal dan perahu, tetapi mercusuar itu juga merupakan tengara, bahwa akan datang sebuah perubahan 2aman, yakni masuknya agama Islam. Hal ini terbukti dengan setelah kedatangan armada Cheng Ho banyak berdatangan pendatang beragama Islam. Datanglah ulama yang bernama Syekh Hasanudin bin Yusuf Sidik84 yang berkeinginan untuk menyebarkan Islam di tatar Sunda. Berkat usaha Ki Gedheng Tapa yang gigih, ia dapat membujuk ayahnya, Prabhu Niskala Wastu Kancana agar diberi izin membuka pesantren di Karawang. Bahkan putrinya, Subang Larang atau Nyai Mas Larang Tapa85 -yang lahir pada tahun 1404 hasil perkawinannya dengan Nyai Ratna Kranjang (putri dari Ki Ageng Kasmaya atau Giri Dewata pemimpin Nagari Wanagiri)- menjadi murid Syekh Hasanudin. Di pesantren tersebut kemudian Syekh Hasanudin lebih terkenal dengan nama Syekh Quro. Letak bekas pesantrennya berada di Desa Talagasari Kecamatan Talagasari Kabupaten Karawang. Di Karawang ia mendapat seorang istri putri dari Ki Ageng Karawang yang bernama Ratna Sondari. Darinya ia memperoleh putra yang bernama Syekh Ahmad yang nantinya menjadi penghulu Karawang I.
Syekh Hasanudin berasal dari Campa (Vietnam Selatan), ia kemari ditemani oleh putranya Syekh Bantong atau Tan Go Hwat, yang kemudian tinggal di Gresik sebagai saudagar besar dan guru agama. Dari perkawinannya dengan Siu Te Yo ia memperoleh putri yang bernama Siu Ban Ci. Siu Ban Ci inilah yang kelak melahirkan anak bernama Jin Bun atau lebih terkenal dengan nama Raden Patah, Raja Demak pertama.
Jika melihat kegigihannya berusaha untuk mendapatkan izin serta mengizinkan putri semata wayangnya belajar ke Malaka ditemani oleh sepupunya Nyi Acih Putih, putri dari Nyai Rara Rudra dengan Tan Pwa Wang atau Ki Dampu Awang86 seorang saudagar kaya dari Cina (NK 1692:13), dan baru pulang pada tahun 1518, dan selanjutnya ia belajar di pesantren Syekh Quro, maka melihat hal itu, besar kemungkinan Ki Gedheng Tapa adalah seorang muslim. Hal tersebut tidaklah aneh, sebab jauh sebelum Ki Gedheng Tapa, sudah ada kerabat kerajaan Sunda Galuh yang menjadi muslim. Tercatat (Sudjana 1996:179-180) bahwa putra Sang Bunisora yang kedua (lahir 1350 M), Bratalegawa, yang senang berniaga sering bepergian jauh hingga ke luar negeri. la dikenal sebagai pedagang yang sukses memiliki banyak kapal dagang. Bukan hanya emas permata yang ia miliki, ia pun memliki beberapa rumah peristirahatan baik di lereng gunung maupun di tepi sungai.
Dalam perjalanan dagangnya, adakalanya ia berhubungan dengan pedagang dari Timur Tengah yang kebanyakan muslim. Mungkin karena melihat tindak-tanduk dan cara berniaga mereka yang baik, ia pun tertarik untuk mempelajari agama Islam, dan tak berapa lama kemudian ia pun menyatakan diri masuk Islam. la pun berjodoh dengan seorang wanita muslim dari Gujarat yang bernama Farhana bind Muhammad. Bersama-sama dengan isrinya, Bratalegawa menunaikan ibadah haji ke Mekah. la pun beroleh nama Haji Baharudin al-Jawi. Dari Mekah mereka ke Galuh. Kemudian di Galuh mereka menemui Ratu Banawati, adiknya, sambil mengajak saudarinya itu masuk Islam. Tetapi upayanya sia-sia. Mereka lalu tinggal di Caruban Girang dan mencoba mengajak kakaknya, Ki Gedheng Kasmaya atau Giri Dewata untuk memeluk Islam, namun lagi-lagi gagal.
Kegagalan tersebut tidak menyebabkan keretakan hubungan keluarga, semua saling menghormati kepercayaan dan agama masing-masing. Bahkan ia beserta istrinya diberikan izin menetap di Caruban Girang oleh Prabhu Niskala Wastu Kancana yang sekaligus kakak iparnya. Sebagai haji pertama di Galuh, maka ia lebih dikenal dengan Haji Purwa Galuh. Dari perkawinannya dengan Farhana, Haji Purwa beroleh putra bernama Akhmad yang kemudian dikenal dengan sebutan Maulana Safiudin.87
Setelah anaknya beranjak dewasa, Haji Purwa bersama keluarganya pergi ke Gujarat. Di sana Akhmad dijodohkan dengan Rogayah binti Abdullah, putri dari sahabat Haji Purwa. Dari perkawinannya ini Akhmad mempunyai seorang putri bernama Hadijah, yang kelak setelah dewasa menikah dengan saudagar dari Hadramaut. Suami Hadijah sudah sangat tua dan meninggal sebelum mereka dikaruniai keturunan. Hadijah kemudian kembali ke Galuh bersama-sama ke dua orang tuanya, lalu mereka tinggal di Dukuh Pasambangan.
Pada tahun 1420 mendaratiah Syekh Datuk Kahfi alias Syekh Idopi alias Syekh Nurjati bersama pengiringnya berjumlah dua belas orang yang terdiri dari sepuluh orang laki-laki, dua orang perempuan. Kedua belas orang itu adalah utusan Persia (Sudjana 1987:27). Sebagaimana Syekh Quro, Syekh Datuk Kahfi pun mendapatkan izin menetap berkat usaha Ki Gedheng Tapa. Seterusnya ia menetap di Pasambangan, dan mendirikan pesantren Amparan Jati. Ada pula kemungkinan izin raja Galuh Sunda Prabhu Niskala Wastu Kancana ini turun, demi kelancaran perdagangan antara Galuh -dalam hal ini Singapura- dengan para pedagang dari Timur Tengah, atau juga membuktikan bahwa wilayah-wilayah pesisir Galuh adalah kawasan perdagangan bebas.
Dari situ kemudian ia berjodoh dengan Hadijah, buyut (putri cucu) Haji Purwa yang telah lama menetap di Pasambangan. Dengan harta peninggalan suaminya terdahulu, Hadijah membantu pembangunan pesantren Amparan Jati agar lebih baik dalam berbagai hal. Sebelum menikah dengan Hadijah, ia sudah menikah dengan Sjarifah Halimah, kakak dari Syarif Abdullah (ayah dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati). Dari perkawinan tersebut mereka dikaruniai empat orang anak yakni MauIana Abdurachman atau Syarif Abdurachman, Syarifah Baghdad, Maulana Abdurrachim atau Syarif Abdurrachim, dan Maulana Chafid atau Syekh Datul Chafid. Keempat anaknya tersebut diasuh oleh kakak dari Halimah, Sulaiman yang menjadi pembesar di Baghdad.
Setelah beberapa lama, selang keberangkatan Syekh Datuk Kahfi ke Jawa, keempat anaknya itu diusir dari Baghdad, oleh uwak (pak de) mereka, Sulaiman. Pengusiran itu disebabkan kegemaran mereka berjalan mengelilingi kota sembari menabuh rebana dan menggendong-gendong anjing.88 Mereka pun mengikuti jejak orang tuanya pergi menuju tanah Jawa atau tepatnya di Amparan Jati. Selanjutnya keempat kakak beradik itu menetap di sana bersama orang tua mereka. Kelak Syarif Abdurrachman lebih dikenal dengan nama Pangeran Panjunan, sedangkan Syarif Abdurrachim lebih dikenal dengan nama Pangeran Kejaksan.
Sebagaimana diketahui, Ki Gedheng Tapa memiliki seorang putri yang bernama Nyai Subang Larang yang kecantikannnya pada masa itu sangatlah terkenal. Mungkin karena banyaknya pelamar, diadakanlah sebuah sayembara untuk menentukan siapa yang akan menjadi suaminya. Kejadian itu berlangsung pada tahun 1422 M, dan lokasinya di Nagari Surantaka.
Sayembara adu jurit ini tidak diketahui berapa jumlah pesertanya. Namun dalam partai puncak bertemulah dua orang satria pilih tanding, yaitu Pangeran Jayadewata atau Raden Pamanah Rasa putra Ningrat Kancana, dengan Sang Prabhu Amuk Marugul atau Raden Panji Wirajaya Sang Amuk Marugul Sakti Mandraguna penguasa Japura, putra dari Sang Haliwungan atau Susuk Tunggal. Jadi mereka berdua adalah sama-sama cucu dari Raja Kerajaan Sunda Galuh Pakuan yang berkuasa pada masa itu, Sang Prabhu Niskala Wastu Kancana. Pada akhirnya pertarungan sengit itu dimenangkan oleh Pangeran Jayadewata. Sang Amuk Marugul betul-betul takluk padanya. Sebagai tanda atas kekalahan dirinya, ia pun mempersernbahkan adiknya Nyai Kentring Manik Mayang Sunda kepada Jayadewata. Selain pertandingan itu, Syekh Hasanudin selaku guru Subang Larang pun mengajukan syarat, boleh Subang Larang diperistri asal menjadi permaisuri dan nanti setelah menikah, Subang Larang tetap diizinkan melaksanakan syariat ajaran agama Islam yang dianutnya.
Kisah pernikahan Prabhu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang yang hidup di masyarakat Cirebon dalam bentuk dongeng kental dengan napas Islam. Dalam dongeng itu Prabhu Siliwangi dan peserta lainnya mengikuti sayembara untuk mencari lintang Kerti jejer satus (bintang Kerti berderet seratus). Kisah itu juga menyebutkan bahwa Prabhu Siliwangi pergi ke Mekah. la pun berhasil menemukan apa yang dimaksud dengan kalung lintang Kerti jejer satus, berkat bantuan seseorang bernama Ki Guru,89 bahkan Ki Guru tersebut berhasil mengislamkan Prabhu Siliwangi (Rais 1986:7-10).
Dalam masa kepemimpinannya, Ki Gedheng Tapa selaku penerus Ki Gedheng Surawijaya Sakti dan sekaligus penerus Ki Gedheng Sedhang Kasih, berhasil dengan baik membangun sebuah daerah pesisir yang baik dan terbuka sesuai dengan citra manusia pesisir yang terbuka dan integratif. Di tangannya Singapura dan Pelabuhan Muara Jati menjadi sebuah kekuatan yang tidak pernah diperhitungkan oleh Kerajaan Galuh. Kelak dari sinilah cikal bakal sebuah kerajaan baru yang dapat menenggelamkan Galuh secara perlahan-lahan.
3. Nagari Japura
Nagari ini terletak 17 km sebelah tenggara Giri Amparan Jati, luas wilayahnya meliputi Kecamatan Astana Japura, Sindang Laut, dan Ciledug. Saat ini wilayah ini termasuk Kabupaten Cirebon.
Kartani (2003:3) sangat tertarik untuk mencatat berbagai sumber mengenai asal-usul nama Japura. Japura berasal dari kata ‘ja’ dan ‘pura’. Dalam bahasa Kawi, ‘ja’ itu artinya ‘hidup’. Sedangkan ‘pura’ artinya, ‘depan’, ‘gerbang’, ‘kota’, ‘istana’. Jadi, Japura mengandung pengertian ‘Kota Terdepan’. Kemungkinan besar nama ini juga terkait dengan kota pantai, karena pada saat itu laut adalah jalur transportasi utama.
Japura ada pula yang menyebutkan berasal dari kata ‘jep’ (alat penangkap ikan atau udang) dan ‘pura’. Dari keterangan ini dapat pula disimpulkan serta memperkuat eksistensi Japura sebagai daerah pantai penangkapan dan penghasil ikan yang baik. Pengertian lainnya, Japura merupakan singkatan ‘gajah’ dan ‘pura’, artinya sebuah kota yang pada pintu gerbangnya terdapat ornamen gajah.
Ada pula yang berpendapat, bahwa nama Japura diambil dari tokoh legenda yang bernama Gajah Pura atau Sri Gading yang pernah berperang melawan Gajah Paminggir karena berebut seorang putri.
Pusat nagari ini diperkirakan terletak dalam wilayah Desa Astana Japura Kecamatan Astana Japura Kabupaten Cirebon. Di lokasi tersebut terdapat sebuah sumur yang oleh masyarakat setempat diyakini sebagai sumur keraton Nagari Japura. Jika melihat dari bukti tersebut jarak lokasi pusat pemerintahan Japura dari pantai sekitar 5 km. Namun, pada masa itu, jarak pusat pemerintahan tentu lebih dekat lagi, yaitu sekitar 2,5 km. Perkiraan ini didukung oleh keterangan seorang penduduk di Desa Mundu (Tohadi, 53 tahun), 3 km sebelah barat Astana Japura. la menyatakan bahwa ketika ia mendirikan rumah pada tahun 1942, jarak rumahnya dengan pantai sekitar 50 m. Namun sekarang (1983) jarak pantai dengan rumahnya berubah menjadi sekitar 400 m dan sudah menjadi tambak bandeng miliknya. Apabila kita mengacu pada keterangan itu, posisi pusat pemerintahannya tak jauh beda dengan Singapura atau nagari-nagari pesisir lainnya pada masa itu yang dekat dengan pantai, hingga bisa dipastikan senantiasa terdapat muara sungai untuk pelabuhan perahu-perahu dagang atau nelayan setempat (Sunardjo 1983:22). Menurut Tome Pires (1513), kemampuan Pelabuhan Japura sebanding dengan Muara Jati. Digambarkannya Pelabuhan Japura yang terletak antara Cirebon dan Losari tersebut berpenduduk 2.000 orang, yang tersebar di berbagai dusun (Cortesao 1944:173-183).
Japura diduga sebagai pemukiman tua, karena jauh sebelum dikenal sebagai nagari yang kuat. Kartani (2003:6) menyebutkan ada bukti arkeologis yakni sebuah situs yang berbentuk batu karang sebesar dan setinggi anak kecil oleh masyarakat setempat disebut Bumi Segandu.90 Berdasarkan pendapat para arkeolog, bahwa keberadaan Bumi Segandu merupakan tanda kepurbaan dari lokasi itu dan sekitarnya serta keberadaan dan fungsinya diidentikkan dengan menhir.91
Keberadaan Pelabuhan Japura tidak lepas dari pengelolaan yang baik dari pemimpinnya, yakni Raden Panji Wirajaya Sang Amuk Marugul Sakti Mandraguna.92 Nama ini begitu melekat dan jadi bagian tradisi tutur yang beredar luas di masyarakat Cirebon terutama daerah sekitar Astana Japura. Bagi sebagian orang nama dan gelarnya begitu mencerminkan kharisma, terkesan angker penuh wibawa.
Selain memperhatikan perkembangan pelabuhan, ia pun membangun dan mengembangkan pula sistem pengairan untuk rakyatnya yang bekerja sebagai petani, dengan membangun sebuah dam yang disebut Telaga Maharena Wijaya (NK 1.2:21). Telaga ini diperkirakan adalah Situ Patok yang berada di Kecamatan Astana Japura sekarang. Oleh Pemerintah Belanda, dam ini diperbaiki dan dioptimalkan fungsinya. Selain dari itu, Darma Loka yang sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kuningan, juga diduga dibuat atas prakarsanya.
Jika kita melihat situasi politik kerajaan Galuh Sunda Pakuan pada umumnya, sepeninggal Prabhu Niskala Wastu Kancana yang wafat pada tahun 1475 M dan dikebumikan di Nusa Larang,93 maka naiklah ke dua putranya. Pertama, Sang Haliwungan atau Susuk Tunggal menduduki tahta di Sunda Pakuan, sedangkan anaknya yang kedua, Ningrat Kancana berkuasa di Galuh Pakuan.
Ningrat Kancana naik tahta dengan gelar Dewa Niskala. Tiga tahun setelah menduduki singgasana yaitu 1478 M terjadi peristiwa penting di Pulau Jawa, Kerajaan Majapahit kala itu setelah dilanda pemberontakan dan perang saudara dengan pasukan Islam dari Demak di bawah pimpinan Adipati Demak Raden Patah atau Jin Bun, putra Prabhu Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya. Akibatnya banyak petinggi Majapahit yang mengungsi, di antaranya Raden Baribin, saudara seayah Prabhu Kertabhumi.
Beserta keluarganya ia mengungsi hingga sampai ke ibukota kerajaan Galuh Surawisesa (situs Astana Gede Kawali Ciamis).94 Prabhu Dewa Niskala menerima dengan baik Raden Baribin beserta rombongan, bahkan lebih dari itu, putrinya Ratna Ayu Kirana dinikahkan dengan Raden Baribin. Selain itu, salah seorang gadis pengungsi Majapahit ada yang dinikahi oleh Sang Prabhu Dewa Niskala. Padahal menurut hukum yang berlaku pada masa itu, gadis itu berstatus sebagai gadis larangan, karena sudah bertunangan dan belum dibatalkan pertunangannya. Prabhu Susuk Tunggal menjadi murka. Karena dengan tindakan tersebut, jelas-jelas Prabhu Dewa Niskala sudah melanggar adat yang ditabukan oleh keluarga keturunan Prabhu Wangi, yang gugur di Bubat. Mereka bersumpah tidak akan melakukan perjodohan ataupun hubungan kekerabatan dengan Majapahit. Dengan itu, Sang Susuk Tunggal menyatakan putus hubungan kekerabatan, juga hubungan kenegaraan antara Sunda Pakuan dengan Galuh Surawisesa.
Lama-kelamaan ketegangan itu semakin meruncing, sehingga sesepuh kedua pihak yang berseteru berinisiatif untuk mengadakan musyawarah. Musyawarah tersebut menghasilkan sebuah keputusan, yaitu baik Prabhu Susuk Tunggal maupun Prabhu Dewa Niskala harus bersedia turun dari tahta mereka. Sebagai pengganti mereka berdua, maka disepakati Pangeran Jayadewata atau Raden Pamanah Rasa yang naik tahta pada tahun 1482 M.
Dia dinobatkan dua kali pada tahun yang sama. Pertama, ia dinobatkan di Galuh Surawisesa menggantikan ayahnya dengan gelar Prabhu Guru Dewataprana. Kedua, ia menerima tahta dari Prabhu Susuk Tunggal sebagaimana hasil musyawarah para pinisepuh, dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.95 Keputusan tersebut ditengarai menirhbulkan rasa tidak senang Sang Amuk Marugul terhadap Raden Pamanah Rasa yang semakin menjadi-jadi.Yang telah dipersiapkan Sang Prabhu Susuk Tunggal, dengan begitu saja menjadi hak dari Jayadewata.96
Ada kemungkinan terjadi kontak fisik atau peperangan di antara mereka, sebab tercium upaya “pembelotan” dengan memperkuat angkatan bersenjata. Demi pemantapan dan keutuhan kerajaan kiranya pantas hal tersebut dilakukan oleh Pamanah Rasa yang mengemban titah dari para pinisepuh untuk menyelamatkan kerajaan. Sunardjo meyakini peperangan itu terjadi jauh sebelum Pamanah Rasa dinobatkan, yakni pada tahun 1422 M tak lama setelah keduanya bertemu dalam sayembara. Sunardjo meyakini bahwa Japura jatuh dengan gugurnya Amuk Marugul dalam peristiwa tersebut, dan untuk selanjutnya Japura digabungkan dengan Singapura. Jayadewata melakukan aksi tersebut dalam wewenangnya sebagai penguasa Surantaka, Sindang Kasih, sekaligus putra mahkota kerajaan Galuh (Sunardjo 1983:23). Sementara Kartani (2004:3) berpendapat lain, ekses hasil musyawarah tersebut tidak separah itu, tapi adanya ketidakharmonisan keduanya patut diduga menimbulkan percikan api peperangan sangat kuat. Keputusan itu memang berat sebelah, alias kurang adil, namun Amuk Marugul dapat mengarifinya, ia memimpin Japura hingga masa senjanya.
Sebagai pemimpin Nagari Japura, Amuk Marugul meninggalkan banyak jasa yang tak terkira harganya, semisal optimalisasi Pelabuhan Japura, pembangunan Telaga Maharena Wijaya (Waduk Setu Patok), Telaga Darma (Waduk Darma) yang manfaatnya masih dapat dirasakan sampai saat ini.
Kepemimpinan Japura sepeninggal Amuk Marugul digantikan oleh putranya Kyai Ageng atau Ki Gedheng Japura, hasil dari perkawinan Amuk Marugul dengan Nyai Retna Ayu Mayang Sari, putri Ki Ageng Sanggarung Raja Losari. Ki Ageng Japura memiliki putri bernama Nyai Mas Matang Sari, kemudian ia dinikahi oleh Pangeran Panjunan. Dari perkawinan tersebut lahirlah Pangeran Muhamad atau Pangeran Pelakaran.97 Pangeran Muhamad berputra Pangeran Santri yang kemudian menikah dengan Nyai Mas Pucuk Umum dari Sumedang. Inilah cikal bakal kerajaan Sumedang Larang.
4. Nagari Caruban Larang
Sebagaimana diterangkan di atas, atas kemenangannya dalam sayembara adu jurit serta memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Syekh Quro, maka Raden Pamanah Rasa atau Pangeran Jayadewata berhak menikahi Nyai Mas Subang Larang atau Subang Karancang. Dapat dipastikan bahwa untuk selanjutnya Nyai Subang Larang diboyong ke Keraton Galuh Surawisesa, karena pada masa itu Pamanah Rasa belum menjadi Raja Pajajaran, bahkan Ningrat Kancana ayahnya belum lagi dilantik menjadi raja di Galuh. Dari perkawinannya mereka dikarumai tiga orang anak: Raden Walangsungsang yang lahir pada tahun 1423 M, Nyai Lara atau Rara Santang lahir pada tahun 1426 M, dan Raja Sengara lahir pada tahun 1428 M.
Pada tahun 1441 M Nyai Subang Larang jatuh sakit hingga meninggal dunia. Semenjak kematian ibunya, ketiga kakak beradik mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari saudara-saudara lain ibu (Atja 1986:32). Hal tersebut membuat gerah Raden Walangsungsang, hingga setahun kemudian (1442 M) ia keluar dari keraton melintasi hutan belantara.98
Dalam tradisi masyarakat Cirebon, antara lain tercatat dalam Babad Klayan” (Hadisutjipto 1989; Arismunandar dan Pudjiastuti 1996:224), digambarkan perjalanan yang dilaluinya begitu berat, tak berapa lama ia sampai di Gunung Merapi. Di situ berdiam seorang pandita penganut aliran Budhaprawa (Syiwa Buddha)100 yang sangat luhung bernama Sang Hyang Danuwarsih. Sang Hyang Danuwarsih adalah putra dari Sang Danusetra, pendeta agung di pegunungan Dieng.
Setelah berdiam cukup lama, Walangsungsang diberi berbagai benda pusaka101 (Rais 1986:18-19), serta dinikahkan dengan putri Sang Pendeta yang bernama Nyai Indang Geulis atau Nyai Indang Ayu yang diam-diam telah lama menaruh hati pada putra Prabhu Siliwangi tersebut (Rais 1986:15; Atja 1986:32).
Sementara itu, tanpa sepengetahuan orang tua, Nyai Rara Santang menyusul kakandanya. Setelah sekian lama ia berjalan tanpa memperdulikan keselamatan jiwa dan raganya, tibalah ia di Gunung Tangkuban Perahu.’ Di tempat itu ia bertemu dengan Nyai Indang Sukati. Kepada wanita tua itu, ia menceritakan maksud dan tujuan perjalanannya. Nyai Indang Sukati memberi petunjuk agar hal tersebut ditanyakan kepada Ki Ajar Sakti di Argaliwung. Sebelum Nyai Rara Santang melanjutkan perjalanan, Nyai Indang Sukati memberinya sebuah baju azimat bernama Baju Hawa Mulia.102 Tiada berapa lama, ia bertemu dengan Ki Ajar Sakti103 yang memberikan petunjuk jika ingin menemukan Raden Walangsungsang hendaklah ia menuju arah timur-selatan, ia akan menemukan Sang Kakak di Gunung Merapi.
Tanpa terasa tibalah Nyai Rara Santang di tempat yang dituju, tempat kakaknya berada, kedatangannya diterima dengan baik oleh Raden Walangsungsang, Sang Hyang Danuwarsih memberi saran agar untuk sementara tinggal di situ. Selanjutnya Sang Hyang Danuwarsih menyarankan agar ke dua putra-putri Prabhu Siliwangi untuk meminta petunjuk kepada Sang Hyang Nago di Gunung Numbang. Maka berangkatlah kedua kakak-beradik ke Gunung Ciangkui disertai istri Pangeran Walangsungsang, Nyai Indang Geulis.
Setibanya mereka di Gunung Cisangkui, mereka bertemu dengan Sang Hyang Nago. Kepadanya Pangeran Walangsungsang menuturkan seluruh maksud dan tujuan. Sang Hyang Nago mendengar penjelasan tersebut, lalu menerangkan bahwa jika ingin mencari perihal agama Islam hendaknya bertanya kepada Sang Hyang Naga di Gunung Numbang. Sebelum tiga orang tersebut pergi, Sang Hyang Nago memberikan berbagai ilmu, serta mewariskan sebuah senjata pusaka yang bernama Golok Cabang.104
Sesuai petunjuk Sang Hyang Nago, berangkatlah mereka bertiga ke Gunung Numbang. Sesampainya mereka di sana, Raden Walangsungsang menyampaikan apa yang menjadi maksud dan tujuan meraka bertiga kepada Sang Hyang Naga. Namun, seperti yang sudah-sudah, keinginan mereka untuk memperdalam agama Islam tak bisa terlaksana. Sang Hyang Naga hanya memberi pentunjuk agar mereka melanjutkan perjalanan ke Gunung Cangak105 dan menemui Ratu Bangau, ia pun tak lupa membekali Walangsungsang dengan berbagai ilmu dan benda pusaka.106
Ratu Bangau tinggal di satu pohon yang tingginya 500 m yang setiap dahan dan rantingnya dipenuhi oleh ribuan bangau. Terjadi sedikit perlawanan dari Ratu Bangau, namun oleh Walangsungsang akhirnya Ratu Bangau dapat ditaklukan (Rais 1986:11-20). Peristiwa perjumpaan Walangsungsang dengan Ratu Bangau diabadikan dalam lagu Cingcing Duwur, Kajongan, Pari Anom, Rambu Cede, Rambu Cilik, dan Bango Butak atau Rara Butak. 107
Setelah Ratu Bangau mengaku takluk, ia pun memberi petunjuk yang diharapkan Walangsungsang, bahwa apabila ia ingin mencari agama Islam, pergilah menuju ke Gunung Jati. Selain dari itu ia pun membekali dengan benda-benda pusaka (Rais 1986:21-22).108
Setelah sekitar tiga tahun belajar pada Syekh Datul Kafi di daerah Amparan Jati, Raden Walangsungsang bersama isteri dan adiknya, Nyai Lara Santang dianggap telah selesai mempelajari agama Islam. Oleh gurunya Raden Walangsungsang diberi nama Ki Somadullah. Mereka kemudian dianjurkan untuk mendirikan pedukuhan di Kebon Pesisir (sekarang Lemahwungkuk) yang pada waktu itu disebut dengan Tegal Alang-alang. Pedukuhan tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng Danusela yang bergelar Ki Gedeng Alang-alang.
Sekitar lima tahun kemudian, datanglah Ki Somadullah atau Raden Walangsungsang dari puncak Amparan Jati bersama istri, dan adik perempuannya. Setibanya di Kebon Pesisir, ia kemudian diberi gelar Pangeran Cakrabuwana.
Dikisahkan, bila malam dua pasangan suami istri, yakni Ki Gedeng Alang-alang beserta istri dan Ki Somadullah beserta istri, bekerja mencari rebon (udang kecil) dan ikan di sungai yang ada di sebelah timur rumahnya dan di pinggir pantai. Rebon dan ikan itu dipakai sebagai bahan untuk membuat terasi dan petis. Konon, terasi dan petis yang dihasilkan Ki Somadullah dikenal enak, dan semakin hari pembeli yang datang ke Dukuh Lemah Wungkuk untuk membeli barang itu bertambah banyak. Para pendatang bukan hanya dari daerah sekitar seperti Desa Pesambangan dan Muarajati, tetapi juga dari wilayah Sunda, bahkan dari negeri Arab dan Cina. Lama kelamaan mereka tidak sekedar membeli terasi dan petis, tetapi menetap di daerah ini; dan bahkan para pendatang ini ikut membuat terasi dan petis. Pada akhirnya, Dukuh Lemah Wungkuk sejak tanggal 14 paro-peteng bulan cetra 1367 Saka (1445/1446 M), disebut Dukuh Carbon, yang berasal dari kata ‘cai’ dan ‘rebon’.
Dari cerita yang beredar di masyarakat, disebutkan Ki Gedeng Alang-alang terpilih menjadi Kuwu Caruban yang pertama, sedangkan Ki Somadullah menjadi Pangraksabumi (wakil kuwu) dengan gelar Ki Cakrabumi. Pada tahun 1450 M Ki Somadullah mengerahkan orang-orang untuk bersama-sama mendirikan tajug (musholla) di daerah Jelagrahan109 dan membuat gubuk di sekitarnya. Pendirian tajug dan dibukanya perkampungan (sekarang menjadi Keraton Kanoman) tersebut merupakan salah satu tanda perkembangan Islam di Cirebon. Perkampungan ini pada saatnya menjadi cikal-bakal bagi kota Ckebon.
Sejak saat itu Pangeran Walangsungsang giat menyiarkan agama Islam di sekitar daerah Cirebon, sedangkan untuk daerah di luar Cirebon masih belum terjamah. Hal itu, disebabkan pada waktu itu Cirebon masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda, yang hampir sebagian masyarakatnya masih beragama Hindu dan Budha. la mendiami rumah dekat tajug&. Jelagrahan sambil mengajar agama Islam kepada penduduk.
Dengan meningkatnya jumlah penduduk Cirebon serta semakin banyaknya kaum muslimin dari luar Ckebon yang ingin memperdalam agama Islam, kondisi fia/Lg-Jalagrahan tidak dapat lagi menampung umat Islam dalam menjalankan berbagai kegiatan keagamaan di Cirebon, ttiaka perlu didirikan masjid baru dengan ukuran yang lebih besar. Untuk itulah dibangunlah masjid baru yang dinamakan Masjid Agung Ciptarasa. Masjid ini merupakan masjid resmi Kesultanan Cirebon. Menurut keterangan, masjid ini didirikan oleh Wali Sanga dan pembangunannya dipimpin oleh ahli bangunan dari Majapahit yang bernama Raden Sepat. Salah satu tiang masjid ini disebut “Saka Tatal” karena terbuat dari susunan ‘tatal’ (potongan-potongan kayu).
Ketika Ki Gedeng Alang-alang meninggal, atas persetujuan rakyat setempat, Ki Somadullah diangkat menjadi Kuwu Dukuh Lemah Wungkuk menggantikan mertuanya dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Beliau menjalankan industri rumah tangga yaitu membuat terasi dan petis.
Pada saat Ki Somadullah menjabat sebagai Kuwu Caruban II keadaan daerah ini semakin ramai. Selanjutnya oleh Pangeran Cakrabuana, Caruban ditingkatkan menjadi sebuah negeri dengan sebutan Caruban Larang. la juga membentuk laskar yang mengawal keamanan wilayah dengan segala kelengkapannya. Setelah mengambil harta peninggalan Ki Gedeng Tapa dari Kerajaan Singapura (± 4 km, sebelah utara makam Sunan Gunung Jati), Pangeran Cakrabuana mendirikan bangunan baru berupa istana yang diberi nama Keraton Pakungwati pada tahun 1452 M. Dengan dibangunnya Keraton Pakungwati ini, menandakan bahwa Cirebon sudah mulai berfungsi sebagai pusat pemerintahan lokal.
Gambar 10
Gerbang Keraton Pakungwati semasa Pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunung Jati
Menjelang timbulnya kekuasaan politik Islam Cirebon, kedudukan Ckebon masih berada di bawah Tohaan di Galuh (1475—1482). Baru setelah itu, Cirebon dipegang oleh Sunan Gunung Jati dan dapat melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Galuh Sunda Pakuan Pajajaran yang pada waktu itu rajanya adalah Sang Ratu Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja atau lebih dikenal dengan sebutan Prabhu Siliwangi (1482—1521). Mulai saat itu, Ckebon merupakan sebuah Kerajaan Islam yang berdaulat dan tidak lagi di bawah kekuasaan manapun. Pada saat ini, Ckebon sudah melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Sunda.
Eksistensi Cirebon yang semakin kuat dengan berkembangnya agama Islam pada akhknya berbenturan dengan kedaulatan Kerajaan Galuh. Satu demi satu daerah kekuasaan Galuh seperti Palimanan, Cangkuang, Luragung (Kuningan), Rajagaluh dan Talaga (Majalengka), dan Cimanuk (Indramayu) ditaklukkan oleh Kerajaan Islam Ckebon.
5. Periode Kerajaan
Buku Tjarita Tjaruban (lihat cat. 128) menguraikan silsilah dua pria, yang diperkkakan menjadi pendiri kerajaan Islam Ckebon pada paruh pertama abad ke-16. Yang tertua dari kedua pria itu lahir di Mekah dari perkawinan seorang Raja Arab, Maulana Sultan Mahmud dari Mesk dengan Nyai Lara Santang bernama Syarif Hidayat. la hidup bersama dengan kakak laki-lakinya yaitu Raden Walang Sungsang dari Pakuan Padjajaran tempat ayahnya memerintah sebagai raja. Setelah ibu mereka meninggal, mereka pergi berkelana sampai ke Mesk dan Mekah. Syarif Hidayat lalu kembali ke Jawa lewat Gujarat dan Pasai untuk menyebarkan agama Islam. Dengan pemberian gelar sebagai Susuhunan Jati, ia lalu menjadi orang suci di Jawa Barat, serta menjadi moyang bagi dinasti Kerajaan Cirebon, dan di situlah ia dapat memerintah karena ia cucu Prabhu Siliwangi. Tokoh kedua diberi nama Fadhilah Khan, lahir pada tahun 1409 M di Pasai, sebagai anak Maulana Makhdar Ibrahim dari Gujarat.
Ada beberapa pendapat tentang Fadhilah. Atja (1986) menyamakan Fadhilah dengan Falatehan dan Tagaril. Dari Pasai, Fadhillah kemudian bekerja sebagai kepala pasukan yang bertempur melawan orang-orang Portugis di Sunda Kelapa. Sementara Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa moyang dinasti raja-raja Cirebon, orang suci di Jawa Barat itu adalah orang Pasai (De Graaf dan Pigeaud 1974: 278; 1985: 141). Pada tahun 1524 ia menikah dengan adik raja dan pada sekitar tahun 1525 lahirlah seorang anak yang diberi nama Hasanuddin. Bersama orang tuanya, ia dibawa ke Banten dan menjadi raja dalam usia dua tahun.
Selanjutnya daerah kekuasaan Sumedang di sebelah utara seperti Kandanghaur, Lelea dan Haurgeulis (Indramayu), dan Sindangkasih (Majalengka) satu demi satu dikuasai kerajaan Islam Cirebon. Dalam penaklukan daerah Sindangkasih dan Kandanghaur ini banyak berperan dua orang cucu Sunan Gunung Jati: Pangeran Sentana Panjunan dan Pangeran Wira Panjunan. Daerah Galuh dan Sumedang sendiri tetap merdeka sehingga ditundukkan oleh Sultan Agung Mataram yang berhasil menguasai wilayah antara Citanduy dan Cisadane pada tahun 1620-an.
Dengan demikian, Kerajaan Cirebon di bawah pimpinan Sunan Gunung Jati dapat dikatakan mencapai puncak kejayaannya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh R.A. Kern (1973: 21), Ckebon pernah mengalami masa yang sangat bahagia pada abad-abad pertama, dapat mengembangkan dirinya dalam suasana damai, dan bisa tumbuh dari suatu tempat menetap untuk pertama kali menjadi suatu negara yang makmur. Pendapat R.A. Kern diperkuat oleh F. de Haan (1912:33-41) bahwa Cirebon telah berhasil melebarkan wilayah kekuasaannya dan sekaligus dapat mengislamkan daerah-daerah pedalaman Sunda seperti Rajagaluh (1528) dan Talaga (1530).
Keberhasilan Sunan Gunung Jati tidak lepas dari sifat dan sikap serta tindakan seorang pemimpin tradisional yang berlandaskan agama, yang mencakup:
1. percaya pada takdir Tuhan,
2. memiliki tekad suci dan kemauan sendiri,
3. sarat dengan ilmu pengetahuan,
4. mempunyai wewenang dan hak untuk melaksanakan tugas,
5. memiliki tipe laki-laki sempurna dengan tujuan hidup kepada hal-hal yang bersifat agama, teguh dalam pendirian, dan taat kepada Tuhan,
6. memiliki benda atau senjata berkekuatan azimat, baik dari orang tuanya maupun orang lain, seperti shalawat nabi, keris, tongkat, jubah hijau, dan pakaian (kelambu dan ikat pinggang).
Setelah Cirebon dipimpin oleh Sunan Gunung Jati, kemajuannya tidak hanya dalam bidang keagamaan dan pemerintahan, akan tetapi di bidang sosial ekonomi pun maju. Di bidang ekonomi dan perdagangan, Cirebon merupakan negara maritim yang pada waktu itu banyak dikunjungi oleh negara luar. Keadaan itu sangat menguntungkan bagi masyarakat setempat untuk berdagang dan berlayar. Untuk lebih meningkatkan perdagangan, maka atas petunjuk Sunan Gunung Jati dibangun pasar yang letaknya tidak jauh dengan pantai (berhadapan dengan Keraton Kanoman).
Pada kurun waktu antara tahun 1528-1552, Sunan Gunung Jati menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Pasarean, putra Sunan Gunung Jati dengan Nyai Tepasari. Sedangkan Sunan Gunung Jati sendiri lebih mengkhususkan dari dalam masalah syiar Islam ke daerah pedalaman. Sunan Gunung Jati wafat pada tahun 1568 Masehi malam Jumat kliwon dalam usia 120 tahun dan dimakamkan di Pasir Jati, bagian teratas kompleks makam Gunung Sembung, letaknya di bagian utara, jaraknya kira-kira 5 km dari Kota Cirebon sekarang.
6. Periode Panembahan
Pengganti Sunan Gunung Jati adalah Pangeran Mas putra Pangeran Swarga. la menduduki tahta Kesultanan Cirebon dengan gelar Panembahan Ratu I. Pada masa Panembahan I, Cirebon tidak lagi melebarkan sayapnya ke daerah-daerah lain, karena pada waktu itu posisi Cirebon terjepit di antara dua kerajaan besar, yaitu Banten di barat dan Mataram di timur. Sebenarnya Cirebon bisa saja diruntuhkan baik oleh Banten maupun oleh Mataram. Akan tetapi, kedua kerajaan tersebut masih menghormati Ckebon. Banten menghormati Ckebon sebagai tahta leluhurnya, yaitu Sunan Gunung Jati, sedangkan Mataram memandang Ckebon sebagai guru dan keramat. Bukan mustahil Ckebon yang selalu bersahabat dengan Mataram dalam banyak hal menjadi teladan bagi Mataram. Mungkin Sitihinggil yang terdapat di Keraton Cirebon pada tahun 1625 ditiru oleh Susuhunan Mataram untuk keratonnya, begitu juga makam keramat Sunan Gunung Jati dipakai sebagai contoh untuk makamnya di Imogiri.
Pada masa Panembahan Ratu I, Cirebon lebih dekat dengan Mataram. Salah satu penyebabnya adalah Putri Ratu Ayu Sakluh yang merupakan kakak perempuan Panembahan Ratu I menikah dengan Sultan Agung Mataram. Dari pernikahan itu, Sultan Agung berputera Susuhunan Amangkurat I. Kelak salah seorang putri Susuhunan Amangkurat I bersuamikan Panembahan Girilaya dari Cirebon. Selain itu, menurut F. De Haan (1912:38), kedekatan Cirebon dengan Mataram juga ditandai dengan dibangunnya kuta (dinding) yang mengitari Keraton Pakungwati. Kuta yang mengelilingi Keraton Cirebon itu dibangun kurang lebih pada 1590 dan pembangunannya merupakan persembahan Senapati Mataram terhadap Panembahan Ratu I Cirebon.
Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu I, Keraton Pakungwati mengalami pemekaran pada tahun 1529. la membangun bangunan baru, sedangkan bangunan lama dijadikan Dalem Agung, yaitu tempat para sesepuh bermusyawarah.
Sepeninggal Panembahan Ratu I, pada 1649 ia digantikan oleh cucunya yang bernama Pangeran Putra atau disebut juga Pangeran Rasmi atau Panembahan Adiningkusuma. la dinobatkan sebagai kepala pemerintahan sejak tahun 1650, kemudian ia memperoleh gelar Panembahan Ratu dan disebut Panembahan Ratu II atau Panembahan Ratu Akhir. Namun, sesungguhnya yang lebih berhak menduduki jabatan itu adalah Pangeran Sedang Gayam, putra Panembahan Ratu I, namun ia meninggal dunia terlebih dahulu. Selanjutnya Cirebon di bawah pimpinan Panembahan Girilaya (1649-1667).
Gambar 11
Titi mangsa/ Sengkalan pada Gapura Sitihinggil bagian dalam
Gambar 12
Gapura Sitihinggil Keraton Kasepuhan
Setelah diangkat menjadi penguasa Cirebon, menurut berita dari Residen Cirebon (pada tanggal 1 Oktober 1684), Panembahan Girilaya beserta kedua puteranya, yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kertawijaya, dipanggil oleh Susuhunan Amangkurat I untuk berkunjung ke Mataram dalam rangka menghormati pengangkatannya sebagai penguasa Cirebon. Akan tetapi, selepas upacara tersebut Pangeran Girilaya beserta kedua puteranya tidak diperkenankan kembali ke Cirebon oleh Susuhunan Amangkurat I, meski hak sebagai raja Cirebon tetap diakui. Hal itu berlangsung selama 12 tahun, sampai Panembahan Girilaya meninggal dunia.
Tindakan itu merupakan kebijakan politik pemerintahan Susuhunan Amangkurat I terhadap penguasa-penguasa pesisir. Mataram di bawah Susuhunan Amangkurat I berusaha mencurahkan seluruh tenaga untuk dapat mengendalikan penguasa-penguasa di daerah pesisir guna kepentingannya. Cara yang dipergunakan oleh Mataram itu adalah dengan jalan menjadikan penguasa-penguasa pesisir sebagai abdi istana. Hal itu, dimaksudkan agar penguasa daerah pesisir yang cenderung bersikap terbuka terhadap pengaruh luar menjadi kurang membahayakan dan sekaligus kekuasaan mereka bisa diawasi lebih ketat.
Selama Pangeran Girilaya dan puteranya berada Mataram, pemerintahan di Cirebon sehari-hari dipegang oleh putera yang ketiga, yaitu Pangeran Wangsakerta. Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Pangeran Wangsakerta selalu diawasi dengan ketat oleh orang-orang Mataram yang ditugaskan oleh Susuhunan Amangkurat I. Hal itu, menjadikan gerak langkah Pemerintah di Cirebon tidak leluasa.
Pada tahun 1662 M di Mataram sedang terjadi huru-hara mempere-butkan tahta kerajaan, dan Panembahan Girilaya merupakan salah seorang kepala pemerintahan yang menjadi korban pembunuhan. Bahkan kedua orang anaknya yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kertawijaya menjadi tawanan Pangeran Trunojoyo yang melakukan penyerangan ke Mataram. Pada tahun itu juga, Panembahan Girilaya meninggal dunia di Mataram, dan dimakamkan di sebuah bukit yang bernama Girilaya, letaknya di sebelah timur Wonogiri, kurang lebih 6 km sebelah selatan kompleks makam raja-raja Mataram “Imogiri” Yogyakarta.
Sekitar tahun 1677, di Kerajaan Cirebon mulai tampak tanda-tanda kemunduran, Raden Trunojoyo mengadakan serangan terhadap Keraton Mataram. Serangan bukan saja berhasil menduduki ibukota Mataram, melainkan juga dapat membebaskan para pangeran Cirebon yaitu Pangeran Martawijaya dan Kertawijaya dari cengkraman Sunan Amangkurat I. Selanjutnya, para pangeran Cirebon itu dibawa oleh pasukan Raden Trunojoyo ke Kediri, kemudian diambil oleh utusan Sultan Ageng Tirtayasa ke Banten.
Pada kesempatan itu pangeran-pangeran Cirebon mendapat anugrah gelar sultan. Sebelum kembali ke Cirebon, pangeran-pangeran Cirebon tersebut dilantik terlebih dahulu oleh Sultan Ageng Tirtayasa sebagai penguasa di Cirebon, Pangeran Muhammad Samsudin Martawijaya sebagai Sultan Sepuh I Keraton Kasepuhan Cirebon; Pangeran Muhammad Badridin Kartawijaya sebagai Sultan Anom I Keraton Kanoman Cirebon; dan Pangeran Wangsakerta sebagai Panembahan Cirebon.
Menurut Babad Cirebon edisi Brandes (dalam Ekadjati, 1978:74), setelah pelantikan, pangeran-pangeran Cirebon itu tiba kembali di Cirebon pada tahun 1678. Dengan pengakuan Sultan Ageng, maka putra-putra Panembahan Ratu II, Pangeran Kertawijaya dinobatkan menjadi Sultan Anom I bergelar Abil Makarim Muhammad Badriddin dan Pangeran Martawijaya dinobatkan menjadi Sultan Sepuh I dengan gelar Abil Makarim Muhammad Syamsuddin, sedangkan Pangeran Wangsakerta (Raden Godong) menjadi Panembahan Cirebon I dengan gelar Muhammad Nasharuddin. Dengan demikian, daerah Cirebon terbagi menjadi tiga bagian kekuasaan dan dimulailah periode yang baru bagi Ckebon khususnya dalam aspek pemerintahan.
7. Periode Kesultanan
Dengan dibaginya Cirebon menjadi tiga kesultanan berarti adanya perubahan yang drastis dalam struktur pemerintahannya. Namun dalam sumber sejarah lokal tidak begitu dijelaskan daerah mana yang masuk Kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Yang lebih menarik lagi ialah perihal hubungan berdasarkan derajat tertentu dalam kekeluargaan di Kesultanan Cirebon menjadi bahan pertikaian yang berlarut-larut. Pada tanggal 3 November 1685, Francois de Tack berangkat dari Batavia menuju Ckebon. Setibanya di Cirebon, masalah yang pertama kali diatasi ialah meredakan pertikaian di antara penguasa-penguasa Cirebon. Kemudian pada tanggal 4 Desember 1685 ditandatangani suatu perjanjian baru antara Kompeni dengan Cirebon. Pihak Cirebon oleh Sultan Sepuh I, Sultan Anom I, dan Pangeran Tohpati atau Panembahan Cirebon I. Salah satu keputusan penting dari perjanjian itu menyatakan bahwa dalam hubungan-hubungan yang sifatnya keluar, Ckebon hanya diwakili oleh seorang syahbandar yaitu Tumenggung Raksanegara. Hal itu dimaksudkan agar perpecahan yang terjadi di Ckebon tidak diketahui oleh pihak asing.
Pada waktu Francois Tack mengadakan pendekatan-pendekatan terhadap penguasa-penguasa Cirebon yang sedang berselisih paham, ternyata sikapnya lebih condong kepada Sultan Anom I. Hal itu menimbulkan kecurigaan bagi yang lainnya. Kecurigaan-kecurigaan tersebut akhirnya menimbulkan kembali pertikaian di antara para penguasa Ckebon. Untuk mengatasi hal tersebut, Kompeni di Batavia mengirimkan Johanes de Hartog. Pada tanggal 8 September 1688 diadakan kontrak persetujuan antara Johanes de Hartog yang mewakili Kompeni dengan penguasa-penguasa Cirebon. Akan tetapi persetujuan tersebut tidak banyak membawa hasil, terlebih pada tahun 1697 Sultan Sepuh I meninggal dunia. Dengan meninggalnya Sultan Sepuh I maka masalah yang terjadi di Kesultanan Cirebon semakin panjang. Keadaan yang demikian itu merupakan kesempatan yang baik bagi Kompeni untuk semakin dalam menanamkan pengaruhnya di Cirebon.
Pada tahun 1697 Sultan Sepuh I (Martawijaya) wafat. la meninggalkan dua orang putera, yaitu Pangeran Dipati Anom dan Pangeran Aria Cirebon (Van Den Berg 1902:81 :ENI 1917:1:476). Sesudah itu, kekuasaan Kesultanan Kasepuhan dipecah menjadi dua: Keraton Kasepuhan di bawah Pangeran Dipati Anom dan Keraton Kacirebonan di bawah Pangeran Aria Cirebon.
Pada tanggal 5 Oktober 1705, terjadi kesepakatan antara Susuhunan Pakubuwana I dengan Kompeni yang mengakibatkan diputuskannya batas wilayah kekuasaan Kompeni, dari Cilosari di sebelah utara dan Cidonan di sebelah selatan. Oleh sebab itu, tidak hanya seluruh Priangan, melainkan juga wilayah Ckebon menjadi daerah kekuasaan Kompeni. Dalam surat keputusan itu Pangeran Aria Ckebon mendapat perintah :
1. Kepala-kepala daerah Priangan harus menghentikan pengambilan wilayah atau penduduk dan harus tetap berdasarkan alokasi yang telah dimilikinya.
2. Diwajibkan menangkap semua penjahat dan perampok; serta pengambilan wilayah atau penduduk harus tetap berdasarkan alokasi yang telah dimilikinya.
3. Setiap distrik harus memajukan penanaman padi.
4. Para kepala dan penduduk Priangan diwajibkan bertanam kapas, lada dan nila; setiap tahun harus dijual kepada Kompeni dan dibayar tunai dengan harga yang telah ditetapkan.
5. Rakyat Priangan harus diperintah berdasarkan adat kebiasaan dan hukum pribumi Jawa, tetapi para bupati dapat naik banding kepada Pemerintah Tinggi (Kompeni) apabila kepada mereka dijatuhi hukum denda atas kesalahannya.
Adanya peralihan kekuasaan tersebut, wilayah Nusantara benar-benar telah dijajah oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Perubahan yang tampak sekali dalam sistem pemerintahan salah satunya di Jawa Barat. Terlebih-lebih pada saat di bawah pemerintahan Daendels, sikap dan tindakannya yang kejam dan otokratis membawa rakyat ke jurang kemiskinan baik lahir maupun batin. Walaupun hanya berjalan selama tiga tahun, namun dampak masa pemerintahan Daendels sangat memprihatinkan, termasuk nasib para bupati atau sultan setempat. Sepertinya para bupati dan sultan berada di bawah perintah dan bekerja untuk kepentingan pemerintah kolonial semata-mata.
Pada tanggal 2 Februari 1809, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan peraturan khusus yang mengatur pembagian wilayah kekuasaan dan jabatandi Cirebon (Reglementofhetbeheer van Chetibonche Landen), yaitu
1. Bagian utara disebut wilayah Kesultanan Cirebon, yang meliputi daerah Kuningan, Cirebon, Indramayu, dan Gebang.
2. Bagian selatan yang disebut tanah-tanah Priangan, yang meliputi wilayah Kabupaten Limbangan, Sukapura, dan Galuh.
Sistem birokrasi di kerajaan-kerajaan tradisional di Jawa pada umumnya mengenal birokrasi di tingkat pusat dan di tingkat daerah. Di tingkat pusat, biasanya terdapat seorang raja atau sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dibantu oleh para pangeran yang di antaranya terdapat putra mahkota. Selain itu juga terdapat beberapa pejabat yang membawahi bidang kehakiman, keagamaan, dan bidang-bidang lainnya. Bkokrasi di daerah pada umumnya mencontoh bkokrasi yang ada di pusat hanya tingkatannya yang berbeda (Kartodkdjo, dkk, 1975:198). Sistem birokrasi seperti itu juga berlaku di Kesultanan Cirebon. Oleh karena itu, pada dasarnya struktur bkokrasi di Kesultanan Ckebon tidak banyak berbeda dengan di kerajaan-kerajaan tradisional lainnya, khususnya di Pulau Jawa. Adapun program-program kepemerintahan yang terpenting ialah pengembangan syiar Islam ke daerah-daerah pedalaman, baru kemudian masalah ekonomi dengan titik berat pada sektor perdagangan, dan terakhir memperkuat sistem pengendalian pemerintahan di pusat dan daerah dengan jalan menem-patkan para kerabat dan ulama sebagai penguasa wilayah (Sunardjo, 1983 : 61).
Saat ini, kharisma yang dimiliki oleh sultan-sultan Cirebon merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sultan-sultan Ckebon memiliki status sosial tinggi, dan dianggap sebagai pemangku adat. Sementara kekuasaan politik sudah tidak dimilikinya sejak tahun 1813, yaitu sejak Raffles mencabut hak dan kewajiban sultan-sultan Cirebon untuk ikut serta dalam pemerintahan. Akan tetapi meskipun sultan-sultan Cirebon sudah tidak lagi mempunyai kekuasaan politik, narnun mereka tetap berusaha untuk dapat melestarikan kharisma yang telah diturunkan dari leluhurnya. Usaha untuk melestarikan kharisma tersebut antara lain :
1. Tetap mempertahankan pemakaian gelar-gelar seperti pangeran, sultan, dan sebagainya.
2. Membuat silsilah yang dimulai dari Nabi Adam hingga para pembesar Cirebon.
3. Mengembangkan kebudayaan keraton.
4. Mengumpulkan benda-benda pusaka.
Gambarl3
Macan Putih sebagai simbol adanya keterikatan antara Cirebon dengan Pajajaran
Catatan Akhir:
38 Pikiran Rakyat edisi Selasa (Pon) 15 Mei 1990.
39 Di Filipina Selatan disebut “tarsilah” (Majul 1977.1989).
40 Dalam pendahuluannya Salana (2001:11) memberi keterangan tentang sebagian hasil karya Pangeran Wangsakerta di antaranya sebagai berikut:
Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara 25 jilid.
Pustaka Pararatwan 10 jilid.
Pustaka Negara Kretabhumi 12 jilid.
Pustaka Katosana 24 jilid.
Ratu Mandala Jawa Kulwan 75 jilid.
Serat Kidung 18 jilid.
Serat Prasasti 35 jilid.
Widyasastra Pradesa 84 jilid.
Kathapustaka Rajya-rajya Salakanagara 34 jilid.
Kathapustaka Raja-raja Jawa Kulwan Bang Kidul 65 jilid.
Kathapustaka Raja-raja Sanjayawamsa, Syailendrawamsa, Kalinggawamsa 68 jilid.
Salinan naskah-naskah Mpu Prapanca 10 jilid.
Jumlah keseluruhan yang pernah dimiliki ataupun disusun Kerajaan Cirebon semuanya, termasuk naskah—naskah keagamaan, Ramayana, Bharata Yudha serta naskah-naskah rontal/keropak Zaman Panembahan Ratu keseluruhannya berjumlah 1.434 jilid, hal ini termuat dalam RRBN Parwa 5 Sargah 5. Siapakah sesungguhnya tokoh Panembahan Gusti ini? Akan dijelaskan kemudian.
41 Tim ini terdiri dari tujuh atau yang lebih dikenal Adyaksa Sapta atau ‘Jaksa Pepitu’ yang masing-masing memiliki tugas tersendiri, yang terdiri dari:
Ki Raksa Nagara, sebagai penulis naskah dan melayani sekalian peserta, juga memeriksa dan meneliti naskah-naskah yang telah dikumpulkan.
Ki Anggadiraksa, ia bertindak seabagai wakil Ki Raksa Nagara sebagai penulis merangkap sebagai bendahara. Dialah yang mempersatukan hasil pemeriksaan atau penelitian. Kalau tidak mengandung kesalahan, lantas diserahkan kepada Pangeran Wangsakerta selaku penanggung jawab.
Ki Purba Nagara, bertugas untuk mencari dan mengambil bermacam-macam tulisan dari berbagai negara, yang akan dipilih. Dia mendapat tugas demikian, karena memiliki pengetahuan tentang riwayat masa lampau, terutama tentang timbul tenggelamnya suatu kerajaan di Nusantara.
Ki Singha Nagara, sebagai pemimpin yang menjaga keraton, melindungi semua peserta dan utusan yang datang dari berbagai negara. Peserta masing-masing membawa pasukan sebanyak 70 orang.
Ki Anggadiprana, bertugas sebagai duta keliling ke seluruh kerajaan, negara, wilayah, dan desa. Merangkap sebagai juru bahasa di antara para peserta, juru bicara dalam perundingan.
Ki Anggaraksa, tugas pokoknya sebagai pemimpin dapur, yang menyediakan berbagai makanan dan minuman bagi seluruh peserta.
Ki Nayapati, tugas pokoknya menyediakan penginapan dan kendaraan, di samping sebagai pemimpin pengawal. (Atja dan Ekadjati 1987:17).
42 Para utusan tidak hanya membawa kitab-kitab yang berisi tentang sejarah bahkan ada pula yang membawa kitab berisi tata cara bersenggama atau bercinta (RRBN 1677: 6).
43 Diperkirakan seminar diselenggarakan tidak hanya sekali, melihat Pustaka NK baru selesai pada 22 tahun kemudian (1699 M).
44 Referensi Purwayuga diambil dari kitab Purwaka Samasta Bhuwana atau Asal Mula Seluruh Alam Raya, karya Dharmakirti seorang pujangga / mahakawi dari Sriwijaya. Dibuat di Palembang pada tahun 1020 M dan ditulis dalam bahasa Melayu kuno. Pada tahun 1517 M Panembahan Losari menyalinnya. Pada tahun 1676 M Pangeran Wangsakerta mengalihbahasakan ke dalam bahasa Cirebon kuno (bahasa Jawa pertengahan). Isinya sangat menarik, karena, walau masih harus diteliti lebih lanjut, Purwayuga sudah membahas yang orang sebut sebagai teori evolusi Charles Darwin, dan kemiripan dengan data tentang kepurbakalaan yang ada.
45 Dalam ilmu geologi zaman tersebut termasuk dalam Zaman Pleistosen/ Zaman Diluvium. Zaman ini disebut pula Zaman Glasial/ Zaman Es, karena pada masa ini es Kutub Utara mencair sehingga menutupi sebagian Eropa Utara, Asia Utara, dan Amerika Utara. Suhu temperatur masa ini berubah-ubah sangat drastis, pada masa inilah terciptanya Dangkalan Sunda dan Dangkalan Sahul. Sedangkan menurut arkeologi disebut sebagai Zaman Paleolitikum (Zaman Batu Tua). Ditemukan bukti-bukti arkeologis bahwa pada masa itu hidup Meganthropus paleojavanicus, fosilnya ditemukan oleh G.H.R. Von Konigswald di daerah Sangiran pada tahun 1941. Pada saat dan tempat yang sama ia menemukan Pithecanthropus robustus yang usianya lebih muda dibanding Meganthropus. Antara tahun 1936-1941 Konigswald bersama dengan E Weidenrich di daerah lembah Bengawan Solo antara lain Mojokerto berhasil menemukan tengkorak balita Pithecanthropus, mereka menamainya sebagai Pithecanthropus mojokertensis (Badrika, 2000:8).
46 Dwipantara adalah nama lain dari Nusantara. O.W. Wolter meyakini bahwa yang dimaksud Dwipantara adalah kepulauan Indonesia, hal ini ia sandarkan pada sebuah kitab yang berjudul Raghuvamsa karangan Kalidasa yang menurut para ahli hidup sekitar 400 M, disebutkan dalam kitab itu bahwa ‘lavanga’ (cengkeh) berasal dari Dwipantara (M.D. Poesponegoro dan N. Notosutanto 1993:21).
47 Orang Jawa biasa menyebut apapun yang datang atau mengarah ke laut sebagai dari atau ke utara. Ingat kepada gelar Raja Demak yang kedua Dipati Unus? Pangeran Sabrang Lor. Gelar itu muncul setelah ia menyerang Malaka 1512-1513 M PC Graaf dan Th. Pigeaud, 1974:49). Para pendatang yang dimaksud kemungkinan besar adalah para pendatang dari Asia, mereka ke Nusantara dengan betung, rakit-rakit, dan getek yang sangat sederhana. Hanya diberi atap sederhana untuk melindungi dari cuaca yang ganas.
48 Perlu penelitian lebih lanjut, apakah makhluk- makhluk yang disebutkan dalam RRBN 1. 1 sesuai dengan apa yang telah diungkap oleh para arkeolog? Seandainya itu betul, maka hasil kerja Pangeran Wangsakerta tersebut telah mendahului cendekiawan Eropa beberapa abad! Atja dan Ekajati (1987:20) mengatakan bahwa pada masa yang sama (abad 17) bangsa Eropa pun belum pernah menyibukkan diri dalam penelitian prasejarah di Asia Tenggara. Coedes (1968:4:61-262) telah mencatat, bahwa perkembangan prasejarah untuk wilayah Asia Tenggara yang dikerjakan oleh orang Eropa, baru dilakukan pada abad ke-20 M. Mereka antara lain: Henry Mansury (1939), Madeleine Colani (1935-1940), Entienne Patte (1923-1932).
49 Pada tahun 1935 di daerah Pacitan von Konigswald menemukan alat-alat dari batu atau disebut kapak genggam, karena cara penggunaannya dengan digenggam. Kapak ini masih dikerjakan secara kasar dan belum dihaluskan, para ahli menyebutnya chopper (artinya alat penetak). Peralatan itu merupakan bagian dari peradaban kebudayaan Pacitan. Selain di Pacitan, alat sejenis ditemukan pula di daerah Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera selatan) (Badrika 2000:8).
50 Ada kemungkinan yang dimaksudkan tempat bermukim mereka adalah yang kita kenal sebagai dua kebudayaan Zaman Paleolitikum, yakni kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
51 Menurut tradisi awal tarikh Saka dimulai sejak Aji Saka datang ke Jawa, ia merupakan utusan raja Rum (Romawi), tradisi meyakini peristiwa itu terjadi sekitar tahun 78 M.
52 Kitab Ramayana karya Valmilri menyebutkan nama Yawa Dwipa. Kitab yang amat terkenal ini mengisahkan tentara kera yang bertugas mencari Sita di negeri-negeri sebelah timur dengan memeriksa Yawa Dwipa, pulau yang dihiasi oleh tujuh kerajaan. Pulau ini adalah pulau emas dan perak (M.D. Poesponegoro dan N. Notosutanto 1993:5). Orang bisa menerima bahwa kisah Ramayana secara lisan telah ada sejak 800 SM dan mungkin sekitar abad ke-2 SM hingga abad ke-2 M. Ini pun sesungguhnya masih dugaan kasar (P. Lal 1980: XXXIX).
53 Van Leur berpendapat barang-barang yang diperdagangkan dalam per-dagangan internasional adalah barang-barang benilai tinggi. Misalnya logam mulia, berbagai jenis tenunan, barang—barang pecah belah, di samping bahan baku yang diperlukan untuk kerajinan. Lainnya adalah bahan ramuan untuk wewangian dan obat-obatan. Jelas bahwa barang-barang tersebut memerlukan masyarakat dengan taraf perkembangan tertentu sebagai konsumen (M.D. Poeponegoro dan N. Notosutanto 1993:10).
54 N.J. Krom mengatakan, “… orang tidak perlu membayangkan suatu peradaban yang luar biasa yang dapat berdiri berhadapan setaraf dengan peradaban Hindu. Tetapi yang jelas, bahwa mereka (orang Hindu) tidak tiba di tengah-tengah orang-orang biadab.” Van Leur menganggap pernyataan Krom tersebut sangat negatif (M.D. Poesponegoro dan N. Notosutanto 1993: 21).
55 Pemuja Dewa Wishnu, dewa pemelihara, salah satu dari Trimurti.
56 Pemuja Dewa Syiwa, dewa perusak, salah satu dari Trimurti.
57 Aki Tirem (RRBN 1.1:103-104) dirunut garis keturunannya hingga generasi ke-9 namanya Datuk Waling bermukim di Hujung Mendini. Seorang yang mempunyai jabatan datuk (datu), menurut Schrieke (1974:6-7;12-13), adalah pemimpin dari tipe masyarakat yang bersahaja, tersusun atas dasar persekutuan. Tetapi masyarakat di pesisir Jawa Barat itu bukanlah masyarakat agraris, melainkan masyarakat pantai. Biasanya sebagai nelayan dan pedagang, tidak cenderung sebagai suatu masyarakat agraris. Meskipun demikian, ternyata masyarakat yang disebutkan oleh para penyusun RRBN 1.1 ini berpedoman pada pimpinan kepala-kepala keluarga, diantaranya sebagai “primusinterpares” (nomor satu diantara sesamanya), yang mewujudkan satu kesatuan masyarakat (Atja dan Ekadjati, 1987: 30).
58 Pada masa pemerintahannya pernah terjadi penyerangan oleh sekelompok bajak laut Cina namun berhasil diusir oleh angkatan laut Salakanegara. Sang Prabhu bahkan terjun langsung dalam operasi itu.
59 Sang Prabhu sesungguhnya menantu dari Dewawarman II, ia suami dari Dewi Tirtha Lengkhara. la sendiri sebenarnya ratu di Ujung Kulon.
60 Suami dari anak tertua raja sebelumnya yakni Rani Mahisasura Mardani Warmandewi. la gugur di laut dalam suatu peperangan mengadapi perompak. la gugur setelah terkena panah perompak tepat di punggungnya.
61 Setelah Dewawarman VII wafat, terjadi upaya kudeta yang dilakukan oleh panglima Krodha Maruta, putra paman sang raja yang menjadi pembesar di India, dan upaya itu berhasil. Namun Krodha Maruta tidak lama menikmati hasil usahanya karena beberapa bulan setelah ia berhasil merebut kekuasaan ia tewas secara naas tertimpa batu dari atas bukit.
62 la merupakan suami dari anak tertua Dewawarman VII yakni Sang Rani Sphatikarnawa Warmandewi. la sendiri merupakan pengungsi dari India. Tahun 268 S/346 M bersama dengan orang tuanya dan diiringi oleh para abdinya yang setia mereka datang ke Jawa Barat dari India setelah negaranya ditaklukkan oleh Maharaja Samudra Gupta Raja Magadha pemimpin wangsa Maurya.
63 Jauh beberapa abad sebelumnya, yakni pada masa Tarumanegara tercatat sebuah nagari bernama Nagari Manukwara yang merupakan bawahan dari Tarumanegara. Nagari itu terletak di tepian sungai Cimanuk. Raja ketiga Indraprahasta (wilayahnya dikemudian hari menjadi Wanagiri, lantas Caruban Girang) bernama Wiryabanyu pernah menyunting puteri dari Manukwara yang bernama Dewi Nilamsari. Sayang nama penguasa Manukwara sendiri tetap tak diketahui begitu pula kehancurannya. Diperkirakan Manukwara hilang tersapu oleh banjir lumpur yang amat dahsyat yang sering terjadi di sungai Cimanuk dahulu. Terakhir banjir besar pada 23 November 2001, akibat banjir itu empat rumah roboh, ribuan hektar tambak dan sawah tergenang air (sumber: Mitra Dialog edisi Sabtu-Senin 24-26 November 2001/Ramadhan 1442 H. Nomor 026 tahun V).
64 Sunda dan Galuh berkali-kali mengalami pegat balen (bersatu berpisah). Tahun 612 M Wretikandayun memisahkan Galuh dari induknya Tarumanagara yang kemudian menjadi Kerajaan Sunda. Tahun 723 M Sang Sanjaya menyatukan Galuh Sunda. Tahun 732 M di bawah Sang Tamprean Waja putra Sanjaya Galuh pisah lagi dari Sunda. Tahun 852 M Rakeyan Wuwus penguasa Mataram menyatukan kembali Sunda dan Galuh, Dahyang Guru Wisuda bertindak sebagai wakilnya di Galuh. Tahun 966 M Prabhu Jayadrata mengikrarkan Galuh sebagai Kerajaan yang berdiri sendiri. Tahun 1152 M, oleh Prabhu Dharmakusuma kerajaan Galuh dan Sunda dipersatukan kembali. Tahun 1475 M masa kepemimpinan Dewa Niskala Galuh pecah lagi. Tahun 1482 M. Prabhu Siliwangi berhasil menyatukan lagi Galuh Sunda Pakuan Pajajaran.
65 Dalam catatan kakinya H.M. Dasuki (1978:4) menyebutnya dengan nama Sri Bhima Unatarayana Mandura Suradipati.
66 Tentang nama Pakuan, Salana (2002:15) dan Drs. Atja (1970) mencatat berbagai pendapat seputar nama itu. Ten Dam berpendapat, bahwa Pakuan berasal dari kata ‘paku’. Kata ‘paku’ tersebut dapatlah dihubungkan dengan lingga kerajaan, yang letaknya persis di sebelah prasasti Batu Tulis di Bogor. Paku dalam arti lingga, sesuai dengan penafskan 2amannya berarti Poros Dunia, serta bertalian erat dengan kedudukan raja pada masa itu, yakni sebagai pusat jagat pusat kosmos dunia. Lingga itu kemungkinan yang disebut Halu Wesi dalam Carita Parahyangan, yang didirikan semasa pembaharuan Pakuan pada Zaman Susuk Tunggal. Kata Pajajaran oleh Ten Dam dihubungkan dengan kenyataan bahwa baik Pakuan maupun Kadatwan, puri raja terletak di antara dua sungai yang mengalir sejajar, yaitu Ci (ha) liwungdan Cisadane. K.F. Holle (1882) berpendapat, ‘pakuan’ berasal dari ‘paku’ nama sejenis pohon, katanya dinamakan Pakuan Pajajaran berarti tempat dengan (yang ada) pohon paku yang berjajar.
67 Gelar lain dari Prabhu Dewa Niskala adalah Tohaan di Galuh (yang dipertuan di Galuh), menurut Carita Parahyangan serta dikaitkan dengan Prasasti Batu Tulis di Bogor. Gelar lainnya Prabhu Anggalarang, nama itu termuat dalam Babad Galuh, Carita Waruga Guru, dan Babad Pajajaran (Sunardjo 1983:12).
68 Dalam sebuah percakapan kecil di rumahnya, 15 Maret 2004
69 Sebuah dongeng mengatakan bahwa Raja Hayam Wuruk jatuh cinta kepada Dyah Pitaloka hanya karena melihat lukisan sang putri.
70 De Graaf dan Th. Pigeaud memberikan keterangan pada abad ke-14 Kota Bubat di tepi sungai Brantas menjadi pelabuhan sungai bagi ibu kota kerajaan Majapahit (De Graaf dan Th. Pigeaud 1985:197).
71 Lapangan itu berada di depan Weringin Lawang, nama gapura utama Keraton Majapahit yang merupakan satu-satunya bagian dari Keraton Majapahit yang hingga kini masih tegak berdiri (Sunardjo 1996:10).
72 Penyerangan yang gagal itu tertulis dalam prasasti Batu Tulis 1333 M (Soekmono 1973:72).
73 Tidak ada keterangan lebih lanjut tentang Ki Nahkoda bule itu. Hanya saja biasanya orang yang bermukim di Pulau Jawa menyebut bule untuk orang-orang dari Eropa.
74 Sebenarnya arti sayembara adalah ‘pilihan sendiri’. Dalam konteks ini berarti pemilihan suami oleh puteri seorang (berkasta) ksatriya di depan umum (P. Lal 1981:415). Biasanya diadakan suatu acara khusus untuk itu, bisa berupa pertandingan bela diri, pertandingan memanah, dan lain-lain. Malah ada yang lebih mendebarkan hati para pelamar, yakni dengan cara para pelamar duduk dalam suatu ruangan, mereka duduk mengelilingi ruangan dan sang puteri berjalan berkeliling sembari membawa kalung rangkaian bunga sambn tersenyum, dan ia akan berhenti serta mengalungkan rangkaian bunga pada peserta yang menjadi pilihan hatinya.
75 Ada dua versi tentang Suryajanegara. Versi pertama nama itu merupakan gabungan dari nama dua orang pangeran, yaitu Pangeran Suryanegara dan Pangeran Jayanegara, keduanya adalah kerabat dekat Sultan Sepuh. Versi kedua mengatakan nama itu merupakan gabungan nama dua orang pangeran, yaitu pangeran Suryanegara saudara Sultan Sepuh dan Pangeran Arya Jayanegara dari Banten. Memang terjadi sedikit perbedaan, namun yang patut disepakati bahwa Suryajanegara adalah akronim dari dua orang “kepala pemberontakan” terhadap Belanda. Dalam sebuah catatan pribadi milik kerabat Keraton Kasepuhan, menyebutkan nama sebenarnya dari Pangeran Suryajanegara adalah Pangeran Arya Panengah Suryakusumah Abukayat, putra dari Sutan Sepuh III, Sultan Raja Zainudin, yang bertahta antara tahun 1723-1753 M.
76 Dari berita Tome Pires ini dapat disimpulkan, bahwa proses pengambilan kayu (penebangan pohon) telah berlangsung berabad-abad, yaitu semenjak sebelum tahun 1513 yang berakibat hutan menjadi gundul, erosi, dan terjadi sedimentasi serta pendangkalan sungai. Sehingga zaman keemasan ttansportasi air menjadi suram, yang kalau tidak disikapi secara bijak dan arif oleh generasi penerus maka kerusakan akan semakin bertambah parah.
77 Urutan pelayaran tersebut sebagai berikut: 1405-1407,1407-1409,1409-1411, 1413-1415, 1417-1419, 1421-1422, dan 1431-1433.
78 Orang-orang Tiong Hoa yang ada di Pulau Jawa semuanya keturunan Yunnan dan Swatow. She (marga/fam) Ma dan Bong adalah nama keluarga dari Yunnan. Gan merupakan she dari Swatow (De Graff dkk. 2004:46).
79 Abdul Hadi WM. mengungkapkan dalam pelayarannya yang pertama, Cheng Ho membawa 2.700 kapal perang, 400 kapal pengangkut armada, 250 kapal barang. Ukuran kapal yang paling besar 452 kaki panjangnya dengan lebar 183 kaki. Jumlah anak buah 270.800 orang, selain para perwira dan prajurit, ada ahli perbintangan, tabib, para penerjemah, mubaligh Islam, pegawai kesehatan, ahli bahasa, akuntan, ahli mekanik, para pengarang, ahli kerajinan, dan tukang emas serta permata (Pelita edisi Minggu 7 April 1991/21 Ramadhan 1411 H).
80 Orang Tiong Hoa Hokian pertama kali diketahui di Pulau Jawa adalah Haji Tan Eng Hoat di Cirebon. Dialah mata rantai yang hilang antara orang-orang Tiong Hoa Yunnan Islam dengan orang-orang Tiong Hoa Hokian non-muslim di Pulau Jawa (De Graff 2004:46).
81 Dalam sebuah percakapan kecil di rumahnya, 15 Maret 2004.
82 Palguna dalam kalender Lunar (berdasarkan peredaran bulan) Hindu (India) adalah bulan terakhk dari 12 bulan yang ada dalam setahun. Apabila kita cari bulan yang berlaku dalam kalender Gregorius atau Masehi berarti sekitar pertengahan Februari hingga pertengahan Maret (P. Lal 1981:384). Sedangkan di Ckebon menurut Salana (2002:60), Palguna adalah bulan ke-7 dari 12 bulan yang ada. Ada hal yang menarik tentang bulan Palguna ini, menurut cerita pewayangan gagrak (gaya/versi) Solo, Arjuna satria ketiga dari Pandawa Lima lahk pada bulan ini, oleh sebab itu nama Palguna adalah nama lain dari Ariuna. Dinyatakan pula, barangsiapa lahk di bulan Palguna maka dia akan menjadi Ksatria yang tak akan pernah terkalahkan dalam setiap pertempuran. Dalam galur (pakem) Ckebon, Palguna bukanlah Arjuna, melainkan Bambang Ekalaya. Tokoh ini terkenal sebagai murid yang sangat cerdas lagi berbakti. la rela menyerahkan jari kelingkingnya untuk dipersembahkan pada gurunya Resi Drona.
83 Adanya anggota rombongan yang bukan dari Cina itu dapat diterima. Dalam NK.I: 2 (1692:15) duta besar dari berbagai negara menyertai armada itu, antara lain duta besar dari Sumatera (Kerajaan Adityawarman).
84 Ada dua angka tahun kedatangannya, menurut Sudjana 1415 M, sedangkan menurut Sunardjo 1418 M.
85 Dalam tradisi kadang disebut Nyai Mas Subang Kranjang, seperti yang termuat dalam karya H. Mahmud Rais dan Akhmad Sayidil Anam “Perjuangan WaU Sanga Babad Ckebon (Pasundan)” 1957,1986.
86 Dampu Awang merupakan gelar yang terdiri dari kata ‘dampu’ (tuan yang mulia) dan kata ‘awang’. ‘Awang-awang’ dalam bahasa Jawa berarti ‘langit’, sementara kata Melayu ‘pawang’ berarti ahli dalam berbagai hal jenis pengetahuan, dan seorang yang mempunyai keahlian yang berkaitan dengan ilmu gaib, juga menjadi gelar juru mudi kapal pribumi (HJ. de Graff dkk 1998:142).
87 Suherman (1995:9) berpendapat bahwa Syekh Safiudin adalah nama lain dari Bratalegawa, bukan nama anaknya.
88 Mereka adalah pengikut alkan tarikat bkahi, mereka pulalah pencipta seni bkahi atau brai.
89 Ada yang menyebutkan Prabhu Siliwangi dapat pergi ke Mekah atas bantuan seorang Syekh. Syekh tersebut adalah Syekh Ibrahim Ali Akbar, adik dari Sunan Bonang (sumber Drs. Rafan S. Hasyim 2004). Apakah yang dimaksud Syekh Ibrahim Akbar atau Maulana Jatiswara ?
90 Masyarakat setempat sendiri mempercayainya melalui tradisi lisan bahwa bumi segandu tersebut sebagai sekeranjang tanah yang dibawa oleh malaikat Jibril (Kartani 2003).
91 Istilah Megalitikum diambil dari bahasa Yunani “mega” yang berarti “besar”, dan “lithos” yang artinya batu. Pada masa ini masyarakat purba sudah mengenal sistem religi dan aktivitas religi dan terlembaga. Bangunan yang merupakan sisa peradaban megalitikum dibangun dari batu dan berfungsi sebagai sarana pemujaan, berdasarkan kepercayaan mereka tentang adanya hubungan antara alam fana dan alam baka. Selain menhir (tugu batu tempat pemujaan roh nenek moyang), ada lagi lainnya yaitu dolmen (altar batu persembahan), sakorfagus (peti jenazah terbuat dari satu batu besar), kubur batu, punden berundak, waruga, dan area batu (Badrika 2000:19-20).
92 Makna harfiah dari gelarnya adalah panglima perang yang hebat, yang dahsyat, yang perkasa, yang gagah berani, lagi berilmu tinggi (Kartani 2003:2).
93 Letak Nusa Larang tak jauh dari Kawali, tepatnya di tengah Telaga Panjalu, nama lainya Nusa Cede. Di situ terdapat sebuah pekuburan yang disebut Kramat Adipati Hariang Kancana (Sulaemanl995:17).
94 Tercatat dalam sejarah sejak wafatnya Hayam Wuruk Majapahit dilanda perang saudara, putrinya dari permaisuri Kusumawardhani saling berebut kekuasaan dengan putranya dari selk Bhre Wkabhumi. Bhre Wkabhumi yang merasa berhak karena ia anak laki-laki tertua memisahkan dki dan membangun Kerajaan Blambangan atau Majapahit Timur. Sedangkan Kusumawardhani berkuasa di Majapahit Barat dengan pusat pemerintahan di Trowulan. Tahun 1401 M pecah perang saudara antar keduanya, peristiwa itu dikenal dengan perang Paregreg, dan baru berakhk tiga tahun kemudian. Kejadian tersebut diabadikan dalam sebuah dongeng yang sangat terkenal di Jawa Timur yaitu kisah Damarwulan, seorang abdi setia yang menikah dengan Ratu Kencana Wungu Majapahit, setelah ia dapat membunuh Adipati Menak Jinggo dari Blambangan. De Graaf dan Th. Pigeaud memperkirakan cerita tersebut digubah pada abad ke-17 (De Graaf dan Th. Pigeaud 1985:25). Raja terakhk yang berkuasa di Trowulan adalah Bhre Kretabhumi yang berkuasa mulai tahun 1474 M diserang oleh putranya sendiri Adipati Demak Raden Patah yang sejak 1475 M mengangkat dki atas sokongan ulama-ulama besar yang tergabung dalam dewan Wali Sanga sebagai raja Islam pertama Demak dan merdeka dari Majapahit. Kejadian penyerangan dan pembakaran istana tersebut terjadi pada tahun 1478 M (Sunardjo 1996:11). Namun Sang Prabhu tetap dilindungi, lazknnya perlakuan anak kepada orang tuanya. Bhre Kertabhumi diberi kediaman yang kyak di dekat keraton Kerajaan Demak, ia wafat di situ setelah didera sakit karena lanjut usia. Sedangkan sebagian kerabat serta elit petinggi Majapahit lari ke Bali, sampai sekarang keturunan pelarian tersebut dapat diidentifikasi dengan nama yang mereka pakai, yaitu I Gusti.
95 Gelar Sri Baduga pernah pula dipakai oleh Prabhu Linggabhuwana (Prabhu Wangi) buyut Jayadewata. Pantas saja terkadang ada anggapan kalau keduanya orang yang sama, padahal bila kita lihat masa pemerintahan antara keduanya sangat jauh, Linggabhuwana 1350-1357 M, Jayadewata 1482-1521 M (Suherman 1995:18).
96 Susuk Tunggal memugar kompleks istana di Pakuan Pajajaran dan mernbuat Palangka (tahta) Sriman (berseri-seri) Sri Wacana atau batu gilang untuk penobatan raja (Suherman 1995:15). Kiranya patut diduga semula semua itu diperuntukan bagi putra-putra Sang Prabhu Susuk Tunggal, kemungkinan besar untuk Sang Amuk Marugul. Catatan-catatan yang ada tentangnya begitu banyak bisa dijadikan indikator bahwa di antara sekian banyak putra Sang Prabhu Susuk Tunggal, Ratu Japura Sang Amuk Marugul inilah yang paling menonjol.
97 Putri dari Pangeran Panjunan (entah adik atau kakak dari Pangeran Muhamad) yakni Nyai Mas Kencana Sari menikah dengan Pangeran Carbon putra Pangeran Cakrabuwana penguasa Caruban Girang.
98 Sebuah versi dari tradisi lisan Cirebon mengisahkan bahwa Raden Walang Sungsang serta saudarinya Lara Santang keluar dari keraton sebelum ibunda mereka wafat. Tindakan tersebut didasari setelah ia mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW Mengetahui hal tersebut, selang berapa lama Rara Santang pun ikut keluar dari keraton. Tindakan ke dua putra-putrinya jelas membuat ibunda mereka amat sedih. Untuk melipur lara, Prabhu Siliwangi membuadcan sebuah rumah peristirahatan di pedalaman Banten (Rais 1986).
99 Babad Cirebon versi Klayan ini telah diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan Nasional) pada tahun 1989. Babad Cirebon ini disebut versi Klayan karena naskah ini berasal dari Klayan, naskah ash’nya milik Bapak Tarjadi Tjokrodipura. Menurut penyuntingnya (Hadisutjipto), keistimewaan naskah ini adalah karena pemaparan Sunan Kalijaga yang disebut juga Susuhunan Adi. Pemaparan ini tak terdapat dalam babad-babad Cirebon lainnya (Hadisutjiptol979:xi; Arismunandar dan Pudjiastuti 1996:223-224).
too Aijran tersebut merupakan campuran dari agama Hindu dan Buddha serta kepercayaan yang sudah diwariskan turun-temurun. Agama inilah yang mendominasi Nusantara hingga awal abad ke-15.
101 Benda-benda pusaka yang dianugerahkan Sang Hyang Danuwarsih kepada Walangsungsang adalah sebuah cincin yang bernama Ali-ali (cincin) Ampal. Cincin ini berkhasiat dapat melihat barang gaib, dapat menyimpan berbagai macam benda, serta bisa mengabulkan apa saja yang dikehendaki. Baju Kemayan, baju ini memiliki kelebihan, barangsiapa yang memakainya tak terlihat oleh orang lain. Selain itu, baju ini menjauhkan si pemakai dari maksud-maksud jahat. Di atas baju tersebut terdapat gambar kembang daun tulisan Arab berbunyi, “Barang siapa takut kepada Allah, maka Allah akan membuka jalan keluar dari kesulitan-kesulitan dan akan memberikan rezeki kepadanya yang tidak diduga-duga dan dengan tidak berjerih payah lagi”. Baju Pengabaran, memiliki khasiat, jika dipakai akan menimbulkan keberanian yang tiada terkira dalam menghadapi musuh, terlepas kuat atau lemahnya lawan, bahkan bukan hanya bangsa manusia atau hewan, bangsa jin dan setan pun akan tunduk. Pada baju tersebut tertulis, “Berbaktilah kepada Tuhanmu hingga ajalmu datang”. Baju Pengasihan, baju ini berkhasiat, siapa pun yang memakainya akan dikasihi oleh orang banyak. Tertulis di baju tersebut, “Sesungguhnya Allah suka kepada orang-orang yang takwa kepada-Nya”. (M Rais 1986:18-19).
102 Baju Hawa Mulia ini memiliki kekuatan: pemakainya dapat melayang di atas tanah, berjalan di atas air, dan tak terbakar api (Rais 1986:16).
103 Babad Klayan (pupuh 2:15) menyebudtan Nyai Ajar Sakti bukan Kyai Ajar Sakti. Gunung yang ditunjukkan pun berbeda, yakni gunung Cilawung bukan Gunung Merapi, ia pun meramalkan seperti yang tertulis di atas (Arismunandar dan Pudjiastuti 1996:224).
104 Ilmu yang diberikan Sang Hyang Nago kepada Walangsungsang terdiri dari: Ilmu Kadewan,yaitu kemampuan dapat memperteguh keyakinan seseorang dalam beragama. Ilmu Kapik’san, yaitu ilmu yang dapat menimbulkan wibawa yang besar, serta pemiliknya akan dikasihi segenap makhluk. Ilmu Keteguhan, yakni ilmu yang membuat pemiliknya kebal, kuat, dan perkasa. Ilmu Pengikutan, yaitu ilmu yang dapat mempengaruhi seluruh makhluk. Sedangkan senjata pusaka yang bernama Golok Cabang, memiliki kekuatan apabila ia ditebaskan ke arah singa, maka singa itu akan hancur lebur. Begitu juga gunung, laut, dan hutan atau apa pun yang terkena Golok Cabang akan binasa (Rais 1986:20).
105 Menurut Rais, Gunung Cangak lokasinya berada di Desa Mundu. Namun keterangan berbeda menyatakan Gunung Cangak atau nama lainnya Gunung Srandil berada di Cirebon Girang, memang di sana terdapat gunung yang bernama demikian.
106 Ilmu dan benda pusaka yang diwariskan kepada Walangsungsang adalah sebagai berikut: Ilmu Kesakten, Ilmu Aji Tri Murti, Ilmu Limunan, Ilmu Aji Dwipa, Baju Waring, Topong Waring, Umbul-umbul Waring, Badong (ikat pinggang) Batok Bolu. Rais tidak memberi keterangan lebih lanjut tentang fungsi dari ilmu serta benda pusaka tersebut. Sedangkan jika melihat baju waring, topong waring, umbul-umbul waring, bisa dipastikan terbuat dari serat pohon gebang. Serat gebang pada masa lalu adalah bahan tekstil bagi masyarakat pesisir pantai utara Jawa. Sampai saat ini masih ada perajin yang bertahan untuk melakoni kerajinan ini, mereka sekarang tinggal di daerah Junti Kabupaten Indramayu, hanya mereka yang tersisa dari sekian banyak perajin yang ada di sepanjang pantai utara.
107 Lagu-lagu tersebut merupakan bagian dari tujuh lagu yang dimainkan dengan Gamelan Sekaten dan diperdengarkan setiap bulan Maulud pada saat upacara panjang jimat. Menurut Raden Sangkaningrat (bagian seni gamelan Keraton Kanoman), ada 6 (enam) lagu yang dimainkan menjelang upacara Panjang Jimat, dan merupakan lagu-lagu perjuangan yang menggambarkan perjuangan prajurit-prajurit Cirebon menghadapi Rato Bangau yang belum mau masuk Islam dari Gunung Cangak atau Gunung Srandil. Lagu-lagu itu terdiri dari: Lagu Sekaten, lagu ini menempati urutan pertama dalam rangkaian lagu-lagu Sekatenan, karena Sekaten berasal dari kata ‘syahadatain’. Durasi lagu ini mencapai 1 jam. Jumlah pukulan gong besar harus tepat 100 kali, yang bermakna jurnlah dzikir 100 kali. Lagu CingcingDuwur, lagu ini mengingatkan pada para pendengarnya, bahwa peristiwa tersebut berlangsung di atas tanah yang becek, sehingga memaksa para prajurit mengangkat (cingcing) kainnya tinggi-tinggi (duwuf). Lagu Kajongan, Kajongan artinya melompat, diceritakan kondisi tanah yang becek serta banyak terdapat saluran air, mengakibatkan para prajurit berjalan melompat-lompat. Lagu Pari Anom. Pari Anom artinya padi muda, kala peristiwa itu terjadi sebagian sawah di sekitar tempat ito sudah mulai berbuah. Lagu Rambu Cede dan Rambu Cilik. Ke dua lagu ini mengisahkan wakto Ratu Bangau tertangkap, prajurit Cirebon mengerubutinya ramai-ramai. Sebagian dari mereka mencengkramnya, dengan cengkraman besar ataupun kecil. Lagu Bangau Butakatau Kara Butak. Lagu ini diilhami dari kejadian setelah kekalahan Rato Bangau, ia tertangkap dengan rambut terjambak. Jambakan ito mungkin demikian kerasnya hingga ia merasa kesakitan (rara), bahkan akibat Jambakan ito kepala Rato Bangau menjadi Taotak’. Lagu ini mendapat tempat khusus dalam penyajiannya. Ia muncul lima kali dari seminggu, selama penyajian lagu-lagu Sekatenan. Adapun rincian waktunya sebagai berikut: Pertama, pukul 21.00 pada hari pertama. Kedua, pukul 24.00 hari pertama. Ketiga, pada tanggal 11 Maulud malam 12 Maulud, pukul 21.00 tepat di saat keluarnya rombongan panjang jimat dari pinto Si Blawong. Keempat, pukul 24.00 pada malam yang sama. Kelima, pada hari penutupan tanggal 12 Maulud sore hari pukul 16.00. (Sumber: Harian Pelita, edisi 16 Februari 1978.)
108 Pusaka-pusaka yang diberikan oleh Ratu Bangau adalah Azimat Panjang (Panjang Zimat), Pendil Sewu, dan Bareng.
109 Tajugjalagrahan sampai sekarang masih ada, terletak di sebelah timur Keraton Pakungwati dan juga masih berfungsi sebagai mesjid. Pada bangunan tersebut masih didapatkan ciri-ciri bangunan kuno, berupa ubin keramik yang berwarna kemerah-merahan terbuat dari kayu jati dengan ukiran berbentuk daun.